Anda di halaman 1dari 12

BAB I

OBLIGASI SYARIAH

A. PENGERTIAN OBLIGASI SYARIAH

Menurut Fatwa DSN MUI No 33/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syariah adalah suatu


surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten
kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan
kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali
dana obligasi pada saat jatuh tempo. Sedangkan Obligasi Syariah Mudharabah adalah
Obligasi Syariah yang berdasarkan akad Mudharabah dengan memperhatikan substansi
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah. Obligasi syariah mudharabah dikeluarkan oleh perusahaan (sebagai mudharib)
kepada investor (sebagai shahib al maal)dengan tujuan pendanaan proyek perusahaan,
kemudian keuntungannya didistribusikan secara periodik kepada investor menurut prosentase
yang telah disepakati saat akad (basis profit-loss sharing ).[1]
Dalam hal ini, investor mendapatkan bagi hasil yang sesuai besarnya dengan
prosentase yang disepakati, dan jika mendapatkankerugian maka akan menanggung kerugian
itu bersama, tidak membebankan salah satu pihak.Obligasi mudharabah juga terbagi atas :
a. Obligasi Syariah Mudharabah muqayyadah : Hasil pengumpulan dana dari investor
pemegang obligasi mudharabah muqayyadah, digunakan untuk pembiayaan proyek tertentu,
karena itu investor memiliki hak untuk memilih proyek mana yang ia inginkan untuk
penggunaan hartanya. Obligasi ini dibangun berdasarkan pemikiran mengaitkan antar
sumber pembiayaan, bidang penggunaan, jangka waktu, jatuh tempo bagi hasil
dangelombang pembayaran.
b. Obligasi Syariah Mudharabah mutlaqah : Hasil pengumpulan dana dari investor pemegang
obligasi mudharabah mutlaqah,digunakan untuk pembiayaan segala macam bentuk proyek
yang diyakini oleh perusahaan bahwa proyek tersebut penting dan dapat menguntungkan
baik perusahaan maupun pemegang saham.

B. PRINSIP OBLIGASI SYARIAH


Setelah perusahaan menerbitkan obligasi syariah, maka perusahaan tersebut harus
menjalankan prinsip-prinsip yang mengatur obligasi syariah tersebut. Prinsip obligasi syariah
antara lain:
1. Pembiayaan hanya untuk suatu transaksi atau suatu kegiatan usaha yang spesifik, dimana
harus dapat diadakan pembukuan yang terpisah untuk menentukan manfaat yang timbul.
2. Hasil investasi yang diterima pemilik dana merupakan fungsi dari manfaat yang diterima
perusahaan dari dana hasil penjualan obligasi, bukan dari kegiatan usaha yang lain.
3. Tidak boleh memberikan jaminan hasil usaha yang semata-mata merupakan fungsi waktu
dari uang (time value of money).
4. Obligasi tidak dapat dipakai untuk menggantikan hutang yang sudah ada (bay al dayn bi al
dayn).
5. Bila pemilik dana tidak harus menanggung rugi, maka pemilik usaha harus mengikat diri
(aqad jaiz).

1
6. Pemilik dana dapat menerima pembagian dari pendapatan (revenue sharing), dimana pemilik
usaha (emiten) mengikat diri untuk membatasi penggunaan pendapatan sebagai biaya usaha.
7. Obligasi dapat dijual kembali, baik kepada pemilik dana lainnya ataupun kepada emiten (bila
sesuai dengan ketentuan).
8. Obligasi dapat dijual dibawah nilai pari (modal awal) kalau perusahaan mengalami kerugian.
9. Perubahan nilai pasar bukan berarti perubahan jumlah hutang.[2]

C. DASAR HUKUM OBLIGASI SYARIAH

Dasar hukum obligasi syariah mudharabah adalah :

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Q.S Al-Maidah:1)

“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok.” (Q.S Luqman:34)

“Allah memberikan rahmat-Nya pada setiap orang yang bersikap baik ketika
menjual,membeli dan membuat suatu pernyataan.” (HR Bukhari)

Fatwa DSN-MUI No: 32/DSN-MUI/IX/2002 tentag Obligasi Syariah


Fatwa DSN-MUI No: 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah
Fatwa DSN-MUI No: 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Mudharabah

D. STRUKTUR OBLIGASI SYARIAH


Obligasi Syariah sebagai sumber pendanaan dan sekaligus investasi, memungkinkan
berbagai bentuk struktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan dari riba.
Berdasarkan pengertian obligasi syariah, maka obligasi syariah dapat memberi :
1. Bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah, Muqaradhah, Qiradh atau Musyarakah.
Karena akad Mudharabah atau Musyarakah adalah kerjasama dengan skema bagi hasil
pendapatan atau keuntungan, obligasi ini akan memberikan returndengan menggunakan term
indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja
pendapatan yang dibagihasilkan.
2. Margin/Fee berdasarkan akad Murabahah atau Salam atau Istishna’ atau Ijarah.
Dengan akad Murabahah/Salam/Istishna atau Ijarah sebagai bentuk jual beli dengan
skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.
Walaupun bentuk akad yang diterapkan dalam obligasi syariah itu banyak, namun
dilihat dari akad yang digunakan sampai saat ini baru dua jenis obligasi syariah yang sedang
berkembang di Indonesia, yaitu : obligasi Mudharabah dan Ijarah. Keduanya sesuai kaidah
syariah namun berbeda dalam perhitungan, penilaian, dan pemberian hasil (return).

1. Obligasi Mudharabah
Obligasi Mudharabah adalah skema kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan
atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan menggunakan term

2
indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja
pendapatan yang dibagihasilkan.[3]
Alasan memilih penerbitan obligasi syariah dengan struktur mudharabah, dikarenakan
obligasi syariah mudharabah ini telah memiliki pedoman khusus, yaitu dengan disahkannya
Fatwa No. 33/DSN-MUI /IX/2002. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa obligasi syariah
mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad mudharabah. Selain itu
pemilihan obligasi mudharabah juga disebabkan karena :
a. Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka yang
relatif panjang.
b. Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing).
c. Mudharabah merupakan pencampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha)
sehingga menjadikan strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan
jaminan (collateral) atas asset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang
menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas asset yang didanai.
d. Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur mudharabah dan bai bi-
tharman ajil menjadi mudharabah dan ijarah.

Beberapa hal pokok mengenai obligasi syariah mudharabah meliputi :


a. Kontrak atau akad mudharabah harus dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan(trusty).
b. Rasio bagi hasil (nisbah) didasarkan pada pembagian pendapatan (revenue sharing).
c. Nisbah (profit loss sharing) dapat ditetapkan konstan, meningkat atau menurun tetapi harus
ditetapkan dengan jelas di dalam kontrak.
d. Penerbit obligasi (emiten) membayar semua keuntungan yang ditetapkan dalam kontrak bagi
hasil (profit loss sharing), dan total keuntungan di dalam aporan keuangan.
e. Pembayaran keuntungan atau tingkat pengembalian ini dapat dilakukan secara periodik.
f. Obligasi mudharabah ini memberikan indikasi tingkat pengembalian (return), sebab besarnya
pendapatan bagi hasil (revenue) didasarkan pada kinerja yang aktual dari emiten
(penerbit). Berikut ini adalah model struktur obligasi mudharabah menurut Nafik (2009):

3
Pihak-pihak yang terlibat dalam obligasi mudharabah adalah investor, (sukuk
holders atau shahibul maal), Special Purpose Vehicle (SPV) atau Kontrak Investasi Kolektif
(KIK), dan perusahaan (emiten atau mudharib). Investor membeli sukukmudharabah setelah
mempertimbangkan prospectus yang diterbitkan oleh perusahaan dan informasi-informasi
lain yang relevan. Investor yang membeli sertifikat sukuk mudharabah berarti telah menjadi
shahibul maal bagi emiten yang komposisinya adalah sebesar rasio total nilai sertifikat sukuk
dibagi total modal yang dibutuhkan. Komposisi ini juga merupakan porsi bagian pembagian
hasil dari pengelolaan dana.
Total modal yang terkumpul pada SPV dan para investor diberikan kepada Mudharib
(emiten) oleh SPV. Pembagian hasil antara SPV dan emiten didasarkan atas nisbah yang
disepakati antara SPV dan emiten.
Pendapatan bagi hasil akan diterima secara periodik oleh SPV sesuai nisbahnya,
kemudian SPV akan membagikannya secara periodik kepada para
pemegang sukukmudharabah sesuai dengan komposisi kepemilikan masing-
masing sukuk. Pokok sukukakan dibayar kembali pada saat jatuh tempo sebesar nilai
penyertaan masing-masing investor.

2. Obligasi Ijarah
Ijarah adalah pemilikan hak atas manfaat penggunaan suatu asset sebagai ganti
pembayaran. Obligasi ijarah adalah surat berharga yang berisi akad pembiyaan berdasarkan
prinsip syariah yang diterbitkan oleh perusahaan (emiten), pemerintah atau institusi lainnya
yang mewajibkan penerbit obligasi untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi
berupa fee hasil penyewaan asset serta membayar dana pokok obligasi pada saat jatuh
tempo.[4]
Penerbitan obligasi ijarah ini harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional-MUI melalui Fatwa No. 41/DSN-MUI/III/2004
tentang obligasi syariah ijarah. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa obligasi syariah ijarah
adalah obligasi yang berdasarkan akad ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan
Nasional Syariah-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.
Dalam praktik, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara :
a. Investor sebagai penyewa (musta‟jir) dan emiten sebagai perwakilan (agent) investor dan
pemilik properti sebagai orang yang menyewakan properti (mu‟jir). Dengan cara ini ada dua
jenis kontrak yaitu: kontrak antara investor dengan emiten disebut kontrak wakala (agent
contract) dan kontrak antara emiten dengan pemilik properti disebut kontrak ijarah.
b. Investor menyewakan properti kepada emiten dengan kontrak ijarah dan menerbitkan
obligasi syariah ijarah. Emiten wajib membayar margin/fee kepada investor dan membayar
dana obligasi syariah setelah waktu yang telah ditetapkan (pada waktu obligasi jatuh tempo).

4
Struktur Obligasi Syariah Ijaroh

5
BAB II
REKSADANA SYARIAH

Pengertian Reksadana Syariah


Reksadana Syari’ah adalah suatu wadah yang -digunakan oleh masyarakat untuk berinvestasi
secara kolektif, di mana pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syri’at Islam.
Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang ingin ikut serta
dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kecil dan kemampuan menanggung
resiko yang sedikit. Reksadana memiliki andil yang amat besar dalam perekonomian nasional
karena dapat memobilisasi dana untuk pertumbuhan dan pengembangan perusahaan-
perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta. Di sisi lain, reksadana memberikan
keuntungan kepada masyarakat berupa keamanan dan keuntungan materi yang meningkatkan
kesejahteraan material.
Dari sisi tujuan Reksadana Syari’ah dapat disejajarkan dengan Sosial Responsible
Investment (SRI) atau Etical Investment , Sosially Aware Investment, dan Value-based
investment.
Tujuan utama Reksadana Syari’ah bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga
memiliki tanggungjawab sosial terhadap lingkungan, komitmen terhadap nilai-nilai yang
diyakini tanpa harus mengabaikan keinginan investornya.
Oleh karena itu, Reksadana Syari’ah tidak boleh menginvestasikan dananya pada bidang-
bidang yang bertentangan dengan Syariat Islam, misalnya saham-saham atau obligasi-
obligasi dari perusahaan yang pengelolaan dan produknya bertentangan dengan syariat islam;
pabrik makanan atau minuman yang mengandung alkohol, daging babi, rokok, tembakau,
jasa keuangan konvensional, pornografi, pelacuran, serta bisnis hiburan yang berbau maksiat.
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001, Reksadana
Syari’ah adalah :
“ Reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syari’ah Islam, baik dalam
bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahibul maal/rabb al maal) dengan
manajer investasi sebagai wakil shahibul maal, maupun antara manajer investasi sebagai
wakil shahibul maal dengan pengguna investasi.”

Ciri-Ciri dan Mekanisme Operasional Reksadana Syari’ah


Ciri-Ciri Operasional Reksadana Syari’ah :
1). Mempunyai Dewan Syariah yang bertugas memberikan arahan kegiatan
Manajer Investasi (MI) agar senantiasa sesuai dengan syariah Islam.
2). Hubungan antara investor dari perusahaan didasarkan pada sistem mudharabah, di mana
satu pihak menyediakan 100% modal (investor), sedangkan satu pihak lagi sebagai
pengelola (manajer investasi).

6
3). Kegiatan usaha atau investasinya diarahkan pada hal-hal yang tidak bertentangan dengan
syariah Islam.

Mekanisme Operasional Reksadana Syari’ah


Mekanisme operasional dalam reksadana syariah antara pemodal dengan
manajer investasi dilakukan dengan sistem wakalah, sedangkan antara manajer investasi
dengan pengguna investasi menggunakan sistem mudhrabah
Dengan akad wakalah, pemodal memberikan mandat kepada manajer investasi
untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan pemodal sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam prospektus reksadana. Investor secara kolektif kemudian memiliki hakatas
hasil investasi dalam tersebut dan juga menanggung resiko kerugian. Investor yang telah
memberikan dananya akan mendapatkan jaminan bahwa seluruh dananya akan disimpan,
dijaga, dan diawasi oleh bank kustodian sampai ditariknya kembali penyertaan tersebut.
Sebagaimana akad mudharabah, dalam reksadana ini tidak ada jaminan atas
hasil investasi tertentu kepada pemodal. Pembagian keuntungan antara pemodal atau sahib al-
mal (yang diwakili oleh manajer investasi dan pengguna investasi didasarkan pada proporsi
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Pemodal hanya menanggung resiko sebesar
dana yang telah diberikan dan manajer investasi sebagai wakil tidak menanggung resiko
kerugian atas investasi yang dilakukannya sepanjang bukan karena kelalaiannya.

Perbedaan Reksadana Syariah dengan Reksadana Konvensional


Perbedaan paling mendasar antara reksadana konvensional dan reksadana syari’ah adalah
terletak tada proses screening dalam mengkonstruksi portofolio. Filterisasi menurut prinsip
syariah adalah mengeluarkan saham-saham yang memiliki aktifitas haram seperti riba, gharar,
minuman keras, judi, daging babi, rokok dan lain sebagainya. Di samping itu, proses
filterisasi juga dilakukan dengan cara membersihkan pendapatan yang dianggap diperoleh
dari kegiatan haram dan membersihkannya dengan cara charity.
Dalam mekanisme kerja yang terjadi di reksadana ada tiga pihak yang terlibat dalam
pengelolaan dan, yaitu:
1). Manajer investasi sebagai pengelola investasi. Manajer investasi ini bertanggungjawab
atas kegiatan investasi, yang meliputi analisa dan pemilihan jenis investasi, mengambil
keputusan-keputusan investasi, memonitor pasar investasi, dan melakukan tindakan-tindakan
yang dibutuhkan untuk kepentingan investor,. Manajer investasi (perusahaan pengelola)
dapat berupa:
a). Perusahaan efek, dimana umumnya berbentuk devisi tersendiri atau PT yang
khusus menangani reksa dana.

7
b). Perusahaan yang secara khusus bergerak sebagai perusahaan manajemen investasi (PMI)
atau investment manajemen company.
2). Bank kustodian adalah bagian dari kegiatan usaha suatu bank yang bertindak sebagai
penyimpan kekayaan (safe keeper) serta administrator reksadana. Dana yang terkumpul dari
sekian banyak investor bukan merupakan bagian kekayaan manajer investasi maupun bank
kustodian, tetapi milik para investor yang disimpan atas nama reksadana dari bank kustodian.
Baik manajer investasi maupun bank kustodian yang akan melakukan kegiatan ini terlabih
dahulu harus mendapat ijin dari Bapepam.
3). Pelaku (perantara) di pasar modal (broker, underwriter) maupun di pasar uang (bank) dan
pengawas yang dilakukan oleh Bapepam.

Pemilihan dan Pelaksanaan Investasi


Jenis dan Instrumen Investasi
Investasi hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai dengan Syari’ah Islam.
Instrumen keuangan yang dimaksud ayat 1 meliputi:
 Instrumen saham yang sudah melalui penawaran umum dan pembagian dividen
didasarkan pada tingkat laba usaha;
 Penempatan dalam deposito pada Bank Umum Syariah;
 Surat hutang jangka panjang yang sesuai dengan prinsip Syari’ah;

Jenis Usaha Emiten


Investasi hanya dapat dilakukan pada efek-efek yang diterbitkan oleh pihak (Emiten) yang
jenis kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan Syari’ah Islam.
Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Syari’ah Islam, antara lain, adalah:
 Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
 Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi
konvensional;
 Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan
minuman yang haram;
 Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang
ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

Jenis Transaksi yang Dilarang


Pemilihan dan pelaksanaan transaksi investasi harus dilaksanakan menurut prinsip kehati-
hatian (prudential management/ihtiyath), serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi yang
di dalamnya mengandung unsur gharar

8
Tindakan yang dimaksud ayat 1 meliputi:
 Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu;
 Bai al-Ma’dum yaitu melakukan penjualan atas barang yang belum dimiliki (short
selling);
 Insider trading yaitu menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau memakai
informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang;
 Melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi tingkat (nisbah)
hutangnya lebih dominan dari modalnya.

Kondisi Emiten yang Tidak LayakSuatu Emiten tidak layak diinvestasikan oleh Reksa Dana
Syariah:
 apabila struktur hutang terhadap modal sangat bergantung kepada pembiayaan dari
hutang yang pada intinya merupakan pembiayaan yang mengandung unsur riba;
 apabila suatu emiten memiliki nisbah hutang terhadap modal lebih dari 82% (hutang
45%, modal 55 %);
 apabila manajemen suatu perusahaan diketahui telah bertindak melanggar prinsip
usaha yang Islami.

Penentuan dan Pembagian Hasil Invetasi


Hasil investasi yang diterima dalam harta bersama milik pemodal dalam Reksa Dana Syari’ah
akan dibagikan secara proporsional kepada para pemodal.
Hasil investasi yang dibagikan harus bersih dari unsur non-halal, sehingga Manajer Investasi
harus melakukan pemisahan bagian pendapatan yang mengandung unsur non-halal dari
pendapatan yang diyakini halal (tafriq al-halal min al-haram).
Penghasilan investasi yang dapat diterima oleh Reksa Dana Syari’ah adalah:
Dari saham dapat berupa:
 Dividen yang merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagikan dari laba yang
dihasilkan emiten, baik dibayarkan dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk saham.
 Rights yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang diberikan oleh
emiten.
 Capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dari jual-beli saham di pasar
modal.
Dari Obligasi yang sesuai dengan syari’ah dapat berupa:
 Bagi hasil yang diterima secara periodik dari laba emiten.
 Dari Surat Berharga Pasar Uang yang sesuai dengan syari’ah dapat berupa: Bagi hasil
yang diterima dari issuer.
Dari Deposito dapat berupa:
 Bagi hasil yang diterima dari bank-bank Syari’ah.

9
 Perhitungan hasil investasi yang dapat diterima oleh Reksa Dana Syari’ah dan hasil
investasi yang harus dipisahkan dilakukan oleh Bank Kustodian dan setidak-tidaknya
setiap tiga bulan dilaporkan kepada Manajer Investasi untuk kemudian disampaikan
kepada para pemodal dan Dewan Syari’ah Nasional.
 Hasil investasi yang harus dipisahkan yang berasal dari non halal akan digunakan
untuk kemaslahatan umat yang penggunaannya akan ditentukan kemudian oleh
Dewan Syari’ah Nasional serta dilaporkan secara transparan.

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Menurut Fatwa DSN MUI No 33/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syariah adalah suatu
surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten
kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan
kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali
dana obligasi pada saat jatuh tempo. Setelah perusahaan menerbitkan obligasi syariah, maka
perusahaan tersebut harus menjalankan prinsip-prinsip yang mengatur obligasi syariah
tersebut. Prinsip obligasi syariah antara lain: Pembiayaan hanya untuk suatu transaksi atau
suatu kegiatan usaha yang spesifik, dimana harus dapat diadakan pembukuan yang terpisah
untuk menentukan manfaat yang timbul.
Dasar hukum obligasi syariah mudharabah adalah : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu.” (Q.S Al-Maidah:1)
Obligasi Syariah sebagai sumber pendanaan dan sekaligus investasi, memungkinkan
berbagai bentuk struktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan dari riba.
Berdasarkan pengertian obligasi syariah, maka obligasi syariah dapat memberi : Bagi hasil
berdasarkan akad Mudharabah, Muqaradhah, Qiradh atau Musyarakah.

Hal-hal yang belum diatur dalam Pedoman Pelaksanaan ini akan diatur kemudian oleh
Dewan Syari’ah Nasional.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Huda, Nurul dan Mustofa Edwin Nasution. 2007. Investasi Pada Pasar Modal
Syariah.Jakarta: Kencana.
Huda, Nurul dan Mustofa Edwin Nasution. 2009. Current Issues Lembaga Keuangan
Syariah. Jakarta: Prenada Media.
Burhanuddin. 2010. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Obligasi Syariah@hendrakholik.net
Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Prenada Media.
Sofiani Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Investasi
Halal di Reksa Dana Syari’ah, cet.1 (Jakarta : Renaisan,2005), hal. 16.
Ibid, hal.32.
Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional
Syari’ah, SistemKeuangan dan Investasi Syari’ah, cet.I,(Jakarta : Renaisan, 2005), hal. 33-36.

12

Anda mungkin juga menyukai