Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

ORNITOLOGI
INVENTARISASI JENIS BURUNG DI KAWASAN HUTAN MANGROVE
PENITI, KABUPATEN PONTIANAK

Disusun oleh:

IBNU RIYALDI H1041151001


GEPING H1041151089
M. FAIZAL A.A. H1041151071
DESI PONTIYANA H1041151073
DWI RAMAYANI H1041151026
WINDA EKA PUTRI H1041151042
BETA YULIANDARI H1041151050
AMAT RIBUT H1041151047
M. SULTHAANAN S. H1041151061
SYURYADI WIJAYA H1041151041
KARTIKA SARI H1041151027
HAIRUNNISA H1041151072

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
PEMBAGIAN TUGAS LAPORAN ORNITOLOGI
Ibnu Riyaldi Todirhampus chloris
Geping Gygis alba, larus ridibundus
Hairunnisa BAB 3
Kartika Sari BAB 2 (2.5-2.6)
Syuryadi Wijaya Ergretta garzetta
M. Sulthaanan S. BAB 2 (2.1-2.4
Amat Ribut Ciconia episcopus
Beta Yuliandari BAB 2 (2.7-2.8)
Dwi Ramayani Cypsiurus balasiensis
Winda Eka Putri BAB 1,BAB 4, Zosterops flavus, BAB V
M. Faizal Amir A. Sterna sumatrana
Desi Pontiyana Haliastur indus
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Burung merupakan satwa yang mempunyai mobilitas tinggi dan menyebar ke
berbagai wilayah serta jumlahnya mencapai 9.000 jenis (Perrins dan Birkhead 1983).
Jumlah jenis burung di Indonesia tercatat 1.666 jenis yang mampu hidup di hutan
yang lebat hingga ke perkotaan padat penduduk (Mardiastuti, 2018).
Kawasan hutan mangrove adalah daerah perairan yang memiliki ekosistem
produktif serta merupakan daerah peralihan antara lingkungan terestrial dan lautan.
Daerah ini umumnya ditumbuhi oleh jenis vegetasi yang khas berupa tumbuhan yang
relatif toleran terhadap perubahan salinitas, karena pengaruh pasang surut air laut.
Hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai yang dapat mengurangi dan
mencegah terjadinya pengikisan daerah pantai. Hutan ini juga berperan dalam
mendukung kehidupan fauna di daerah pesisir dan lautan. Mangrove merupakan
habitat bagi berbagai jenis satwa seperti primata, reptilia, dan burung. Jenis burung
yang hidup di daerah mangrove tidak selalu sama dengan jenisjenis yang hidup di
daerah hutan sekitarnya, karena sifat khas hutan mangrove (Elfidasari et al., 2013)
Penelitian mengenai burung penting dilakukan karena jika suatu areal tersebut
memiliki kelimpahan burung yang tinggi, maka bisa menjadi salah satu indikator
bahwa kondisi lingkungan baik. Hal ini dikarenakan burung memiliki kemampuan
untuk menyebarkan biji, membantu penyerbukan, predator alami satwa lain, dan lain-
lain. Burung dalam melakukan aktivitasnya membutuhkan habitat (Mardiastuti,
2018). Salah satu yang menjadi habitat dari burung adalah Kawasan Hutan
Mangorove Peniti, Kabupaten Mempawah.
Penelitian mengenai keanekaragaman jenis burung air di Kawasan Hutan
Mangrove Peniti telah dilakukan oleh Elfidasari et al. (2013) yang menyatakan
bahwa sebanyak 19 jenis berasal dari 9 famili. Burung air yang paling sering
dijumpai pada saat pengamatan berasal dari famili Sternitidae dan Scolopacidae.
Sebelas jenis termasuk dalam jenis yang dilindungi di Indonesia yaitu: Egretta
garzetta, E. sacra, Ardea cinerea, Ciconia episcopus, Larus ridibundus, L.
brunnicephalus, Sterna sumatrana, S. dougallii, Anous minutus, Gygis alba, Halcyon
pileata, Todirhamphus chloris, dan Lonchura fuscans. Dua jenis termasuk dalam
jenis yang dilindungi berdasarkan Appendix II CITES, yaitu: Haliaeetus leucogaster
dan Haliastur indus. Jenis burung endemik yang hanya dijumpai di Pulau Kalimantan
adalah bondol kalimantan (Lonchura fuscans).
Pengamatan serta monitoring burung pada Kawasan Hutan Mangrove Peniti
perlu dilakukan, hal ini dikarenakan keberadaan jenis burung yang dilindungi serta
endemik mudah terancam akibat perubahan struktur vegetasi serta aktivitas manusia
disekitar kawasan ini.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada praktikum ini adalah apa saja jenis burung yang
ditemukan di Kawasan Hutan Mangrove Peniti, Kabupaten Mempawah?
1.3 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui jenis burung yang ada di Kawasan
Hutan Mangrove Peniti, Kabupaten Mempawah
1.4 Manfaat
Manfaat praktikum ini adalah memberikan informasi terbaru mengenai jenis
burung yang ada di Kawasan Hutan Mangrove Peniti, Kabupaten Mempawah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Burung
Burung termasuk dalam kelas Aves, sub Filum Vertebrata dan masuk ke dalam
filumChordata, yang diturunkan dari hewan berkaki dua Welty (1982) dalam
Darmawan (2006). Burung dibagi dalam 29 ordo yang terdiri dari 158 famili,
merupakan salah satu diantara kelas hewan bertulang belakang. Burung berdarah
panas dan berkembang biak dengan cara bertelur. Tubuhnya tertutup bulu dan
memiliki bermacam-macam adaptasi untuk terbang. Burung memiliki pertukaran zat
yang cepat kerena terbang memerlukan banyak energi. Suhu tubuhnya tinggi dan
tetap sehingga kebutuhan makanannya banyak, (Darmawan, 2006).
Welty (1982) dalam Darmawan (2006) mendeskripsikan burung sebagai hewan
yang memiliki bulu, tungkai atau lengan depan termodifikasi untuk terbang, tungkai
belakang teradaptasi untuk berjalan, berenang dan hinggap, paruh tidak bergigi,
jantung memiliki empat ruang, rangka ringan, memiliki kantong udara, berdarah
panas, tidak memiliki kandung kemih dan bertelur.
Tiap jenis burung dideskripsikan berdasarkan ciri-ciri morfologi eksternal yang
relatif mudah diamati. Ciri-ciri tersebut antara lain panjang total tubuh burung yang di
ukur dari paru sampai ekor untuk menentukan besar atau kecilnya tubuh burung.
Warna burung pada bagian-bagian tubuh utama seperti kepala, sayap, ekor, tubuh
bagian depan dan belakang. Selain warna bulu, warna bagian tubuh lain seperti kaki
dan mata juga sering kali dapat menjadi ciri pembeda jenis.
Burung pantai dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah shorebird atauwaders.
Pada umumnya, burung pantai diartikan sebagai sekelompok burung air yang secara
ekologis bergantung pada lahan basah pantai untuk mencari makan dan (atau)
berbiak, berukuran kecil sampai sedang dengan berbagai bentuk dan ukuran paruh
yang sesuai dengan keperluannya untuk mencari dan memakan mangsa, melakukan
kegiatan migrasi ataupun tidak (Howes dkk., 2003 )
2.2 Distribusi Burung
Burung dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan
maupun habitat bukan hutan seperti tanaman perkebunan, tanaman pertanian,
pekarangan, gua, padang rumput, savana dan habitat perairan. Penyebaran jenis
burung dipengaruhi oleh kesesuaian lingkungan tempat hidup burung, meliputi
adaptasi burung terhadap perubahan lingkungan, kompetisi dan seleksi alam (Welty,
1982).
Kehadiran suatu burung pada suatu habitat merupakan hasil pemilihan karena
habitat tersebut sesuai untuk kehidupannya. Pemilihan habitat ini akan menentukan
burung pada lingkungan tertentu. Beberapa spesies burung tinggal di daerah-daerah
tertentu, tetapi banyak spesies yang bermigrasi secara teratur dari suatu daerah ke
daerah yang lain sesuai dengan perubahan musim. Jalur migrasi yang umum dilewati
oleh burung yaitubagian Utara dan Selatan bumi yang disebut Latitudinal. Pada
musim panas, burung-burung bergerak atau tinggal di daerah sedang dan daerah-
daerah sub Arktik dimana terdapat tempat-tempat untuk makan dan bersarang, serta
kembali ke daerah tropik untuk beristirahat selama musim salju .Beberapa spesies
burung melakukan migrasi altitudinal yaitu ke daerah-daerah pegunungan selama
musim panas dan ini terdapat di Amerika Utara bagian Barat (Pratiwi, 2005).
Pergerakan satwa liar baik dalam skala sempit maupun luas merupakan usaha
untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Burung membutuhkan suatu koridor untuk
melakukan pergerakan yang dapat menghubungkan dengan sumber keanekaragaman.
Penyebaran suatu jenis burung disesuaikan dengan pergerakkannya atau kondisi
lingkungan seperti pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat dan letak geografis.
Burung merupakan kelompok satwaliar yang paling merata penyebarannya, ini
disebabkan karena kemampuan terbang yang dimilikinya (Alikodra, 2002).
2.3 Habitat Burung Air
Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu yang dijadikan tempat
suatu jenis atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung
perkembangbiakan organisme yang hidup didalamnya secara normal. Habitat
memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu
organisme. Habitat merupakan bagian penting bagi distribusi dan jumlah burung
(Bibby et al, 2000).
Habitat diartikan sebagai tempat hidup dari makhluk hidup (Dharmawan dkk.,
2005). Habitat juga menunjukkan tempat tumbuh sekelompok organisme dari
berbagai jenis yang membentuk suatu komunitas (Indriyanto, 2008: 28). Sedangkan
Howes dkk., (2003) menyatakan bahwa habitat adalah tempat suatu organisme makan
dan atau berkembang biak.
Burung pantai mempunyai habitat di lahan basah,meliputi berbagai habitat air
tawar dan pesisir pantai yang keduanya memiliki karakteristik umum, yaitu tanah
atau substrat yang secara berjangka dipenuhi atau tertutup air. Lahan basah meliputi
wilayah rawa, dataran rendah, gambut atau air, alami maupun buatan, permanen atau
temporer, dengan air tenang maupun mengalir, tawar, payau, atau asin, termasuk area
laut yang mempunyai kedalaman air yang tidak melebihi 6 meter pada saat air surut
(Howes dkk., 2003).
Di Indonesia ada beberapa kawasan lahan basah yang digunakan
jenisjenisburung pantai migran ataupun penetap untuk istirahat, mencari makan, dan
berbiak yaitu; mangrove, hamparan lumpur, rawa rumput, savana, rawa herba,
tambak, sawah , danau alam dan buatan (Howes dkk., 2003).
Pemilihan habitat lahan basah tersebut oleh burung pantai didasarkan oleh
beberapa faktor seperti ketersediaan dan kemelimpahan pakan, kondisi cuaca, tipe
substrat, pasang surut air laut, salinitas air laut, ketinggian genangan air, morfologik
setiap jenis burung pantai (Boettcher, 1995).
2.4 Morfologi Burung Air
Burung air mempunyai ukuran berkisar antara 15 cm hingga 58 cm, warna bulu
cokelat, putih, dan hitam, serta mempunyai kaki dan paruh yang halus. Meskipun
begitu, morfologi pada burung-burung air akan terlihat bervariasi. Hal tersebut
merupakan penyesuaian burung air dengan habitat lahan basah tempat mereka
mencari pakan. Bentuk tubuh burung air lebih terpola menyesuaikan jenis pakan. Ada
beberapa jenis burung air yang mempunyai ukuran paruh yang sangat panjang
dibandingkan dengan ukuran tubuhnya, digunakan dengan baik untuk mengambil
pakan berupa cacing di lubang yang lebih dalam, contohnyaGajahan (Numenius sp),
Birulaut (Limosa sp), dan Berkik (Gallinago sp) (Noor, 2006).
Ciri morfologi antara burung air dari famili Charadriidae dengan famili
Scolopacidae menunjukkan kesamaan penampakan. Burungair dari famili
Charadriidae memiliki ukuran hampir seragam, jenisyang paling besar memiliki kaki
yang tidak terlalu panjang juga tidakterlalu pendek, tungkai panjang dan kuat,
kebanyakan tidak memiliki jaribelakang. Paruh agak pendek, bagian ujungnya terlihat
membengkak danlebih tipis ke bagian tengah sehingga terkesan ujung paruhnya
tumpul.
Panjang paruh tidak lebih panjang jarak dari pangkal paruh ke mata. Selain itu,
mereka mempunyai mata yang relatif besar. Sedangakn burung pantai dari famili
Scolopacidae memiliki ukuran kecil sampai sedang, mempunyai kaki yang jenjang,
serta paruh yang ramping dan panjang, sayap meruncing panjang. Mata pada anggota
famili Scolopacidae lebih kecil bila dibandingkan dengan anggota famili
Charadridae (Howes dkk., 2003).
Burung pantai dari famili Jacanidae mempunyai ukuran tubuh kecil hingga
sedang. Memiliki jari dan kuku yang panjang, fungsinya adalah untuk mempermudah
berjalan di atas tumbuhan terapung. Selain itu, anggota famili Jacanidae juga
mempunyai pergelangan kaki yang panjang, sekitar 45-72 mm. Pemanjangan kaki
tersebut membuatnya terlihat tinggi. Warna bulu yang tampak sangat beragam tetapi
kebanyakan berwarna kemerahan-merahan atau kehijau-hijauan, coklat hinga hitam.
Meskipun pada beberapa jenis ada warna putih pada bagian bawah tubuhnya seperti
pada bagian perut, tengkuk, dan bawah sayap. (delHoyo dkk., 1996).
Jenis burung pantai dari famili Burhinidae mempunyai ukuran tubuh sedang
sekitar 32-59 sentimeter. mempunyai kaki yang panjang dan kuat, tidak ada jari
belakang, lutut membesar. Paruh lurus, pendek dan melebar, serta kuat. Mata besar
dan kuning bening. Sayapnya panjang, biasanya ditandai dengan warna hitam dan
putih (MacKinnon dkk., 2010).
Jenis burung pantai dari famili Glareolidae mempunyai ciri-ciri ukuran tubuhnya
kecil hingga sedang sekitar 17-29 cm. Paruh kecil, pendek dan melengkung ke
bawah. Sayapnya panjang, kaki pendek, jari pendek. Bulu tubuh didominasi warna
coklat (delHoyo dkk., 1996).
Jenis burung pantai dari famili Recurvirostridae mempunyai ciri-ciri bertubuh
tinggi dan elegan. Berukuran sekitar 35-51 cm, leher panjang, jari-jarinya pendek,
serta mempunyai sayap yang memanjang. Paruh kecil memanjang dan runcing. Pada
beberapa anggota familiRecurvirostridae paruhnya membengkok ke atas. Kaki
panjang berwarna oranye-merah muda. Warna bulu tubuh hitam dan putih (Winnasis
dkk., 2011).
2.5 Anatomi Burung
Burung adalah hewan yang memiliki kemampuan untuk terbang, berdarah panas
atau eksotherm, tubuh ditutupi dengan bulu yang berwarna-warni. Mulut burung
berupa paruh dengan berbagai bentuk yang sesuai dengan kegunaannya. Kulit kaki
bagian bawah ditutupi oleh sisik, sementara extremitas anterior termodifikasi
membentuk sayap dilengkapi dengan bulu-bulu yang berguna untuk terbang. Bulu-
bulu tersebut sangat ringan karena tangkai bulunya berisi lubang hawa atau lubang
udara dimana udara tersebut juga berfungsi sebagai penahan suhu tubuh. Paru-paru
burung dilengkapi dengan kantong-kantong udara yang membantu menghasilkan
energi lewat pernapasannya. Otot dada berfungsi untuk menggerakan sayap pada
waktu terbang (Nicky, 2011).
2.5.1 Sistem Otot
Salah satu ciri khas Aves adalah kemampuan bergerak di udara atau terbang.
Sebagian besar anggota Aves mampu terbang, kecuali beberapa jenis, yaitu ayam
yang hanya mampu terbang rendah dan singkat, burung onta dan kiwi yang tidak
mampu terbang. Aves dapat terbang karena mempunyai sayap dan berat badanya
relatif ringan. Otot-otot yang berperan dalam proses terbang, adalah otot-otot
pektoral. Otot-otot pektoral terdiri dari 2 otot, yaitu otot pektoral mayor dan otot
pektoral minor (Purwoko, 2005).
Sistem pergerakan pada Aves tentunya berbeda dengan sistem pergerakan pada
hewan kelas lainnya. Pergerakan ini tentunya memerlukan bantuan dari otot agar
dapat melakukan gerak. Otot apa saja yang terlibat dalam sistem gerak pada Aves.
Perlu dipelajari bagaimana sistem gerak otot pada Aves pada saat terbang dan pada
saat berjalan (Purwoko, 2005).
Fungsi sayap pada burung adalah seperti kaki pada hewan darat. Sayap
merupakan kaki bagi burung saat terbang. Kepakan sayap saat terbang dapat
dianalogikan seperti gerakan tangan manusia saat berenang gaya kupukupu.
Mekanisme terbang diawali dengan pengangakatan sayap. Kemudian sayap dikepak
ke depan dan ke bawah. Ketika sayap dikepak ke bawah, badan burung terdorong ke
depan sehingga posisi sayap menjadi agak ke belakang. Setelah itu, sayap diangkat ke
atas dan diteruskan maju ke depan (Purwoko, 2005).
2.5.2 Sistem Rangka
Burung memiliki struktur tulang yang beradaptasi untuk terbang. Adaptasi
tulang burung adalah sebagai berikut : a). Burung memiliki paruh yang lebih ringan
dibandingkan rahang dan gigi pada hewan mamalia, b). Burung memiliki tulang dada
yang pipih dan luas, berguna sebagai tempat pelekatan otot terbang yang luas, c).
Tulang-tulang burung berongga dan ringan. Tulang-tulang burung sangat kuat karena
memiliki struktur yang bersilang, d). Sayap tersusun dari tulang-tulang yang lebih
sedikit dibandingkan tulang-tulang pada tangan manusia, hal ini berfungsi untuk
mengurangi berat terutama ketika burung terbang, e). Tulang belakang bergabung
untuk memberi bentuk rangka yang padat,terutama ketika mengepakkan sayap pada
saat terbang (May, 2018).
Anggota depan berubah fungsi menjadi sayap. Tulang dan dada membesar dan
memipih sebagai tempat melekatnya otot-otot dan sayap. Hal ini mendukung burung
untuk terbang (May, 2018).Burung memiliki sistem kerangka (skeleton) yang ringan
dan otot yang kuat. Skeleton tersebut sangat ringan, namun cukup kuat untuk
menahan tekanan pada saat lepas landas, terbang dan mendarat (Tyas, 2018).
Salah satu kunci adaptasi yakni tergabungnya skeleton atau kerangka atau tulang
dalam osifikasi tunggal. Hal ini membuat burung memiliki jumlah tulang yang sedikit
dibanding vertebrata lain yang hidup di darat. Jumlah tulang berongga bervariasi
antar spesies, meskipun burung yang terbang dengan melayang atau melambung
cenderung memiliki tulang berongga yang lebih banyak. Kantung udara dalam sistem
pernapasan sering membentuk kantung-kantung udara dalam tulang semi berongga
pada kerangka burung. Terdapat hubungan antara kemampuan terbang burung dengan
adaptasi pada sistem rongga pada tulang (Tyas, 2018).
2.5.3 Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan burung disesuaikan dengan spesies makanan yang
dimakan tanpa dikunyah. Burung memecah partikel makanan dalam saluran
pencernaan di perut. Perut bagian bawah (ampela) melumatkan makanan. Pencernaan
dibantu oleh adonan kasar berisi kerikil dan batu yang telah dicerna (May, 2018).
Burung dengan sengaja memakan batu-batuan kasar ini untuk membantu
memecahkan makanan karena burung tidak memiliki gigi untuk menghancurkan
makanan. Sementara itu, perut bagian atas (proventikulus) mengeluarkan cairan
lambung. Makanan disimpan di esophagus untuk dicerna lebih lanjut, pada beberapa
burung esophagus membesar di bagian bawah, membentuk tembolok mirip kantong
sebagai tempat penyimpanan tambahan makanan dapat disimpan di sini dengan cepat,
memungkinkan banyak yang dapat dicerna dalam waktu singkat, hal ini sangat
berguna bagi burung yang beresiko terlihat oleh pemangsa saat makan (May, 2018).
Burung memiliki orga pencernaan berupa saluran pencernaan dan kelenjar
pencernaan. Saluran pencernaan terdiri dari esofagus, proventrikulus (lambung
kelenjar), empedal, usus halus, dan usus besar. Esofagus pada burung berukuran
panjang yang berbentuk pipa yang membesar di bagian dasarnya sebagai tembolok
yang berdinding lembut sebagai tempat penyimpanan makanan sementara.
Proventrikulus anterior menyekresikan getah empedu. Burung menelan batu atau
kerikil halus untuk prses penggilingan makanan oleh dinding muscular. Rectum yang
di bagian bawahnya terdapat kloaka besar yang merupakan tempat pengeluaran
limbah fekal dan produk urogenital dikumpulkan sebelum di keluarkan (Binti, 2017).
2.5.4 Sistem Respirasi
Burung membutuhkan oksigen jauh lebih besar karena aktivitasnya di udara.
Burung bernafas dengan paru-paru yang berhubungan dengan kantong udara yang
menyebar sampai ke leher, perut dan sayap. Burung adalah hewan aktif dengan
dengan tingkat metabolisme tinggi. Burung memiliki sistem respirasi efesien yang
menyerap banyak oksigen dari udara, hal ini berfungsi agar burung dapat tetap aktif
di ketinggian, karena oksigen tidak tersedia banyak di ketinggian tertentu. Burung
memiliki kantung udara yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan udara (May,
2018).
Semua jenis hewan membutuhkan oksigen di dalam tubuh, termasuk burung.
Akan tetapi burung membutuhkan oksigen yang jauh lebih banyak dibandingkan
dengan hewan menyusui. Aves bernapas denagn paru-paru yang berhubungan denagn
kantong udar (sakus pneumatukus) yang menyebar dari leher sampai ke perut dan
bagian sayap. Lubang hidung yang terletak di atas paruh burung dihubungkan ke
nares interna di atas rongga mulut, glotis terhubung ke tenggorokan yang panjang dan
fleksibel (Binti, 2017).
Burung memiliki beronkus yang pendek yang menghubungkan kotak suara
(sirih) ke setiap paru-paru. Paru-paru burung berukuran kecil yang melekat ke tulang
rusuk, paru-paru delangkapi dengan kantung-kantung udara yaitu terdapat 9 buah
kantung udara 4 diantaranya berpasangan dan 1 median (tanpa pasangan). Beberapa
kantung udara menyebar di antara organ dalam burung (Binti, 2017).
2.6 Reproduksi Burung
Pola reproduksi burung sangat mempengaruhi keberhasilan
perkembangbiakan. Pada akhirnya hal ini juga akan berpengaruh terhadap besar
kecilnya populasi dan kelestariannya dalam jangka panjang. Beberapa pola
reproduksi tersebut, antara lain terkait dengan habitat, perilaku bersarang, waktu yang
tepat untuk berkembang biak, jumlah telur per sarang, dan keberhasilan
perkembangbiakan ( Agung, 2005 ).
Tanda-tanda mulai kawin pertama kali biasanya didahului oleh perilaku
membentuk pasangan, membuat sarang dengan mencari dan membawa bahan sarang
berupa rumput-rumput atau ranting kecil ke dalam sarang. Burung jantan mulai
mengeluarkan bunyi untuk menarik pasangannya dan frekuensi keluar masuk sarang
meningkat sejalan dengan mendekatnya waktu kawin (Burhanuddin, 2007).
Perkembangan organ reproduksi burung untuk mencapai tahap fungsional
yang ditandai oleh adanya aktivitas perkawinan dan produksi sperma dan sel telur
dipengaruhi oleh banyak faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal yang
penting adalah rangsangan hormon (FSH & LH) disamping kesiapan organ
reproduksi betina yang secara tidak langsung memberikan andil dalam kerja hormon
FSH dalam proses pematangan folikel ataupun hormon LH dalam proses
spermatogenesis. Sedangkan faktor eksternal antara lain adalah faktor asupan pakan
dengan kualitas dan keseimbangan gizi yang cukup (Parker, 1969; Toelihere, 1985;
Grimes, 1994; Etches, 1996). Nur (2001) melaporkan bahwa burung puyuh yang
memperoleh asupan vitamin E dengan dosis lebih tinggi (50 IU) ternyata lebih awal
mencapai usia pertama kali bertelur yakni 47,58 hari dibanding burung yang
memperoleh asupan vitamin E dengan dosis lebih rendah (25 IU) yakni pada usia
51,17 hari (Burhanuddin, 2007).
2.7 Migrasi Burung
Migrasi adalah pergerakan organisme musiman terarah yang dilakukan selama
perjalanan bulak-balik diantara area reproduksi (breeding site) dan area masa musim
dingin (wintering site). Hal ini terjadi pada semua bentuk kehidupan dari hewan dan
tanaman, baik besar maupun kecil. Migrasi merupakan suatu respon makhluk hidup
terhadap pergantian musim. Burung pemangsa mencari kondisi yang sesuai terhadap
suhu, cahaya, dan makanan (Bildstein, 2006).
Teori migrasi telah menjelaskan tentang asal-usul dari sistem migrasi. Teori
tersebut menyatakan bahwa sistem migrasi berkembang ketika populasi nenek
moyang yang menetap membangun perilaku bermigrasi yang kemudian individu
memulai untuk bermigrasi baik menuju maupun keluar dari area breeding yang baru
(belahan utara), atau menuju dan keluar dari area non-breeding yang baru (belahan
selatan). Teori komprehensif menunjukkan bahwa kecenderungan migrasi telah
berkembang, dan terus berlanjut untuk berkembang (Bildstein, 2006). Migrasi
tahunan terjadi dengan perubahan garis lintang dan ketinggian (Kendeigh, 1961).
Dalam terminologi habitat burung pemangsa yang bermigrasi, terdapat tiga jenis
residen, di antaranya: residen permanen, residen musim panas, dan residen musim
dingin. Residen permanen adalah spesies yang ada di suatu area sepanjang tahun
walaupun spesies lain bermigrasi. Residen musim panas adalah spesies yang ada
hanya pada area yang hangat (tropis), termasuk juga musim reproduksi yang terjadi
pada awal musim semi sampai akhir musim gugur. Residen musim dingin adalah
spesies yang ada hanya pada musim dingin atau periode nonreproduksi (Kendeigh,
1961).
Migrasi musim gugur dan musim semi merupakan salah satu tipe migrasi burung
pemangsa. Migrasi musim gugur atau outbond migration adalah migrasi yang terjadi
dari habitat reproduksi menuju habitat non-reproduksi (habitat musim dingin) ketika
burung pemangsa selesai melakukan reproduksi di habitat asalnya 6 (habitat
reproduksi). Migrasi ini terjadi pada akhir musim gugur untuk menghindari cuaca
ekstrim di habitat asalnya dan mencari makanan di luar habitat asalnya. Migrasi
musim semi disebut sebagai return migration ialah migrasi yang terjadi dari habitat
musim dingin kembali menuju habitat asalnya. Migrasi ini terjadi pada musim semi.
Umumnya, migrasi musim semi terjadi lebih cepat dibandingkan migrasi musim
gugur. Migrasi jarak jauh ini dapat memberi manfaat menghindari musim dingin yang
cukup keras di belahan utara, dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan menjamin
masa reproduksi rata-rata yang lebih tinggi (Bildstein, 2006).
2.7.1 Migrasi Burung Pantai
Setiap tahunnya lebih dari satu juta burung pantai bermigrasi ke dan dari
Australia, melakukan perjalanan panjang dalam kondisi non-breeding terbang dari
habitat aslinya untuk mencari sumber makanan saat musim dingin dan kembali ke
habitat aslinya untuk bereproduksi (EPA, 2005). Indonesia diketahui sebagai salah
satu negara penting dalam hal tersedianya habitat yang mendukung kehidupan burung
pantai pendatang. Jumlah panjang total pantai di Indonesia diperkirakan lebih dari
80.000 km, dimana sebagian diantaranya ditumbuhi oleh mangrove serta hamparan
lumpur yang sangat potensial untuk mendukung sejumlah besar burung pantai yang
(John dkk, 2003)
Burung pantai adalah jenis burung yang seluruh hidupnya berkaitan dengan
daerah perairan. Burung pantai dapat diartikan sebagai jenis burung yang secara
ekologis bergantung pada lahan basah. Lahan basah yang dimaksud mencakup daerah
lahan basah alami dan lahan basah buatan, meliputi hutan mangrove, dataran
berlumpur, dan tambak.Burung pantai adalah jenis burung yang seluruh hidupnya
berkaitan dengan daerah perairan. Burung pantai dapat diartikan sebagai jenis burung
yang secara ekologis bergantung pada lahan basah. Lahan basah yang dimaksud
mencakup daerah lahan basah alami dan lahan basah buatan, meliputi hutan
mangrove, dataran berlumpur, dan tambak (Junardi, 2005).
2.8 Perilaku Sosial
Pengenalan perilaku sudah berjalan sejak lama, terutama oleh masyarakat yang
tergantung pada satwa buruan, yang mana perilaku dapat dimanfaatkan oleh pemburu
untuk mengetahui keberadaan satwa buru dan untuk menjinakkan dan memelihara
satwa. Prijono dan Handini (1996) mengatakan, perilaku dapat diartikan sebagai
ekspresi satwa dalam bentuk gerakan-gerakan. Perilaku timbul karena adanya
rangsangan yang berasal dari da-lam tubuh individu atau dari lingkungannya dan
perilaku satwa ini berfungsi untuk menyesuaikan diri terhadap per-ubahan
lingkungan, baik dari luar mau-pun dari dalam (Tanudimadja, 1978). Beberapa pola
perilaku terorganisasi dalam satu sistem perilaku spesies atau rangkaian pola pecahan
yang mempunyai adaptasi umum yang sama. Selanjutnya dikatakan, satwa dilahirkan
dengan ber-bagai pola perilaku yang sudah sempurna tetapi sebagian pola
perilakunya berkembang di bawah pengaruh rangsangan lingkungan atau karena
proses belajar.
Perilaku sosial (Social behaviour), yang didefinisikan secara luas adalah setiap
jenis interaksi antara dua hewan atau lebih, umumnya dari spesies yang sama.
Meskipun sebagian besar spesies yang bereproduksi secara seksual harus
bersosialisasi pada siklus hidup mereka dengan tujuan untuk bereproduksi, beberapa
spesies menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam hubungan yang dekat dengan
spesies sejenisnya. Interaksi sosial telah lama menjadi suatu fokus penelitian bagi
scientis yang mempelajari perilaku. Kerumitan perilakumeningkat secara dramatis
ketika interaksi antar individu dipertimbangkan. Penyerangan, percumbuan,
kerjasama, dan bahkan kebohongan merupakan bagian dari keseluruhan perilaku
sosial. Perilaku sosial memiliki keuntungan dan biaya bagi anggota spesies yang
berinteraksi secara ekstensif (Campbell, Reece dan Mitchell, 2002).
Salah satu perilaku sosial yang sering dilakukan adalah perilaku kawin. Menurut
Takandjandji dkk (2010) perilaku kawin terdiri atas mendekati, menyelisik, dan
bercumbu. Aktivitas mendekati betina merupakan bagian dari perilaku kawin karena
sebe-lum melakukan perkawinan, terlebih dahulu burung jantan melakukan pende-
katan dengan betina sambil mengangguk-anggukkan kepala dan mengeluarkan
suara.Biasanya apabila sudah sejodoh, pasangan selalu ingin berdekatan, namun
karena burung ada di lingkungan yang baru sehingga pendekatan terhadap betina
kurang berani dilakukan.Aktivitas menyelisik dilakukan setelah terjadi pendekatan
terhadap betina. Ak-tivitas ini dilakukan dengan cara saling membersihkan bulu-bulu
kepala dan leher menggunakan paruh. Aktivitas bercumbu merupakan tahap-an akhir
dari perilaku kawin pada burung.
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Ornitologi pengamatan jenis-jenis burung dilaksanakan pada hari
Sabtu, 1 Desember 2018 betempat di kawasan muara Sungai Desa Peniti, Kecamatan
Segedong Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Pengamatan burung
dilaksanakan pada pukul 07.30 sampai pukul 10.00 WIB.
3.2 Deskripsi Lokasi
Muara sungai Peniti terletak di Desa Peniti, Kecamatan Segedong, Kabupaten
Mempawah, Kalimantan Barat. Kawasan ini merupakan jalan utama penghubung
Kota Pontianak dan Kabupaten Mempawah. Secara geografis terletak pada 0 o9’45.8”
LU dan 109o8’0.5” BT. Tepian sungai Peniti dari jalan utama menuju muara
dikelilingi oleh tumbuhan mangrove yang di dominasi oleh jenis Avicennia sp. dan
Rhizopora sp.. Kawasan mangrove ini merupakan habitat dari beberapa jenis burung
air.

Gambar 3.2.1 Peta lokasi pengamatan burung


3.3 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada pengamatan burung berupa GPS merk Garmin,
kamera Canon merk EOS 1300D, teropong binokuler merk Nikon. Bahan yang
digunakan adalah jenis-jenis burung yang terdapat di kawasan sungai hingga muara
sungai Desa Peniti.
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Pengamatan Burung
Pengamatan burung dilakukan dengan metode encounter rate (tingkat
pertemuan) dengan menggunakan teroponng binokuler. Setiap burung yang
ditemukan di sepanjang kawasan sungai hingga muara sungai diperhatikan ukuran
tubuh, bentuk tubuh, warna bulu, bentuk dan panjang paruh, dan ciri-ciri khas dari
burung tersebut.
3.4.2 Identifikasi
Identifikasi jenis-jenis burung yang telah diamati, dilakukan dengan
mendokumentasikan burung secara langsung menggunakan kamera pada saat
pengamatan untuk kemudian dilakukan identifikasi lebih lanjut di Laboratorium
Zoologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tanjungpura
Pontianak dengan menggunakan buku Seri Panduan Lapangan Burung-Burung di
Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Mac Kinnon, dkk., 1998).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Praktikum lapangan yang telah dilakukan di Hutan Mangorove Peniti. Kabupaten
Mempawah pada 01 Desember 2018 diperoleh 9 jenis burung. Hasil pengamatan
burung dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Jenis burung di Kawasan Hutan Mangrove Peniti, Kabupaten Mempawah
No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Status*
1 Ciconiidae Bangau Ciconia episcopus VU
2 Ardeide Kuntul Ergretta garzetta LC
3 Alcenididae Cekakak Sungai Todirhampus chloris LC
4 Sternidae Dara Laut Sterna Sumatrana LC
5 Apodidae Walet Cypsiurus balasiensis LC
6 Acciptridae Elang Haliastur indus LC
7 Laridae Dara Laut Putih Gygis alba LC
8 Laridae Camar Larus ridibundus LC
9 Zosteropidae Kacamata Jawa Zosterops flavus VU
Keterangan: LC: Least concern (resiko rendah) ; VU : Vulnerable (rentan)
*Berdasarkan daftar merah IUCN

4.2 Pembahasan
4.2.1 Bangau (Ciconia episcopus)
Ciconia episcopus atau bangau sandang-lawemerupakan bangau yang memiliki
ukuran tubuh besar yakni berkisar 86 hingga 95cm, warna
hitammengkilatdenganwarnaputihberkilau, bulu halus dibagian leher dan
perutbagianbawahserta ekor berwarna putih. Burung ini memiliki wajahtanpa ditutupi
bulu, dengankulitabu-abukebiruan, dan topi hitamr api dan berkilau kontras dengan
bululeher. Paruhnya panjang dan tajam, sebagian besarhitam dengan ujung
kemerahan. Kaki berwarna oranye-merah. Serupa spp. C. microscelis dari Afrika
tropis memiliki wajah berbulu hitam dan perbedaan yang kurang jelas antara mahkota
dan bululeher juga kakinya gelap.
Ciconia episcopus ditemukan secara merata di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Jangkauannya meluas dari Pakistan melalui India, dataran rendah Sri Lanka, Nepal
(Inskippet al., 2016), Bhutan, Bangladesh dan tenggaramelaluiMyanmar, Thailand,
Laos, Kamboja, Vietnam, Semenanjung Malaysia, Filipina, dan Sumatra danJawa,
Indonesia (Robson, 2008).Ciconia episcopus cenderung berkembang biak selama
hujan (Hancock et al. 1992). Spesies berkembang biak dalam pasangan soliter (del
Hoyo et al. 1992). Ketika tidak berkembang biak spesies biasanya terlihat secara
soliter atau berpasangan, tetapi akan berkumpul dalam kelompok hingga setidaknya
80 di lahan basah alami atau buatan manusia yang permanen di lanskap kering (del
Hoyo et al.1992, Pande dkk. 2007). Karakteristik sarang dengan tegakan 10-30 m
(dan kadang-kadang hingga 50 m) di atas tanah atau di atas air, pada cabang cabang
horizontal di pohon tinggi (del Hoyo et al. 1992). Sarang yang dibuat oleh burung ini
biasanya terdapat di sepanjang aliran sungai (H. S. Baral dan C. Inskipp, 2016).
Habitat spesies menunjukkan preferensi untuk habitat lahan basah alami di
savana dan padang rumput, termasuk sungai, sungai, danau, kolam, lubang air,
laguna, bendungan,dataran banjir, rawa, dan air tawar dan hutan rawa gambut
(Sundar, 2006) serta akan menggunakan habitat buatan seperti sawah, padang rumput
yang tergenang, dan ladang yang dibudidayakan. Burung ini juga sering kali dijumpai
di pantai yang berlumpur ataupun memiliki terumbu karang (del Hoyo et al. 1992).
Ciconia episcopusmerupakan karnivora, yang makanannya terdiri dari ikan, katak,
katak, ular, kadal, serangga besar dan larva (del Hoyo et al. 1992), kepiting, moluska
dan invertebrata laut (del Hoyo et al. 1992).
Menurut BirdLife International (2014), Ciconiaepiscopustermasuk dalam spesies
burung dengan kategori Rentan (Vulnerable). Burung ini diperkirakan hampir punah
bahkan mengalamikepunahandi Filipina (A. Jensen, 2013). Populasi diperkirakan
berjumlah hingga 35.000 orang (Wetlands International 2014). Populasi keseluruhan
diduga menurun dengan cepat, meskipun ini sebagian besar merupakan hasil dari
substansialmenurun di Asia Tenggara (Duckworth,2013). Penurunanspesies
initelahdicatatsejakpertengahanabad ke-20 di Asia Tenggara, termasuk di Vietnam,
Laos, Thailand, dan Kamboja (Duckworth, 2013). Penurunan populasi ini disebabkan
oleh hilangnya habitat (WetlandsInternasional, 2014). Populasi di Asia Selatan
tampaknya stabil secara keseluruhan (Nameer et al. 2015) namun secara menyeluruh
populasi ini cukup stabil (IUCN 2011), populasi Asia berpotensi mendapat perhatian
manajemen karena tekanan penggunaan lahan yang mempengaruhi habitat rawa dan
lahan basah yang sesuai.
4.2.2 Kuntul (Ergetta garzetta)
Burung kuntu ltermasuk ordo Ciconiiformes dan family Ardeidae (Hancock et
al., 1984). Dari segimorfologi, umumnya kuntul memiliki leher dan kaki yang
panjang serta paruh yang keras, runcing dan panjang (Marsaban, 1979). Ukuran
panjang tubuh yang dimiliki oleh individu dalam family Ardeidae umumnya
berkisarantara 30 cm – 150 cm (Bushan et al., 1993).Ardeidae merupakan
jenisburung air tipe perancah, yaitu berkaki dan berparuh panjangyang berguna untuk
hidup di dekat atau di dalam lahanbasah (Howes, 2003). Ardeidae memiliki
persebaran hamper merata di seluruh wilayah Indonesia seperti Sumatera, Jawa
,Kalimantan dan Bali (McKinnon, 1998). Keberadaan spesies-spesies dari Ardeidae
juga dapat menjadi indikator ekosistem lingkungan maupun tanaman air yang masih
terjaga (Chrystanto, 2014).
Burung kuntul kecil (Egrettagarzetta) termasuk ordo Ciconiiformes dan
famili Ardeidae (Mackinnon, 2010). Klasifikasi kuntul kecil (E.garzetta) sebagai
berikut.
Kingdom : Animalia
Phylum : Vertebrata
Class : Aves
Subclass : Neornithes
Ordo :Ciconiiformes
Famili : Ardeidae
Genus : Egretta
Spesies : Egrettagarzetta
Kuntul kecil (E. garzetta) berwarna putih dan memiliki ukuran tubuh sedikit
lebihbesar dan lebih ramping dari B. ibis. Panjang tubuh antara 60-65 cm, paruh dan
tungkai berwarna hitam sedang jari dan telapak kaki berwarna kuning. Panjang paruh
yang dimiliki individu dewasa berkisar antara 10 – 15 cm. Saat musim berbiak
terdapat jambul atau bulu yang berbentuk pita di bagian tengkuk dan leher. Selain
itubulu pada dada dan punggung menjadi lebihhalus, panjang dan terkulai.Paruh dan
kaki tidak mengalam perubahan warna,beberapa peneliti (MacKinnon et al., 1993).
Burung ini mempunyai dua bulu hiasputih yang tipis memanjang pada
tengkuknya dan lebih banyak bulu pada dada dan punggungnya yang menjuntai
melebihi ekor saat musim kawin. Masa bertelur burung kuntul, telur berwarna biru
pucat, berjumlah 3-4 butir. Kuntul kecil bersarang dalam koloni, bercampur dengan
burung-burung air lainya. Burung kuntul kecil sering mengunjungi sawah,
tepiansungai, betingpasir dan berlumpur, sertasungai- sungaikecil di pesisir. Burung
kuntul keci lmemangsa berbagai jenis ikan, kodok, Crustacea, serangga air, dan
belalang. Burung kuntul kecil mencari pakan dengan berkelompok yang terpencar,
juga sering bercampur dengan burung lain (Harianto et al., 2015).
Berbiak di Bulan Desember-Maret, dan Bulan Februari-Juli. Sarang burung
kuntul besar berupa tumpukan ranting serupa panggung, dibuat di pucuk-pucuk
pohon yang tanahnya tergenang air. Habitat burung kuntul di lahan basah, di pantai,
terumbu karang, mangrove, gosong lumpur dan pasir, laguna serta sawah. Burung ini
merupakan jenis burung pemakan ikan, udang, belalang dan larva capung. Pada saat
kembali kesarang untuk bermalam kolompok burung ini terbang dalam formasi V.
Penyebaran alami jenis ini mencakup wilayah luas di Asia, Afrika, Eropa, dan
Australia. Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Flores, Timor dan Kepulauan Maluku
merupakan lokasi penyebaran Egretta di Indonesia (Mackinnon, 2010). Sebagian
besar kawasan Wallacea, terutama di wilayah kepulauan, ditemukan ras berkaki
hitam (nigripes), sedangkan ras garzetta berkaki kuning hanya tercatat hanya sebagai
pengunjung di Sulawesi Utara dan Ambon, sedangkan Papua, ras pengunjung diduga
berasal dari Australia (Hariantoet al., 2015).
Berdasarkan pengamatan hasil yang diperoleh yaitu famili ini banyak
ditemukan pada pagi hari hal ini sesuai dengan pernyataan Rusmendro (2009) yang
menyatakan pergerakan burung lebih banyak dilakukan pada pagi hari dibandingkan
sore hari karena pada pagi hari jenis-jenis burung diurnal memulai aktivitas
hariannya, terutama mencari makan. Menuru tSyahadatet al (2015), burung
cenderung akan memilih vegetasi yang baik dan terlindung, sehingga burung merasa
lebih aman untuk beraktifitas maupun tinggal. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi ukuran dan kepadatan populasi adalah kondisi iklim, kemampuan
adaptasi suatu jenis satwa liar, interaksi antar individu maupun antar jenis, dan
penyakit (Kuswanda,2010). Ini sesuai dengan hasil yang diperoleh saat pengamatan
dimana Kuntulkecil (E. garzetta ditemukan pada tepi badan sungai dan bertengger
dipepohonan atau vegetasi yang ada, hasil ini juga sesuai dengan hasil yang
didapatkan didalam penelitian Dewi (2006) yang menyatakan bahwa E. garzetta dan
C. episcopus dijumpai saat mencari makan di tepi pantai dan saat bertengger
(istirahat) di atas pohon bakau.
4.3 Cekakak Sungai (Todirhampus chloris)
Klasifikasi burung cekakak sungai (Todirhamphus chloris) menurut
Bioddaert (1783) adalah sebagai berikut :
Kigdom : Animalia
Filum : Cordata
Class : Aves
Ordo : Corcciiformes
Family : Alcedinidae
Genus : Todirhampus
Spesies : Todirhampus chloris
Burung ini ditemukan saat pengamatan sedang bertengger di atas dahan kayu
pinggir sungai. Berukuran sedang (24 cm), berwarna biru dan putih. Mahkota, sayap,
punggung dan ekor biru kehijauan berkilau terang, ada setrip hitam melewati mata.
Kekang putih cerah dan tubuh bagian bawah putih bersih. Iris berwarna coklat,
paruh atas abu tua, paruh bawah berwarna lebih pucat, dan kaki berwarna abu-
abu.
Cekakak sungai merupakan raja-udang berukuran sedang. Panjangnya 24 cm.
Tubuhnya berwarna biru dan putih. Warna biru cemerlang (kadang-kadang terlihat
agak kehijauan) mencakup mahkota, sayap, punggung dan ekor. Warna putih bersih
meliputi seluruh tubuh bagian bawah dan kerah leher. Ada sedikit warna putih di dahi
dan di depan mata. Paruh bawahnya juga terlihat putih. Memiliki garis mata
berwarna gelap yang terlihat seperti topeng. Paruh atas berwarna hitam, kaki abu-abu
dan irirs mata coklat (MacKinnon, 1998).
Burung ini lebih sering terlihat sendirian. Mengintai mangsanya dengan sabar
dari tempat bertenggernya, pada cabang, ranting atau tonggak pohon mati di tepi
perairan. Ketika mangsanya sudah dalam jangkauan, ia akan terbang meluncur
menangkap mangsanya yang ada di dalam air maupun di atas lumpur. Mangsa burung
ini bervariasi, mulai dari ikan, kepiting, cacing, udang, serangga, kadal, bahkan anak
burung. Cekakak sungai juga mempunyai kemampuan untuk berburu serangga di
udara, atau menyergap mangsa di air dari posisi terbang. Mempunyai suara yang khas
dan ribut. Sebagaimana burung raja-udang lainnya, burung ini menyukai habitat
perairan seperti tepi sungai atau danau, rawa air tawar, rawa manggrove dan pantai.
Sebaran jenis ini sangat luas, mulai dari Afrika, Eurasia, Asia Selatan, Asia
Tenggsrs, seluruh kepulauan Indonesia hingga Australia (Coates, 2000)
Menurut Partasasmita (2002), manfaat burung cekakak sungai terdiri atas dua
kategori yaitu manfaatnya di alam (fungsi ekologis burung) dan manfaatnya dalam
kehidupan manusia (fungsi ekonomis burung). Fungsi ekologis burung meliputi: (1)
sebagai penyeimbang rantai makanan dalam ekosistem, yaitu sebagai predator yang
mengontrol populasi hama seperti serangga, karena seekor burung pemakan serangga
tiap harinya dapat memakan serangga lebih kurang sepertiga berat badannya, (2)
indikator stabilitas ekosistem,(3) membantu penyerbukan bunga dan penyebar biji,
karena burung ini dapat membantu proses regenerasi tanaman ataupun hutan. Manfaat
burung cekakak sungai dalam kehidupan manusia (fungsi ekonomis burung) yaitu
sebagai bahan penelitian, pendidikan lingkungan, objek wisata (ekoturism) serta
bernilai bagi perekonomian dan kebudayaan.
Dalam daftar merah IUCN jenis ini masuk dalam kategori Resiko Rendah
(Least Concern). Namun demikian, jika dilihat statusnya secara lokal, jenis ini sudah
umum diperdagangkan. Padahal secara hukum Cekakak Sungai termasuk jenis yang
dilindungi. Burung ini termasuk dalam daftar lampiran Peraturan Pemerintah nomor 7
tahun 1999 sebagai jenis yang dilindungi Undang-undang No. 5 tahun 1990.
4.4 Dara Laut (Sterna Sumatrana)
Berdasarkan kehadirannya pada saat pengamatan, jenis burung air yang selalu
dijumpai adalah Sterna sumatrana. Burung yang masih anggota Famili Sternitidae ini
dijumpai terbang mengikuti kapal nelayan yang pulang dari melaut. Nelayang yang
sedang membersihkan dan memilih ikan dari pukatnya ini menyebabkan burung
tersebut terbang mengikuti kapal nelayan. Menurut Dewi (2005), kelompok burung
ini biasanya terbang di sekitar mangsa atau berdiri mengamati mangsa dari atas dahan
atau tempat yang tinggi, kemudian akan menukik masuk ke dalam air untuk
menangkap mangsa yang sedang berenang.
Menurut Angga (2015), kondisi pada lokasi pengamatan juga berpengaruh
terhadap banyaknya jumlah burung air dari famili Sternidae. Hutan mangrove primer
Desa Peniti Luar berbatasan dengan muara sungai yang dimanfaatkan para nelayan
untuk mencari ikan atau sebagai jalur pengangkutan ikan dari laut. Jadi sangat mudah
untuk menemukan burung dara laut tengkuk hitam yang sering mengikuti kapal
nelayan. Selain terbang mengikuti kapal nelayan, teramati burung dara laut tengkuk
hitam ini juga memiliki kebiasaan mencari makan dengan cara terbang rendah di
permukaan laut dan menggunakan hutan mangrove sebagai tempat beristirahat.
Burung dara laut tengkuk hitam yang dapat diamati di lokasi terlihat memiliki
bulu berwarna putih, ekor panjang dan bercabang. Saat terbang terlihat pada tengkuk
memiliki garis hitam. Sesuai dengan Sumaryati et al., (2007), amati di Taman
Nasioanal Karimunjawa, burung ini memiliki paruh berwarna hitam. Tubuh bagian
atas berwarna abu-abu pucat, sedangkan tubuh bagian bawah berwarna putih. Kepala
juga berwarna putih dengan bintik hitam pada tengkuk. Iris berwarna coklat, paruh
hitam dengan ujung kuning saat dewasa atau kuning kotor pada anak. Kaki berwarna
hitam pada saat dewasa dan berwarna kuning pada saat masih muda.
Lokasi pengamatan burung dara laut tengkuk hitam berupa hutan mangrove yang
berada di muara sungai dekat pantai. Keberadaan burung di lokasi tersebut sesuai
dengan pernyataan Muhammad Suriansyah (2016), burung dara laut ini beraktivitas
mencari pakan di muara sungai atau di laut. Selain itu burung ini juga memiliki
kebiasaan mencari makan dengan cara terbang rendah di permukaan laut dan
menggunakan hutan mangrove sebagai tempat beristirahat.
Burung dara laut S. sumatrana dalam IUCN Red List memiliki status konservasi
least concern (Birdlife Internasionalh, 2009).
4.5 Walet (Cypsiurus balasiensis)
Sangat mirip dengan Cypsiurus parvus , bahkan sebelumnya dianggap spesies
yang sama. Bulu bagian bawah digunakan sebagai sarang dan terikat pada bagian
bawah daun palem menggunakan ail liur, yang digunakan untuk menyembunyikan
telurnya yang berkisar antara 2 sampai 3 telur. Burung ini juga termasuk jenis burung
yang berasal dari negara budidaya, yang sangat berkaitan dengan kelapa sawit (Stuart
and Jonathan, 2008).
Burung ini memiliki ukuran tubuh yang kecil, ramping, berwarna coklat,sayap
memanjang dan melengkung seperti bulan sabit, dan ekornya panjang dan menggarpu
sangat panjang. Sarang berupa gumpalan berdinding tipis dari kapas atau rumput,
bercampur bulu, direkatkan dengan air liur, di bawah daun palem berdaun kipas.
Telur berbentuk lonjong memanjang, jumlah 2 butir. Berbiak setiap waktu, kecuali
Desember, Januari, April.(BirdLife International, 2012).Perbedannya dengan Walet
lain, sayap yang lebih sempit dan panjang, ekornya menggarpu sangat dalam
(MacKinnon et al., 2010).
Burung muda memiliki ekor yang lebih pendek dari burung dewasa. Cypsiurus
parvus memiliki kaki yang sangat pendek yang hanya digunakan untuk bertengger di
permukaan yang vertikal, karena burung ini tidak akan bertahan lama di daratan.
Mereka menghabiskan sebagian besar hidupnya di udara, dengan memakan serangga
yang mereka tangkap dengan paruhnya (Stuart and Jonathan, 2008).
Suara kicauan bernada tinggi “ci-ci-ce-riit” yang dikeluarkan secara teratur.
Penyebaran global, India, Cina, Asia Tenggara, Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali,
Sulawesi dan Filipina. Penyebaran lokal dan status, terdapat secara lokal di
Kalimantan. Cukup umum terdapat di Sumatera, Jawa dan Bali, sampai ketinggian
1500 meter di habitat yang sesuai. Kebiasaan, penyebaran ditentukan oleh keberadaan
palem atau daun yang berbentuk kipas seperti palem kipas Livistona, pohon lontar,
pohon pinang atau gebang Corypha. Digunakan sebagai tempat untuk bersarang dan
beristirahat. Sarangnya direkatkan di bawah daun-daun palem (MacKinnon et al.,
2010).
Burung jenis ini termasuk temporary residence, yaitu hewan yang melakukan
perjalanan untuk bersarang atau berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini
menyebabkan beberapa jenis burung mediami wilayah tertentu hanya untuk
berkeiking mencari makan dan terlihat di pagi hari saja dan bersarang di tempat lain
sore hari (Widyawati, 2018). Burung ini memiliki habitat dipinggiran sungai dan di
perbukitan. Banyaknya sungai diantara perbukitan, membentuk banyak daerah
peralihan (ekotone/ edge), sehingga merupakan habitat yang kaya akan
keanekaragaman jenis burung (Hernowo et al., 1991).
Menurut IUCN, status konservasi jenis burung Cypsiurus balasiensis (Walet
Palem Asia) adalah LC (Least Concern) atau resiko kepunahan rendah.
4.6 Elang (Haliastur Indus)
Indonesia memiliki areal lahan basah yang cukup luas, 21% dari luas daratannya
adalah lahan basah dengan luasan lebih dari 38 juta hektar (Kurniawan et al., 2017).
Burung elang merupakan satu contoh dari berbagai jenis burung pemangsa. Burung
elang adalah hewan berdarah panas, mempunyai sayap dan tubuh yang diselubungi
bulu. Burung elang berkembang biak dengan cara bertelur yang mempunyai
cangkang keras di dalam sarang, akan menjaga anaknya sampai mampu terbang.
Burung elang dikenal sebagai burung pemangsa berukuran besar, memiliki
kemampuan terbang yang kuat, sayap yang lebar, paruh yang besar dan tajam, serta
kuku yang kuat (Wijaya, 2008).
Burung elang juga memiliki penglihatan tajam untuk melihat mangsa dari jarak
yang jauh. Dengan kemampuan seperti ini, burung elang berada di puncak rantai
makanan pada ekosistem. Posisi tersebut dalam rantai makanan berperan sebagai
penyeimbang ekosistem agar satwa-satwa lain pada tingkat bawah rantai makanan
jumlahnya tidak berlebihan. Seluruh ordo ini merupakan pemakan daging (karnivora).
Burung elang memiliki rentang umur yang panjang, dan laju reproduksi yang rendah.
Seluruh elang berpasangan secara monogami (Wijaya, 2008).
Klasifikasi burung elang adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Falconiformes
Famili : Accipitridae
Genus : Haliastur
Spesies : Haliastur indus
Burung elang bondol berukuran panjang sekitar 45-52 cm, dengan lebar sayap
110-125 cm, panjang ekor 18-22 cm. Burung elang bondol memiliki warna putih
pada kepala, leher, dada, dan perut bagian depan. Bagian sayap atas sampai ekor
berwarna coklat kepirangan. Ujung sayap berwarna hitam. Iris berwarna coklat
dengan paruh-sera berwarna abu-abu kehijauan. Tungkai dan kaki elang bondol
berwarna kuning suram (Wijaya, 2008).
Umumnya burung pemangsa menggunakan dua cara untuk menangkap mangsanya
dimana pemakan ikan menangkap mangsa menggunakan paruh sedangkan burung
pemangsa lainnya menggunakan cakar untuk mencengkeram mangsa dan paruh
digunakan untuk mencabik mangsa (Bibby et al., 2000). Pada saat pengamatan
burung elang bondol sedang terbang berputar di atas hutan mangrove melakukan
pengintaian pada mangsanya. Dengan ciri-ciri memiliki warna putih pada kepala,
leher, dada, dan perut bagian depan serta pada bagian sayap atas sampai ekor
berwarna coklat kepirangan dan ujung sayap berwarna hitam. Selama pengamatan
hanya di temukan 1 induvidu elang bondol di karenakan Sumber pakan yang harus
elang bondol rebutkan pada jenis burung air lainnya. Sumber pakan merupakan hal
yang utama bagi keberadaan burung pada suatu habitat (Napitu, 2007). Selain itu
kebakaran lahan menyebabkan tempat istirahat, berlindung, dan berkembang biak
burung menjadi rusak. Menurut Elfidasari dan Junardi (2005), kelimpahan burung
pada suatu lokasi disebabkan karena burung tersebut mampu menciptakan relung
khusus bagi dirinya sendiri untuk mengurangi kompetisi atas sumber daya dan
berbagai bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan.
4.7 Dara Laut Putih (Gygis alba)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo :Charadriiformes
Famili :Sternidae
Genus : Gygis
Spesies :Gygis alba
Burung Dara laut putih (Gygis alba) merupakan burung air, dari famili Sternidae,
berstatus Risiko rendah (Least Concern). Burung ini tersebar luas diseluruh lautan
tropis dan subtropis. Hal ini dikemukakan oleh Elfidasari dan Junardi (2005), bahwa
hampir semua burung air yang menghuni kawasan hutan mangrove Peniti merupakan
jenis burung pemangsa ikan, hal ini berkaitan dengan morfologi burung dan sumber
daya alam yang terdapat di kawasan ini.Gygis alba dapat ditemukan dipeniti karena
memiliki habitat mangrove yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan mencari
makan, mangrove juga merupakan tempat berkembangbiak bagi burung air (Noor et
al, 1993).
4.8 Camar (Larus ridibundus)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo :Charadriiformes
Famili : Laridae
Genus : Larus
Spesies : Larus ridibundus
Burung air (Larus ridibundus) disebut juga burungCamar Kepala Hitam,
termasuk kedalam burung air yang melakukan migran.Menurut Tambunan (2016),
menyatakan bahwa Famili Laridae adalah famili besar burung laut yang tersebar
luas di dunia. Menurut Azizah (2015), Burung ini dilindungi oleh undang-undang
PP No 7 Tahun 1999, beresiko rendah (Least Concernt).Kalimantan Barat memiliki
tipe pantai mangrove, terumbu karang, dan pantai berlumpur (Dinas Perikanan
Kalimantan Barat, 1989). Salah satu jenis fauna yang menyukai daerah tersebut
sebagai habitat untuk mencari makan adalah burung air.
Habitat Mangrove yang terdapat dipeniti menjadi penunjang bagi keberdaan dari
burung air. Mangrove menyediakan berbagai sumber pakan untuk burung migran dan
burung air lainnya. Habitat mangrove juga menjadi tempat untuk mencari pakan
dan tempat istirahat yang baik selama air pasang.

4.9 Kacamata jawa (Zosterops flavus)


Kacamata jawa (Zosterops flavus) atau biasa disebut dengan sebutan
nama kacamata saja adalah spesies burung yang termasuk dalam
familia Zosteropidae. Ia ditemukan di Indonesia dan Malaysia. Habitat alaminya
adalah hutan dataran rendah tropis atau subtropis, hutan mangrove tropis atau
subtropis, dan semak belukar subtropis atau tropis. Berukuran kecil (10 cm), dan
badannya didominasi berwarna kuning. Tubuh bagian atas berwarna kuning zaitun,
dan bagian bawah berwarna kuning biasa. Iris berwarna
coklat, paruh dan kaki kehitaman. Mirip dengan kacamata laut, tetapi kacamata jawa
berukuran lebih kecil, warna lebih terang, dan tanpa bintik hitam pada kekang
Burung ini tersebar di Kalimantan dan Jawa. Ia penetap dan endemik di dua
wilayah tersebut, hutan mangrove, semak pantai, hutan pantai menjadi
habitatnya. Selain itu, kacamata jawa juga tinggal di pinggiran hutan Dalam mencari
makan, kacamata jawa biasanya berkelompok dalam jumlah banyak. Adapun
makanannya adalah nektar bunga, seranggakecil, dan buah—buahan. Beberapa
laporan mencatat burung ini mengunjungi pohon langsat dan pohon dadap.
Diperlukan penelitian lebih jauh tentang burung ini karena informasinya terbatas.
Sarangnya kacamata jawa berbentuk cawan. Telurnya berwarna kebiru-biruan,
dengan jumlah 2 butir. Berkembangbiak pada bulan Mei.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Jenis burung di Hutan Mangorve Peniti sebanyak 9 jenis berasal dari 8 famili.
Dua jenis termasuk dalam daftar merah IUCN rentan yaitu Ciconia episcopus dan
Zosterops flavus, tujuh jenis daftar merah IUCN resiko rendah yaitu Ergretta
garzetta, Todirhampus chlori, Sterna Sumatrana, Cypsiurus balasiensis, Haliastur
Indus, Gygis alba, dan Larus ridibundus.
5.2 Saran
Saran untuk praktikum selanjutnya adalah melakukan pengamatan di
Kawasan Mangrove Batu Ampar, sehingga informasi yang diperoleh dapat lebih
beragam. Pengamatan juga dapat dilakukan pada bulan migrasi burung sehingga
dapat digunakan dalam upaya stretegi konservasi pada burung migran.
DAFTAR PUSTAKA

Agung Budiharjo, 2005, Pola Reproduksi Burung Jalak Gading (Turdus Sp.) Di
Gunung Lawu, Jawa Tengah, B I O D I V E R S I T A S, Volume 6, Nomor 4,
Halaman: 272-275.
Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Bibby C., Jones, M. dan Marsden, S. 2000. Teknik-Teknik Lapangan Survei

Bibby, C., M. Jones, dan S. Marsden. 2000, Teknik Ekspedisi Lapang: Survei Burung.
Buku. BirdLife International-Indonesia Programme: Bogor, 178 p.

Bildstein KL. 2006. Migration Raptor of The Word. Their Ecology and
Management. Ithaca. London (UK):Cornel Univercity Press.
Binti Ramlah, 2017, Keanekaragaman Spesies Burung Di Hutan Sekunder Genting
Kabupaten Gayo Lues Sebagai Referensi Tambahan Bidang Studi Biologi,
Skripsi.
BirdLife International (2012), "Todiramphus chloris", IUCN Red List of Threatened
Species. Version 2012.1,International Union for Conservation of Nature.
BirdLife International, 2012, Cypsiurus balasiensis, IUCN Red List of Threatened
Species, Version 2012.1, International Union for Conservation of Nature
BirdLife International. 2014. Ciconia episcopus. The IUCN Red List of Threatened
Specieshttp://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2014-2.RLTS.
Boettcher R., Haig S.M. & Bridges W.C. Jr. (1995) Habitat-related factors affecting
the distribution of nonbreeding American avocets in coastal South Carolina. The
Condor, 97, 68-81
Burhanuddin Masyud, 2007, Pola Reproduksi Burung Tekukur (Streptopelia
Chinensis) Dan Puter (Streptopelia Risoria) Di Penangkaran, Media
Konservasi,Vol. Xii, No. 2.
Burung. Birdlife Indonesia Programme. Bogor.

Bushan, G. Fry, A. Hibi, T. Mundkur, D.M.Prawiradilaga, K. Sonobe, S. Usui, A


Field guide tothe Waterbirds of Asia. 1st Edition, Wild bird societyof Japan,
Tokai Foundation, Japan, 1993
Chrystanto. 2014. Keanekaragamanjenis avifauna di CagarAlamKeling II/III
KabupatenJeparaJawa Tengah. Indonesian Journal of Conservation. 3(1):1—6
Coates, B,J, & K,D, Bishop, 2000, Burung-burung di Kawasan Wallacea: Sulawesi,
Maluku dan Nusa Tenggara, BirdLife International-Indonesia Programme &
Dove Publications Pty Ltd, Bogor.

Darmawan, M. P. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung pada Beberapa Tipe Habitat


di Hutan Lindung Gunung Lumut Kalimantan Timur. (Skripsi) Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
del Hoyo, J., Collar, N.J., Christie, D.A., Elliott, A. and Fishpool, L.D.C. 2014. HBW
and BirdLifeInternational Illustrated Checklist of the Birds of the World. Volume
1: Non-passerines. Lynx EdicionsBirdLife International, Barcelona, Spain and
Cambridge, UK.
del Hoyo, J., Elliot, A. and Sargatal, J. 1992. Handbook of the Birds of the
World, Vol. 1: Ostrich to Ducks.Lynx Edicions, Barcelona, Spain.
DewiElfidasari, 2006, KeragamanBurung Air di Kawasan Hutan Mangrove Peniti,
Kabupaten Pontianak, JurusanBiologi FMIPA Universitas Al Azhar Indonesia,
Jakarta.
Di akses pada 26 Desember 2018
Di Penangkaran Hambala, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Jurnal Penelitian
Hutan Dan Konservasi Alam, Vol 7, No 4
Elfidasari, D. et al. (2013) “Keragaman Burung Air di Kawasan Hutan Mangrove
Peniti , Kabupaten Keragaman Burung Air di Kawasan Hutan Mangrove Peniti ,
Kabupaten Pontianak Waterbirds diversity in Peniti mangrove forest , Pontianak
Regency,” (January 2006), hal. 5–9
Environmental Protection Agency (EPA), 2005. “Shorebird Management Strategy
moreton Bay”. Queensland Government.
Erni Jumilawaty , Ani Mardiastuti , Lilik Budi Prasetyo Dan Yeni Aryati Mulyan,
2011, Keanekaragaman Burung Air Di Bagan Percut, Deli Serdang Sumatera
Utara, Media Konservasi, Vol. 16, No. 3.
H. John., B. David., Y. S. Noor. 2003. “Panduan Studi Burung Pantai”. Bogor :
Wetland Internasional – Indonesia Programme.
Hancock, J. A.; Kushlan, J. A.; Kahl, M. P. 1992. Storks, ibises and spoonbills of the
world. Academic Press,London.

Hancock, J. Kushlan, The Herons Handbook,Nicholas Enterprise, London, 1984.


Harianto. S. P., Dewi. B. S., dan Wicaksono, M. D. 2015. Mangrove Pesisir Lampung
Timur UpayaRehabilitasi dan Peran Serta Masyarakat. Plantaxia. Yogyakarta. 89
p.
Hernowo, JB, R Soekmadi dan Ekarelawan, 1991, Kajian Pelestarian Jenis Satwaliar
di Kampus IPB Darmaga,Media Konservasi, Vol. 3No.2, Hal. 43-65
Hockey, P.A.R., Dean, W.R.J. and Ryan, P.G. 2005. Roberts birds of southern Africa.
Trustees of the JohnVoelcker Bird Book Fund, Cape Town, South Africa.
Howes, J. D., Bakewell., Y. R. Noor. 2003. Panduan StudiBurung Pantai. Buku.
Wetlands International - Indonesia Programme. Bogor. 331 p.
Howes, J., Bakewell, D. dan Noor, Y.R. 2003. Panduan Studi Burung Pantai.

https://media.neliti.com/media/publications/233891-studi-wisata-pengamatan-
burung-birdwatch-59e1d24e.pdf
Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.
Inskipp, C., Baral, H.S., Phuyal, S., Bhatt, T.R., Khatiwada, M., Inskipp, T.,
Khatiwada, A., Gurung, S.,Singh, P.B., Murray, L., Poudyal, L. and Amin, R.
2016. The Status of Nepal’s Birds: the National Red Listseries. Zoological
Society of London.
IUCN. 2016. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2016-3. Available
at:www.iucnredlist.org.

IUCN. 2017. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2017-1. Available
at: www.iucnredlist.org.
J. MacKinnon, K. Phillips, Field Guide to The Birdsof Borneo, Sumatra, Java and
Bali, Oxford UnivPress, Oxford, 1993.
Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI-Burung Indonesia. Bogor.
Junardi, E. Dewi. 2005. “Keragaman Burung Air di Kawasan Hutan Mangrove Peniti,
Kabupaten Pontianak”. Biodiversitas. Vol. 7, Nomor 1.Hal. : 63-66.
Kendeigh, S. Charles. 1961. Animal Ecology. Prentice-Hall, Inc., New York.
Kurniawan, Enal , Sugeng P. Harianto, dan Rusita, 2017, Studi Wisata Pengamatan
Burung (Birdwatching) Di Lahan Basah Desa Kibang Pacing Kecamatan
Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung, Jurusan
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung: Lampung

Kuswanda, W. 2010. Pengaruhkomposisitumbuhanterhadappopulasiburung di


TamanNasional BatangGadis, Sumatera Utara.
JurnalBalaiPenelitianKehutananAekNauli. 7(2):193—213.
Luthin, C. S. 1987. Status and conservation priorities for the world's stork species.
Colonial Waterbirds10: 181-202.
Mackinnon J, Phillipps K dan Balen BV, 2010, Burung-Burung di Sumatera, Jawa,
Bali dan Kalimantan, LIPI-Burung Indonesia, Bogor
MacKinnon J., K. Philips, B. Van Balen. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa,
Bali, danKalimantan. Buku. PuslitbangBiologi-LIPI. Bogor. 509 p.
MacKinnon, J, K, Phillips, S, van Balen, 1998, Burung-burung di Sumatera, Jawa,
Bali dan Kalimantan, Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor.
MacKinnon, J., Philips, K.., dan Van Balen, V. 2010. Burung-Burung di Sumatera,
Jawa, Bali, dan Kalimantan. Buku. PuslitbangBiologi LIPI. Bogor. 509 p.
Mackinnon, J., Phillipps, K. dan Balen, B.V. 2010. Burung-Burung di Sumatera
Mardiastuti, A. (2018) “Burung di Hutan Penelitian Dramaga GANGGUANNYA DI
HUTAN PENELITIAN DRAMAGA , BOGOR , JAWA BARAT ( Bird
Diversity in Various Habitat Types and Disturbance in Dramaga Research Forest
, Bogor , West Java ),” (June).
Marsaban, MakhlukHidupHewan Seri DasarIlmuPengetahuanAlam, Mutiara, Jakarta,
1979
May Suzan Syahputry, 2018, Keanekaragaman Spesies Burung Pada Kawasan
Ekosistem Danau Aneuk Laot Sebagai Referensi Tambahan Materi
Keanekaragaman Hayati Di Sekolah Menengah Atas Kota Sabang, Skripsi.

Nameer, P.O., Jayadevan, P., Tom, G., Sreekumar and Sashikumar, C. 2015. Long
term Population Trendsof Waterbirds in Kerala over three Decades. In: Gopi,
G.V. and S.A. Hussain (eds), ENVIS Bulletin Wildlifeand Protected Areas in
India: Waterbirds of India, pp. 44-69.
Napitu, J. P, 2007, Pengelolaan kawasan konservasi, Laporan Lapang, UGM:
Yogyakarta. 12 p.
Nicky Kindangen, 2011, Kepadatan Dan Frekuensi Jenis Burung Pemangsa Di Hutan
Gunung Empung, Tomohon, Sulawesi Utara, Jurnal Ilmiah Sains, Vol. 11 No. 1.

Noor, Y.R., Khazali, M. dan Suryadiputra, I.N.N. 2006. Panduan Pengenalan


Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor
Pande, S., Sant, N., Bhate, R., Ponkshe, A., Pandit, P., Pawashe, A. &Joglekar, C.
2007. Recent records ofwintering White Ciconia ciconia and Black C. nigra
storks and flocking behaviour of White-necked StorksC. episcopus in
Maharashtra and Karnataka states, India. Indian Birds 3(1): 28-32.
Partasasmita, Ruhyat, 2002, Ekologi Burung Pemakan Buah dan Peranannya sebagai
Penyebar Biji, (Online), (http://www.rudyct.com/PPS702-
ipb/05123/ruhyat_partasamita.htm, diakses tanggal 15 Deswmbwe 2018).
Porter, R.; Aspinall, S. 2010. Birds of the Middle East. Christopher Helm, London.

Pratiwi, A. 2005. Pengamatan Burung di Resort Bama Seksi Konservasi Wilayah II


Bekol dalam Upaya Reinventarisasi Potensi Jenis. Laporan Kegiatan Pengendali
Ekosistem Hutan, Taman Nasional Baluran.
Prijono, N.S. dan S. Handini. 1996. Me-melihara, Menangkar, dan Melatih Nuri.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Purwoko, T. 2005. Kandungan Atp Mitokondria Pada Otot-Otot Pektoral Ayam Dan
Merpati. Biosmart. 7(1): 6-8.
Rusmendro, H. 2009. Perbandingankeanekaragamanburung pada pagi dan sore
haridiempattipe habitat di wilayahPangandaranJawa Barat. Jurnal Vis Vitalis.
2(1):8—16.
Stuart Butchart, Jonathan Ekstrom, 2008, Asian Palm-swift - Lembar Fakta Spesies
Birdlife, Evaluator: Jeremy Bird, Stuart Butchart, BirdLife International
Sumaryati, S., H. Susanto, Kuswadi, & M.S.J.E. Mardiko. 2007. Jenis Burung
Karimunjawa. Edisi 1. Balai Taman Nasional Karimunjawa, Semarang.
Sundar, K. S. G. 2006. Flock size, density and habitat selection of four large
waterbirds species in anagricultural landscape in Uttar Pradesh, India:
implications for management. Waterbirds 29(3): 365-374.

Syahadat. F., Erianto, dan S., Siahaan. 2015. Studikeanekaragamanjenisburung


diurnal dihutan mangrove Pantai Air Mata PermaiKabupatenKetapang.
JurnalHutan Lestari.3(1):21—29.
Takandjandji, M. 2010.Perilaku Burung Bayan Sumba (Eclectus Roratus Cornelia
Bonaparte)
Tanudimadja. 1978. School of Environ-mental Conservation Management. Ciawi,
Bogor.
Thewlis, R. M.; Timmins, R. J.; Evans, T. D.; Duckworth, J. W. 1998. The
conservation status of birds inLaos, 8 (supplement). Bird Conservation
International.
Tyas Rini Saraswati, Silvana Tana,Dan Enny Yusuf Wachidah Yuniwarti, 2018,
Diskripsi Morfologi Skeleton Celepuk Jawa (Otus Angelina) Betina, Buletin
Anatomi Dan Fisiologi, Volume 3 Nomor 1.
Welty, J. C. 1982. The Life of Bird. Saunders College Publishing. Philadelphia.

Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.


Wetlands International. 2014. Waterbird Population Estimates. Available at:
http://wpe.wetlands.org.(Accessed: 12 June 2014).
Widyawati, FC, 2018, Inventarisasi Spesies Burung dan Determinasi Status Sebagai
Permanent dan Temporary Residence di Lingkungan Universitas Jember untuk
Penyusunan Booklet, Skripsi, Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan
Pendidikan MIPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember
Wijaya, Kusuma, 2008, Masalah Infestasi Ektoparasit Pada Beberapa Jenis Burung
Elang Di Habitat Eks-Situ, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor:
Bogor https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/3462/4/B08skw.pdf
Di akses pada 26 Desember 2018

Anda mungkin juga menyukai