Menarik untuk diperhatikan bahwa orang Jawa, rupanya sudah sejak zaman kuno,
menggunakan tempat tinggal raja sebagai nama negara. Orang hampir tidak
menemukan satu contoh pun yang nama negaranya bukan nama ibukotanya. Kediri,
Singasari, Majapahit, Pajang, Demak, Surakarta, Yogyakarta, semuanya memperoleh
namanya dari ibukotanya masing-masing. Secara kosmologis, ibukota tempat tinggal
raja (negara) merupakan pusat kekuatan magis dari kerajaan itu, tetapi dari sudut
pandang politik, daerah pusat juga penting sekali artinya. Kekuatan fisik negara,
khususnya resimen-resimen inti angkatan bersenjata, dipusatkan di ibukota; pasukan
pergi ke daerah-daerah untuk memamerkan kekuatannya, menaklukkan atau
menumpas pemberontakan, tetapi kemudian selalu kembali lagi ke ibukota.
Yang kedua dan hak raja yang lebih langsung berkenaan dengan tanah adalah hak
untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat, dasar dari hak pengaturan ini
nampaknya terdapat dalam adat kampung yang telah lama (paron) yaitu bagi hasil
tanah menjadi setengah untuk penggarap tanah dan setengah untuk orang yang
mempunyai hak memetic hasil, hak yang diterimanya dari desa yang menjadi pemilik
tanah yang sebenarnya, siti dusun (tanah desa).
F. Sistem Perpajakan dan Pengerahan Tenaga pada Zaman Mataram II
1. Sistem Perpajakan
Dalam kaitan dengan zaman Kerajaan Mataram agak sulit rupanya untuk berbicara
tentang “pembiayaan negara” dalam arti modern, khususnya jika itu diartikan sebagai
suatu usaha yang sistematis dan menyeluruh pendapatan dan pengeluaraan negara
secara keseluruhan, hal ini tidak hanya karena tiadanya suatu pembendaharaan (system
keuangan) negara yang dikelola oleh pusat tetapi juga karena cara-cara yang incidental
untuk memenuhi keperluan keuangan negara. Orang Jawa mempunyai istilah tertentu
untuk pungutan yang dibebankan pada barang dagangan, yaitu beya yang
membedakannya dari pajak tetap, yaitu pajeg. Kata beya pada mulanya berarti “biaya
atau pengeluaran” pada umumnya dan sulitlah untuk menemukan kapan kata tersebut
mendapat arti khusus, yaitu “bea” atau “cukai”, tetapi kiranya telah lama sekali terjadi.
Ini terbukti dari adanya demikian banyak tempat-tempat tertentu di kota pelabuhan
yang disebut pabeyan. Tempat-tempat ini juga disebut pandaran atau bandara.
(Soemarsaid, 1993:139)
Cukai untuk barang dagangan berkisar antara tiga sampai enam persen dan
berbeda-beda menurut setiap pelabuhan tempat barang masuk dan menurut negara asal
barang, namun nampaknya yang berlaku umum sekitar empat persen. Sebagai
tambahan untuk bea, kebanyakan para penguasa menuntut pemberian atau hadiah yang
telah lazim dilakukan. Perdagangan di daerah pedalaman, sepanjang sungai atau
sepanjang beberapa jalan utama, mungkin menanggung beban pungutan yang lebih
berat lagi, bukan karena persentasenya lebih tinggi melainkan karena banyaknya
jumlah pos pabean yang didirikan oleh raja ataupun para bupatinya. Keadaan ini
semakin mencekik perdagangan ketika tempat-tempat pemungutan bea kemudian
disewakan kepada orang-orang pribumi yang kaya, atau orang asing, terutama Cina,
dan terjadilah penyelewengan dan pemungutan yang jauh melebihi batas. Tetapi
walaupun dapat dikumpulkan kekayaan yang besar dari beaa dan cukai ini, namun
untuk dapat berjalan dengan baik, kerajaan sebagai suatu organisasi instutisional,
pertama-tama dan terutama mengandalkan para petani, yang dapat memberikan tenaga
yang diperlukan tidak hanya untuk mengerjakan sawah tetapi juga melakukan
pekerjaan untuk memelihara dan menopang kerajaan, mulai dari pekerjaan
memperbaiki jalan sampai kepada pengangkutan barang-barang, dan menjadi pelayan
para bangsawan atua pejabat sampai kepada berperang sebagai tantara raja. Dengan
demikian maka menguasai daerah yang berpenduduk padat adalah suatu keuntungan
besar dan berkurangnya rakyat karena pengungsian harus benar-benar dicegah.
Pentingnya pungutan dalam bentuk hasil bumi dan kemudian dalam bentuk uang
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, tidak dapat menandingi pentingnya
penggunaan dan pengerahan tenaga manusia untuk menjamin kelancaran hidup negara.
Tidak adanya peralatan yang dapat menghemat tenaga kerja dan terutama sempitnya
(secara relatif) tanah yang dikuasai petani, menyebabkan tenga kasar manusia atau
dalam istilah modern tenaga tak terlatih menjadi satu-satunya sarana produksi dan
kekayaan. Tenaga kerja manusia lalu dikaitkan dengan rakyat kecil, orang desa dengan
kebutuhannya yang sederhana dan agak “terbelakang”, yang secara tradisional menjadi
sumber tenaga kasar. Tiap pembebasan dari kewajiban kerja tadi dianggap sebagai
suatu hadiah khusus dan ini merupakan privilise pertama dan utama bagi para abdi raja
dengan pangkat apa saja, sampai kepada anggota pemerintahan desa. (Soemarsaid.
1993:152)
Mengingatnya banyak jenis pajak, iuran dan sumbangan, maka kita dapat
mengharapkan bahwa daftar pengerahan tenaga kerja (kewajiban kerja) yang diberikan
kepada negara harus panjang pula. Dibagi secara kasar ada 2 jenis kerja wajib,
pekerjaan yang dilakukan untuk desa (gawe desa) dan pekerjaan yang dilakukan untuk
negara (gawe aji). Kewajiban itu dapat pula digolongkan sebagai kewajiban umum
seperti kewajiban ronda, tugas perbaikan dan pemeliharaan jalan, tanggul, bendungan
dan sebagainya. Pelayanan pribadi yang harus diberikan kepada para pejabat untuk
kepentingan mereka, seperti bekerja di lading atau sawah mereka, memperbaiki rumah
atau ikut sebagai pengiring ke kraton untuk menjaga dan memelihara kuda mereka,
menjadi pengawal atau pembawa barang. Di masa kemudian, penyediaan tenaga kerja
untuk mengangkut barang dan mengusung orang di sepanjang jalan utama merupakan
beban yang sangat berat. Pengangkutan dilakukan secara lari beranting oleh penduduk
desa-desa di sepanjang jalan. Tugas prajurit sudah brang tentu menjadi kewajiban
utama, walaupun rakyat desa biasanya hanya bertugas sebagai pembawa makanan dan
barang keperluan lainnya bagi para prajurit. Hampir selalu orang-orang ini, atau orang
sedesanya yang menggantikan mereka, harus mencari makanan sendiri waktu bertugas
jauh dari rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Moertono, Soemarsaid. 1993. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia