Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PENDAHULUAN

Penyakit menular merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia


yang bersamaan dengan mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Salah
satu penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia dan menimbulkan
dampak sosial maupun ekonomi adalah Tuberkulosis Paru (TB Paru).1
Tuberkulosis   paru   merupakan   penyakit   menular   langsung   yang   disebabkan

oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk selama 2

minggu   atau   lebih,   batuk   disertai   dengan   gejala   tambahan   yaitu   dahak,   dahak

bercampur   darah,   sesak   nafas,   badan   lemas,   nafsu   makan   menurun,   berat   badan

menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1

bulan. 1-2
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Penyebarannya yang sangat mudah yakni melalui droplet dari penderita yang
terhirup ke saluran nafas menyebabkan penyakit ini sangat mudah menular. Bila tidak
diobati penyakit ini akan berakibat fatal.2,3 Lebih dari lima juta kasus baru dari
tuberkulosis dilaporkan ke WHO pada tahun 2005 dimana 90% diantaranya berasal
dari negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa dikarenakan oleh kurangnya
deteksi kasus-kasus baru, hanya 60% yang terlapor sehingga diestimasikan sekitar 8,8
juta kasus baru terjadi di seluruh dunia pada tahun 2005. Kasus baru ini 95% terjadi di
Asia, termasuk Indonesia. 2,4
Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah
pasien tuberkulosis dunia. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus

tuberkulosis baru di Indonesia dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi

penduduk   Indonesia   yang   didiagnosis   TB   paru   oleh   tenaga   kesehatan   tahun   2013

adalah   0.4   persen,   tidak   berbeda   dengan   2007.   Lima   provinsi   dengan   TB   paru

tertinggi  adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo

(0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%).
Provinsi Kalimantan tengah pasien yang didiagnosa TB oleh tenaga kesehatan

sebanyak  0,3%.  Dengan gejal  batuk  >  2  minggu  sebanyak  3,2% dan  batuk  darah

sebanyak 2,8%. 

Dari   seluruh   penduduk   yang   didiagnosis   TB   paru   oleh   tenaga   kesehatan,

hanya 44.4% diobati dengan obat program. Lima provinsi terbanyak yang mengobati

TB dengan obat program adalah DKI Jakarta (68.9%). DI Yogyakarta (67,3%), Jawa

Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa Tengah (50.4%) 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TB Paru
2.1.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kompleks
Mycobacterium tuberculosis, biasanya mengenai paru meski pada sepertiga kasus
didapati keterlibatan organ lainnya. Bila tidak diobati penyakit ini akan berakibat
fatal. Transmisi penyakit terjadi melalui penyebaran droplet di udara yang berasal dari
pasien yang terinfeksi tuberkulosis paru.2

2.1.2 Etiologi
M. tuberculosis berbentuk batang, tidak berspora dan berukuran 3-5 µm.
Mycobacterium termasuk M. tuberculosis seringkali netral dengan pewarnaan gram.
Namun, apabila diberi zat warna basilnya tidak bisa luntur dengan alkohol asam. Hal
ini disebabkan karena organisme ini terdiri dari asam mikolik, asam lemak rantai
panjang yang bercabang dan lipid pada dinding sel. Lipid pada dinding sel ini
terhubung dengan arabinoalaktan dan pertidoglikan di bawahnya. Struktur yang
terbentuk menyebabkan permeabilitas dinding sel yang sangat rendah sehingga
menurunkan efektivitas sebagian besar antibiotik.3
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru/berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Kuman
Tuberkulosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA),
kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. .3

2.1.3 Epidemiologi
Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah
pasien tuberkulosis dunia. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus

tuberkulosis baru di Indonesia dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi

penduduk   Indonesia   yang   didiagnosis   TB   paru   oleh   tenaga   kesehatan   tahun   2013

adalah   0.4   persen,   tidak   berbeda   dengan   2007.   Lima   provinsi   dengan   TB   paru

tertinggi  adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo

(0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%).

Provinsi Kalimantan tengah pasien yang didiagnosa TB oleh tenaga kesehatan

sebanyak  0,3%.  Dengan gejal  batuk  >  2  minggu  sebanyak  3,2% dan  batuk  darah

sebanyak 2,8%. 

Dari   seluruh   penduduk   yang   didiagnosis   TB   paru   oleh   tenaga   kesehatan,

hanya 44.4% diobati dengan obat program. Lima provinsi terbanyak yang mengobati

TB dengan obat program adalah DKI Jakarta (68.9%). DI Yogyakarta (67,3%), Jawa

Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa Tengah (50.4%) 

Gambar 2.1 Prevalensi TB paru menurut provinsi, Indonesia 2007


dan 2013

2.1.4 Patogenesis
Penularan TB terjadi karena menghirup udara dengan partikel-partikel yang
mengandung M. Tuberculosis dan mencapai alveolus. M. Tuberculosis akan
difagositosis oleh makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi kalau M. Tuberculosis yang
dihirup virulen dan makrofag alveoli lemah, maka M. Tuberculosis akan berkembang
biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan ditarik
secara kamostaksis ke arah M. Tuberculosis berada, kemudian memfagositosis basil
TB tetapi tidak membunuhnya. Makrofag dan basil TB membentuk tuberkel yang
juga mengandung sel–sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel datia Langhans) dan
limfosit T. 4,5
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan
selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang
pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor
yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.3,4
Tuberkel akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya
dan mungkin juga terjadi kalsifikasi. M. Tuberculosis atau basil TB menyebar ke
kelenjar limfe hilus. Lesi pertama di alveolus , infeksi kelenjar limfe dan limfadenitis
yang bersangkutan membentuk kompleks primer. Basil TB setelah dari limfe dapat
menyebar melalui saluran limfe dan saluran darah ke organ-organ lain seperti hepar,
lien, ginjal, tulang, otak dan lain-lainnya. 4,5
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Disini dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang atau afek primer atau sarang (fokus)
Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru,
otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke
seluruh bagian paru menjadi TB milier. 4,5,6
2.1.5 Klasifikasi penyakit
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
I. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
II. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

3) Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.


a) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses
“far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
b) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.3,6,8

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
4) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa
tipe pasien, yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.

2.1.6 Faktor Resiko Tuberkulosis


Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh
yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV
merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.4
Gambar 2.1 Faktor Risiko Kejadian TB

Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun 50% meninggal, 25%
akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus
kronis yang tetap menular.4-6

2.1.7 Gejala Klinis Tuberkulosis


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tb,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Adapun
keluhan yang sering muncul pada pasien TB adalah :
 Demam: biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-410C, demam hilang timbul
 Batuk, sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah
timbul peradangan menjadi produktif (sputum). Keadaan lanjut dapat terjadi
batuk darah
 Sesak napas, sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltratnya sudah meliputi setengah bagian paru-paru
 Nyeri dada. Nyeri dada timbul bila infiltrate radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis
 Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan

2.1.8 Diagnosis Tuberkulosis


a. Klinis
 Demam: biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-410C, demam hilang timbul
 Batuk, sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah
timbul peradangan menjadi produktif (sputum). Keadaan lanjut dapat terjadi
batuk darah
 Sesak napas, sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltratnya sudah meliputi setengah bagian paru-paru
 Nyeri dada. Nyeri dada timbul bila infiltrate radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis
 Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan.

b. Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan konjungtiva anemis, demam, badan kurus, berat badan
menurun. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apex
paru, bila dicurga adanya infiltrate yang luas, maka pada perkusi akan didapatkan
suara redup, auskultasi bronchial dan suara tambahan ronki basah, kasar, dan nyaring.
Tetapi bila infiltrate diliputi penebalan pleura maka suara nafas akan menjadi
vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang luas akan ditemukan perkusi
hipersonor atau tympani.

c. Pemeriksaan Dahak
 Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS).
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali.
 P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur.
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.

Gambar 2.2 Apusan BTA menunjukkan bacilli M. tuberculosis

 Pemeriksaan biakan
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum
dalam medium biakan, koloni kuman tuberkulosis mulai tampak. Bila setelah 8
minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium
yang digunakan yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa.3,4
Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila
dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
- Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
- Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
- Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda .
d. Pemeriksaan Radiologis
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka banyangn terlihat berupa bulatan
dengan batas tegas, lesi dikenal sebagai tuberkuloma. Pada kavitas bayangannya
berupa cincin yang mula-mula berdiniding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan
terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan bergaris-garis. Pada kalsifikasi
bayangannya terlihat sebagai bercak-bercak pada dengan densitas tinggi. Gambaran
radiologis lain yang sering menyertai TB paru adalah penebalan pleura, efusi pleura,
empiema..3,5

Gambar 2.3 Gambaran foto thorax


dengan infiltrat di lobus superior dextra

e. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu diagnosis tuberkuosis
pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan
0,1cc tuberkulis PPD (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 TU. Tes
tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah
mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan mycobacteria
pathogen lainnya. Dasar tes tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-
72 jam tuberkulin disuntukkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan.3
Hasil tes Mantoux dibagi dalam
- Indurasi 0-5mm (diameternya) : Mantoux negative = golongan no
sensitivity
- Indurasi 6-9mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity
- Indurasi 10-15mm : Mantoux positif = golongan normal sensitivity
- Indurasi >15mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity
Biasanya hampir seluruh pasien tuberculosis memberikan reaksi Mantoux
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada
pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu
lebih banyak ditemukan daripada positif palsu.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode
pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.4,5

Gambar 2.4 Alur diagnosis TB paru


2.1.9. Pengobatan

a. Kategori 1 ( 2HRZE/4H3R3) paduan obat ini diberkan untuk pasien baru


4,5
:

 Pasien baru TB paru BTA positif

 Pasien TB paru BTA negative foto toraks positif

 Pasien TB ektra paru

Tabel 2.1 Dosis untuk panduan OAT KDT untuk kategori 1

b. Kategori 2 ( 2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya 4,5
 Pasien kambuh

 Pasien gagal

 Pasin dengan pengobatan setelah putus obat

Tabel 2.2 Dosis panduan OAT untuk kategori 2


C. OAT Sisipan ( HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari) 4,5
Tabel 2.3 dosis KDT untuk sisipan

Tabel 2.4 Dosis OAT untuk sisipan

2.2 Manajemen Kesehatan pada TB Paru


Kebijakan Pengendalian TB paru di Indonesia7
1. Pengendalian TB paru di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas
desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kbupaten/Kota sebagai titik
berat manajemen program yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana)
2. Pengendalian TB paru dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan
memperhatikan strategi Global Stop TB partnership
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah
terhadap program pengendalian TB paru
4. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya MDR-TB
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh
seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyenkes), meliputi Puskesmas,
Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter Praktek Swasta
(DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.
6. Pengendalian TB paru dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan
kemitraan di antara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta, dan
masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB
(Gedurnas TB)
7. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan
untuk peningkatan mutu dan akses layanan
8. Obat anti tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-
cuma dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin
ketersediaannya.
9. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program
10. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok
rentan lainnya terhadap TB
11. Penderita TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya
12. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.

Strategi nasional pengendalian TB paru di Indonesia 2010-20147


1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan dan swasta melalui pendekatan Publik-Private Mix dan menjamin
kepatuhan terhadap International Standards for TB care
4. Memberdayakan masyarakat dan penderita TB
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen
program pengendalian TB
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan informasi strategis.

BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang menular dan


disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan
granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Penyakit tuberculosis ini biasanya
menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk
meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu
setelah pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena
gangguan atau ketidakefektifan respon imun. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun
Untuk mencegah penularan dan untuk pengendalian, maka diperlukan
manajemen yang tepat. Persiapan wilayah, petugas, sarana dan prasarana kesehatan,
serta pendanaan yang baik merupakan kunci manajemen dalam pengendalian TB
paru.Peran serta masyarakat dan lintas sektor terkait harus ditingkatkan secara
berkesinambungan melalui penyuluhan dan promosi kesehatan untuk mengendalikan
sumber penularan dari M. tuberculosis . Untuk meningkatkan daya ungkit
pengendalian TB paru akan terlaksana dengan baik kalau digerakkan oleh Kementrian
Dalam Negeri termasuk pemerintah daerah di semua tingkat administrasi dan
dukungan dukungan teknik dari sektor kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian kesehatan. Riset kesehatan dasar. Pravelensi TB paru di
Indonesia:65-68 ; http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil
%20Riskesdas%202013.pdf
2. Direktorat Kesehatan Dan Gizi Masyarakat. 2006. Kajian Kebijakan
Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular Studi Kasus DBD. Available from:
kgm.bappenas.go.id/index.php [accessed 3rd november 2015]
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. 2011. Indonesia
4. Fauci, et al.Harrison's Principles of Internal Medicine - 17ed. New York, USA.
Mc Graw-Hill. 2008. Ch 158.
5. Departemen Kesehatan RI. 2013. Identifikasi dan Obati, Mari Ciptakan Dunia
yang Bebas TB. Tersedia pada : www.depkes.go.id/article/view/2280/menkes-
identifikasi-dan-obati-mari-ciptakan-dunia-yang-bebas-tb.html [Diakses tanggal
17 Desember 2016]
6. Kemenkes RI , 2012. Pengendalian TB Di Indonesia Mendekati Target MDG.
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/857-pengendalian-tb-di-
indonesia-mendekati-target-mdg.html [Akses 20 Desember 2016]
7. World Health Organization, 2013. Map available at
http://www.who.int/hiv/topics/tb/tbhiv_facts_2013/en/index.html [Akses 20
Desember 2016]
8. Herlambang, S., Murwani, A., 2012. Manajemen Kesehatan dan Rumah Sakit.
Ed. 1. Yogyakarta : Gosyen Publishing, 39-40.
9. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kemenkes RI, 2011. Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia
tahun 2011-2014.

Anda mungkin juga menyukai