“Mutualisme Tumbuhan”
Disusun oleh:
Wika palhani
(156511071)
3. Terjadi suatu interaksi mutualisme yang terdapat pada tanaman Wijen dan
lebah. Wijen adalah tanaman yang bunganya dapat menyerbuk sendiri (self
pollinated crop). Namun demikian dapat pula terjadi penyerbukan silang yang
dilakukan oleh lebah termasuk lebah madu. Lebah madu tidak menusuk dan
mengisap cairan buah/bakal buah, oleh karenanya lebah madu bukan sebagai
hama. Dengan bantuan penyerbukan oleh lebah madu, hasil wijen dapat meningkat,
sedangkan bagi lebah madu dengan mengonsumsi tepung sari wijen ketahanan dan
masa hidupnya dapat meningkat. Jika dikaitkan dengan peranannya didalam jaring-
jaring makanan, tanaman wijen sebagai produsen yang bersifat autotrof yang dapat
memberikan energi kepada konsumen tingkat 1.
Sedangkan lebah sebagai konsumen tingkat 2 sampai seterusnya pada
konsumen tingkat 4 dan pada akhirnya berakhir pada proses dekomposer yang
dilakukan oleh bakteri pengurai. Hasil dari dekomposer kemudian dipecah menjadi
unsur-unsur organik di dalam tanah dimana unsur hara tersebut akan diserap oleh
tanaman wijen dalam proses pertumbuhannya.
4. Peranan kelapa sawit dengan Elaeidobius kamerunicus dalam jaring-jaring
makanan keterkaitan simbiosis mutualisme antara Elaeidobius kamerunicus dengan
kelapa sawit dalam jaring-jaring makanan sangatlah penting. Kelapa sawit sebagai
produsen memiliki arti penting bagi kelangsungan hidup konsumennya. Ulat bulu,
serangga Elaeidobius kamerunicus, dan serangga lainnya (konsumen 1)
membutuhkan makanan dari kelapa sawit. Lalat Tachinid dari ordo Diptera dan
burung merupakan konsumen tingkat dua yang memakan ulat dan kumbang,
sedangkan ular sebagai konsumen tingkat 3 memakan burung, katak, kelelawar buah,
dan tikus. Beragamnya tingkat spesies pada tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh
musim berbuah tanaman kelapa sawit. Setelah ular mati akan diuraikan oleh mikroba
pengurai. Kedua organisme tersebut (kelapa sawit dan Elaeidobius kamerunicus)
memiliki pengaruh penting dalam jaring-jaring makanan dan ekosistemnya.
Jika kelapa sawit tidak berbunga maka kumbang Elaeidobius kamerunicus
sebagai konsumen tingkat 1 tidak akan mendapat makanan sehingga nantinya
populasi dari kumbang Elaeidobius kamerunicus menurun. Seperti dalam piramida
rantai makanan, jika salah satu komponen mengalami masalah maka jaring-jaring
makanan itu akan bermasalah. Dan juga jika kumbang Elaeidobius kamerunicus
mengalami penurunan populasi karena populasi tikus (konsumen tingkat 2)
meningkat, maka kelapa sawit tidak akan bisa mengalami pembuahan dan merugikan
bagi manusia secara ekonomis.
5. Sejak berabad-abad lalu dan bahkan hingga saat ini, karang (Scleractinia)
dianggap sebagai batu atau tumbuhan walaupun sesungguhnya mereka merupakan
hewan. Karang itu sendiri merupakan salah satu kelompok Coelenterata berbentuk
polyp yaitu semacam bentuk tabung dengan mulut di bagian atas yang dikelilingi oleh
tentakel. Secara morfologis, binatang ini berbentuk mirip satu dengan lainnya
(species); pembedanya adalah keragaman rangka yang dibentukkannya. Oleh sebab
itu, taksonomi karang didasarkan kepada rangka bentukannya. Karena kemampu-
annya ini maka karang bersifat menetap (sessile). Dengan tipe hidup ini membawa
konsekuensi terhadap sifat konservatif dalam kehidupannya.
Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya proses simbiosis
dengan zooxanthellae. Proses terbentuknya simbiosis atau yang dikenal dengan
endosimbiosis ini mengundang perdebatan sejak awalnya, yakni apakah terbentuknya
endosimbiosis sejak anakan karang (planula) mulai dilepaskan oleh induknya atau
melalui infeksi dari lepasan planula yang keluar tanpa pembekalan (Veron, 1995).
Apabila teori pertama yang terjadi maka bagaimanapun juga awal evolusinya akan
mengalami proses infeksi yang kemudian secara turun temurun mengalami proses
pembekalan sebagaimana teori pertama diterima kebenarannya. Di sini tidak
memperdebatkan keduanya, namun lebih ditekankan bahwa pada kenyataannya
terdapat endosimbiosis dengan perannya yang besar dalam mekanisme kehidupan
fungsional binatang karang.
Pada kondisi awal evolusi dipahami bahwa simbiosis antara zooxanthellae
dengan karang dalam ekosistem laut pada dasarnya merupakan suatu kejadian yang
diawali oleh adanya bertemunya zooxanthellae dengan karang dengan peluang yang
tinggi oleh sebab karang hidup menetap dan zooxanthellae bersifat planktonik.
Bertemunya keduanya merupakan mendapat peluang yang besar oleh adanya kondisi
dinamik air laut. Oleh Perez (1982) dikemukakan bahwa proses recognisi dan pada
akhirnya relokasi zooxanthellae pada karang merupakan fenomena respon biotik
sebagai turunan dari aktivitas fisik dinamik air laut dan proses interkoneksitas
kimiawi. Dengan demikian peluang bertemunya keduanya sangat dimungkinkan
terjadi di laut dengan dua pertimbangan tersebut.
Pada kebanyakan karang, relokasi zooxanthellae umumnya terdapat pada
jaringan mesoglea dan gastrodermis baik di tentakel maupun mesentrinya. (Veron,
1995). Untuk menempuh ini diperlukan tahapan-tahapan endosimbiosis. Tahapan
endosimbiosis tersebut oleh Lenhoff dan Muscatine (1974) diterangkan melalui 4
mekanisme, yaitu :
a. Kontak dan Pengenalan (Recognition). Meskipun terdapat argumentasi bahwa
infeksi zooxanthellae pada jaringan seluler inangnya terjadi pada saat pelepasan
planula, namun tahap ini diperlukan pada setiap perkembangan dari binatang karang.
Proses ini merupakan proses yang transport yang tidak saja mencakup proses fisik
akan tetapi juga biokomiawi.
b. Endocytosis. Merupakan proses pemasukan suatu algae selular ke dalam
jaringan inang. Prosesnya dilakukan setelah mengalami tahap pengenalan dengan
kecepatan dan jumlah yang bergantung kepada jenis dan kapasitas dari binatang
karang.
c. Relokasi intraselluler dari simbiont, ini berkaitan dengan sistem endoskeleton
dari binatang karang. Proses enzymatik yang membantu pelaksanaannya ditentukan
oleh fluktuasi pH seluler.
Pertumbuhan dan regulasi kuantitasnya. Proses ini terjadi setelah relokasi dan
berlangsung dengan bergantung kepada perubahan faktor-faktor eksternal penentu
(khususnya faktor limiting) pertumbuhan. Bleaching merupakan salah satu fenomena
regulasi dari zooxanthellae dalam jaringan binatang karang. Terapan fungsional
simbiosis pertama-tama dapat ditinjau dari kaitannya dengan transfer nutrisi
diantara keduanya. Dalam memenuhi nutrisinya semua karang dapat menggunakan
tentakel-nya untuk menangkap mangsa (plankton). Proses penangkapannya memper-
gunakan bantuan nematocyte suatu bentuk protein spesifik yang mampu kemampuan
proteksi dan melumpuhkan biomassa tertentu seperti zooplankton. Meskipun
mempunyai kemampuan feeding active, akan tetapi kebanyakan proporsi terbesar
makanan karang berasal dari simbiosis yang unik, yaitu zooxanthellae. Zooxanthellae
ini merupakan algae uniselluler yang bersifat mikroskopik hidup dalam berbagai
jaringan tubuh karang yang transparan dan menghasilkan energi langsung dari
cahaya matahari melalui fotosintesis.
Biasanya mereka ditemukan dalam jumlah yang besar dalam setiap polyp
hidup bersimbiosis dan memberikan warna pada polyp, energi dari fotosintesis dan
90% kebutuhan karbon polyp. Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari
karang (polyp) dan memberikan sebanyak 95% hasil fotosintesisnya (energi dan
nutrisi) kepada polyp. Assosasi yang erat ini sangat efisien, sehingga karang dapat
bertahan hidup bahkan di perairan yang sangat miskin hara. Keberhasilan hubungan
ini dapat dilihat dari besarnya keragaman dan usia karang yang sangat tua, berevolusi
pertama kali lebih dari 200 juta tahun yang lalu. Berdasarkan transfer nutrisi ini maka
dapat dinyatakan bahwa karang dapat menyediakan nutrisinya baik melalui feeding
active dan feeding passive. Feeding active dilakukan dengan menembakkan
nematocyte ke arah mangsa dan mentransfernya melalui mulut yang terdapat di
bagian atas; sedangkan feeding passive diperoleh melalui transfer hasil fotosintesis
zooxanthellae. Sejauh diketahui hampir semua karang dapat melakukan melalui
feeding passive.
Karang mempunyai bentuk rangka untuk menyokong badannya yang
sederhana. Karang pembentuk terumbu mempunyai kerangka dari kalsium karbonat
yang proses pembentukannya memerlukan waktu lama sebagai hasil dari
simbiosisnya dengan zooxanthellae (Goreou, 1961 dalam Lenhoff dan Muscatine,
1974). Karang ini kebanyakan dari kelompok schleractinia yang dikenal sebagai
hermatipik atau pembentuk terumbu. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dinyatakan bahwa simbiosis mempunyai peran penting dalam proses kehidupan
karang. Adanya simbiosis, maka secara phototropikal dapat memperpanjang
kehidupan karang dalam suatu periode tertentu. Apabila dikaitkan dengan konsep
spesiasi binatang karang, maka peran aktif simbiosis zooxanthellae dalam jaringan
karang dan biogeografinya bahwa bersama dengan faktor lingkungan dapat
dinyatakan sebagai penggerak dalam proses microevolusi dalam kehidupan karang.
Secara nyata keadaan yang merugikan dari ketergantungan terhadap cahaya
timbul karena kebutuhan dari simbiosis alamiah. Sejauh diketahui, hanya sedikit
sekali species karang dapat eksis secara fakultatif (karang yang dapat hidup untuk
jangka waktu tak terbatas dengan atau tanpa adanya zooxanthellae atau yang biasa
disebut aposymbiosis), yakni hanya Astrangia danae (Jasques, 1983) dan mungkin
Madracis Sp, nampaknya termasuk dalam kelompok ini. Kemudian memunculkan
pertanyaan mengapa terjadi simbiosis fakultatif pada karang. Hal ini mungkin dapat
dterangkan dalam kejadian dua tahap, yaitu pertama adanya hubungan yang
sederhana dengan rantai secara fisiologis (kemungkinan masih dapat
menggantungkan dari nutrisi eksternal), kedua adanya bentuk simpanan dari dasar
genetis tiap jenis karang yang terjadi dari evolusi multispecies yang sinkron yang
kemungkinan paralel dengan evolusi metochondria dari protozoa.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa konsep simbiosis menjadi demikian
penting dalam kehidupan karang dan kelestarian ekosistem bentukannya. Hubungan
intra maupun ekstraspesifik yang terus berlangsung dalam proses pembentukan
kestabilan ekosistem terumbu karang secara filosofis termasuk dalam konsep
microevolusi yang ditampilkan oleh hubungan simbiosis antara zooxanthellae dan
binatang karang.
BAB III
CONTOH-CONTOH SIMBIOSIS MUTUALISME
Sumber: http://wahid-biyobe.blogspot.co.id/2013/11/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html
Gambar 1. Simbiosis mutualisme fungi mikoriza dengan akar tumbuhan tingkat tinggi
Sumber : https://maulanasidik05.wordpress.com/2015/06/07/artikel-ilmiah-mikrobiologi/
Sumer : http://google.com
Sumber: http://google.com
Gambar 7. Jamur dan pohon yang di tumpanginya
Soedrajad, R. & Avivi, sholeh.2005. Efek Aplikasi Synechocuccus sp dan Pupuk NPK
Terhadap Parameter Agronomi Kedelai. Jurnal Buletin Agronomi. Vol 33. No 3.
Halaman 17-23.
Marian, Viva Rini & Rozalinda Vida.2010 Pengaruh Tanaman Inang Dan Media Tanam
Pada Produksi Fungi Mikoriz Arbuskular. Jurnal Agrotropika. vol 15. No 1.
Halaman 37 – 43.
Nurhayati. 2012. Pengaruh Berbagai Jenis Tanaman Inang Dan Beberapa Jenis Sumber
Inokulum Terhadap Infektivitas Dan Efektivitasmikoriza. Jurnal Agrista. Vol.
16 No. 2. Halaman 12
Nasution, Hakiki Teguh. Rosmayati & Husni, Yusuf.2013. Respon Pertumbuhan Dan
Produksi Kedelai (Glycine Max (L.) Merrill) Yang Diberi Fungi Mikoriza
Arbuskular (Fma) Pada Tanah Salin. Jurnal Online Agroekoteknologi ISSN No.
2337-6597. Vol 2. No 1. Halaman 421-427.
Hairiah, Dkk Interaksi Antara Pohon - Tanah - Tanaman Semusim: Kunci Keberhasilan
Atau Kegagalan Dalam Sistem Agroforestri
Kurniawati, Nia & Martono Edi.2015. Peran Tumbuhan Berbunga Sebagai Media
Konservasi Artropoda Musuh Alami. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia.
Vol 19. No 2. Halaman 53–59.