Dinihari tanggal 1 Oktober 1965 gerombolan G-30-S/PK1
(Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia) menculik dan
kemudian membunuh enam orang perwira tinggi dan perwira pertama Angkatan Darat. Dengan penculikan dan pembunuhan itu PKI telah memulai usahanya melancarkan pemberontakan untuk merebut kekuasaan negara dan sekaligus mengganti idiologi negara Pancasila dengan idiologi komunisme. Sasaran pertama PKI ialah melumpuhkan kekuatan Angkatan Darat yang dianggap sebagai panghalang utama rencana mereka. Keenam perwira tinggi yang diculik dan dibunuh itu adalah pejabat-pejabat teras Angkatan Darat, sedangkan perwira pertama adalah ajudan Menko Hankam/Kasab (Menteri Koordinator Pertahanan-Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata) Jenderal A.H. Nasution salah seorang diantara enam perwira tinggi tersebut ialah Mayor Jenderal Siswondo Parman. la dibunuh oleh orang-orang PKI karena sikapnya yang tegas menentang komunisme. Ironinya ialah, kakaknya sendiri, Ir. Sakirman, adalah seorang tokoh PKI yang tentu saja mengetahui adanya rencana untuk membunuh S. Parman. Tetapi karena sudah dipengaruhi oleh idiologi komunisme, maka usaha pembunuhan terhadap adiknya tidak dicegahnya. Siswondo Parman dilahirkan tanggal 4 Agustus 1918 di Wonosobo, Jawa Tengah sebagai anak keenam diantara sebelas orang bersaudara. Ayahnya bernama Kromodiharjo, seorang pedagang yang cukup berhasil. Parman menyelesaikan pendidikan pada HIS (Hollandsch Inlandsche School, Sekolah Dasar) di Wonosobo dan kemudian melanjutkan ke MULO ( Meer Uitgebried Lager Ondewijs, Sekolah Menengah Pertama) di Yogyakarta. Pada waktu itu ia mau melanjutkan sekolahny a ke AMS (Algemeene Middelbare School, Sekolah Menengah Atas), ayahnya meninggal dunia. Hampir dua tahun lamanya ia tidak bersekolah, tetapi membantu ibunya berdagang di toko. Barulah sesudah itu ia melanjutkan sekolahnya ke AMS di Yogyakarta. Tamat dari AMS, Parman memasuki Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta, sesui dengan permintaan ayahnya ketika masih hidup. Sebenarnya ia sendiri bercita-cita untuk memasuki Sekolah Tinggi Hukum. Tetapi karena patuh pada ayahnya maka sekolah itu ia tinggalkan S. Parman tidak sempat menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran, karena Jepang sudah memasuki Indonesia. Tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang dan sejak saat itu berakhirlah masa penjajahan Belanda di Indonesia. Tetapi penjajahan baru muncul, yakni penjajahan Jepang. Parman kembali kedaerah asalnya, Wonosobo. Suatu kali ia ada di Cilacap dan di kota ini ia bertemu dengan pasukan Jepang yang sedang melanjutkan gerakan ke beberapa kota di Jawa Tengah. Mereka membutuhkan seseorang yang bisa berbahasa Inggris sebagai penterjemah. Parman yang pandai berbahasa Inggris diambil oleh pasukan-pasukan Jepang dan mengikuti pasukan ini sampai ke Yogyakarta. Pasukan yang diikutinya ialah pasukan Kenpetai (Polisi muliter). Peristiwa itulah yang kemudian menyebabkan Parman diangkat menjadi pegawai sipil Kenpetai. Sekalipun secara resmi ia bekerja pada aparat pemerintah Jepang, namun ia tetap mengadakan hubungan dengan teman- temannya yang mengadakan gerakan bawah tanah. Untuk melawan kekuasaan Jepang, gerak-gerik Parman dicurigai oleh Jepang. Ia pernah ditangkap dan diperiksa. Tetapi karena tidak ada bukti-bukti yang jelas ia dibebaskan kembali. Pengalaman bekerja sebagai pegawai Kenpetai banyak gunanya bagi Parman setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pada waktu ia ada di Yogyakarta, bersama-sama dengan Umar Slamet dan Sudharto ia mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama BPU (Badan Pengawas Undang-undang). Tujuan organisasi ini ialah menjaga keamanan setempat dan memelopori usaha merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Perebutan kekuasaan ini dilakukan oleh BPU bagian Aksi Umum yang ada dibawah koordinasi S. Parman. Sesudah pemerintah RI membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat), S. Parman memilih dunia militer sebagai bidang pengabdiannya. Ia memasuki kesatuan PT (Polisi Militer) yang sekarang dikenal dengan nama CPM (Corp Polisi Militer). Dalam bulan Desember 1945 S. Parman diangkat sebagai Kepala Staf MBPT (Markas Besar Polisi Tentara), berkedudukan di Yogyakarta dengan pangkat kapten. Empat bulan kemudian, yakni dalam bulan April 1946 ia mendapat tugas sebagai anggota Panitia untuk pengembalian orang-orang Jepang dan Asing di Surakarta. Setelah bertugas di Surakarta selama hampir dua bulan, S. Parman dikembalikan ke Yogyakarta untuk memegang jabatan sebagai kepala organisasi MBTT. Pada waktu pangkatnya sudah naik menjadi mayor. Suatu kesalahpahaman telah menyebabkan S. Parman dalam tahun 1948 meringkuk dalam penjara beberapa waktu lamanya. Kesalahpahaman itu terjadi berkenaan dengan pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun bulan September 1948. Kakak S. Parman, yakni It. Sukirman ikut dalam pemberontakan. S. Parman yang ketika itu menduduki jabatan sebagai kepalaCPM Markas Besar Komando Jawa ketika ditanya tidak dapat mengatakan dimana Sakirman berada. la dituduh sengaja menyembunyikan kakaknya dan membantu pihak pemberontak. la dimasukkan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta. Setelah terbukti bahwa ia tidak tahu menahu tentang kegiatan kakaknya dan tentang pemberontakan tersebut, barulah ia dibebaskan bersamaan waktunya dengan di mulainya Agresi Militer II Belanda tanggal 19 Desember 1948. Selama Agresi Militer II Belanda S. Parman ikut bergerilya di luar kota. Menjelang Pengakuan Kedaulatan, pada bulan Desember 1949 S. Parman bersama dengan Komandan CPM Letnan Kolonel A.Y. Mokoginta, Komandan CPM Yogyakarta Mayor Sudiryo berangkat ke Jakarta untuk mengambil alih Militaire Politie dari tangan Belanda. Sesudah itu S. Parman diangkat sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta. Jabatan itu tidak lama dipangkunya, sebab mulai bulan Maret 1950 ia diangkat menjadi Kepala Staf G pada Markas Besar Angkatan Darat. Bersama dengan itu pangkatnya dinaikkan Letnan Kolonel. Karier S. Parman terus menanjak. Dalam bulan November 1950 ia diangkat menjadi Komandan CPM seluruh Indonesia menggantikan Letnan Kolonel A. Y. Mokoginta. Dalam masa jabatan ini pula ia memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan pada Association Military Company Officer di Amerika Serikat. Selain itu sejak Desember 1951 pangkatnya telah ditetapkan sebagai letnan kolonel penuh. Dalam tahun yang sama tepatnya tanggal 4 Februari 1951 S. Parman menikah dengan Sumirahayu, gadis kelahiran Pertanahan Kebumen, Jawa Tengah. Mereka hidup rukun dan damai, namun mereka tidak memperoleh anak. Karena itulah suami istri akhirnya mengambil anak angkat, yakni Sugiono, laki-laki, Indonesiawati, Perempuan. Satu tahun lamanya S. Parman belajar di luar negeri. Setelah kembali ke tanah air, ia diangkat menjadi Komandan CPM disamping merangkap jabatan sebagai Kepala Staf Umum 111 Angkatan Darat. Sehubungan dengan terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952 yang menimbulkan keretakan dalam tubuh Angkatan Darat, S. Parman mengajukan permohonan berhenti dari jabatan Kepala Staf Umum III Angkatan Darat. Namun demikian ia tetap menyumbangkan tenaga sebagai pengajar di Pusat Pendidikan Angkatan Darat. Selain itu ia diperbantukan pula pada Menteri Pertahanan dan dalam bulan September 1956 ia diangkat menjadi Kepala Bagian Material Kementerian Pertahanan. Tugas ini berhasil dilaksanakannya dengan baik, sehingga dalam bulan Juli 1958 pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel. Setahun kemudian ia ditugaskan sebagai Atase Militer di London. Tugas sebagai Atase Militer di jalaninya selama tiga tahun. Ketika ia kembali ke Indonesia waktu S. Parman memegang jabatan sebagai Atase I bidang intelijen, pengaruh PKI sudah membesar dihampir semua bidang kehidupan kenegaraan. Hal itu dikemungkinkan oleh adanya politik keseimbangan kekuatan yang dijalankan oleh Presiden Sukarno. PKI melakukan intrik- intrik politik dalam usaha mereka merebut kekuasaan negara. Lawan utama yang harus dihadapi PKI ialah Angkatan Darat. Karena itu PKI berusaha mendiskreditkan Angkatan Darat dengan berbagai cara. Antara lain dikatakan bahwa dalam Angkatan Darat terdapat sebuah Dewan yang menilai kebijaksanan politik Presiden Sukarno. Walaupun pimpinan Angkatan Darat sudah meyakinkan Presiden bahwa dewan tersebut tidak ada, namun PKI tetap saja melancarkan isu dikalangan masyarakat. Untuk mengimbangi kekuatan Angkatan Darat, PKI mendesak kepada Presiden Sukarno agar dibentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Gagasan untuk membentuk Angkatan Kelima dengan tegas di tentang oleh pimpinan Angkatan Darat, termasuk S. Parman. Jabatan S. Parman sebagai pejabat intelijen menyebabkan ia banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Karena itulah ia menjadi salah seorang pejabat teras Angkatan Darat yang termasuk daftar yang akan dilenyapkan oleh PKI. Rencana untukmelenyapkan S. Parman dilaksanakan PKI dinihari tanggal 1 Oktober 1965. Ia diculik dirumahnya dan kemudian dibawa ke daerah Lubang Buaya yang dijadikan basis pemberontak PKI. Ke tempat ini pula gerombolan PKI membawa perwira-perwira tinggi lainnya yang berhasil mereka culik dan mereka bunuh S. Parman dibawa dalam kcadaan hidup. Di Lubang Buaya ia disiksa dan akhirnya dibunuh. Mayatnya dimasukkan kedalam sumur tua bersama mayat perwira-perwira lain. Barulah tanggal 3 Oktober 1965 sumur tua itu ditemukan oleh pasukan pemerintah setelah daerah Lubang Buaya dikuasai dan dibersihkan dari pasukan pemberontak. Esok harinya tanggal 4 Oktober mayat S. Parman dan mayat yang lain berhasil dikeluarkan dari sumur. Bertepatan dengan hari Ulang Tahun ke-20 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tanggal 5 Oktober 1965 jenazah mereka di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah menghargai jasa dan pengorbanan yang telah disumbangkan Mayor Jenderal Siswondo Parman terhadap tanah air dan bangsa, terutama untuk mempertahankan Pancasila dari rongrongan idiologi komunis. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI. No. 11 l/Koti/1965 tanggal 5 Oktober 1965 S. Parman di tetapkan menjadi Pahlawan Revolusi. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Letnan Jenderal. Selama mengabdikan dirinya dalam dinas militer, S. Parman memperoleh sepuluh tanda jasa.