Anda di halaman 1dari 154

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kolelitiasis merupakan masalah kesehatan yang banyak terjadi

dimasyarakat karena frekuensi kejadiannya yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh

kenaikan sekresi kolesterol. Angka kejadiannya lebih dari 20% dari populasi

penduduk dunia dan insiden terus meningkat dengan bertambahnya usia. Selain

usia, faktor gaya hidup yang tidak sehat merupakan salah salah faktor pencetus

terjadinya kolelitiasis ( Bada, Alvaro, 2011).

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan didalam

kandung empedu atau didalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya.

Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, atau biliary calculus. Kolelitiasis

atau batu empedu dikenal ada tiga jenis, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau

batu bilirubin, dan batu campuran. Kandung empedu terletak dibawah hati, di isi

perut bagian kanan atas, tepat dibawah lobus kanan hepar. Kandung empedu ini

memiliki fungsi untuk menyimpan dan memekatkan empedu( Ginting,2012).

Kolelitiasis dapat menimbulkan komplikasi berupa kolesistis akut yang

dapat menimbulkan peritonitis, kolesistis kronik, icterus obstruktif dan pankreatitis.

Tata laksana yang diberikan untuk pasien kolelitiasis harus mempertimbangkan

keadaan dan gejala yang dialami pasien. Tatalaksana kolelitiasis dapat berupa terapi

non bedah dan bedah. Terapi non bedah dapat berupa lisis yaitu dengan sediaan

garam empedu dan pengeluaran secara endoskopik. Sedangkan terapi bedah dapat

dilakukan dengan tindakan kolesistektomi laparaskopi(Widiastuty, Astri Sri 2010).

1
2

Bedah laparoskopi disebut juga bedah minimally invasive merupakan teknik

bedah modern dimana operasi abdomen melalui irisan kecil biasanya Operasi

dilakukan melalui tiga lubang kecil. berukuran 0,5-1 cm. dibandingkan dengan

prosedur Tradisional yang memerlukan irisan yang lebih besar, dimana tangan ahli

bedah masuk kedalam abdomen pasien. Bedah laparoskopi mencakup operasi

dalam abdomen dan pelvis kolelitiasis termasuk salah satunya. ( Ahmad fuadli,

2010)

Penyakit batu empedu telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan

sudah menjadi masalah kesehatan yang penting di negara barat. Kolelitiasis sudah

banyak ditemukan pada umumnya, 13,1% pada pria dan 33,7% pada wanita dari

11.840 orang yang dilakukan otopsi terdiagnosis kolelitiasis. Dari 20 juta orang di

negara Barat, 20% perempuan dan 8% laki-laki usia diatas 40 tahun menderita

kolelitiasis. Kolelitiasis umumnya timbul pada orang dewasa yang berusia 20-50

tahun, kira-kira 20% penderita kolelitiasis berumur diatas 40 tahun, wanita lebih

berisiko mengalami kolelitiasis karena pengaruh hormon esterogen, dan orang

dengan diabetes mellitus lebih beresiko karena memiliki kadar kolesterol yang

tinggi(Widiastuty, Astri Sri 2010).

Kejadian koletiasis di negara asia mencapai 3%-5% lebih rendah

dibandingkan negara dibagian benua eropa.di Indonesia kolelitiasis kurang

mendapat perhatian karena jarang terdeteksi atau sering juga terjadi kesalahan

dalam mendiagnosis. Kurang dari 50% penderita kolelitiasis tidak memiliki dan

tidak menunjukan keluhan, dan hampir 30% penderita saja yang menderita nyeri.

salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
3

batu pada kandung empedu atau saluran empedu dapat menggunakan CT-

Scan(Ginting, 2012).

Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis CT – scan maka

banyak penderita batu kandung empedu sebenarnya bisa terdeteksi secara dini

sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya

peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi

morbiditas dan mortalitas.( Rased, 2005)

Angka kejadian koletlitiasis ini tidak berbeda jauh dengan angka kejadian

negara lain yang ada di Asia Tenggara, hanya saja baru mendapatkan perhatian

klinis dan publikasi penelitian batu empedu masih terbatas karena sebagian besar

pasien kolelitiasis asimtomatik, namun di RSCM Jakarta dari 51 pasien dibagian

Hepatologi ditemukan 73% pasien yang menderita batu empedu pigmen dan 27%

lainnya menderita batu kolesterol. Hal ini sesuai dengan angka di negara tetangga

seperti Singapura, Thailand dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor infeksi

empedu oleh kuman E.Coli ikut berperan penting dalam timbulnya batu

pigmen(Bada, Alvaro, 2011).

Berdasarkan laporan catatan rekam medis rumah sakit Achmad Mocthar

bukitting, pada tahun 2017 angka kejadian kolelitiasis yaitu sebanyak 146

penderita. Terdiri atas 140 pasien yang sehat dan pulang kerumah, sedangkan 6

pasien dinyatakan meninggal dunia. Penderita kolelitiasis banyak didominasi oleh

perempuan yaitu 95 penderita sedangkan laki laki sebanyak 51 penderita(Catatan

rekam medis RSAM, 2017).

Berdasarkan laporan catatan registrasi perawat di ruangan bedah ambun

suri lantai II pada tahun 2017 terdapat 53 pasien yang menderita Kolelitiasis,
4

sedangkan pada tahun 2018 dari tanggal 1 januari sampai dengan 30 mei 2018

terdapat 38 pasien yang dirawat diruang bedah ambunsuri lantai II dengan

diagnosa kolelitiasis. (Catatan laporan pasien rawat inap diruangan bedah ambun

suri lantai II RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukitinggi, 2017-2018).

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk

melaksanakan Asuhan Keperawatan yang akan dituangkan dalam bentuk Karya

Ilmiah Akhir Ners dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Ny. M dengan

Gangguan Sistem Pencernaan: Post op Laparaskopi Kolelitiasis di Ruangan

Rawat Inap Bedah ambun suri lantai II RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

Tahun 2018”.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mampu memberikan Asuhan Keperawatan Pada Ny. M dengan gangguan

sistem pencernaan: Post op Laparaskopi Kolelitiasis di Ruangan Rawat Inap

Bedah ambun suri lantai II RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun

2018

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada Ny. M dengan

gangguan sistem pencernaan: Post Laparaskopi Kolelitiasis di Ruangan

Rawat Inap Bedah ambun suri lantai II RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi Tahun 2018.


5

b. Mahasiswa mampu menganalisa masalah keperawatan pada Ny. M

dengan gangguan sistem pencernaan: Post Laparaskopi Kolelitiasis di

Ruangan Rawat Inap Bedah ambun suri lantai II RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi Tahun 2018.

c. Mahasiswa mampu melakukan intervensi pada Ny. M dengan

gangguan sistem pencernaan: Post Laparaskopi Kolelitiasis di Ruangan

Rawat Inap Bedah ambun suri lantai II RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi Tahun 2018.

d. Mahasiswa mampu melakukan implementasi pada Ny. M dengan

gangguan sistem pencernaan: Post Laparaskopi Kolelitiasis di Ruangan

Rawat Inap Bedah ambun suri lantai II RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi Tahun 2018.

e. Mahasiswa mampu mengevaluasi masalah keperawatan pada Ny. M

dengan gangguan sistem pencernaan: Post Laparaskopi Kolelitiasis di

Ruangan Rawat Inap Bedah ambun suri lantai II RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi Tahun 2018.

f. Mahasiswa mampu menerapkan Evidance Based pada Ny. M dengan

gangguan sistem pencernaan: Post Laparaskopi Kolelitiasis di Ruangan

Rawat Inap Bedah ambun suri lantai II RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi Tahun 2018.

g. Mahasiswa mampu menganalisa kesenjangan teoritis, jurnal dan kasus

kelolaan Pada Ny. M dengan gangguan sistem pencernaan: Post

Laparaskopi Kolelitiasis di Ruangan Rawat Inap Bedah ambun suri

lantai II RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2018.


6

C. Manfaat

1. Bagi Rumah Sakit

Karya ilmiah ini dapat dijadikan media informasi tentang penyakit

yang diderita pasien dan bagaimana penanganannya bagi pasien dan

keluarga baik di rumah maupun dirumah sakit khususnya untuk penyakit

Post op Laparaskopi Kolelitiasis.

2. Bagi Perawat

Hasil karya ilmiah akhir ners ini dapat memberikan manfaat bagi

pelayanan keperawatan dengan memberikan gambaran dan

mengaplikasikan acuan dalam melakukan asuhan keperawatan pasien Post

op Laparaskopi Kolelitiasis

3. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat digunakan sebagai bahan untuk pelaksanaan pendidikan serta

masukan dan perbandingan untuk karya ilmiah lebih lanjut asuhan

keperawatan pasien dengan Post op Laparaskopi Kolelitiasis.

4. Bagi Mahasiswa

Diharapkan mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuan dan

pengalaman yang lebih mendalam dalam memberikan asuhan keperawatan

khususnya pada pasien dengan Post op Laparaskopi Kolelitiasis.


7

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP KOLELITIASIS

1. DEFENISI

Kolelitiasis disebut juga sinonimnya adalah batu empedu, gallstones,

biliary calculus. Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit batu empedu

merupakan penyakit yang di dalamnya terdapat batu empedu yang dapat

ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu atau

pada kedua-duanya. Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk

yang terbentuk dalam kandung empedu (Mowan 1998 dalam Gustawan

2007)

Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang

membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung

empedu. Batu empedu adalah timbunan Kristal di dalam kandung empedu

atau di dalam saluran empedu Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran

dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganic. Empedu

normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam

chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan

0,3% bilirubin (Precise, 2011).

2. ETIOLOGI

Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna

namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan

oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung

empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah


8

kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu

menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut

dan membentuk endapan di luar empedu

Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-

pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin,

kalsium dan protein (Gustawan (2007 dalam Amelia, 2013)

Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:

a. Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolesterol dan

penurunan produksi empedu.

Faktor lain yang berperan dalam pembentukan batu:

1) Infeksi kandung empedu

2) Usia yang bertambah

Peningkatan usia baik pada pria maupun wanita keduanya

meningkatkan resiko terbentuknya batu pada kandung empedu (Lin,

2014).

3) Obesitas

Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolisme umum, resistensi

insulin, diabetes melitus type II, hipertensi dan hiperlipidemia

berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatika dan

merupakan faktor resiko utama untuk mengembangkan batu empedu

kolesterol

4) Wanita

Perempuan lebih cenderung untuk mengembangkan batu empedu

kolesterol dari pada laki-laki, khususnya pada masa reproduksi.


9

Peningkatan batu empedu disebabkan oleh faktor esterogen-

progesteron sehingga meningkatkan sekresi kolesterol bilier (Chen,

2014).

5) Kurang makan sayur

6) Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol

Esterogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan

kanker prostat meningkatkan resiko batu empedu kolesterol.

Clofibrate dan obat fibrate hipolipidemic meningkatkan pengeluaran

kolesterol hepatik melalui sekresi bilier dan tampaknya

meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somastostatin

muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan

mengurangi pengosongan kandung empedu

b. Batu pigmen empedu ada dua macam:

1) Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan

disertai hemolisis kronik/sirosis hati tanpa infeksi

2) Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan

di sepanjang saluran empedu, disertai bendungan dan infeksi

c. Batu saluran empedu

Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum di daerah vateri. Ada

dugaan bahwa kelainan anatomi atau pengisian divertikula oleh

makanan akan menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledokus dan

bendungan ini memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
10

pada saluran empedu lainnya (Smeltzer dan Bare, 2002 dalam Amelia

2013).

Faktor predisposisi yang penting adalah :

1) Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan

empedu

2) Statis empedu

3) Infeksi kandung empedu

Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling

penting pada pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan

mengendap dalam kandung empedu. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau

tanpa faktor resiko. Semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang,

semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis

Faktor resiko terjadinya kolelitiasis:

1) Wanita ( beresiko dua kali lebih besar dibanding laki-laki)

2) Usia lebih dari 40 tahun

3) Kegemukan (obesitas)

4) Faktor keturunan

5) Aktivitas fisik

6) Kehamilan

7) Hiperlipidemia

8) Diet tinggi lemak dan rendah serat

9) Pengosongan lambung yang memanjang

10) Nutrisi intravena jangka lama

11) Dismotilitas kandung empedu


11

12) Obat-obatan antihiperlipidemia

13) Penyakit lain ( fibrosis sistik, diabetes mellitus, serosis hati,

pancreatitis, kanker kandung empedu, dan penyakit ileus) (Tsai CJ,

2006).

3. KOMPOSISI CAIRAN EMPEDU

Komposisi Cairan Empedu

Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %

Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

Elektrolit - -

a. Garam Empedu

Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua

macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.

Fungsi garam empedu adalah :

1) Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat

dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah

menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.


12

2) Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan

vitamin yang larut dalam lemak

Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-

kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian

besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi

kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan

bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu

tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada

gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau

reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.

b. Bilirubin

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme

dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole

menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini

di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas

diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi

pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka

bilirubin yang terbentuk sangat banyak.

4. KLASIFIKASI

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di

golongkankan atas 3 (tiga) golongan:

a. Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari

70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu
13

yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol

diperlukan 3 faktor utama :

1) Supersaturasi kolesterol

2) Hipomotilitas kandung empedu

3) Nukleasi/ pembentukan nidus cepat (Hunter, 2014).

b. Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang

mengandung <20% kolesterol.

Jenisnya antara lain:

1) Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan

dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.

Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan

infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya

disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit.

Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim

B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi

menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat

bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari

penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara

infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu

pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang

terinfeksi (Gustawan, 2007 dalam Amelia, 2013)


14

2) Batu pigmen hitam.

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk,

seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada

pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam

ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis

terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam

terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.

3) Batu campuran

Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana

mengandung 20-50% kolesterol (Hung,2011 dalam Lesmana,

2014).

Gambar 1. Klasifikasi batu dalam kandung empedu


15

5. PATOGENESIS BENTUKAN BATU EMPEDU

Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang

terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian

dari Tetsuo Maki tahun 1995 sebagai berikut :

a. Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa

berupa sebagai :

1) Batu Kolesterol Murni

2) Batu Kombinasi

3) Batu Campuran (Mixed Stone)

b. Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar

kolesterolnya paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai :

1) Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calsium

2) Batu pigmen murni

c. Batu empedu lain yang jarang

Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi :

1) Batu Kolesterol

2) Batu Campuran (Mixed Stone)

3) Batu Pigmen (Lesmana, 2006 dalam Amelia, 2013).


16

Batu Kolesterol

Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase :

a. Fase Supersaturasi

Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah

komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan

tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu

ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan

kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam

empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan

supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1

: 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap (Erpecum, 2011).

Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :

1) Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu

dan lecithin jauh lebih banyak.

2) Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga

terjadi supersaturasi.

3) Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)

4) Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan

tinggi.

5) Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada

gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan

sirkulasi enterohepatik).
17

6) Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan

kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya

melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol.

Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya

sampai tiga tahun (Gustawan, 2007 dalam Amelia, 2013)

b. Fase Pembentukan inti batu

Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti

batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-

sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal

kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam

empedu.

c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.

Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup

waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana

kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti

batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila

konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat

supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut (Guyton & Hall, 2008).

Batu bilirubin/Batu pigmen

Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok :

a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi)

b. Batu pigmen murni (batu non infeksi)


18

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :

a. Saturasi bilirubin

Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena

pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit

Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi

konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi

karena adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia

Coli. Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton

yang menghambat kerja glukuronidase.

b. Pembentukan inti batu

Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa

juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki

melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan

dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam

mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang (Sjamsuhidayat,

2010).

6. PERJALANAN BATU EMPEDU

Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada

pembentukan foto polos abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan

memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher kandung empedu (duktus

sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi keduktus sistikus akan

menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan

infeksi. Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran

klinis kolesistitis akut atau kronik. Batu yang bermigrasi ke duktus


19

koledokus dapat lewat ke doudenum atau tetap tinggal diduktus yang dapat

menimbulkan ikterus obstruktif.

7. PATOFISIOLOGI

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: pembentukan

empedu yang supersaturasi, nukleasi atau pembentukan inti batu, dan

berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol

merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu,

kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila

perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan

kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak

larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam

bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral

kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan

lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu

rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti

pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal

kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu

pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri,

fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain

diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Hunter, 2014).


20

8. MANIFESTASI KLINIS

Penderita kolelitiasis sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut

atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada

abdomen bagian atas, terutama di tengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar

ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat

banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering

terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali

terulang (Hunter, 2014).

Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi

beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat

riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang

berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan

tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat

menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi

kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau

duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan

permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu

dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau

menyebakan ruptur dinding kandung empedu (Beat, 2008).

Menurut (Doherty, 2015) penderita batu saluran empedu sering mempunyai

gejala-gejala kronis dan akut.


21

GEJALA AKUT GEJALA KRONIS

TANDA : TANDA:
1. Epigastrium kanan terasa nyeri dan 1. Biasanya tak tampak gambaran pada
spasme abdomen
2. Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada
2. Kadang terdapat nyeri di kuadran
kuadran kanan atas kanan atas
3. Kandung empedu membesar dan nyeri
4. Ikterus ringan
GEJALA: GEJALA:
1. Rasa nyeri (kolik empedu) yang Rasa nyeri (kolik empedu),
Menetap Tempat : abdomen bagian atas (mid
2. Mual dan muntah epigastrium),
3. Febris (38,5°°C) Sifat : terpusat di epigastrium
menyebar ke arah skapula kanan
2. Nausea dan muntah
3. Intoleransi dengan makanan
berlemak
4. Flatulensi
5. Eruktasi (bersendawa)

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan

kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan

akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan

ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus

koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin

disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali

serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat

sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut


22

b. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas

karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat

radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu

berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan

akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung

empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan

atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura

hepatica (William, 2013).

Gambar 2. Foto rongent pada kolelitiasis

c. USG

Menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya batu

empedu dan distensi saluran empedu ( frekuensi sesuai dengan prosedur

diagnostik). Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan

sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan

pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan


23

USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena

fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain.

Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi

karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum

maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih

jelas daripada dengan palpasi biasa.

Gambar 3. Foto USG pada kolelitiasis

d. Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP)

Bertujuan untuk melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu

melalui ductus duodenum (Hunter, 2014).

e. PTC (perkutaneus transhepatik cholengiografi)

Pemberian cairan kontras untuk menentukan adanya batu dan cairan

pankreas.
24

f. Cholecystogram (untuk Cholesistitis kronik)

Menunjukkan adanya batu di sistim billiar. Pada penderita tertentu,

kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,

sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga

dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal

pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2

mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan

tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi

oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu

g. CT Scan

Menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran empedu,

obstruksi/obstruksi jaundice (Alina, 2008)

10. PENATALAKSANAAN

Terdapat dua bentuk penatalaksanaan medis yaitu bedah, non bedah dan

manajemen nutrisi yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Penatalaksanaan Non Bedah

1) Farmakologis

a) Untuk menghancurkan batu : Irsidiol, Actigal. Efek samping :

diare, bersifat hepatotoksik pada fetus sehingga kontra indikasi

untuk ibu hamil.

b) Mengurangi konten kolesterol dalam nbatu empedu :

Chenodiol/Chenix

c) Untuk mengurangi gatal-gatal : Choletyramine (Questran)

d) Menurunkan rasa nyeri : analgesik


25

e) Mengobati infeksi : Antibiotik (Alina, 2008 dalam

Sjamsuhidayat, 2010).

2) Pengangkatan batu tanpa operasi

a) Pelarutan batu empedu, dengan menginfuskan suatu bahan

pelarut (mono-oktanoin atau metil tertierbutil eter/MTBE) ke

dalam batu empedu. Dapat diinfuskan atau melalui selang kateter

yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu,

melalui selang matau drain yang dimasukkan melalui saluran T

tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan saat

pembedahan, melalui ERCP atau kateter bilier transnasal.

b) Pengangkatan non bedah, Sebuah kateter dan alat disertai jaring

yang terpasang padanya disisipkan melalui saluran T Tube, jaring

digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang

terjepit dalam dukts koledokus.

c) Extracorpreal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL), menggunakan

gelombang kejut berulang (repeated shock wave) yang diarahkan

kepada batu empedu untuk memecah batu tersebut menjadi

sejumlah fragmen (Alina, 2008).

b. Pembedahan

Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang

meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan

untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi).

Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi

dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.


26

1) Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien

denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna

yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada

0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini

kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi

adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

2) Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun

1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara

laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara

ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal

(0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi

pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang

yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut

(Sjamsuhidayat, 2010 dalam Doherty, 2015)

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik

tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya

pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada

pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus

koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan

prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di

rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat

kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah


27

yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,

berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus

biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama

kolesistektomi laparaskopi (Suratun,2010).

Gambar 4. Kolesistektomi laparaskopi

c. Disolusi medis

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah

digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang

dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu

empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam

xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya

batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,

kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu

empedu dilakukan cara ini an sukses. Disolusi medis sebelumnya harus

memenuhi criteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol

diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu

baik dan duktus sistik paten (Hunter, 2014).


28

d. Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang

poten (Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu

melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam

melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini

invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi

(50% dalam 5 tahun) (Garden, 2007).

e. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-

manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas

pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani

terapi ini (Alina,2008).

Gambar 5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

1. Kolesistotomi

Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di

samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang

bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya kritis.

2. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)


29

Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,

kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak

masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter

oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu

empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan

sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari

setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi,

sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP

saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang

lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat (Sjamsuhidayat, 2010).

Gambar 6. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

11. KOMPLIKASI

a. Kolesistisis : Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu

tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan

kandung empedu.
30

b. Kolangitis : Peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang

menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran

menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.

c. Hidrops : Disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat

diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal.

d. Empiema : Kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat

membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.

e. Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan oleh adhesi yang

ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Perforasi bebas

lebih jarang terjadi tetapi mengakibatkan kematian sekitar 30%.

f. Ileus batu empedu : obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh

lintasan batu empedu yang besar kedalam lumen usus Girsang (2013)

Selain itu, komplikasi dari koleliatiasis menurut Suratun (2010) adalah :

a. Obstruksi duktus sistikus

b. Kolik bilier

c. Perikolistitis

d. Peradangan pankreas (pankreatitis)

e. Fistel kolesistoenterik

f. Batu empedu sekunder (pada 2-6% klien) saluran empedu menciut

kembali dan batu muncul lagi) (Garden, 2007 dalam Beat, 2008).
31

12. PENCEGAHAN

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis

pada orang sehat yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis.

Pencegahan primer yang dilakukan terhadap individu yang memiliki

risiko untuk terkena kolelitiasi adalah dengan menjaga kebersihan

makanan untuk mencegah infeksi, misalnya S.Thyposa, menurunkan

kadar kolesterol dengan mengurangi asupan lemak jenuh, meningkatkan

asupan sayuran, buah-buahan, dan serat makanan lain yang akan

mengikat sebagian kecil empedu di usus sehingga menurunkan risiko

stagnasi cairan empedu di kandung empedu , minum sekitar 8 gelas air

setiap hari untuk menjaga kadar air yang tepat dari cairan empedu.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini

terhadap penderita kolelitiasis dan biasanya diarahkan pada individu

yang telah positif menderita kolelitiasis agar dapat dilakukan pengobatan

dan penanganan yang tepat. Pencegahan sekunder dapat dilakukan

dengan non bedah ataupun bedah. Penanggulangan non bedah yaitu

disolusi medis, ERCP, dan ESWL. Penanggulangan dengan bedah

disebut kolesistektomi

c. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan perawatan paliatif

dengan tujuan mempertahankan kualitas hidup penderita dan

memperlambat progresifitas penyakit dan mengurangi rasa nyeri


32

dan keluhan lain. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan

memerhatikan asupan makanan. Intake rendah klorida, kehilangan

berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal)

mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan

dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu (Thresia,

2017)

B. ANATOMI FISIOLOGI

1. DEFINISI KANDUNG EMPEDU

Batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk

dikandung empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran

empedu sehingga dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam

jiwa (Sjamsuhidayat, 2010 dalam Stinton, 2012).

2. ANATOMI KANDUNG EMPEDU

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah pir

yang terletak di bagian sebelah dalam hati (scissura utama hati) di antara

lobus kanan dan lobus kiri hati. Panjang kurang lebih 7,5 – 12 cm, dengan

kapasitas normal sekitar 35-50 ml (Williams, 2013). Kandung empedu

terdiri dari fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus mempunyai

bentuk bulat dengan ujung yang buntu. Korpus merupakan bagian terbesar

dari kandung empedu yang sebagian besar menempel dan tertanam didalam

jaringan hati sedangkan Kolum adalah bagian sempit dari kandung empedu

(Williams, 2013 dalam Hunter, 2014). Kandung empedu tertutup

seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi infundibulum kandung

empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila


33

kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian

infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong

Hartmann (Sjamsuhidayat, 2010).

Gambar 8. Anatomi kandung empedu (Paulsen, F. 2013)

Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm dengan

diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup berbentuk spiral

yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut mengatur cairan
34

empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan tetapi dapat

menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus bergabung dengan

duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris komunis

(Sjamsuhidayat, 2010 dalam Williams,2013).

Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm

merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus

kiri. Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus

komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang

memiliki panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke

dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Duktus koledokus

berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding

duodenum membentuk papila vater yang terletak di sebelah medial

dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi yang

mengatur aliran empedu masuk ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus

umumnya bermuara ditempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam

papila vater, tetapi dapat juga terpisah (Sjamsuhidayat, 2010 dalam

Doherty, 2015).

Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistikus yang

terbagi menjadi anterior dan posterior dimana arteri sistikus merupakan

cabang dari arteri hepatikus kanan yang terletak di belakang dari arteri duktus

hepatis komunis tetapi arteri sistikus asesorius sesekali dapat muncul

dari arteri gastroduodenal. Arteri sistikus muncul dari segitiga Calot

(dibentuk oleh duktus sistikus, common hepatic ducts, dan ujung hepar)

(Williams, 2013).
35

3. FISIOLOGI SALURAN EMPEDU

Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai reservoir (wadah) dari

cairan empedu sedangkan fungsi primer dari kandung empedu adalah

memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium (Doherty, 2015).

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Dalam

keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialirkan ke dalam kandung

empedu dan akan mengalami pemekatan 50%. Setelah makan, kandung

empedu akan berkontraksi, sfingter akan mengalami relaksasi kemudian

empedu mengalir ke dalam duodenum. Sewaktu-waktu aliran tersebut dapat

disemprotkan secara intermitten karena tekanan saluran empedu lebih tinggi

daripada tahanan sfingter. Aliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor yaitu

sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan dari

sfingter koledokus (Sjamsuhidayat, 2010 dalam Williams, 2013).

Menurut Guyton & Hall, 2008 empedu melakukan dua fungsi penting

yaitu :

 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan

absorpsi lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara

lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel

lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan

enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, asam empedu

membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna

menuju dan melalui membran mukosa intestinal.

 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa

produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu
36

produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan

kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.

Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon

kolesistokinin, hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum

sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan

adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas

pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter

oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum.

Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-

serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan

enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke

dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan

kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan

kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang

adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara

menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam (Townsend, 2012).

Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar

(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam

anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan

berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme

umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau

diperlukan (sjamsuhidayat, 2010 dalam Hunter 2014).


37

4. PENGOSONGAN KANDUNG EMPEDU

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial

kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan

berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon

kolesistokinin dari mukosa duodenum. Hormon kemudian masuk kedalam

peredaran darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat

yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus koledokus

dan ampula mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya

empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam-garam empedu dalam

cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus

dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak (Hunter, 2014).

Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :

a. Hormonal

Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan

merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.

Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung

empedu.

b. Neurogen

Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi

cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan

menyebabkan kontraksi dari kandung empedu. Rangsangan langsung

dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai

sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu

lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.


38

Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis

maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti

batu (Williams, 2013).

5. KOMPOSISI CAIRAN EMPEDU

Komposisi Cairan Empedu

Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %

Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

Elektrolit - -

d. Garam Empedu

Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada

dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.

Fungsi garam empedu adalah :

 Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang

terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar


39

dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat

dicerna lebih lanjut.

 Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan

vitamin yang larut dalam lemak

Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-

kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian

besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi

kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan

bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu

tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada

gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau

reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.

e. Bilirubin

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi

heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti

pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin

bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian

bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh

glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan

misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak

(Garden,2007).
40

C. KONSEP LAPAROSKOPI

1. Definisi Laparoskopi

Bedah laparoskopi, disebut juga bedah minimally invasive, atau keyhole

surgery merupakan teknik bedah modern dimana operasi abdomen melalui

irisan kecil (biasanya 0,5-1 cm) dibandingkan dengan prosedur bedah

tradisional yang memerlukan irisan yang lebih besar, dimana tangan ahli

bedah masuk ke badan pasien. Beberapa praktisi kadang- kadang

menggunakan istilah yang salah yaitu bedah mikroskopik, ini mengacu

pada irisan yang kecil. Laparoskopi mencakup operasi dalam abdomen

dan pelvis. Teknologi ini menggunakan lensa teleskop untuk mendapatkan

gambaran yang jelas pada layar monitor. Operator dalam melaksanakan

operasi menggunakan hand instrument. Lapangan operasi pada abdomen

diperluas dengan dimasukkannya gas karbondioksida. Laparoskopi bedah

sekarang menjadi standar untuk pengelolaan pasien kolelitiasis (Wikipedia,

2009 dalam Fuadi, 2010).

Teknik pembedahan dengan laparoskopi sekarang menjadi pilihan

(Leo et al., 2006) dan gold standard (Tayeb et al., 2005) untuk

kolesistektomi. Teknik ini memberikan banyak keuntungan yaitu

meningkatkan pemulihan pasien dengan mengurangi nyeri, waktu tinggal di

rumah sakit lebih pendek, dan lebih cepat kembali ke aktivitas harian yang

normal (Vittimberga et al., 1998; MacFadyen, 2004; Tayeb et al., 2005;

Leo et al., 2006). Bedah laparoskopi berhubungan dengan insisi kulit yang

kecil sehingga membuat kondisi setelah operasi lebih menyenangkan bagi

pasien (Schietroma et al., 2004 dalam Fuadi, 2010).


41

2. Instrument laparoskopi

Elemen kunci pada laparoskopi adalah penggunaan laparoskop.

Ada dua tipe laparoskop yaitu: (1) sistem teleskop batang, yang biasanya

dihubungkan dengan kamera video (single chip atau three chip); (2)

laparoskop digital dimana charge-couple device ditempatkan pada ujung

laparoskop. Laparoskopi juga menggunakan lampu yang dingin seperti

halogen atau xenon. Lapangan operasi dilihat dengan hand instrument

yang dimasukkan abdomen melalui trokar 5 mm atau 10 mm. Gas

karbondioksida dimasukkan ke dalam abdomen sehingga menaikkan

dinding abdomen di atas organ intraabdomen menjadi seperti kubah

untuk menghasilkan ruang bekerja. Penggunaan gas karbondioksida

karena gas terdapat tubuh manusia dan dapat diserap oleh jaringan dan

dibuang melalui sistem pernafasan. Selain itu, karbondioksida juga tidak

mudah terbakar, sehingga tidak menggang gu alat kauter selama

prosedur laparoskopi (Wikipedia, 2009 dalam Fuadi, 2010).

Perlengkapan yang dibutuhkan dalam laparoskopi menurut Scott-

Conner (2006) adalah sebagai berikut: meja operasi elektrik (bila tersedia),

dua video monitor, suction irrigator, electrosurgical unit dengan bantalan

ground, ultrasonically activated scissors, scalpel, perlengkapan

laparoskop lain: sumber cahaya, insufflator, video cassette recorder (VCR),

color printer, monitor on articulating arm, camera-processor unit. C-arm

x-ray unit (jika direncanakan cholangiography), meja mayo yang

dilengkapi instrumen laparoskopi, antara lain: scalpel nomor 11 dan 15

beserta pegangannya, towel clips, Veress needle, pipa insufflator dengan


42

micropore filter, kabel fiberoptik dihubungkan ke laparoskop dengan

sumber cahaya, video kamera dengan kabelnya, kabel yang

dihubungkan instrumen laparoskopi ke electrosurgical unit, curved

hemostatic forceps, retraktor kecil untuk umbilikus, trocar.laparoscopic

instruments, antara lain: atraumatic graspers; Locking toothed jawed

graspers; needle holders; dissectors: curved, straight, right-angle; bowel

grasping forceps; babcock clamp; scissors: metzenbaum, hook, microtip;

fan retractors: 10mm, 5mm; specialized retractors, seperti endoscopic

curved retractors; biopsy forceps; tru-Cut biopsy-core needle, monopolar

electrocautery dissection tools, yang terdiri dari: L-shaped hook dan spade-

type dissector/coagulator, ultrasonically activated scalpel, antara lain:

scalpel, ball coagulator, hook dissector, dan scissors

dissector/coagulator/transector endocoagulator probe, basket yang terdiri

dari: clip appliers, endoscopic stapling devices, pretied suture ligatures,

endoscopic suture materials, dan extra trocars.


43

Gambar 9.

Instrumen laparoskopi: (a) ruang laparoskopi modern; (b) Laparoscpy set; (c)

Veress needle dan trokar; (d) Irrigator, cauter monopolar dan bipolar; (e)

Grasper, disector, scissor; (f) Clip applicator

3. Penggunaan Laparoskopi

Prosedur laparoskopi dapat dipergunakan untuk bermacam-macam

pembedahan seperti laparoscopic cholecystectomy, laparoscopic common bile

duct surgery, laparoscopic fundoplication for GERD, laparoscopic Nissen and

Toupet fundoplication, laparoscopic gastric banding for morbid obesity,

laparoscopic Heller esophagomyotomy for achalazia, laparoscopic

splenectomy, laparoscopic appendectomy, laparoscopic left colectomy,


44

laparoscopic right colectomy, laparoscopic total colectomy, laparoscopic

rectopexy for rectal prolapse, laparoscopic hernia repair, dan lain-lain

(Dulucq, 2005 dalam Fuadi, 2010).

Gambar 10

4. Koleistektomi

Kolesistektomi terbuka merupakan tindakan pembedahan abdomen

yang besar, dimana ahli bedah mengambil kandung empedu melalui

irisan panjang 10-18 cm. Kolesistektomi terencana pertama dilakukan

oleh Karl Lungenbach dari Jerman pada tahun 1882. Lebih dari satu abad,

kolesistektomi terbuka menjadi standar pengelolaan kolelitiasis

simtomatis. Pasien biasanya harus menginap di rumah sakit untuk

beberapa hari dan membutuhkan pemulihan beberapa hari di rumah

(Wikipedia, 2009 dalam Fuadi, 2010).

Laparoskopi kolesistektomi pertama dilakukan oleh Phillipe

Mouret tahun 1987. Banyak ahli bedah kemudian berusaha mencoba


45

teknik baru ini. Awalnya banyak operasi yang didorong oleh permintaan

yang kuat dari masyarakat dan didukung oleh perusahaan komersial

(MacFadyen, 2004). Pada saat ini, kolesistektomi per laparoskopi

merupakan metode pilihan (Leo et al., 2006; Schietroma et al., 2004)

dan menjadi gold standart pengelolaan kolelitiasis simtomatis (Tayeb et

al., 2005). Bedah laparoskopi mempunyai beberapa keuntungan antara

lain pasien cepat pulih, sedikit nyeri, dan lebih cepat kembali bekerja

(Vittimberga, 1998). Bedah laparoskopi berhubungan dengan insisi kulit

yang kecil sehingga membuat kondisi setelah operasi lebih menyenangkan

bagi pasien (Schietroma et al., 2004 dalam Fuadi, 2010).

Teknik ini memberikan banyak keuntungan yaitu meningkatkan

pemulihan pasien dengan mengurangi nyeri, waktu tinggal di rumah sakit

lebih pendek, dan lebih cepat kembali ke aktivitas harian yang normal

(Vittimberga et al., 1998; MacFadyen, 2004; Tayeb et al., 2005; Leo et al.,

2006). Bedah laparoskopi berhubungan dengan insisi kulit yang kecil,

sehingga membuat kondisi setelah operasi lebih menyenangkan bagi

pasien (Haris, 2008). Pendekatan ini juga lebih hemat bagi penyelenggara

kesehatan (Schietroma et al, 2004 dalam Fuadi, 2010).

5. Prosedur

Laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur laparoskopi yang

paling sering dijalankan. Pada prosedur ini, instrumen 5-10 mm (seperti

grasper, gunting, clip applicator) dapat dimasukkan oleh ahli bedah ke


46

dalam abdomen melalui trokar (pipa lubang dengan pengunci agar gas

karbondioksida tidak keluar) (Wikipedia, 2009 dalam Fuadi, 2010).

Laparoskopi kolesistektomi umumnya menggunakan empat port,

yaitu (1) Port untuk laparoskop yang ditempatkan dekat umbilicus (port

A), ukuran port tergantung dari ukuran laparoskop yang akan

dipergunakan (10 mm atau 5 mm); (2) Port untuk operasi merupakan port

operasi utama, diletakkan di bawah liver sedikit di kanan ligamentum

falsifarum (port B) dan diletakkan setelah visualisasi laparoskopi dapat

terlihat dengan jelas, untuk menghindari cidera arteri epigastrica

inferior pada sarung rectus, maka dibutuhkan transiluminasi dinding

abdomen; (3) dan (4) Port pembantu, jumlahnya dua buah, ditempatkan

pada lateral sarung rectus dan di bawah tepi bawah liver (port C dan D)

(Whelan, 2006 dalam Fuadi, 2010).

Pneumoperitoneum dapat dilakukan dengan menggunakan veress

needle atau secara open. Kemudian ditempatkan empat trokar dengan

posisi seperti yang terlihat pada Gambar 2. Proses laparoskopi disajikan

pada Gambar 3. Laparoskop digunakan untuk melihat seluruh rongga

abdomen. Usus halus dimobilisir. Lobus kiri hepar diangkat untuk

memperlihatkan kandung empedu. Kandung empedu dipegang dengan

forcep yang tidak traumatik. Tarik kandung empedu ke arah luar untuk

memperlihatkan Calot’s triangle. Peritoneum dekat leher kandung

empedu dibuka untuk identifikasi ductus cysticus. Selanjutnya,

dilakukan klip tiga buah pada ductus cysticus, sedangkan ductus cysticus

dipotong dengan meninggalkan dua buah klip. Arteri cystica diidentifikasi


47

dengan cara klip dua buah dan dipotong diantaranya. Kandung empedu

dibebaskan dari perlekatannya di liver, kemudian dikeluarkan melalui port

A atau B (Dulucq, 2005 dalam Fuadi 2010).

Gambar. 11

Proses laparoskopi: (a) Mulai insuflasi menggunakan Veress needle,

memasukkan trokar serta memasukkan kamera; (b) Identifikasi ductus cysticus

dan arteri cystica; (c) Melakukan klip; (d) Membebaskan kandung empedu dari

perlekatan di liver
48

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


PADA PASIEN KOLELITIASIS

1. PENGKAJIAN

1) Identitas Klien : Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,umur,

pekerjaan, nama ayah/ ibu, pekerjaan, alamat, agama, suku bangsa,

pendidikan terakhir. Masalah ini biasanya di alami oleh wanita

dengan usia lebih dari 40 tahunRiwayat Kesehatan

2) Keluhan Utama

Pre Op: biasanya klien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri

perut bagian kanan atas disertai mual dan muntah.

Post Op: klien mengatakan terdapat luka jahit bekas operasi yang

ditutupi kassa dan dibaluti kain pada perut kanan bagian atas, klien

mengeluh nyeri pada luka post op.

3) Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya pasien mengeluh nyeri perut bagian kanan atas. Biasanya

nyeri menjalar hingga ke punggung. Nyeri yang dirasakan hilang

timbul dan bisa mengganggu aktivitas pasien.

P: biasanya nyeri bertambah ketika ada penekanan pada abdomen

Q: nyeri seperti di tusuk

R: abdomen kuadran kanan atas

S: nyeri menjalar atau tidak

T: biasanya nyeri yang dirasakan hilang timbul

Pada saat pengkajian luka post op, terdapat bekas luka operasi

pada abdomen pasien. Luka ditutup dengan kassa. Saat dilakukan


49

pengkajian pada luka post op, luka masih lembab. Pasien biasanya

mengeluh nyeri pada luka post op. Namun nyeri akan berkurang jika

pasien beristirahat.

4) Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien mengatakan bahwa ia belum pernah mengalami penyakit dan

keluhan seperti yang dialaminya saat ini. Lakukan pengkajian

mengenai obesitas, diabetes mellitus, hiipertensi sebagai faktor

pengembangan terbentuknya batu empedu.

5) Riwayat Kesehatan Keluarga

Orang dengan riwayat kolelitiasis memiliki resiko lebih besar

dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.

a. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum
a) Penampilan Umum
Mengkaji tentang berat badan dan tinggi badan klien
b) Kesadaran
Kesadaran mencakup tentang kualitas dan kuantitas keadaan
klien.
c) Tanda-tanda Vital
Mengkaji mengenai tekanan darah, suhu, nadi dan respirasi
(TPRS)
2) Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu.
Biasanya pada penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan
teraba oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada kandung
empedu.
Pola aktivitas
1) Nutrisi
Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan
2) Aktivitas
50

Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas


dan anjuran bedrest
3) Aspek Psikologis
Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana
hati
4) Aspek penunjang
a) Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin,amylase serum
meningkat)
Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter

b. Data Psikologis, Sosial dan Spiritual

1) Data Psikologis

Ekspresi tampak cemas dengan keadaan penyakitnya dan klien

sering bertanya-tanya tentang penyakitnya

2) Data Sosial

Klien dapat berkomunikasi dengan pasien lain dengan orang yang

membezuk, keluarga, perawat dan tim kesehatan lainnya terbukti

dengan klien dapat mengungkapkan keluhannya

3) Data Spiritual

Klien beragama Islam sering sering terlihat sedang berdo’a dan

shalat walaupun sambil berbaring.


51

2. ANALISA DATA

MASALAH
NO DATA ETILOGI
KEPERAWATAN
Pre operasi
1 DS: Proses inflamasi Nyeri akut
a. Pasien biasanya
mengatakan nyeri
pada perut kanan
b. Nyeri menjalar ke
daerah punggung
c. Nyeri terasa hilang
timbul
d. Nyeri berkurang jika
beristirahat
DO:
a. Pasien biasanya
tampak meringis
b. Pasien biasanya
tampak memegang
daerah perut
c. Pasien biasanya
tampak gelisah
d. TTV biasanya
mengalami
peningkatan
2 DS: Mual muntah Ketidakseimbangan
a. Pasien biasanya (intake tidak nutrisi kurang dari
mengatakan tidak adekuat) kebutuhan tubuh
nafsu makan
b. Pasien biasanya
mengatakan
mengalami
penurunan berat
badan selama satu
bulan terakhir
c. Pasien biasanya
mengatakan mual
dan muntah saat
makan
DO:
a. Pasien biasanya
tampak lemas
b. Turgor kulit kering
c. Mukosa bibir kering
d. Porsi diit dihabiskan
kurang dari ½ porsi
52

3 DS: Kelemahan fisik Defisit perawatan


a. Pasien biasanya diri
mengatakan sering
merasa lemas
b. Pasien mengatakan
selalu ingin tidur
c. Pasien mengatakan
mudah lelah jika
beraktivitas akibat
nyeri yang dirasakan
d. Pasien mengatakan
susah untuk merawat
diri
DO:
a. Pasien tampak lemas
b. Pasien tampak
kusam
c. Pakaian pasien
terlihat berantakan
d. Pasien sudah
mengeluarkan bau
tidak sedap
4 DS: Kurangnya Ansietas
a. Pasien mengatakan pengetahuan
takut untuk
menjalani operasi
b. Pasien mengatakan
cemas
c. Pasien mengatakan
dada terasa
berdebar-debar
DO:
a. Pasien tampak
tegang
b. Pasien tampak pucat
c. Pasien tampak
tremor
d. Pasien sering
menanyakan
penyakitnya
Post operasi
5 DS : Luka post Kerusakan
a. Pasien mengatakan laparoskopi integritas kulit
terdapat luka jahit
post operasi di perut
sebelah kanan yang
ditutupi kassa
53

b. Pasien mengatakan
luka belum kering
DO:
a. Tampak luka jahit
post operasi di peruti
sebelah kanan yang
ditutupi kassa dan
b. Luka tampak basah

6 DS: Agen cidera Nyeri akut


a. Pasien mengatakan biologis
nyeri pada luka post
operasi
b. Pasien mengatakan
nyeri saat disentuh
c. Pasien mengatakan
nyeri saat bergerak
DO :
a. Pasien tampak
meringis
b. Skala nyeri 4-5
c. Pasien tampak
memegang area yang
sakit
d. Pasien tampak
tegang
7 DS: Proses injury Resiko infeksi
a. Pasien mengatakan
luka post op terasa
nyeri
b. Pasien mengatakan
luka masih lembab
c. Pasien mengatakan
gatal-gatal di daerha
sekitar bekas luka
post op
DO:
a. Luka post op tampak
lembab
b. Area sekitar luka
tampak kemerahan
8 DS: Nyeri pada luka Hambatan
a. Pasien mengatakan post operasi mobilitas fisik
susah bergerak dan
berjalan karena nyeri
54

pada luka post


operasi
b. Pasien mengatakan
hanya berbaring
ditempat tidur
c. Pasien mengatakan
aktifitas sehari-hari
pasien dibantu oleh
keluarga
Do:
a. Pasien tampak susah
bergerak
b. Pasien tampak
meringis saat
bergerak
c. Pasien tampak
terbaring ditempat
tidur
d. Pasien tampak
aktifitas sehari-hari
dibantu oleh
keluarga
9 DS: Nyeri post Gangguan pola
a. Pasien mengatakan operasi tidur
susah tidur
b. Pasien mengatakan
sering terbangun
karena nyeri
c. Pasien mengatakan
tidur <4 jam/hari
DO:
a. Pasien tampak lemas
b. Pasien tampak
kusam
c. Bola mata terlihat
cekung

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Pre operasi

1) Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi

2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan mual muntah dan intake nutrisi yang tidak adekuat .


55

3) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik

4) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

b. Post operasi

1) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan luka post

laparoskopi

2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis

3) Resiko infeksi berhubungan dengan proses injury

4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka

post laparoskopi

5) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri post laparoskopi


56

4. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan
Hasil
1. Nyeri akut NOC : NIC :

 Pain Level Pain Management


 Pain control
 Comfort level  Lakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif
Kriteria Hasil : termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
 Mampu frekuensi, nyeri
mengontrol nyeri  Observasi reaksi nonverbal
(tahu penyebab dari ketidaknyamanan
nyeri, mampu  Gunakan teknik
menggunakan komunikasi terapeutik
tehnik untuk mengetahui
nonfarmakologi pengalaman nyeri pasien
untuk mengurangi  Evaluasi pengalaman nyeri
nyeri, mencari masa lampau
bantuan)  Kontrol lingkungan yang
 Melaporkan bahwa dapat mempengaruhi nyeri
nyeri berkurang seperti suhu ruangan,
dengan pencahayaan dan
menggunakan kebisingan
manajemen nyeri  Pilih dan lakukan
 Mampu mengenali penanganan nyeri
nyeri (skala, (farmakologi, non
intensitas, farmakologi dan inter
frekuensi dan tanda personal)
nyeri)  Kaji tipe dan sumber nyeri
 Menyatakan rasa untuk menentukan
nyaman setelah intervensi
nyeri berkurang  Ajarkan tentang teknik non
 Tanda vital dalam farmakologi
rentang normal  Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
57

 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
 Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri

Analgesic Administration

 Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
 Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan
beratnya nyeri
 Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
 Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
 Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
 Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan gejala
(efek samping)
58

2. Ketidakseimba NOC : NIC :


ngan nutrisi
kurang dari  Nutritional Status : Nutrition Management
kebutuhan food and Fluid
tubuh Intake  Kaji adanya alergi makanan
 Anjurkan pasien untuk
Kriteria Hasil : meningkatkan intake nutrisi
 Yakinkan diet yang
 Adanya dimakan mengandung
peningkatan berat tinggi serat untuk mencegah
badan sesuai konstipasi
dengan tujuan  Berikan makanan yang
 Berat badan ideal terpilih ( sudah
sesuai dengan dikonsultasikan dengan ahli
tinggi badan gizi)
 Mampu  Monitor jumlah nutrisi dan
mengidentifikasi kandungan kalori
kebutuhan nutrisi  Berikan informasi tentang
 Tidak ada tanda kebutuhan nutrisi
tanda malnutrisi  Kaji kemampuan pasien
 Tidak terjadi untuk mendapatkan nutrisi
penurunan berat yang dibutuhkan
badan yang berarti  Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien

Nutrition Monitoring

 BB pasien dalam batas


normal
 Monitor adanya penurunan
berat badan
 Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa
dilakukan
 Monitor lingkungan selama
makan
 Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
 Monitor turgor kulit
59

 Monitor kekeringan,
rambut kusam, dan mudah
patah
 Monitor mual dan muntah
 Monitor kadar albumin,
total protein, Hb, dan kadar
Ht
 Monitor makanan kesukaan
 Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
 Monitor kalori dan intake
nuntrisi
 Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas
oral.
 Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet
3. Defisit NOC NIC:
perawatan diri
 Activity Intolerance Self-Care Assistance:
 Mobility: physical Bathing / Hygiene
Impaired
 Pertimbangkan budaya
 Self Care Deficit
Hygiene pasien ketika
 Sensory perception, mempromosikan aktivitas
Auditory disturbed.
perawatan diri.
Kriterta hasil :  Pertimbangkan usia pasien
ketika mempromosikan
 Perawatan diri
aktivitas perawatan diri
ostomi : tindakan
pribadi  Menentukan jumlah dan
mempertahankan jenis bantuan yang
ostomi untuk
dibutuhkan
eliminasi
 Perawatan diri :  Tempat handuk, sabun,
Aktivitas deodoran, alat pencukur,
kehidupan sehari-
dan aksesoris lainnya yang
hari (ADL)
mampu untuk dibutuhkan di samping
60

melakukan tempat tidur atau di kamar


aktivitas mandi
perawatan fisik
 Menyediakan artikel
dan pribadi secara
mandiri atau pibadi yang diinginkan
dengan alat bantu (misalnya, deodoran, sekat
 Perawatan diri
gigi, sabun mandi, sampo,
Mandi : mampu
untuk lotion, dan produk
membersihkan aromaterapi)
tubuh sendiri
 Menyediakan lingkungan
secara mandiri
dengan atau tanpa yang terapeutik dengan
alat bantu memastikan hangat, santai,
 Perawatan diri pengalaman pribadi, dan
hygiene : mampu
untuk personal
mempertahankan  Memfasilitasi gigi pasien
kebersihan dan menyikat
penampilan yang
 Memfasilitasi diri mandi
rapi secara
mandiri dengan pasien, sesuai
atau tanpa alat  Memantau pembersihan
bantu
kuku, menurut
 Perawatan diri
Hygiene oral : kemampuan perawatan
mampu untuk diri pasien
merawat mulut
 Memantau integritas kulit
dan gigi secara
mandiri dengan pasien
atau tanpa alat  Menjaga kebersihan ritual
bantu  Memfasilitasi
 Mampu
pemeliharaan rutin yang
mempertahankan
mobilitas yang biasa pasien tidur, isyarat
diperlukan untuk sebelum tidur, alat peraga,
ke kamar mandi
dan benda-benda asing
dan menyediakan
perlengkapan (misalnya, untuk anak-
mandi anak, cerita, selimut /
mainan, goyang, dot, atau
61

 Membersihkan favorit, untuk orang


dan mengeringkan dewasa, sebuah buku
tubuh
untuk membaca atau
 Mengungkapkan
secara verbal bantal dari rumah),
kepuasan tentang sebagaimana sesuai
kebersihan tubuh
 Mendorong orang tua /
dan hygiene oral
keluarga partisipasi, dalam
kebiasaan tidur biasa
 Memberikan bantuan
sampai pasien sepenuhnya
dapat mengasumsikan
perawatan diri.
4. Anxietas NOC : NIC :

 Anxiety control Anxiety Reduction


 Coping (penurunan kecemasan)

Kriteria Hasil :  Gunakan pendekatan yang


menenangkan
Pasien mampu  Nyatakan dengan jelas
mengidentifikasi harapan terhadap pelaku
dan pasien
mengungkapkan  Jelaskan semua prosedur
gejala cemas dan apa yang dirasakan
Mengidentifikasi, selama prosedur
mengungkapkan  Temani pasien untuk
dan menunjukkan memberikan keamanan dan
tehnik untuk mengurangi takut
mengontol cemas  Berikan informasi faktual
Vital sign dalam mengenai diagnosis,
batas normal tindakan prognosis
Postur tubuh,  Dorong keluarga untuk
ekspresi wajah, menemani pasien
bahasa tubuh dan  Lakukan back/ neck rub
tingkat aktivitas  Dengarkan dengan penuh
menunjukkan perhatian
berkurangnya  Identifikasi tingkat
kecemasan kecemasan
62

 Bantu pasien mengenal


situasi yang menimbulkan
kecemasan
 Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
 Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
 Barikan obat untuk
mengurangi kecemasan

5. Kerusakan NOC NIC:


integritas kulit
 Tissue Integrity : Pressure Management
Skin and Mucous
Membranes  Anjurkan pasien untuk
 Hemodyalis akses
menggunakan pakaian yang
Kriteria Hasil : longgar
 Hindari kerutan pada
 Integritas kulit
tempat tidur
yang baik bisa
 Jaga kebersihan kulit agar
dipertahankan
tetap bersih dan kering
(sensasi, elastisitas,
 Mobilisasi pasien (ubah
temperatur, hidrasi,
posisi pasien) setiap dua
pigmentasi)
jam sekali
 Tidak ada luka/lesi
 Monitor kulit akan adanya
pada kulit
kemerahan
 Perfusi jaringan
 Oleskan lotion atau
baik
minyak/baby oil pada
 Menunjukkan
daerah yang tertekan
pemahaman dalam
 Monitor aktivitas dan
proses perbaikan
mobilisasi pasien
kulit dan mencegah
 Monitor status nutrisi
terjadinya cedera
pasien
berulang
63

 Mampu melindungi  Memandikan pasien dengan


kulit dan sabun dan air hangat
mempertahankan
Insision site care
kelembaban kulit
dan perawatan  Membersihkan, memantau
alami dan meningkatkan proses
penyembuhan pada luka
yang ditutup dengan
jahitan, klip atau straples
 Monitor proses
kesembuhan area insisi
 Monitor tanda dan gejala
infeksi pada area insisi
 Bersihkan area sekitar
jahitan atau staples,
menggunakan lidi kapas
steril
 Gunakan preparat
antiseptic, sesuai program
 Ganti balutan pada interval
waktu yang sesuai atau
biarkan luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai
program

6. Resiko infeksi NOC : NIC :

 Immune Status Infection Control (Kontrol


infeksi)
 Knowledge :
Infection control  Bersihkan lingkungan
setelah dipakai pasien lain
 Risk control
 Pertahankan teknik isolasi
 Batasi pengunjung bila perlu
64

Kriteria Hasil :  Instruksikan pada


pengunjung untuk mencuci
 Klien bebas dari tangan saat berkunjung dan
tanda dan gejala setelah berkunjung
infeksi meninggalkan pasien
 Mendeskripsikan  Gunakan sabun antimikrobia
proses penularan untuk cuci tangan
penyakit, factor  Cuci tangan setiap sebelum
yang dan sesudah tindakan
mempengaruhi kperawtan
penularan serta  Gunakan baju, sarung
penatalaksanaanny tangan sebagai alat
a, pelindung
 Menunjukkan  Pertahankan lingkungan
kemampuan untuk aseptik selama pemasangan
mencegah alat
timbulnya infeksi  Ganti letak IV perifer dan
 Jumlah leukosit line central dan dressing
dalam batas normal sesuai dengan petunjuk
 Menunjukkan umum
perilaku hidup  Gunakan kateter intermiten
sehat untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
 Tingktkan intake nutrisi
 Berikan terapi antibiotik bila
perlu

Infection Protection (proteksi


terhadap infeksi)

 Monitor tanda dan gejala


infeksi sistemik dan lokal
 Monitor hitung granulosit,
WBC
 Monitor kerentanan
terhadap infeksi
 Batasi pengunjung
 Partahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
 Inspeksi kulit dan
membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
 Inspeksi kondisi luka /
insisi bedah
 Dorong masukkan nutrisi
yang cukup
65

 Instruksikan pasien untuk


minum antibiotik sesuai
resep
 Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara menghindari
infeksi
 Laporkan kecurigaan
infeksi
7. Hambatan NOC : NIC :
mobilitas fisik
 Joint Movement : Exercise therapy :
Active ambulation
 Mobility Level
 Self care : ADLs  Monitoring vital sign
 Transfer sebelm/sesudah latihan dan
performance lihat respon pasien saat
latihan
Kriteria Hasil :  Konsultasikan dengan terapi
fisik tentang rencana
 Pasien meningkat ambulasi sesuai dengan
dalam aktivitas kebutuhan
fisik  Bantu pasien untuk
 Mengerti tujuan menggunakan tongkat saat
dari peningkatan berjalan dan cegah terhadap
mobilitas cedera
 Memverbalisasika  Ajarkan pasien atau tenaga
n perasaan dalam kesehatan lain tentang
meningkatkan teknik ambulasi
kekuatan dan  Kaji kemampuan pasien
kemampuan dalam mobilisasi
berpindah  Latih pasien dalam
 Memperagakan pemenuhan kebutuhan
penggunaan alat ADLs secara mandiri sesuai
Bantu untuk kemampuan
mobilisasi (walker)  Dampingi dan Bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs ps.
 Berikan alat Bantu jika
pasien memerlukan.
66

 Ajarkan pasien bagaimana


merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
8. Gangguan pola NOC NIC:
tidur
 Anxiety reduction Sleep Enhancement
 Comfort level
 Determinasi efek-efek
 Oain level medikasi terhadap pola tidur
 Rest: extent and  Jelaskan pentingnya tidur
pattern yang adekuat
 Sleep: extent and  Fasilitas untuk
pattern mempertahankan aktivitas
sebelum tidur (membaca)
Kriteria Hasil :
 Ciptakan lingkungan yang
 Jumlah jam tidur nyaman
dalam batas normal  Kolaborasikan pemberian
6-8 jam/hari obat tidur
 Pola tidur, kualitas  Diskusikan dengan pasien
dalam batas normal dan keluarga tentang teknik
 Perasaan segar tidur pasien
sesudah tidur atau  Instruksikan untuk
istirahat memonitor tidur pasien
 Mampu  Monitor waktu makan dan
mengidentifikasika minum dengan waktu tidur
n hal-hal yang  Monitor/catat kebutuhan
meningkatkan tidur tidur pasien setiap hari dan
jam

(Nanda NIC NOC, 2017)


67

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. M DENGAN GANGGUAN

SISTEM PENCERNAAN : POST OP LAPARASKOPI KOLELITIASIS

DI RUANG RAWAT BEDAH AMBUN SURI LANTAI II

RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR

BUKITTINGGI

TAHUN 2018

A. Pengkajian

Identitas pasien yang dirawat diruang bedah ambun suri lantai II

dengan diagnosa post op laparaskopi kolelitiasis adalah Ny. M dengan umur

58 tahun 6 bulan dan berasal dari lubuk sikaping. Ny. M mengatakan sudah

menikah dengan Tn. A yang saat ini berada dirumah karna keterbatasan

kesehatan mengakibatkan Tn. A tidak bias menemani Ny. M saat dirawat

dirumah sakit. Ny. M mengatakan dalam keluarganya, semua anak dan

suaminya menganut agama islam dengan suku minang. Ny. M mengatakan

pendidikan terakhir yang ia tempuh adalah SD.

Ny. M masuk kerumah sakit dan dirawat diruang bedah ambun suri

lantai II pada tanggal 27 juli 2018 dengan diagnosa kolelitiasis dan No

rekam medis pasien adalah 498809. Pasien direncanakan untuk operasi

laparaskopi kolelitiasis. Selanjutnya mahasiwa melakukan pengkajian pada

pasien kelolan pada tanggal 30 juli 2018 dengan diagnosa post op

laparaskopi kolelitiasis.
68

Ny. M datang kerumah sakit dia antarkan oleh anaknya bernama Ny.

S dan Ny.M mengatakan Ny. S merupakan anak yang paling dekat

dengannya dan dapat di andalkan. Selama Ny. M dirawat dirumah sakit

Ny.S lah yang menunggu dan menemani Ny. M.

1. Riwayat Kesehatan

a. Alasan kunjungan/ keluhan utama

Pasien mengatakan masuk ke Rumah Sakit Achmad Mochtar

Bukittinggi tanggal 27 Juli 2018 pukul 09.00 WIB kiriman dari poli bedah

dan direncanakan untuk dilakukan operasi laparaskopi kolelitiasis

2. Riwayat kesehatan sekarang

Pada saat pengkajian pada tanggal 30 juli 2018 jam 11.00 WIB.

Keluarga pasien mengatakan hari ini merupakan hari rawatan ke 3. Pasien

telah selesai post operasi laparaskopi kolelitiasis pada tanggal 30 juli 2018

jam 10.30 WIB. Saat ini pasien terpasang IVFD RL 28 gtt/i drip ketorolac

1 ampul pada tangan sebelah kiri, tampak luka post operasi yang ditutupi

kassa dibagian abdomen, pasien mengeluh nyeri pada luka post operasi,

pasien juga mengatakan perutnya terasa aneh disertai dengan mual. Pasien

tampak lelah dan mengatuk saat dipindahkan dari kamar operasi ke ruangan

bedah ambun suri lantai II. Pasien tampak hanya berbaring ditempat tidur

dan aktifitas sehari-hari pasien dibantu oleh keluarga. Setelah 1 jam berada

diruang bedah ambun suri lantai II Pasien selalu bertanya kepada perawat

tentang penyakitnya, pasien mengatakan tidak mengetahui dengan jelas

penyakitnya, bagaimana cara perawatan dan pengobatan pada dirinya.


69

b. Riwayat kesehatan yang lalu

1) Penyakit yang pernah dialami dan pengobatan

Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit batu

empedu sebelumnya. Pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi

sejak 3 tahun yang lalu dan pernah mencapai 180/120 mmhg yang

kemudian pernah dirawat dirumah sakit dilubuk sikaping karna darah

tingginya. Keluarga pasien mengatakan hipertensi yang pasien

dapatkan diakibatkan karna pasien sering makan makanan yang banyak

mengandung garam dan santan dan terlebih orang tua Ny. M juga

memilki riwayat penyakit hipertensi. Pasien mengatakan memakan obat

jika ia merasa lehernya terasa berat dan kepalanya terasa sakit, obat

yang minum adalah Captopril 2X1 sehari. Pasien mengatakan juga

memiliki riwayat penyakit gastritis, sejak 5 tahun yang lalu hal itu

disebabkan karna pasien sering telat makan karna sibuk bekerja sebagai

petani. Pasien mengatakan tidak makan obat maag karena ia merasa jika

perutnya terasa begah dan maagnya kambuh, ia bersegera untuk makan.

Pasien mengatakan tidak memiliki penyakit menular

2) Riwayat alergi

Pasien dan keluarga mengatakan Ny. M tidak memilki alergi terhadap

obat maupun terhadap makanan tertentu.

3) Kebiasaan merokok/kopi/obat-obatan/alkohol/lain-lain

Ny. M mengatakan tidak pernah merokok maupun meminum minuman

kopi, Alkohol dan lain lain. Hanya saja Ny. M mengkonsumsi obat

hipertensi Captopril 2X1 sehari jika tekanan darahnya tinggi.


70

4) Rawatan sebelumnya

Pasien mengatakan belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.

c. Riwayat kesehatan keluarga

Genogram :

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien

: Tinggal serumah

X : Meninggal

Pasien mengatakan orang tuanya sudah meninggal begitu juga

dengan orang tua suaminya. Pasien mengatakan memiliki 5 orang anak yang

sudah berkeluarga. Ny. M dan suaminya tinggal bersama anak bungsunya

yang bernama Ny.S dan keluarganya. Pasien mengatakan tidak ada anggota

keluarganya yang menderita penyakit yang sama dengan dirinya yaitu

Kolelitiasis, hanya saja Ny. M mengatakan Ibunya mengatakan riwayat

Hipertensi.
71

3. Pengkajian Fisiologis

a. Oksigenasi dan Sirkulasi

Ny. M mengatakan saat ini tidak ada mengalami sesak nafas/

dipsnea, batuk kering, batuk berdahak atau batuk berdarah. Pasien

mengatakan tidak pernah menderita penyakit paru sebelumnya.Ny. M

mengatakan memiliki riwayat penyakit hipertensi sejak 3 tahun yang lalu

hal ini disebabkan pola hidup yang tidak sehat da nada riwayat hipertensi

pada keluarganya.keluarga pasien mengatakan Ny. M tidak memiliki

penyakit jantung, demam rematik, edema mata kaki, ataupun nyeri dada

lainnya.

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 30 juli 2018

jam 12.00 WIB pada sistem pernafasan, tampak dada pasien simetris kiri

dan kanan, kedalaman nafas normal, tidak ada pernafasan cuping hidung,

dan tidak ada penggunaan otot bantu nafas. Frekuensi nafas 20 x/menit,

fremitus sama kiri dan kanan, bunyi nafas vesikuler. Pasien tidak mengalami

sianosis, ekstremitas teraba dingin. Fungsi mental pasien baik, pasien juga

tidak gelisah. Hasil pemeriksaan pada sistem kardiovaskuler, bunyi jantung

S1S2, frekuensi denyut jantung 80 x/menit, irama teratur dan kualitas baik..

Tidak teraba adanya getaran dan dorongan pada jantung. Irama nadi teratur.

Tekanan darah 110/80 mmHg. Suhu 36 0C. Pengisisan kapiler < dari 3 detik.

Pasien tidak mengalami varises. Bentuk kuku pasien normal, tidak ada

mengalami clubbing finger, warna pink pucat. Penyebaran rambut merata,

rambut tipis. Warna mukosa bibir merah muda, mukosa bibir lembab.
72

Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, dan pasien tidak ada mengalami

diaphoresis.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium hematologi tanggal 29 Juli

2018 Jam 10.00 WIB,didapatkan hasil

 HB : 12.9 g/dl (12.0-14.0)

 RBC : 4.72 (10^6/µL) (4.0-5.0)

 HCT : 39,3 % (37.0-43.0)

 WBC : 7,31 (10^3/µL) (5.0-10.0)

 PLT :393(10^3/µL) (150-400)

 Pemeriksaan EKG tanggal 28 Juli 2018 dengan interpretasi normal

sinus rhythm.

b. Makanan dan cairan

Pada saat pengkajian lanjutan pada tanggal 30 juli 2018 jam 18.00

WIB Pasien pada saat sebelum dirawat mengatakan biasanya makan 3x satu

hari dengan porsi sedang. Pasien juga mengatakan senang mengkonsumsi

buah dan sayuran. Pada saat ini pasien mendapat diet makanan lunak (ML)

dari rumah sakit dan hanya mampu menghabiskan 2 sendok dari takaran

makanan yang diberikan oleh ahli gizi. Pasien makan 3 kali sehari dengan

menu dan angka kecukupan gizi yang telah diatur oleh ahli Gizi rumah sakit.

Makanan terakhir yang dimakan adalah nasi lunak dengan ikan padang dan

sayur serta buah pepaya. Ny. M mengatakan semenjak sakit ada perubahan

pada pola makan dan porsinya yang sebelumnya mampu menghabiskan

setengah porsi makanan yang disiapkan, akan tetapi saat sakit hanya mampu

menghabiskan ¼ dari makanan yang disiapkan. Ny. M mengatakan


73

mengalami mual dan muntah. Ny. M mengatakan ia sempat muntah Jam

17.00 WIB, kira kira jika ditakarkan sekitar 5 sendok makan dengan

konsistensi cair. Ny. M mengatakan juga memiliki riwayat penyakit gastritis

dan nyeri di bagian perut sebelah atas. Pasien mengatakan tidak ada alergi

terhadap makanan.

Pasien mengatakan tidak ada mengalami gangguan menelan. Pasien

mengatakan giginya masih lengkap. Berat badan Ny. M sebelum sakit

adalah 46 kg dan terjadi perubahan pada berat badan selama Ny. M sakit,

terjadi penurunan sebanyak 1 Kg. Pasien mengkonsumsi air mineral 7-8

gelas dalam sehari. Dari hasil pemeriksaan fisik. Bentuk tubuh pasien

normal, BB: 45 kg dan TB: 160 cm. Pasien tidak terpasang NGT, pasien

tidak mengalami asites, pasien tidak mengalami hernia, tidak mengalami

pembesaran pada kelenjar tiroid, bising usus (+) normal 8 x/menit, terdapat

nyeri tekan pada ulu hati dan bagian abdomen bagian kanan atas.

c. Eliminasi

Pada saat pengkajian pada tanggal 30 juli 2018 pasien mengatakan

belum BAB sejak ia selesai operasi. BAK pasien normal, pasien BAK 2-3 x

sehari, pasien mengatakan BAK pertama kali setelah operasi jam 17.30 WIB

kurang lebih 300 cc. Sebelumnya saat dirumah pasien mengatakan tidak

ada masala dengan BAB maupun BAKnya hanya saja terkadang agak nyeri

saat BAK. Semenjak dirawat dari tanggal 27 juli 2018-29 juli 2018 pasien

mengatakan tidak ada masalah pada BAB dan BAK pasien.. Pada saat ini

pasien tidak terpasang kateter. Untuk BAK biasanya ditampung oleh

keluarga menggunakan pispot dan pasien memakai pempers karena belum


74

bisa berjalan kekamar mandi. Pasien tidak mengalami retensi urin, disuria,

inkontinesia urin. Warna urin kuning pekat.

Dari hasil pemeriksaan fisik tidak terdapat adanya permasalahan

pada pola eliminasi. Hasil pemeriksaan penunjang didapat

 Ureum 26 mg/dL (15-43)

 Creatinin, 0,90 mg/dL (0,80-1,30).

d. Akitivitas dan istirahat

Sebelum sakit pasien bekerja sebagai petani, tetapi setelah pasien

sakit ia tidak bekerja lagi. Sebelum sakit pasien memiliki kebiasaan duduk

dan berkumpul dengan teman lainnya Pondokan yang berada ditepi sawah

untuk melepas lelah. Pasien mengatakan saat ini dirinya tidak bisa

beraktifitas karena jika bergerak pasien merasa sakit pada luka post operasi

yang terdapat diperutnya.

Pada saat pengakajian tanggal 30 juli 2018 Ny. M mengatakan

Pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri, aktifitas

sehari-hari dibantu oleh keluarga karena jika pasien bergerak nyeri pada

luka pasien meningkat. Pasien belum mampu berjalan atau turun dari tempat

tidur karena nyeri dan ngilu pada luka post operasi. Pasien mengatakan juga

belum terbiasa karena perubahan bentuk fisik pada Ny. M yang biasanya

BAK di WC sekarang untuk BAK pasien menggunakan pispot. Saat ini

pasien hanya berbaring ditempat tidur. Pasien terpasang IVFD RL 28 gtt/i

drip ketorolac 1amp pada tangan sebelah kiri.

Saat sebelum sakit tidur pasien nyenyak, biasanya pasien sekitar jam

21.00 sudah tertidur, sekarang pasien sesekali terbangun malam hari, karena
75

nyeri yang tiba-tiba dirasakan pasien. Siang hari pasien juga tidur kurang

lebih 1 jam. Pasien mengatakan setelah bangun dirinya merasa tidak merasa

segar. Pasien mengatakan ada gangguan dengan tidurnya akibat nyeri yang

ia rasakan.

e. Proteksi

Ny. M mengatakan sebelum sakit pasien tidak pernah jatuh, dan

Alhamdulillah tidak ada bekas luka atau memar dibadan Ny. M. Pasien

pernah mengalami demam dan biasanya akan hilang setelah meminum obat

yang dibelikan sendiri di apotik berupa Paracetamol 500 mg dan dengan

beristirahat. Pasien tidak memeliki alergi terhadap obat dan makanan.

Dari hasil pemeriksaan fisik terdapat luka Post op yang berada di

abdomen pasien yang belum kering. Tidak ada tanda-tanda infeksi dan

kemerahan, suhu 36,0 0C.

Skala Resiko Jatuh Morse :

NO PENGKAJIAN SKALA NILAI KET.


1. Riwayat jatuh: apakah klien pernah jatuh dalam 3 bulan Tidak 0 25
terakhir? Ya 25
2. Diagnosa sekunder: apakah klien memiliki lebih dari Tidak 0 15
satu penyakit? Ya 15
3. Alat Bantu jalan: 0
- Bed rest/ dibantu perawat 0
- Kruk/ tongkat/ walker 15
- Berpegangan pada benda-benda di 30
sekitar
4. Terapi Intravena:
(kursi, apakah saat ini klien
lemari, meja) Tidak 0 20
terpasang infus? Ya 20
5. Gaya berjalan/ cara berpindah: 0
- Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat bergerak 0
sendiri)
- Lemah (tidak bertenaga) 10
- Gangguan/ tidak normal (pincang/ diseret) 20
6. Status Mental 0
- Klien menyadari kondisi dirinya 0
- Klien mengalami keterbatasan daya ingat 15
Total Nilai 60
76

Berdasarkan skala morse didapatkan total nilai 60, sehingga dapat

dikategorikan pasien beresiko Tinggi untuk jatuh.

f. Indra/sense

Ny. M mengatakan tidak ada mengeluhkan masalah pada sistem

panca indra, baik itu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan

peraba. Dari hasil pemeriksaan fisik penglihatan pasien normal, pasien tidak

menggunakan kaca mata maupun kontak lensa. Indra penciuman pasien

normal, pasien bisa membedakan bau minyak wangi dan bau minyak angin.

Pendengaran normal, pasien tidak menggunakan alat bantu dengar dan tidak

tuli. Indra pengecap normal, pasien bisa membedakan rasa manis, pahit,

asam dan asin. Indra peraba pasien normal, pasien bisa merasakan goresan

ujung pena di tangan dan kakinya.

g. Neurologi

Ny. M mengatakan tidak merasakan pusing ataupun sakit pada

kepalanya. Ny. M mengatakan juga tidak merasa kesemutan, kebas dan

lemah pada kaki dan tangannya. Ny. M tidak pernah mengalami stroke. Dari

hasil pemeriksaan fisik pasien, GCS 15, kesadaran kompos mentis, status

mental terorientasi baik itu waktu, tempat dan orang. Pasien tidak ada

gelisah, halusinasi atau kehilangan memori. Pasien juga tidak mengalami

afasia atau disfagia. Ukuran pupil kiri dan kanan 3 mm, reaksi pupil kiri dan

kanan isokor. Hasil pemeriksaan kaku kuduk negative, hasil pemeriksaan

reflek patologis negatif. Hasil pemeriksaan reflek fisiologis positif.

Genggaman lepas tangan kiri dan kanan sama kuat.


77

Nervus Kranialis:

No Nervus Data pengkajian


1 N. Olfaktorius Pasien bisa mencium dan mengenal
aroma minyak kayu putih dan minyak
wangi yang didekatkan ke hidung
pasien
2 N. Optikus Ketajaman penglihatan dan lapang
pandang pasien baik
3 N.Okulomotorius Pasien dapat memutar bola mata
mengikuti arah jari perawat kearah
medial kiri dan kanan maupun atas
dan bawah
4 N. Troklearis Reflek cahaya pupil positif, ukuran
pupil 3 mm, kedua pupil isokor

5 N. Trigeminus Pasien mampu menggerakkan rahang


ke atas, bawah, kiri dan kanan,
membuka dan menutup mulut, pasien
dapat merasakan rangsangan nyeri
pada daerah maksilaris dan
mandibularis, reflek kornea positif.
6 N. Abdusen Muka pasien simetris, pasien dapat
melirik ke segala arah, pasien dapat
menjulurkan lidah, pasien dapat
mengedip dan memejamkan mata
secara spontan
7 N. Fasialis Pasien dapat mengangkat kedua alis,
menutup mata kuat-kuat, menarik bibir
seperti tersenyum dan meniup.
8 N. Vestibulokohklearis Pasien dapat menjawab secara spontan
ketika namanya dipanggil
9 N. Glosofaringeus Pasien reflek mau muntah saat tangkai
sendok menyentuh posterior faring
10 N. Vagus Pasien bisa menyebutkan bunyi aaaaa,
suara terdengar normal, pasien mampu
menelan makanan lunak, padat dan air
11 N. Assesorius Saat membuka mulut lidah pasien
posisinya normal simetris tidak deviasi
kekiri atau ke kanan saat di julurkan
atau digerakkan
12 N. Hipoglosus Pasien mampu menjulur dan menarik
lidahnya berulang-ulang dengan
terkoordinasi
78

Pemeriksaan CT-Scan tidak dilakukang.

h. Endokrin

Ny. M tidak memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus,

pembengkakan kelenjar. Berdasarkan hasil pemeriksaan tanggal 30 Juli

2018 Gula darah pasien adalah 99 mg/dL.

i. Seksualitas

Pasien mengatakan semenjak sakit tidak pernah melakukan

hubungan seksual dan pasien tidak mau dikaji terlalu dalam tentang

seksualitasnya dikarnakan Ny. M mengatakan malu dan itu Privasi dirinya.

j. Nyeri dan ketidaknyamanan

Pada saat pengkajian pada tanggal 30 juli 2018 Pasien mengeluh

nyeri pada luka post operasi Lapatomi kolelitiasis bagian abdomen kanan

atas frekuensi hilang timbul kualitas sedang skala nyeri 6-7 durasi + 10

menit dan muncul lebih dari 3x sehari penjalaran nyeri menjalar hingga

kepinggang faktor pencetus nyeri timbul dan meningkat saat bergerak dan

saat pasien bergerak secara tiba tiba. Pasien tampak meringis ketika nyeri,

tampak menggegam kain saat nyeri itu terasa.

4. Mode Konsep Diri

Pasien mengatakan orang yang bermakna dalam hidupnya yaitu suami

dan anak-anaknya. Ny. M mengatakan apapun yang diberikan Allah dan

diciptakan Allah pada bentuk tubuhnya dia menerimanya dengan ikhlas, dan

pasien menganggap ini semua ujian dari Allah. Ny. M belum bisa beraktifitas

seperti biasanya karena belum terbiasa dengan keadaan seperti ini. Pasien

berharap ingin cepat sembuh dan kembali beraktifitas seperti biasanya


79

walaupun dalam kondisi yang berbeda. Ny. M tetap mensyukuri nikmat yang

diberikan Allah kepadanya. Ny. M merupakan seorang muslim, selama sakit

Ny. M mengatakan tidak bisa mengerjakan shalat seperti biasanya, dan hanya

bisa shalat sambil berbaring.

5. Mode fungsi peran

Pasien berperan sebagai istri yang mengasuh ke5 anak-anaknya. Pasien

memiliki hubungan yang baik dengan keluarga serta teman-teman

dilingkungan sekitarnya. Pasien merasa puas dengan peran yang dijalankannya

selama ini. Pasien mengatakan keluarga sangat penting baginya, karena

keluarga selalu mendukung setiap kegiatan yang dilakukan, dan keluarga selalu

berusaha untuk kesembuhannya. Orang terdekat dengan pasien adalah

suaminya dan anaknya paling terakhir yaitu Ny. S.

6. Mode persepsi kesehatan

Pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan ingin segera pulang karena

ingin beraktifitas kembali. Pasien tampak tegang dan sering bertanya mengenai

penyakit yang dideritanya. Pasien tidak mengetahui bagaima bisa terjadi.

Kurangnya pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit menyebabkan

kurang tepatnya penanganan terhadap penyakit pasien. Pasien juga tidak tau

bagaimana proses pengobatan dan pasien bertanya tentang manfaat pengobatan

yang diberikan.
80

7. Pemeriksaan penunjang

A. Hematologi

Dari hasil pemeriksaan laboratorium hematologi tanggal 29 Juli 2018 Jam

10.00 WIB,didapatkan hasil

a. HB : 12.9 g/dl Nilai normal (12.0-14.0)

b. RBC : 4.72 (10^6/µL) Nilai normal (4.0-5.0)

c. HCT : 39,3 % Nilai normal (37.0-43.0)

d. WBC : 7,31 (10^3/µL) Nilai normal (5.0-10.0)

e. PLT :393(10^3/µL) Nilai normal (150-400)

B. Kimia klinik

Dari hasil pemeriksaan laboratorium Kimia Klinik tanggal 29 Juli 2018

Jam 10.00 WIB,didapatkan hasil

a. Glukosa : 99 mg/dL Nilai normal(74 – 106)

b. Ureum : 26 mg/dL Nilai normal (15 – 43)

c. Creatinin : 0,90 mg/dL Nilai Normal (0,60 – 1,20)

C. Pemeriksaan Urinalisa

Dari hasil pemeriksaan laboratorium Urinalisa tanggal 29 Juli 2018 Jam

10.00 WIB,didapatkan hasil

Warna urine :Kuning muda

a. Bakteri : (+)

b. Krital : Amorph phospat (+)

c. PH :8.0

d. Bj :1,015
81

D. Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan EKG tanggal 28 Juli 2018 dengan interpretasi normal sinus

rhythm.

E. Pemeriksaan TTV

Hari/Tanggal Jam
Senin, 30 Juli 2018 06.00 WIB
TD: 120/90 mmHg, N: 80 x/i, RR: 20 x/i, S: 37 °C
11.00 WIB
TD: 110/80 mmHg, N: 86 x/i, RR: 21 x/i, S: 36 °C
18.00 WIB
TD: 110/80 mmHg, N: 80 x/i, RR: 18 x/i, S: 36.5 °C

Selasa, 31 Juli 06.00 WIB


2018 TD: 120/80 mmHg, N: 80 x/i, RR: 18 x/i, S: 36,7 °C
15.00 WIB
TD: 120/80 mmHg, N: 84 x/i, RR: 20 x/i, S: 37 °C
18.00 WIB
TD: 120/80 mmHg, N: 76x/i, RR: 18 x/i, S: 36,7 °C

Rabu, 01 Juni 2017 06.00 WIB


TD: 120/90 mmHg, N: 80 x/i, RR: 20 x/i, S: 36,5 °C
11.00 WIB
TD: 120/80 mmHg, N: 86 x/i, RR: 18 x/i, S: 37 °C
14.00 WIB
TD: 120/80 mmHg, N: 80 x/i, RR: 18 x/i, S: 36,5 °C

F. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : baik

Tingkat kesadaran : Compos mentis, GCS 15 = E4V5M6

BB/TB = 45 kg/160 cm

a. Kepala

Inspeksi: Keadaan kepala pasien bersih, tidak ada ketombe, rambut tipis

dan berwarna putih, penyebaran rambut merata, tidak tampak adanya

pembengkakan, tidak ada lesi, bentuk simetris.


82

Palpasi: Tidak teraba benjolan, pasien tidak merasakan nyeri tekan di

kepala, rambut kuat serta tidak ada kerontokan.

b. Mata

Inspeksi: Keadaan mata simetris ki/ka, konjungtiva anemis, sklera tidak

ikterik, reflek cahaya (+), reaksi pupil isokor.

Palpasi: Tidak teraba benjolan, pasien tidak merasakan nyeri tekan.

c. Hidung

Inspeksi: Keadaan simetris, warna sama dengan kulit daerah lain, tidak ada

lesi, tidak ada sumbatan, tidak ada perdarahan dan tanda-tanda infeksi.

Palpasi: Tidak teraba benjolan, pasien tidak merasakan nyeri tekan.

d. Telinga

Inspeksi: bentuk dan ukuran telinga simetris ki/ka, integritas kulit bagus,

warna sama dengan kulit lain, tidak ada serumen, tidak ada tanda-tanda

infeksi, tidak menggunakan alat bantu dengar.

Palpasi: Tidak teraba benjolan, pasien tidak merasakan nyeri tekan.

e. Mulut

Inspeksi: gigi tidak lengkap, tidak ada caries, tidak ada perdarahan dan

radang gusi, lidah simetris, warna pink, langit-langit utuh, tidak ada tanda-

tanda infeksi, mukosa bibir lembab, sedikit pucat.

f. Leher

Inspeksi: Tidak tampak adanya pembesaran kelenjer tyroid, tidak ada

tampak pembesaran limfe dan tidak ada tampak peningkatan JVP.

Palpasi: Tidak teraba adanya pembesaran kelenjer tyroid, tidak teraba

adanya pembesaran KGB (Kelenjer Getah Bening), JVP 5-2 cm H2O.


83

g. Dada/thorax

1) Paru

Inspeksi: Pergerakkan dada simetris kiri dan kanan, frekuensi 20 kali/

menit

Palpasi: Fremitus taktil simetris kiri dan kanan

Perkusi: Sonor diseluruh lapang paru

Auskultasi: Vesikuler

2) Jantung

Inspeksi: Tidak terlihat ictus cordis di RIC V midklavikula Sinistra

Palpasi: Ictus teraba 1 jari medial RIC V

Perkusi: Batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri LMCS RIC V

Auskultasi: Irama jantung reguler

h. Abdomen

Inspeksi: perut tidak membuncit, tidak ada lesi tampak luka post op

laparatomi koleltiasis terbarut kasa.

Auskultasi: bising usus (+) 8x/menit

Perkusi: tympani

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba

i. Ekstremitas

1) Atas : terpasang infus RL drip keto 1amp 28 gtt/i pada tangan

sebelah kiri, akral hangat, CRT < 3 detik, tidak ada edema

2) Bawah : kaki kanan dan kiri normal.

3) Kekuatan otot : 5555 5555

5555 5555
84

j. Integumen

Kulit berwarna sawo matang, teraba hangat, kulit tidak pucat, kulit keriput.

k. Sirkulasi

Nadi perifer : 86x/menit

CRT : < 3 detik

JVP : 5-2 cm H2O

Edema : tidak ada edema .

G. Terapi yang diberikan

Nama Obat Golongan Indikasi Efek samping Kontra Indikasi


Ceftriaxone Antibiotik infeksi-infeksi Gastrointestina Hipersensitif
1 gr chepalospho berat dan yang l : faeces encer terhadap
2x1 rin disebabkan / diare, mual, antibiotik cephal
oleh bakteri muntah, osporin.
gram positif stomatitis dan Neonatus.
maupun gram glositis.
negatif yang Kulit :
resisten atau pruritus,
kebal terhadap urtikaria,
antibiotika lain dermatitis
Infeksi saluran alergi, udema,
pernapasan eksantem,
Infeksi saluran eritema
kemih multiform
Infeksi gonore
Sepsis
Meningitis\Inf
eksi tulang dan
jaringan lunak
Infeksi kulit
Ranitidin 2x antihistamin a. mengobati a. sakit kepala a. ibu hamil
50 mg ulkus lambung b. sulit buang b. ibumenyusui
dan duodenum air besar c. masalah
b. mencegah c. diare dengan sistem,
tukak lambung d. mual kekebalan tubuh
agar tidak e. nyeri perut d. diabetes
berdarah f. gatal-gatal
c. mengobati dikulit
sakit magh
beserta gejala-
85

gejala yang
ditimbulkanya
melindungi
lambung dan
duodenum
agar tidak
sampai terjadi
ulkus

Ketorolac Anti Untuk a.sakit prut, a. pasien yang


3x 30 mg inflamasi penatalaksaan mual, muntah mnunjukan
non steroid jangka pendek ringan, manifestasi
terhadap nyeri b.konstipasi alergi
akut sedang c.kembung b. pasien yang
sampai berat d.pusng, mnderita ulkus
setelah e.mengantuk peptikum
prosedur f.telinga c. pnyakit
pembedahan berdenging seebrovaskuler
d. gangguan
ginjal
e. riwayat asma
RL 500 ml Cairan Mengembali Panas, infeksi Hipernatremia,
Kristaloid Kan keseimba pda tempat kelainan ginjal,
ngan elektrolit penyuntikan, kerusakan sel
pada dehidrasi. trombosis vena hati, laktat
atau flebitis asidosis
yang meluas
dari tempat
penyuntikan,
ekstravasasi.
Cefotaxime antibiotic Cefotaxime 1.Peradangan Hipersensitif di
golongan adalah saluran
tempat
sefalosporin antibiotic pencernaan
golongan suntikan
sefalosporin
2.Ruam
generasi ketiga
yang 3.Demam
mempunyai
4.Diare
khasiat
bakterisidal 5.Mual
dan bekerja
6.Muntah
dengan
menghambat
sintesis
mukopeptida
pada dinding
sel bakteri.
86

H. Discharge Planning

Tanggal informasi didapatkan yaitu 30 Juli 2018. Tanggal pulang yang

diantisipasi yaitu tanggal 01 Juli 2018 Jam 15.00 WIB. karena sesuai dengan

jadwal pemberian terapi medis yang dibutuhkan oleh pasien. Sumber keuangan

tersedia, serta adanya orang sekitar yang mendukung program pengobatan.

Mengubah pola hidup agar lebih sehat, meningkatkan asupan bergizi yang

dapat membantu kesembuhan luka, melakukan perawatan luka kepelayanan

kesehatan, menjaga kebersihan diri atau personal hygiene agar tidak terjadi

infeksi pada luka, dan memotivasi untuk tetap semangat dalam menjalani

kehidupan kedepanya sehingga kualitas hidup lebih baik. Peningkatan latihan

ekstremitas untuk melancarkan sirkulasi. Penyiapan makanan dan minuman

oleh keluarga, transportasi dengan keluarga. Ambulasi dilakukan mandiri

tetapi tetap dalam pengawasan keluarga, Kontrol ke poliklinik bedah sesuai

dengan jadwal yang ditentukan yaitu pada tanggal 9 agustus 2018.

Data Fokus

Data Subjektif Data Objektif


a. Pasien mengatakan telah selesai a. Pasien tampak post operasi
post operasi batu empedu laparaskopi kolelitiasis pada
b. Pasien mengatakan terdapat luka abdomen sebelah kanan atas
post operasi diabdomen sebelah pasien
kanan atas b. Tampak luka post operasi
c. Pasien mengatakan luka tertutupi diabdomen pasien
kassa dan dibaluti kain c. Tampak luka tertutupi kassa
d. Pasien mengatakan luka masih d. Tampak luka masih basah dan
belum kering dan terasa perih belum kering
e. Pasien mengatakan nyeri pada e. Pasien tampak meringis
luka post operasi f. Skala nyeri 5-6
f. Pasien mengatakan skala nyeri 5- g. Pasien tampak meringis ketika
6 dan nyeri yang dirasakan bergerak secara tiba tiba
seperti diiris benda tajam dan h. Pasien tampak melindungi area
ngilu yang sakit
i. Post TV: TTV
87

g. Pasien mengatakan nyeri sampai TD : 110/ 80 mmHg N: 86 P:


ke pinggang dan nyeri yang 21 x/I S: 36 ‘C
dirasakan hilang timbul j. Pasien tampak susah bergerak
h. Pasien mengatakan nyeri k. Pasien tampak meringis saat
meningkat saat bergerak secara bergerak
tiba-tiba l. Pasien tampak terbaring
i. Pasien mengatakan susah ditempat tidur
bergerak dan berjalan karena m. Pasien tampak aktifitas sehari-
merasa sakit, ngilu pada luka post hari dibantu oleh keluarga
operasi n. Pasien tampak belum sanggup
j. Pasien mengatakan hanya berjalan dan turun dari tempat
berbaring ditempat tidur tidur
k. Pasien mengatakan belum o. Pasien tampak tegang
sanggup berjalan dan turun dari p. Pasien selalu bertanya tentang
tempat tidur karena nyeri dan kondisi penyakitnya
ngilu pada bekas operasi q. Pasien terlihat bingung ketika
l. Pasien mengatakan aktifitas ditanya seputar penyakit dan
sehari-hari pasien dibantu oleh kesehatanya
keluarga r. TTV Jam 14.00
m. Pasien mengatakan tidak TD : 110/80 mmHg, N: 86x/i,
mengetahui dengan jelas P: 21/i, S: 36,7’C
penyakitnya s. Pasien tampak terpasang IVFD
n. Pasien mengatakan tidak RL 28 gtt/i
mengetahui cara perawatan t. Pasien tampak tidak segar dan
dirinya lemah
o. Pasien mengatakan tidurnya u. Porsi yang di habiskan hanya ¼
terganggu akibat nyeri yang ia porsi
rasakan v. Mukosa bibir pucat
p. Pasien mengatakan nafsu w. Terjadi penuran BB 1 kg dari
makannya menurun dan tidak sebelum masuk RS
berselera untuk makan. x. IMT BB/TB(45/1.602)=17.8
q. Pasien mengatakan ada muntah Katagori Berat badan kurang
sebanyak 2 kali jika ditakarkan ±
5 sendok.
r. Pasien mengatakan agak sakit
jika menelan makanan
88

Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


Keperawatan
1 Ds: Agen cidera fisik Nyeri akut
a. Pasien mengatakan telah selesai operasi
batu empedu di perut.
b. Pasien mengatakan terdapat luka yang
ditutupi kassa dan dibaluti kain
c. Pasien mengatakan nyeri pada luka post
operasi
d. Pasien mengatakan skala nyeri 5-6 dan
nyeri yang dirasakan seperti diiris benda
tajam dan ngilu
e. Pasien mengatakan nyeri sampai ke
pinggang dan nyeri yang dirasakan hilang
timbul
f. Pasien mengatakan nyeri meningkat saat
bergerak secara tiba tiba
DO :
a. Pasien tampak post operasi laparaskopi
kolelitiasi
b. Tampak luka yang ditutupi kassa dan
dibaluti kain
c. Pasien tampak meringis
d. Skala nyeri 5-6
g. Pasien tampak meringis ketika bergerak
secara tiba tiba. nyeri yang dirasakan
seperti diiris benda tajam dan ngilu
h. Pasien mengatakan nyeri sampai ke
pinggang dan nyeri yang dirasakan hilang
timbul dengan durasi ±10-15 menit
e. Pasien tampak melindungi area yang
sakit
f. TTV
TD : 110/ 80 mmHg
N: 86
P: 21x/i
S: 36‘C
2. Ds: Tindakan Resiko Infeksi
a. Pasien mengatakan post operasi batu pembedahan
empedu pada perut pasien sehingga
b. Pasien mengatakan terdapat luka t post memungkinkan
operasi diperut sebelah kanan microorganisme
c. Pasien mengatakan luka tertutupi kassa masuk
dan dibaluti kain
d. Pasien mengatakan luka masih belum
kering dan masih masih memakai perban
89

Do:
a. Pasien tampak post operasi laparaskopi
kolelitiasis pada abdomen sebelah kanan
atas pasien
b. Tampak luka post operasi diabdomen
sebelah kanan atas
c. Tampak luka tertutupi kassa dan kain
d. Tampak ± 1-1,5 cm
e. TTV
TD:110/80 mmhg
N:86x/i
P:21x/i
S:36 C

3 Ds: Nyeri post op Gangguan Pola


d. Pasien mengatakan post operasi batu laparaskopi tidur
empedu pada perut pasien kolelitiasis
e. Pasien mengatakan terdapat luka t post
operasi diperut sebelah kanan
f. Pasien mengatakan nyeri pada luka post
operasi
g. Pasien mengatakan tidurnya terganggu
akibat nyeri yang ia rasakan
Do:
a. Pasien tampak tidak segar saat bangun
tidur
b. Pasien tampak lemas
c. Pasien tampak mengantuk pada pagi dan
siang hari
d. Frekuensi tidur berkurang yang awalnya
8 jam semenjak pasien operasi hanya bias
tidur 3-4 jam saja.

6 Ds : Nyeri post op Hambatan


a. Pasien mengatakan susah bergerak dan laparaskopi mobilitas fisik
berjalan karena merasa sakit, ngilu pada kolelitiasis
luka post operasi
b. Pasien mengatakan nyeri sampai ke
pinggang
c. Pasien mengatakan hanya berbaring
ditempat tidur
d. Pasien mengatakan belum sanggup
berjalan dan turun dari tempat tidur
karena nyeri dan ngilu pada bekas operasi
e. Pasien mengatakanaktifitas sehari-hari
pasien dibantu oleh keluarga
90

Do:
a. Pasien tampak susah bergerak
b. Pasien tampak meringis saat bergerak
c. Pasien tampak terbaring ditempat tidur
d. Pasien tampak aktifitas sehari-hari
dibantu oleh keluarga
e. Pasien tampak belum sanggup berjalan
dan turun dari tempat tidur
7 Ds : Kurang informasi Defisiensi
a. Pasien mengatakan tidak mengetahui Pengetahuan
dengan jelas penyakitnya
b. Pasien mengatakan tidak mengetahui cara
perawatan dirinya
Do :
a. Pasien tampak gelisah
b. Pasien selalu bertanya tentang
penyakitnya
c. Pasien terlihat bingung ketika ditanya
seputar penyakit dan kesehatanya
d. Pendidikan terakhir Ny. M adalah SD

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan agen cidera fisik

2. Resiko infeksi berhubungan dengan Tindakan pembedahan sehingga

memungkinkan microorganisme masuk

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akibat post op laparaskopi

kolelitiasis

4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada luka post operasi

laparaskopi kolelitiasis

5. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.


91

C. Intervensi

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC Aktivitas


1 Nyeri akut berhubungan Kontol nyeri Manajemen nyeri a. Kaji tingkat nyeri secara komprehensif
dengan agen cidera fisik Kriteria Hasil : termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
a. Mampu mengontrol nyeri frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
b. Melaporkan bahwa nyeri b. Observasi reaksi nonverbal dari
berkurang ketidaknyamanan.
c. Mampu mengenali nyeri c. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
d. Menyatakan rasa nyaman untuk mengetahui pengalaman nyeri klien
setelah nyeri berkurang sebelumnya.
e. Tanda tanda vital dalam d. Kontrol faktor lingkungan yang
rentang normal mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
e. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
f. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologis/non farmakologis).
g. Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengatasi nyeri.
h. Kolaborasi pemberikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
i. Evidance Based Jurnal Genggam jari untuk
mengurangi nyeri
j. Evidance Basaed Jurnal Ambulasi Dini
untuk mengurangi nyeri
k. Evidance Based Efektifitas menghirup uap
lemon untuk mengurangi nyeri
92

2 Resiko infeksi Risk control  Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan lokal
berhubungan dengan Infection Control  Monitor ,WBC
Kriteria Hasil :
(Kontrol infeksi)  Monitor kerentanan terhadap infeksi
Tindakan pembedahan  Batasi pengunjung
 Klien bebas dari tanda dan  Partahankan teknik aspesis pada pasien
sehingga memungkinkan gejala infeksi yang beresiko
 Mendeskripsikan proses  Inspeksi kulit dan membran mukosa
microorganisme masuk penularan penyakit, factor terhadap kemerahan, panas, drainase
yang mempengaruhi  Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
penularan serta  Dorong masukkan nutrisi yang cukup
penatalaksanaannya,  Instruksikan pasien untuk minum antibiotik
 Menunjukkan kemampuan sesuai resep
untuk mencegah timbulnya  Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
infeksi gejala infeksi
 Jumlah leukosit dalam  Ajarkan cara menghindari infeksi
batas normal Laporkan kecurigaan infeksi
 Menunjukkan perilaku
hidup sehat.
3 Gangguan pola tidur Sleep: extent and pattern Sleep Enhancement  Determinasi efek-efek medikasi terhadap
pola tidur
berhubungan dengan
Kriteria Hasil :
 Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
nyeri akibat post op
 Jumlah jam tidur dalam  Fasilitas untuk mempertahankan aktivitas
laparaskopi kolelitiasis batas normal 6-8 jam/hari sebelum tidur (membaca)
 Pola tidur, kualitas dalam  Ciptakan lingkungan yang nyaman
batas normal  Kolaborasikan pemberian obat tidur
93

 Perasaan segar sesudah  Diskusikan dengan pasien dan keluarga


tidur atau istirahat tentang teknik tidur pasien
 Mampu  Instruksikan untuk memonitor tidur pasien
mengidentifikasikan hal-  Monitor waktu makan dan minum dengan
hal yang meningkatkan waktu tidur
tidur  Monitor/catat kebutuhan tidur pasien setiap
hari dan jam

4 Hambatan mobilitas fisik Joint Movement : Active Exercise Therapy: a. Ajarkan dan berikan dorongan pada klien
berhubungan dengan Mobility Level Ambulation untuk melakukan program latihan secara
perubahan bentuk fisik Self care : ADLs rutin
dan nyeri pada luka post Transfer performance b. Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan
operasi yang aman kepada klien dan keluarga.
Kriteria Hasil : c. Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk,
a. Klien meningkat dalam kursi roda, dan walker
aktivitas fisik d. Beri penguatan positif untuk berlatih
b. Mengerti tujuan dari mandiri dalam batasan yang aman.
peningkatan mobilitas e. Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara
c. Memverbalisasikan pemakaian kursi roda & cara berpindah dari
perasaan dalam kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya.
meningkatkan kekuatan f. Dorong klien melakukan latihan untuk
dan kemampuan berpindah memperkuat anggota tubuh
d. Memperagakan g. Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara
penggunaan alat Bantu penggunaan kursi roda
untuk mobilisasi (walker) h. Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat
mengatur posisi secara mandiri dan menjaga
94

keseimbangan selama latihan ataupun dalam


aktivitas sehari hari.
i. Ajarkan pada klien/ keluarga untuk
memperhatikan postur tubuh yg benar untuk
menghindari kelelahan, keram & cedera.
j. Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk
program latihan.
5 Defisiensi pengetahuan Knowledge : disease process Teaching :disease a. Kaji pengetahuan pasien tentang
b.d kurang informasi Knowledge : health penyakitnya
behavior b. Berikan penilaian tentang tingkat
Kriteria hasil : pengetahuan pasien tentang proses penyakit
a. Pasien dan keluarga c. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
menyatakan pemahaman bagaimana hal ini berhubungan dengan
tentang penyakit, kondisi, anatomi dan fisiologi dengan cara yang
prognosis, dan program tepat
pengobatan d. Identifikasi kemungkinan penyebab
b. Pasien dan keluarga penyakit pasien
mampu melaksanakan e. Jelaskan kondisi tentang pasien
prosedur yang dijelaskan f. Jelaskan tentang program pengobatan
secara benar pasien
c. Pasien dan keluarga g. Diskusikan tentang perubahan gaya hidup
mampu menjelaskan yang mungkin digunakan untuk mencegah
kempbali apa yang komplikasi
dijelaskan perawat/tim h. Instuksikan pasien mengenai tanda dan
kesehatan lainya gejala untuk melaporkan pada pemberi
perawatan kesehatan dengan cara yang tepat
i. Tanyakan kembali pengetahuan pasien
tentang penyakit, prosedur perawatan dan
pengobatan
95

D. Implementasi dan Evaluasi

CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

No Diagnosa Tanggal Implementasi Evaluasi Paraf


/ Jam
1. Nyeri akut 30 Juli 2018 a. Mengkaji tingkat nyeri secara S: Ardyan
berhubungan dengan 12.00 WIB komprehensif termasuk a. Pasien mengatakan Darmawan
agen cidera fisik lokasi, karakteristik, durasi, masih terasa nyeri
frekuensi, kualitas dan faktor pada luka post
presipitasi. operasi
b. Mengobservasi reaksi b. Pasien mengatakan
nonverbal dari skala nyeri 5-6
ketidaknyamanan.
c. Menggunakan teknik O:
komunikasi terapeutik untuk a. Pasien tampak
mengetahui pengalaman menarik nafas
nyeri klien sebelumnya. dalam
d. Mengontrol faktor b. Pasien tampak
lingkungan yang meringis menahan
mempengaruhi nyeri seperti nyeri
suhu ruangan, pencahayaan, c. Skala nyeri 5-6
kebisingan. d. TTV
e. Mengurangi faktor presipitasi TD: 110/80 mmHg,
nyeri. N: 86 x/i
f. Memilih dan lakukan P:21 x/i
penanganan nyeri S:36 c
96

(farmakologis/non
farmakologis).
g. Mengajarkan teknik non A:
farmakologis (relaksasi, Masalah keperawatan
distraksi dll) untuk mengatasi nyeri akut belum
nyeri. teratasi
h. Kolaborasi memberikan P:
analgetik untuk mengurangi Lanjutkan intervensi a,
nyeri. b, c, d, e, f, g, h.
2 Resiko infeksi 30 juli 2018 a. Memonitor tanda dan gejala S: Ardyan
berhubungan dengan 13.30 WIB infeksi sistemik dan lokal a. Pasien mengatakan Darmawan
Tindakan b. Memonitor ,WBC post operasi batu
pembedahan c. Memonitor kerentanan empedu pada perut
sehingga terhadap infeksi pasien
memungkinkan d. Membatasi pengunjung b. Pasien mengatakan
microorganisme e. Mempertahankan teknik terdapat luka t post
masuk aspesis pada pasien yang operasi diperut
beresiko sebelah kanan
f. MengInspeksi kulit dan c. Pasien mengatakan
membran mukosa terhadap luka tertutupi kassa
kemerahan, panas, dan dibaluti kain
g. Menginspeksi kondisi luka / d. Pasien mengatakan
insisi bedah luka masih belum
h. Mendorong/Memotivasi kering dan masih
Pasien masukkan nutrisi masih memakai
yang cukup perban
O:
97

i. Meninstruksikan pasien a. Pasien tampak post


untuk minum antibiotik operasi laparaskopi
sesuai resep kolelitiasis pada
j. Mengajarkan pasien dan abdomen sebelah
keluarga tanda dan gejala kanan atas pasien
infeksi b. Tampak luka post
k. Mengajarkan cara operasi diabdomen
menghindari infeksi sebelah kanan atas
c. Tampak luka
tertutupi kassa dan
kain
d. Tampak ± 1-1,5
cm
A:
Masalah keperawatan
resiko infeksi belum
teratasi
P:
Intervensi
a,b,c,d,e,f,g,h,I,j,k
dilanjutkan

3 Gangguan pola tidur 30 Juli 2018. a. Mendefekasi efek-efek S: Ardyan


a. Pasien mengatakan Darmawan
medikasi terhadap pola tidur
berhubungan dengan 15.00 WIB post operasi batu
b. Menjelaskan pentingnya empedu pada perut
nyeri akibat post op pasien
tidur yang adekuat
98

laparaskopi c. Memfasilitas untuk b. Pasien mengatakan


terdapat luka t post
mempertahankan aktivitas
kolelitiasis operasi diperut
sebelum tidur (membaca) sebelah kanan
30 c. Pasien mengatakan
d. Menciptakan lingkungan yang
nyeri pada luka
nyaman post operasi
d. Pasien mengatakan
e. Mendiskusikan dengan pasien
tidurnya terganggu
dan keluarga tentang teknik akibat nyeri yang
ia rasakan
tidur pasien
e. Pasien mengatakan
f. Meinstruksikan untuk paham tentang
pentingnya
memonitor tidur pasien
manfaat tidur
g. Memonitor waktu makan dan O:
a. Pasien tampak
minum dengan waktu tidur
lemas
h. Memonitor/catat kebutuhan b. Pasien tampak
paham tentang
tidur pasien setiap hari dan
penjelasan
jam pentingnya tidur
A:
i. Berkolaborasikan pemberian
Masalah keperaewatan
obat tidur gangguan pola tidur
teratasi sebagian
P:
99

Intervensi
a,c,d,e,f,g,h,i

4 Hambatan mobilitas 30 Juli 2018 a. Mengajarkan dan berikan S: Ardyan


fisik berhubungan 18.00 WIB dorongan pada klien untuk a. Pasien mengatakan Darmawan
dengan perubahan melakukan program latihan masih susah
bentuk fisik dan secara rutin begerak karena
nyeri pada luka post b. Mengajarkan teknik merasa nyeri dan
operasi Ambulasi & perpindahan ngilu pada post
yang aman kepada klien dan operasi
keluarga. b. Pasien mengatakan
c. Menyediakan alat bantu masih dibantu oleh
untuk klien seperti kruk, keluarga saat
kursi roda, dan walker mengubah posisi
d. Memberikan penguatan tubuh
positif untuk berlatih mandiri c. Pasien mengatakan
dalam batasan yang aman. aktifitas sehari-hari
e. Mengajarkan pada klien & dibantu oleh
keluarga tentang cara keluarga.
pemakaian kursi roda & cara d. Pasien mengatakan
berpindah dari kursi roda ke belum sanggup
tempat tidur atau sebaliknya. berjalan dan turun
f. Mendorong klien melakukan dari tempat tidur
latihan untuk memperkuat
anggota tubuh dan
100

mempercepat proses
penyembuhan luka O:
g. Mengajarkan pada klien & e. pasien tampak
keluarga untuk dapat masih susah
mengatur posisi secara bergerak
mandiri dan menjaga f. pasien tampak
keseimbangan selama latihan meringis
ataupun dalam aktivitas b. pasien tampak
sehari hari. masih dibantu saat
h. Mengajarkan pada klien/ mengubah posisi
keluarga untuk tubuh pasien
memperhatikan postur tubuh c. tampak aktifitas
yg benar untuk menghindari sehari-hari pasien
kelelahan, keram & cedera. masih dibantu oleh
i. Kolaborasikan ke ahli terapi keluarga
fisik untuk program latihan.
A:
Masalah keperawatan
hambatan mobilitas
fisik belum teratasi

P:
Lanjutkan intervensi a,
b, c, d, e, f, g, h, i, .
7 Defisiensi 30 Juli 2018 a. Mengkaji pengetahuan pasien S : Ardyan
Pengetahuan b.d 19.00 WIB tentang penyakitnya Pasien mengatakan Darmawan
kurang informasi b. Memberikan penilaian mulai paham tentang
tentang tingkat pengetahuan penyakitnya
101

pasien tentang proses


penyakit O:
c. Menjelaskan patofisiologi a. Pasien tampak
dari penyakit dan bagaimana mulai paham
hal ini berhubungan dengan dengan
anatomi dan fisiologi dengan penyakitnya,
cara yang tepat b. Pasien masih
d. Mengidentifikasi banyak bertanya
kemungkinan penyebab tentang
penyakit pasien penyakitnya
e. Menjelaskan kondisi pasien
saat ini A:
f. Menjelaskan tentang program Masalah keperawatan
pengobatan pasien kurang pengetahuan
g. Mendiskusikan tentang teratasi sebagian
perubahan gaya hidup yang
mungkin digunakan untuk P:
mencegah komplikasi Lanjutkan intervensi a,
h. Menginstuksikan pasien b, c, d, e, f, g, h,i
mengenai tanda dan gejala
untuk melaporkan pada
pemberi perawatan kesehatan
dengan cara yang tepat
i. Menanyakan kembali
pengetahuan pasien tentang
penyakit, prosedur perawatan
dan pengobatan
102

No Waktu Tindakan dan Terapi Evaluasi Nama


Perawat
1 Shif sore a. Menganjurkan pasien a. TTV pada pukul 17.00 WIB : Ardyan
istirahat yang cukup TD: 120/80mmHg Darmawan
(14.00-20.00 WIB) b. Membantu dan Nadi : 80x/mnt
Menganjurkan keluarga Pernafasan : 18x/mnt
membantu ADL pasien
Suhu : 37ºC
c. Memberikan informasi
terkait penyakit pasien b. Ceftriaxone 1 gr
d. Memantau TTV pasien Ranitidin 50 mg
e. Menganjurkan pasien Ketorolac 30 mg
membatasi tamu
f. Memberikan obat sesuai
orderan dokter
2 Shif malam a. Menganjurkan pasien a. TTV pada pukul 05.00 WIB : Perawat
istirahat yang cukup TD: 120/80mmHg Bedah
(20.00-08.00 WIB) b. Membantu dan Nadi : 80x/mnt
Menganjurkan keluarga Pernafasan : 18x/mnt
membantu ADL pasien
Suhu : 36.7ºC
c. Memantau TTV pasien
d. Menganjurkan pasien b. Ceftriaxone 1 gr
membatasi tamu Ranitidin 50 mg
e. Memberikan obat sesuai
orderan dokter
103

CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

No Diagnosa Tanggal Implementasi Evaluasi Paraf


/ Jam
1. Nyeri akut 31 Juli 2018 a. Mengkaji tingkat nyeri S: Ardyan
berhubungan dengan 09.00 WIB secara komprehensif a. Pasien mengatakan Darmawan
agen cidera fisik termasuk lokasi, masih terasa nyeri
karakteristik, durasi, pada luka post
frekuensi, kualitas dan faktor operasi
presipitasi. b. Pasien mengatakan
b. Mengobservasi reaksi skala nyeri 4
nonverbal dari
ketidaknyamanan. O:
c. Menggunakan teknik a. Pasien tampak
komunikasi terapeutik untuk meringis menahan
mengetahui pengalaman nyeri
nyeri klien sebelumnya. b. Skala nyeri 4
d. Mengontrol faktor c. TTV
lingkungan yang TD: 120/80 mmHg,
mempengaruhi nyeri seperti N: 80 x/i
suhu ruangan, pencahayaan, P:20 x/i
kebisingan. S:37 c
e. Mengurangi faktor presipitasi
nyeri. A:
f. Memilih dan lakukan Masalah keperawatan
penanganan nyeri nyeri akut teratasi
sebagian
104

(farmakologis/non P:
farmakologis). Lanjutkan intervensi a,
g. Mengajarkan teknik non b, c, d, e, f, g, h.
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengatasi
nyeri.
h. Kolaborasi memberikan
analgetik untuk mengurangi
nyeri.
2 Resiko infeksi 31 juli 2018 a. Memonitor tanda dan gejala S: Ardyan
berhubungan dengan infeksi sistemik dan lokal a. Pasien mengatakan Darmawan
Tindakan 13.00 WIB b. Memonitor ,WBC post operasi batu
pembedahan c. Memonitor kerentanan empedu pada perut
sehingga terhadap infeksi pasien
memungkinkan d. Membatasi pengunjung b. Pasien mengatakan
microorganisme e. Mempertahankan teknik terdapat luka t post
masuk aspesis pada pasien yang operasi diperut
beresiko sebelah kanan
f. MengInspeksi kulit dan c. Pasien mengatakan
membran mukosa terhadap luka tertutupi kassa
kemerahan, panas, dan dibaluti kain
g. Menginspeksi kondisi luka / O:
insisi bedah a. Pasien tampak post
h. Mendorong/Memotivasi operasi laparaskopi
Pasien masukkan nutrisi kolelitiasis pada
yang cukup abdomen sebelah
kanan atas pasien
105

i. Meninstruksikan pasien a. Tampak luka post


untuk minum antibiotik operasi diabdomen
sesuai resep sebelah kanan atas
j. Mengajarkan pasien dan b. Tampak luka
keluarga tanda dan gejala tertutupi kassa dan
infeksi kain
k. Mengajarkan cara c. Tampak ± 1-1,5
menghindari infeksi cm
A:
Masalah keperawatan
resiko infeksi teratasi
sebagian
P:
Intervensi
a,b,c,d,e,f,g,h,I,j,k
dilanjutkan

3 Gangguan pola tidur 31 Juli 2018. a. Mendefekasi efek-efek S:


a. Pasien
medikasi terhadap pola tidur
berhubungan dengan 15.00 WIB mengatakan nyeri
b. Menjelaskan pentingnya pada luka post
nyeri akibat post op operasi
tidur yang adekuat
b. Pasien
laparaskopi c. Memfasilitas untuk mengatakan tidur
semalam cukup
mempertahankan aktivitas
kolelitiasis puas, dapat tidur
sebelum tidur (membaca) 5-6 jam
106

31 d. Menciptakan lingkungan yang c. Pasien


mengatakan
nyaman
paham tentang
e. Mendiskusikan dengan pasien pentingnya
manfaat tidur
dan keluarga tentang teknik
tidur pasien O:
c. Pasien tampak
f. Meinstruksikan untuk
lebih segar
memonitor tidur pasien d. Pasien tampak
paham tentang
g. Memonitor waktu makan dan
penjelasan
minum dengan waktu tidur pentingnya tidur
A:
h. Memonitor/catat kebutuhan
Masalah keperaewatan
tidur pasien setiap hari dan gangguan pola tidur
teratasi sebagian
jam
P:
i. Berkolaborasikan pemberian Intervensi
a,c,d,e,f,g,h,i
obat tidur

4 Hambatan mobilitas 31 Juli 2018 a. Mengajarkan dan berikan S: Ardyan


fisik berhubungan 16.00 WIB dorongan pada klien untuk a. Pasien mengatakan Darmawan
dengan perubahan melakukan program latihan sudah mulai bisa
bentuk fisik dan secara rutin duduk dan sudah
nyeri pada luka post b. Mengajarkan teknik bisa ke wc.
operasi Ambulasi & perpindahan b. Pasien mengatakan
107

yang aman kepada klien dan aktifitas sehari-hari


keluarga. dibantu oleh
c. Menyediakan alat bantu keluarga.
untuk klien seperti kruk,
kursi roda, dan walker
d. Memberikan penguatan
positif untuk berlatih mandiri O:
dalam batasan yang aman. a. pasien tampak
e. Mengajarkan pada klien & sudah bisa duduk
keluarga tentang cara di Bed
pemakaian kursi roda & cara b. tampak aktifitas
berpindah dari kursi roda ke sehari-hari pasien
tempat tidur atau sebaliknya. masih dibantu oleh
f. Mendorong klien melakukan keluarga
latihan untuk memperkuat
anggota tubuh dan A:
mempercepat proses Masalah keperawatan
penyembuhan luka hambatan mobilitas
g. Mengajarkan pada klien & fisik teratasi sebagian
keluarga untuk dapat
mengatur posisi secara P:
mandiri dan menjaga Lanjutkan intervensi a,
keseimbangan selama latihan b, c, d, e, f, g, h, i, .
ataupun dalam aktivitas
sehari hari.
h. Mengajarkan pada klien/
keluarga untuk
memperhatikan postur tubuh
108

yg benar untuk menghindari


kelelahan, keram & cedera.
i. Kolaborasikan ke ahli terapi
fisik untuk program latihan.

5 Defisiensi 31 Juli 2018 a. Mengkaji pengetahuan S: Ardyan


Pengetahuan b.d 19.00 WIB pasien tentang penyakitnya Pasien mengatakan Darmawan
kurang informasi b. Memberikan penilaian sudah mulai paham
tentang tingkat pengetahuan tentang penyakitnya
pasien tentang proses
penyakit O:
c. Menjelaskan patofisiologi Pasien tampak paham
dari penyakit dan bagaimana tentang penyakitnya
hal ini berhubungan dengan
anatomi dan fisiologi dengan A:
cara yang tepat Masalah keperawatan
d. Mengidentifikasi kurang pengetahuan
kemungkinan penyebab teratasi sebagian
penyakit pasien
e. Menjelaskan kondisi pasien P:
saat ini Intervensi dilanjutkan
f. Menjelaskan tentang program
pengobatan pasien
g. Mendiskusikan tentang
perubahan gaya hidup yang
mungkin digunakan untuk
mencegah komplikasi
109

h. Menginstuksikan pasien
mengenai tanda dan gejala
untuk melaporkan pada
pemberi perawatan kesehatan
dengan cara yang tepat

No Waktu Tindakan dan Terapi Evaluasi Nama


Perawat
1 Shif sore b. Menganjurkan pasien a. TTV pada pukul 17.00 Ardyan
istirahat yang cukup WIB : Darmawan
(14.00-20.0 IB) a. Membantu dan TD: 120/80mmHg
Menganjurkan Nadi : 80x/mnt
keluarga membantu Pernafasan : 18x/mnt
ADL pasien
Suhu : 37ºC
b. Memberikan informasi
terkait penyakit pasien b. Ceftriaxone 1 gr
c. Memantau TTV pasien Ranitidin 50 mg
d. Menganjurkan pasien c. Hasil Evidance Based:
membatasi tamu Nyeri berkurang dari skala 4
e. Melakukan Evidence turun ke skala 3.
Based Jurnal efektifitas
Genggam Jari.
f. Memberikan obat
sesuai orderan dokter
110

2 Shif malam b. Menganjurkan pasien a. TTV pada pukul 05.00 WIB : Perawat
istirahat yang cukup TD: 120/80mmHg Bedah
(20.00-08.0 IB) a. Membantu dan Nadi : 80x/mnt
Menganjurkan Pernafasan : 18x/mnt
keluarga membantu
Suhu : 36.7ºC
ADL pasien
b. Memantau TTV b. Ceftriaxone 1 gr
pasien Ranitidin 50 mg
c. Melakukan Evidence c. Hasil evidance based jurnal
Based Jurnal ambulasi berhasil menurunkan nyeri
dini dari skala 4 ke skala 3
d. Memberi penyuluhan
diit rendah lemak
e. Menganjurkan pasien
membatasi tamu
f. Memberikan obat
sesuai orderan dokter

CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

No Diagnosa Tanggal Implementasi Evaluasi Paraf


/ Jam
1. Nyeri akut 01 agustus a. Mengkaji tingkat nyeri S: Ardyan
berhubungan dengan 2018 secara komprehensif a. Pasien mengatakan Darmawan
agen cidera fisik 08.00 WIB termasuk lokasi, masih terasa nyeri
karakteristik, durasi, pada luka post
operasi
111

frekuensi, kualitas dan faktor b. Pasien mengatakan


presipitasi. skala nyeri
b. Mengobservasi reaksi sebelum di berikan
nonverbal dari uap lemon 4 saat
ketidaknyamanan. diberikan uap
c. Menggunakan teknik lemon nyeri turun
komunikasi terapeutik untuk ke skala 2
mengetahui pengalaman c. Pasien mengtakan
nyeri klien sebelumnya. sangat rileks saat
d. Mengontrol faktor di berikan uap
lingkungan yang lemon
mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan, O:
kebisingan. a. Pasien tampak
e. Mengurangi faktor presipitasi tenang
nyeri.
f. Memilih dan lakukan b. Skala nyeri 4
penanganan nyeri c. TTV
(farmakologis/non TD: 120/80
farmakologis). mmHg,
g. Mengajarkan teknik non N: 80 x/i
farmakologis (relaksasi, P:18 x/i
distraksi dll) untuk mengatasi S:36,7 c
nyeri.
h. Kolaborasi memberikan
analgetik untuk mengurangi
nyeri.
A:
112

i. Melakukan Evidence Based Masalah keperawatan


jurnal efektifitas uap lemon nyeri akut belum
untuk mengurangi nyeri teratasi
P:
Lanjutkan intervensi a,
b, c, d, e, f, g, h.
2 Resiko infeksi 01 agustus a. Memonitor tanda dan gejala S:
berhubungan dengan 2018 infeksi sistemik dan lokal a. a. Pasien mengatakan
Tindakan 09.00 WIB a. Memonitor ,WBC luka masih sudah
pembedahan b. Memonitor kerentanan kering dan baru selesai
sehingga terhadap infeksi ganti perban
memungkinkan c. Membatasi pengunjung b. b. pasien mengatakan
microorganisme d. Mempertahankan teknik paham tentang
masuk aspesis pada pasien yang perawatan luka
beresiko c.
e. MengInspeksi kulit dan d. O:
membran mukosa terhadap a. Tampak luka post
kemerahan, panas, operasi diabdomen
f. Menginspeksi kondisi luka / sebelah kanan atas
insisi bedah b. Tampak luka
g. Mendorong/Memotivasi tertutupi kassa dan
Pasien masukkan nutrisi kain
yang cukup c. Tampak ± 1-1,5
h. Meninstruksikan pasien cm
untuk minum antibiotik d. Tidak ada tanda
sesuai resep tanda infeksi

A:
113

i. Mengajarkan pasien dan Masalah keperawatan


keluarga tanda dan gejala resiko infeksi teratasi
infeksi
j. Mengajarkan cara P:
menghindari infeksi Intervensi dihentikan

3 Hambatan mobilitas 01 agustus a. Mengajarkan dan berikan S: Ardyan


fisik berhubungan 2018 dorongan pada klien untuk a. Pasien mengatakan Darmawan
dengan perubahan 10.0 WIB melakukan program latihan sudah begerak
bentuk fisik dan secara rutin secara mandiri
nyeri pada luka post b. Mengajarkan teknik b. Pasien mengatakan
operasi Ambulasi & perpindahan kegiatan tidak lagi
yang aman kepada klien dan dibantu keluarga.
keluarga. O:
c. Menyediakan alat bantu a. Pasien tampak
untuk klien seperti kruk, segar
kursi roda, dan walker b. Pasien tampak
e. Memberikan penguatan sudah bias
positif untuk berlatih berjalan dan
mandiri dalam batasan yang aktifitas tidak
aman. dibantu kelurga
f. Mengajarkan pada klien & lagi
keluarga tentang cara A:
pemakaian kursi roda & cara Masalah keperawatan
berpindah dari kursi roda ke hambatan mobilitas
tempat tidur atau sebaliknya. fisik teratasi
114

g. Mendorong klien melakukan


latihan untuk memperkuat P:
anggota tubuh dan Intervensi dihentikan
mempercepat proses
penyembuhan luka
h. Mengajarkan pada klien &
keluarga untuk dapat
mengatur posisi secara
mandiri dan menjaga
keseimbangan selama latihan
ataupun dalam aktivitas
sehari hari.
i. Mengajarkan pada klien/
keluarga untuk
memperhatikan postur tubuh
yg benar untuk menghindari
kelelahan, keram & cedera.
j. Kolaborasikan ke ahli terapi
fisik untuk program latihan.

4 Defisiensi 30 Juli 2018 S: Ardyan


Pengetahuan b.d 19.00 WIB a. Memberikan penilaian Pasien mengatakan Darmawan
kurang informasi tentang tingkat pengetahuan paham tentang
pasien tentang proses penyakitnya
penyakit
b. Mengidentifikasi O:
kemungkinan penyebab Pasien tampak paham
penyakit pasien tentang penyakitnya
115

c. Menjelaskan kondisi pasien Pasien bisa menjawab


saat ini pengertian, tanda dan
d. Mendiskusikan tentang gejala,penyebab dan
perubahan gaya hidup yang komplikasi kolelitiasis.
mungkin digunakan untuk
mencegah komplikasi A:
e. Menginstuksikan pasien Masalah keperawatan
mengenai tanda dan gejala kurang pengetahuan
untuk melaporkan pada teratasi
pemberi perawatan kesehatan
dengan cara yang tepat P:
intervensi dihentikan.

No Waktu Tindakan dan Terapi Evaluasi Nama


Perawat
1 Shif sore a. Menganjurkan pasien Pasien mengatakan merasa Ardyan
istirahat yang cukup senang dan mengerti setelah Darmawan
(14.00-16.00 WIB) c. Memberikan informasi diajari bagaimana perawatan
terkait penyakit pasien
luka dirumah dan pengontrolan
a. Mengingatkan tanggal
kontrol makanan dengan diet rendah
b. Menganjurkan pola hidup lemak.
sehat Pasien Pulang Jam 16.00 WIB
c. Menganjurkan perawatan
luka secara benar.
116

2 Shift pagi 1) Menganjurkan pasien Pasien mengatakan merasa Ardyan


istirahat yang cukup senang karena nyeri yang ia darmawan
Tanggal 09 agustus 2) Memberikan informasi rasakan tidak ia rasakan lagi.
2018 terkait penyakit pasien
Jam 10.00 WIB 3) Menganjurkan pola
hidup sehat
Kontrol ulang pasien 4) Menganjurkan
dipoli bedah perawatan luka secara
benar.
117

BAB IV

TELAAH JURNAL

Pada BAB ini penulis melakukan telaah terhadap 3 jurnal yang berjudul

pengaruh teknik relaksasi genggam jari terhadap penurunan intensitas nyeri pada

pasien laparoskopi, efektivitas ambulansi dini terhadap penurunan intensitas nyeri

pada pasien post operasi laparoskopi di RSUD Kudus, dan efektifitas terapi aroma

lemon terhadap penurunan skala nyeri pada pasien post laparoskopi,

A. Pengaruh Teknik Relaksasi Genggam Jari Terhadap Penurunan Intensitas

Nyeri Pada Pasien Post Operasi Laparoskopi

Penelitian ini dilakukan oleh Iin pinandita, Ery Purwanti, dan Bambang

utoyo dengan judul pengaruh teknik relaksasi genggam jari terhadap penurunan

intensitas nyeri pada pasien post operasi laparoskopi. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi genggam jari terhadap

penurunan intensitas nyeri pada pasien post laparoskopi di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Gombong. Penelitian ini menggunakan metode Quasi-

Experiment dengan rancangan pre-test-post-test with control group design.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat inap RSU PKU

Muhammadiyah Gombong yang telah menjalani post operasi laparoskopi.

Jumlah populasi pasien laparoskopi dalam 1 tahun terakhir adalah berjumlah 168

orang. Pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling yaitu suatu

teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai

yang dikehendaki peneliti. Dalam menentukan sampel, apabila populasinya

berjumlah lebih dari 100 maka sebaiknya diambil antar 10 – 15 % atau 20 – 25

% dan jika populasinya kurang dari 100 maka jumlah sampelnya adalah seluruh
118

dari jumlah populasi. Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

20% dari jumlah populasi Jadi peneliti menggunakan 17 responden kelompok

eksperimen dan 17 responden kelompok kontrol dalam waktu 3 bulan. Sampel

diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu :kriteria inkulsi umur 15

- 50 tahun, pasien post operasi laparoskopi hari ke-1, pasien mendapatkan terapi

analgetik yang sama, 7-8 jam setelah pemberian analgetik, pasien sadar, pasien

bersedia menjadi responden. kriteria eksklusi pasien post operasi laparoskopi

yang masuk ICU, pasien tidak kooperatif (Aziz, 2007 dalam Pinandita, 2012).

Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan dibidang

kesehatan untuk mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien. Manajemen nyeri

yang tepat haruslah mencakup penanganan secara keseluruhan, tidak hanya

terbatas pada pendekatan farmakologi saja, karena nyeri juga dipengaruhi oleh

emosi dan tanggapan individu terhadap dirinya. Secara garis besar ada dua

manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan

manajemen non farmakologi. Teknik farmakologi adalah cara yang paling

efektif untuk menghilangkan nyeri terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang

berlangsung selama berjam-jam atau bahkan berhari hari (Smeltzer and Bare,

2002 dalam purwanti, 2012). Pemberian analgesic biasanya dilakukan untuk

mengurangi nyeri. Selain itu, untuk mengurangi nyeri umumnya dilakukan

dengan memakai obat tidur. Namun pemakaian yang berlebihan membawa efek

samping kecanduan, bila overdosis dapat membahayakan pemakainya(Coates,

2001 dalam Pinandita,2012 ).

Metode pereda nyeri non farmakologis biasanya mempunyai resiko yang

sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan pengganti untuk


119

obat–obatan, tindakan tesebut mugkin diperlukan atau sesuai untuk

mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau menit

(Smeltzer and Bare, 2002). Teknik relaksasi merupakan salah satu metode

manajemen nyeri non farmakologi dalam strategi penanggulangan nyeri,

disamping metode TENS (Transcutaneons Electric Nerve Stimulation),

biofeedack, placebo dan distraksi. Manajemen nyeri dengan melakukan teknik

relaksasi merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi respon internal

individu terhadap nyeri. Manajemen nyeri dengan tindakan relaksasi. mencakup

latihan pernafasan diafragma, teknik relaksasi progresif, guided imagery, dan

meditasi, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi nafas dalam

sangat efektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Brunner & Suddart, 2001

dalam Purwanti,2012).

Beberapa penelitian, telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam

menurunkan nyeri pasca operasi. Ini mungkin karena relatif kecilnya peran otot-

otot skeletal dalam nyeri pasca-operatif atau kebutuhan pasien untuk melakukan

teknik relaksasi tersebut agar efektif. Relaksasi merupakan kebebasan mental

dan fisik dari ketegangan dan stress, karena dapat mengubah persepsi kognitif

dan motivasi afektif pasien. Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol

diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri

(Potter & Perry, 2005 dalam Purwanti, 2012).

Berbagai macam bentuk relaksasi yang sudah ada adalah relaksasi otot,

relaksasi kesadaran indera, relaksasi meditasi, yoga dan relaksasi hipnosa

(Utami, 1993). Dari bentuk relaksasi di atas belum pernah dimunculkan kajian

tentang teknik relaksasi genggam jari. Relaksasi genggam jari adalah sebuah
120

teknik relaksasi yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun yang

berhubungan dengan jari tangan serta aliran energi di dalam tubuh kita. Teknik

genggam jari disebut juga finger hold (Liana,2008 ).

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa Intensitas nyeri pre test pada

responden yang dilakukan relaksasi genggam jari (kelompok eksperimen)

memiliki rata-rata (mean) 6.64, sedangkan pre test pada kelompok control

memiliki rata-rata (mean) 6.58, yang berarti kedua kelompok tersebut memiliki

hasil rata-rata yang tidak jauh berbeda, dikarenakan pre test pada kedua

kelompok ini dilakukan pada hari pertama (24 jam setelah operasi), dimana

dalam masa tersebut nyeri sudah mengalami penurunan sehingga tidak

ditemukan nyeri yang berat dan sangat berat. Hal ini sesuai dengan penelitian

Ekstein (2006) tentang studi prospektif intensitas nyeri dalam 24 jam dan

pemberian analgesia pada pembedahan laparaskopi dan laparoskopi, pada

penelitian tersebut ditemui 0-4 jam post operasi kategori hebat dan setelah 24

jam nyeri berkurang.

Intensitas nyeri post test pada responden yang dilakukan relaksasi genggam

jari memiliki rata-rata (mean) 4.88 sedangkan post test pada kelompok kontrol

memiliki ratarata (mean) 6.47, sehingga tampak perbedaan intensitas nyeri

antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol post test. Pada kelompok

eksperimen telah diberikan perlakuan relaksasi genggam jari selama + 15 menit

sehingga terdapat penurunan intensitas nyeri. Sesuai dengan Liana(2008) yang

mengemukakan bahwa menggenggam jari sambil menarik nafas dalam-dalam

(relaksasi) dapat mengurangi dan menyembuhkan ketegangan fisik dan emosi,


121

karena genggaman jari akan menghangatkan titik-titik keluar dan masuknya

energi pada meredian (energi channel) yang terletak pada jari tangan kita.

Pada kelompok kontrol, dapat diartikan bahwa tidak terjadi penurunan

intensitas nyeri. Hal ini dikarenakan pada hari pertama (24 jam setelah operasi),

luka post operasi masih dalam fase inflamasi dimana fase inflamasi berlangsung

sampai 5 hari pasca operasi dan pasien masih berada dalam kondisi merasakan

nyeri (artikel kesehatan, 2009). Pasien yang tidak mendapatkan perlakuan

relaksasi genggam jari masih berpusat pada rasa nyeri dan ketidaknyamanan

terhadap nyeri yang dirasakan. Sehingga dalam waktu + 15 menit dilakukannya

post test tanpa perlakuan relaksasi genggam jari, nyeri tersebut tidak mengalami

penurunan.perbedaan rata-rata pre test-post test pada kelompok kelompok

eksperimen adalah 1.764, sedangkan perbedaan rata-rata pre test-post test pada

kelompok kontrol adalah 0.117.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui perbedaan rata-rata pre test-post test

pada kelompok eksperimen adalah 1.764, sedangkan perbedaan rata-rata pre

test-post test pada kelompok kontrol adalah 0.117. Perbedaan rata-rata intensitas

nyeri yang dirasakan responden dimungkinkan dapat terjadi karena kemampuan

setiap individu berbeda dalam merespon dan mempersepsikan nyeri yang

dialami, keadaan ini dapat dihubungkan dengan karakteristik yang dimiliki oleh

responden. Menurut Potter dan Perry (2005), kemampuan seseorang dalam

mempersepsikan nyeri dipengaruhi oleh sejumlah factor seperi usia, jenis

kelamin, lingkungan, kecemasan dan lain-lain. Dimana faktor-faktor tersebut

dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri, meningkatkan atau


122

menurunkan toleransi terhadap nyeri, dan mempengaruhi sikap respons terhadap

nyeri.

Pada kelompok eksperimen, intensitas nyeri pre tes memiliki mean 6.64 dan

intensitas nyeri post test memiliki mean 4.88. Pada kelompok kontrol, intensitas

nyeri pre tes memiliki mean 6.58 dan intensitas nyeri post test memiliki mean

6.47. dapat disimpulkan dari tindakan yang telah dilakukan skala nyeri

mengalami penurunan dari 6.64 menjadi 4.88

Berdasarkan harga signifikansi (p), dimana nilai p=0.000, dimana nilai

tersebut (p < 0.05), artinya terdapat pengaruh teknik relaksasi genggam jari

terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparoskopi di RS

PKU Muhammadiyah Gombong.

Setelah penulis memberikan Asuhan keperawatan terhadap pasien,

didapatkan hasil bahwa terdapat perubahan skala nyeri pada pasien post operasi

laparoskopi walaupun penurunan skala nyeri tidak terjadi secara signifikan.

Hasil pengkajian peneliti didukung oleh penelitian Jacobson dan Wolpe

menunjukkan bahwa relaksasi dapat mengurangi ketegangan dan kecemasan

(Wallace, 1971. Beech dkk, 1982). Relaksasi merupakan kebebasan mental dan

fisik dari ketegangan dan stress, karena dapat mengubah persepsi kognitif dan

motivasi afektif pasien. Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri

ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada

nyeri(Potter & Perry, 2005 dalam Pinandita, 2012).

B. Efektivitas Ambulasi Dini terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada

Pasien Post Operasi Laparoskopi di RSUD Kudus


123

Penelitian yang dilakukan oleh Yuni Rustianawati, Sri Karyati, dan Rizka

Himawan dengan judul efektivitas ambulasi dini terhadap penurunan intensitas

nyeri pada pasien post operasi laparoskopi di RSUD kudus meiliki tujuan untuk

mengetahui efektivitas ambulasi dini terhadap penurunan intensitas nyeri pada

pasien post operasi laparoskopi di RSUD. Penelitian ini termasuk jenis

penelitian Quasi Ekperimen dengan desain penelitian Non Equivalent Control

Group. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien operasi laparoskopi di RSUD

Kudus sebanyak 20 orang pada bulan Januari-Pebruari 2013. Teknik

pengambilan sampel dengan Accidental Sampling sehingga besar sampel

sebanyak 20 responden. Uji analisa data dengan uji Independent Samples T test.

Nyeri merupakan pengalaman pribadi yang diekspresikan secara berbeda

pada masingmasing individu. Setiap individu memiliki pengalaman nyeri dalam

skala tertentu. Nyeri bersifat subyektif, dan persepsikan individu berdasarkan

pengalamannya. Perawat perlu mencari pendekatan yang paling efektif dalam

upaya pengontrolan nyeri (Potter, 2005 dalam Rustianawati, 2013). Pasien post

laparoskopi memerlukan perawatan yang maksimal untuk mempercepat

pengembalian fungsi tubuh. Hal ini dilakukan segera setelah operasi dengan

latihan napas dan batuk efektif dan mobilisasi dini. Perawatan post laparoskopi

merupakan bentuk perawatan yang diberikan kepada pasien yang telah

menjalani operasi pembedahan perut. Tujuan perawatannya adalah mengurangi

komplikasi, meminimalkan nyeri, mempercepat penyembuhan, mengembalikan

fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan

konsep diri dan mempersiapkan pulang, hal ini dilakukan sejak pasien masih di

ruang pulih sadar (Arif, 2010 dalam Rustianawati, 2013).


124

Menurut Widya (2010) Pasien pasca operasi seringkali dihadapkan pada

permasalahan adanya proses peradangan akut dan nyeri yang mengakibatkan

keterbatasan gerak. Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tidak dapat

dihindari tetapi ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien.

Akibat nyeri pasca operasi, pasien menjadi immobil yang merupakan

kontraindikasi yang dapat mempengaruhi kondisi pasien. Dari segi penderita,

timbulnya dan beratnya rasa nyeri pasca bedah dipengaruhi fisik, psikis atau

emosi, karakter individu dan sosial kultural maupun pengalaman masa lalu

terhadap rasa nyeri. Derajat kecemasan penderita pra bedah dan pasca bedah

juga mempunyai peranan penting. Misalnya, takut mati, takut kehilangan

kesadaran, takut akan terjadinya penyulit dari anestesi dan pembedahan, rasa

takut akan rasa nyeri yang hebat setelah pembedahan selesai (Rustianawati,

2013).

Intervensi keperawatan untuk meningkatkan pengembalian fungsi tubuh

dan mengurangi nyeri, pasien dianjurkan melakukan mobilisasi dini, yaitu

latihan gerak sendi, gaya berjalan, toleransi aktivitas sesuai kemampuan dan

kesejajaran tubuh. Ambulasi dini pasca laparoskopi dapat dilakukan sejak di

ruang pulih sadar (recovery room) dengan miring kanan/kiri dan memberikan

tindakan rentang gerak secara pasif. Menurut Kasdu (2005) mobilisasi dini post

operasi laparoskopi dapat dilakukan secara bertahap, setelah operasi, pada 6 jam

pertama pasien harus tirah baring dulu. Mobilisasi dini yang bisa dilakukan

adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan

memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta

menekuk dan menggeser kaki. Setelah 6-10 jam, pasien diharuskan untuk dapat
125

miring kekiri dan kekanan untuk mencegah trombosis dan trombo emboli.

Setelah 24 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar duduk. Setelah pasien

dapat duduk, dianjurkan untuk belajar berjalan (Kasdu, 2005 dalam

Rustianawati, 2013).

Latihan ambulasi dini dapat meningkatkan sirkulasi darah yang akan

memicu penurunan nyeri dan penyembuhan luka lebih cepat. Terapi latihan dan

mobilisasi merupakan modalitas yang tepat untuk memulihkan fungsi tubuh

bukan saja pada bagian yang mengalami cedera tetapi juga pada keseluruhan

anggota tubuh. Terapi latihan dapat berupa passive dan active exercise, terapi

latihan juga dapat berupa transfer, posisioning dan ambulasi untuk

meningkatkan kemampuan aktivitas mandiri (Smeltzer & Bare, 2002 dalam

Rustianwati, 2013).

Menurut Potter & Perry (2005) mobilisasi dini sangat penting sebagai

tindakan pengembalian secara berangsur-angsur ke tahap mobilisasi

sebelumnya. Dampak mobilisasi yang tidak dilakukan bisa menyebabkan

gangguan fungsi tubuh, aliran darah tersumbat dan peningkatan intensitas nyeri.

Mobilisasi dini mempunyai peranan penting dalam mengurangi rasa nyeri

dengan cara menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi nyeri atau daerah

operasi, mengurangi aktivasi mediator kimiawi pada proses peradangan yang

meningkatkan respon nyeri serta meminimalkan transmisi saraf nyeri menuju

saraf pusat. Melalui mekanisme tersebut, ambulasi dini efektif dalam

menurunkan intensitas nyeri pasca operasi (Nugroho, 2010 dalam Rustianawati,

2013).
126

Hasil studi pendahuluan pada Bulan Oktober 2012 di RSUD Kudus

didapatkan jumlah pasien bedah dengan kategori bedah laparoskopi meningkat

setiap bulannya. Pada bulan Juli 2012 sebanyak 8 kasus, bulan Agustus 2012

sebanyak 12 kasus, bulan September 14 kasus. Masalah keperawatan utama pada

pasien bedah adalah nyeri akut, meskipun sudah diberikan tindakan medis

dengan obat analgetik, pasien masih merasakan nyeri yang hebat. Dalam hal ini

tindakan mandiri perawat adalah melatih pasien untuk melakukan teknik

distraksi relaksasi napas dalam. Selan itu intervensi untuk melakukan mobilisasi

dini juga sangat berpengaruh terhadap penurunan nyeri pasien. Tindakan

mobilisasi dini dapat dilakukan secara aktif dan pasif, mulai di ruang pulih sadar

dan di ruang perawatan.

Uji Independent Samples T Test, pada hari ke 1 didapatkan nilai p value =

0.009, hari ke 2 didapatkan nilai p value 0.000 dan hari ke 3 didapatkan nilai p

value 0.000. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan rata-rata intensitas nyeri

hari ke 1, 2 dan 3 antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (Ha

diterima dan Ho ditolak).

Setelah penulis memberikan Asuhan keperawatan terhadap pasien,

didapatkan hasil bahwa terdapat perubahan skala nyeri setelah diberikan terapi

ambulasi pada pasien post laparoskopi kolelitiasis. Hal ini didukung oleh hasil

penelitian yang dilakukan oleh Irwansyah (2011) tentang pengaruh latihan

rentang gerak sendi terhadap lingkup gerak sendi pada pasien fraktur femur post

operasi orif di Instalasi Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Pusat Dr.

Mohammad Hoesin Palembang memberikan kesimpulan bahwa latihan rentang

gerak dapat meningkatkan lingkup gerak sendi. Penelitian yang dilakukan oleh
127

Salam (2012) tentang pengaruh mobilisasi terhadap kesembuhan luka post

laparoskopi mendapatkan hasil bahwa mobilisasi pasca laparoskopi dapat

mempercepat kesembuhan luka, selain itu disebutkan juga mobilisasi dapat

menurunkan nyeri.

C. Efektifitas Terapi Aroma Lemon terhadap Penurunan Skala Nyeri pada

Pasien Post Laparoskopi

Penelitian yang dilakukan oleh Fadhla Purwandari, Siti Rahmalia, dan

Febriana Sabrian dengan judul efektifitas terapi aroma lemon terhadap

penurunan skala nyeri pada pasien post laparoskopi bertujuan untuk

mengidentifikasi efektifitas aroma terapi lemon untuk menurunkan skala nyeri

pada pasien post laparoskopi. Jenis desain penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah quasy eksperiment dengan rancangan penelitian pre test and

post test designs with control group. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien

post laparoskopi di Rumah Sakit Awal Bross dan Rumah Sakit Syafira Pekan

Baru. Sampel penelitian ini diperoleh menggunakan teknik purposive sampling

dengan memilih 30 orang sampel. Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 15-23

Januari 2014. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan lembar observasi

untuk melakukan observasi terhadap efektivitas aroma terapi lemon untuk

menurunkan skala nyeri pada pasien post laparoskopi. Peneliti memberikan

intervensi kepada kelompok eksperimen selama 10 menit untuk menghirup

aroma terapi lemon.

Data dianalisis secara univariat dan bivariat menggunakan uji t. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa aroma terapi jeruk nipis sangat signifikan untuk

mengurangi skala nyeri pasien post laparoskopi dngan nilai (p=0,0000).


128

Berdasarkan hasil peneitian peneliti merekomendasikan kepada pelayan

kesehatan untuk menerapkan terapi aroma lemon sebagai teknik non

farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri.

Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive

dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat

ruang antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga memberikan akses

endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut. Teknik laparoskopi atau

pembedahan minimally invasive diperkirakan menjadi trend bedah masa depan.

Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional.

Pasien harus puasa empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang

air besar agar ususnya mengempis. Sebelum puasa pasien laparoskopi diberikan

makanan cair atau bubur, makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk

mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna. Setelah pasien teranestesi, tindakan

operasi pertama yang dilakukan adalah membuat sayatan di bawah lipatan pusar

sepanjang 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk memasukkan gas

CO2 sampai batas kira-kira 12-15 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2 itu,

perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan

menciptakan ruang di dalam perut. Setelah perut terisi gas CO2, alat trocar

dimasukkan. Alat itu seperti pipa dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat

lain selama pembedahan. Ada empat trocar yang dipasang di tubuh. Pertama,

terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada (antara dada

dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di pertengahan trocar kedua

agak ke sebelah kanan (di bawah tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar

keempat, bilamana diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5


129

mm. Melalui trocar inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik, dan

kamera, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai ‘mata’

dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat organ-organ

tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera tersebut yang

disalurkan ke monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai keempat merupakan

trocar kerja (Haryoga, 2008).

Penatalaksanaan nyeri yang tidak adekuat dapat menimbulkan konsekuensi

terhadap pasien dan anggota keluarga. Penatalaksanaan nyeri akan lebih efektif

jika dikombinasikan dengan terapi nonfarmakologi. Salah satu terapi

nonfarmakologi yang dapat digunakan yaitu aromaterapi. Aromaterapi

merupakan penggunaan ekstrak minyak esensial tumbuhan yang digunakan

untuk memperbaiki mood dan kesehatan (Primadiati, 2002 dalam Rahmalia,

2014).

Mekanisme kerja perawatan aromaterapi dalam tubuh manusia berlangsung

melalui dua sistem fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan sistem penciuman.

Wewangian dapat mempengaruhi kondisi psikis, daya ingat, dan emosi

seseorang. Aromaterapi lemon merupakan jenis aroma terapi yang dapat

digunakan untuk mengatasi nyeri dan cemas. Zat yang terkandung dalam lemon

salah satunya adalah linalool yang berguna untuk menstabilkan sistem saraf

sehingga dapat menimbulkan efek tenang bagi siapapun yang menghirupnya

(Wong,2010 dalam Rahmalia,2014).

Bau berpengaruh langsung terhadap otak manusia, seperti narkotika.

Hidung memiliki kemampuan untuk membedakan lebih dari 100.000 bau yang

berbeda yang mempengaruhi manusia tanpa disadari. Baubauan tersebut masuk


130

ke hidung dan berhubungan dengan silia. Reseptor di silia mengubah bau

tersebut menjadi impuls listrik yang dipancarkan ke otak dan mempengaruhi

bagian otak yang berkaitan dengan mood (suasana hati),emosi, ingatan, dan

pembelajaran (Tara, 2005 dalam Rahmalia, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Bakti (2010) membuktikan bahwa aroma

lavender dapat menurunkan intensitas nyeri dismenore primer (p=0,001).

Simanjuntak dan Maharani (2009) juga membuktikan bahwa aromaterapi

lavender dengan menggunakan tungku pemanas dapat menurunkan intensitas

nyeri kala I (p=0,001).Penelitian Sulistyowati (2009) membuktikan bahwa terapi

aroma lavender efektif untuk menurunkan nyeri dan kecemasan kala I pada

primipara (p=0,001). Penelitian Yuliadi (2011) membuktikan bahwa aroma

lemon dapat memberikan efek rileks pada pasien pre operasi sectio cessaria

(p<0,05).

Hasil uji statistik didapatkan nilai rata-rata intensitas nyeri post laparoskopi

sebelum diberikan aroma lemon pada kelompok eksperimen adalah 5,07 dengan

standar deviasi 0,704 dan 2,60 sesudah diberikan aroma lemon dengan standar

deviasi 0,737. Perbedaan nilai mean pre-test dan post-test pada kelompok

eksperimen adalah sebesar 2,47. Hasil analisa diperoleh p (0,000) < α (0,05),

maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan antara mean intensitas

nyeri post laparoskopi sebelum dan sesudah diberikan aroma lemon pada

kelompok eksperimen.

Nilai rata-rata intensitas nyeri post laparoskopi sebelum diberikan intervensi

pada kelompok kontrol adalah 4,73 dengan standar deviasi 1,033 dan 4,47

sesudah tanpa diberikan aroma lemon dengan standar deviasi 0,915. Perbedaan
131

nilai mean pretest dan postest pada kelompok control adalah sebesar 0,26. Hasil

analisa diperoleh p (0,164) > α (0,05), maka dapat disimpulkan tidak ada

perbedaan yang signifikan antara mean intensitas nyeri post laparoskopi sebelum

dan sesudah diberikan aroma lemon pada kelompok kontrol.

Nilai rata-rata intensitas nyeri post laparoskopi sesudah menghirup aroma

lemon pada kelompok eksperimen adalah 2,6 dengan standar deviasi 0,737 dan

4,47 pada kelompok kontrol tanpa menghirup aroma lemon dengan standar

deviasi 0,915. Melalui uji statistik diperoleh nilai p (0,000) < α (0,05), maka

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata

skala nyeri sebelum dengan rata-rata skala nyeri sesudah menghirup aroma

lemon pada kelompok eksperimen

Setelah penulis memberikan Asuhan keperawatan terhadap pasien,

didapatkan hasil bahwa terdapat perubahan skala nyeri yang signifikan setelah

diberikan terapi aroma lemon pada pasien post laparoskopi kolelitiasis. Hal ini

didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Warwick.

Inggris, bahwa bau yang dihasilkan aroma terapi berkaitan dengan gugus steroid

di dalam kelenjar keringat yang disebut osmon mempunyai potensi sebagai

penenang kimia alami yang akan menstimulus neurokimia otak. Bau yang

menyenangkan akan menstimulasi thalamus untuk mengeluarkan enkefalin.

Enkrfalin memiliki fungsi sebagai penghilang rasa sakit alami dan menghasilkan

perasaan sejahtera. Beberapa penelitian lain telah membuktikan bahwa aroma

terapi efektif menurunkan intensias nyeri yang dirasakan pasien (Kim Nam &

Paik, 2005 dalam Narrilawati,2015)


132

BAB V
PEMBAHASAN

A. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan post laparoskopi


kolelitiasis

Kolelitiasis disebut juga sinonimnya adalah batu empedu,

gallstones, biliary calculus. Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit

batu empedu merupakan penyakit yang di dalamnya terdapat batu

empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam

saluran empedu atau pada kedua-duanya. Kolelitiasis adalah material

atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu

(Mowan 1998 dalam Gustawan 2007)

Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang

membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung

empedu. Batu empedu adalah timbunan Kristal di dalam kandung

empedu atau di dalam saluran empedu Komposisi dari kolelitiasis

adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks

inorganic. Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama

kolik dan asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4%

kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin (Precise, 2011).

Penyebab batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna

namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang

disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi

kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu

adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan


133

empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi

tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu. Batu di dalam

kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-pigmen

empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium

dan protein (Gustawan (2007 dalam Amelia, 2013)

Faktor resiko terjadinya kolelitiasis adalah wanita ( beresiko dua

kali lebih besar dibanding laki-laki), usia lebih dari 40 tahun,

kegemukan (obesitas), faktor keturunan, aktivitas fisik, kehamilan,

hiperlipidemia, diet tinggi lemak dan rendah serat, pengosongan

lambung yang memanjang, nutrisi intravena jangka lama, dismotilitas

kandung empedu, Obat-obatan antihiperlipidemia, Penyakit lain (

fibrosis sistik, diabetes mellitus, serosis hati, pancreatitis, kanker

kandung empedu, dan penyakit ileus) (Tsai CJ, 2006).

Penderita kolelitiasis sering mempunyai gejala-gejala kolestitis

akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak

pada abdomen bagian atas, terutama di tengah epigastrium. Lalu nyeri

menjalar ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat

berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan

muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau

dapat kembali terulang (Hunter, 2014).

Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi

beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat

riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang
134

berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam

dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan

masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling

sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada

duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat

sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat

menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan

hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding

kandung empedu (Beat, 2008).

Penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada pasien dengan

post laparoskopi kolelitiasis adalah dengan penatalaksanaan non bedah

farmakologis Irsidiol, Actigal Untuk menghancurkan batu, mengurangi

konten kolesterol dalam batu empedu , Chenodiol/Chenix, analgesic,

Antibiotik (Alina, 2008 dalam Sjamsuhidayat, 2010).

Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah dengan

pengangkatan batu tanpa operasi, pembedahan dengan Kolesistektomi

terbuka Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien

denga kolelitiasis simtomatik, Kolesistektomi laparoskopik,

kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di

Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian

dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan

mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu

diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding

perut (Sjamsuhidayat, 2010 dalam Doherty, 2015). Disolusi medis,


135

masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan

adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat

disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis

kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah

mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap

terjadi sekitar 15%. Selain itu, Litotripsi Gelombang Elektrosyok

(ESWL) sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis

biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya

terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk

menjalani terapi ini (Alina,2008).

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal proses keperawatan dan merupakan

suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber

data untuk mengevaluasi dan mengindentifikasi status kesehatan pasien

(Potter dan Perry, 2005).

Dari hasil pengkajian terdapat beberapa kesamaan antara tanda dan

gejala di teori dengan tanda dan gejala yang dialami oleh pasien kelolaan

yaitu pasien dengan post laparoskopi kolelitiasis. Hal ini sesuai dengan hasil

pengkajian penulis terhadap pasien yang masuk ke RSUD Achmad Mochtar

Bukittinggi pada tanggal 27 Juli 2018 pukul 09.00 WIB kiriman dari poli

bedah. dibawa oleh keluarganya dengan keluhan nyeri pada perut bagian

kanan atas, nyeri yang dirasakan menjalar sampai ke pinggang disertai

dengan mual muntah. Sebelum dirawat keluarga mengatakan dalam sehari

pasien bisa muntah 2-3 kali. Keluarga pasien mengatakan nyeri perut bagian
136

kanan atas pasien akan semakin bertambah sesaat pasien makan makanan

yang berlemak.

Pada saat pengkajian pada tanggal 30 juli 2018 jam 11.00 WIB.

Keluarga pasien mengatakan hari ini merupakan hari rawatan ke 3. Pasien

telah selesai post operasi laparaskopi kolelitiasis pada tanggal 30 juli 2018

jam 10.30 WIB. Saat ini pasien terpasang IVFD RL 28 gtt/i drip ketorolac

1 ampul pada tangan sebelah kiri, tampak luka post operasi yang ditutupi

kassa dibagian abdomen, pasien mengeluh nyeri pada luka post operasi,

pasien juga mengatakan perutnya terasa aneh disertai dengan mual. Pasien

tampak lelah dan mengatuk saat dipindahkan dari kamar operasi ke ruangan

bedah ambun suri lantai II. Pasien tampak hanya berbaring ditempat tidur

dan aktifitas sehari-hari pasien dibantu oleh keluarga. Setelah 1 jam berada

diruang bedah ambun suri lantai II Pasien selalu bertanya kepada perawat

tentang penyakitnya, pasien mengatakan tidak mengetahui dengan jelas

penyakitnya, bagaimana cara perawatan dan pengobatan pada dirinya.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon

aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan dan perawat

mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya, respon aktual dan

potensial klien didapatkan dari data dasar pengkajian dasar pengkajian,

tinjauan literatur yang berkaitan, catatan medis klien dimasa lalu yang

dikumpulkan selama pengkajian (Potter and Perry, 2005).

Dari hasil pengkajian yang telah penulis kumpulkan, mulai pengkajian

awal, pengelompokkan data, menidentifikasi masalah pasien, hingga


137

perumusan diagnosa, penulis menemukan 5 diagnosa keperawatan pada

pasien dengan post laparoskopi kolelitiasis berdasarkan NANDA sebagai

berikut :

a. Nyeri akut berhubungan agen cidera fisik

b. Resiko infeksi berhubungan dengan Tindakan pembedahan sehingga

memungkinkan microorganisme masuk

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akibat post op

laparaskopi kolelitiasis

d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada luka post

operasi laparaskopi kolelitiasis

e. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.

Berdasarkan diagnosa yang penulis temukan pada kasus Ny. M penulis

menemukan kesamaan dengan diagnosa teoritis, namun ada beberapa

diagnosa pada teoritis yang tidak ditemukan pada kasus seperti :

Diagnosa Teoritis

a. Pre operasi

5) Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi

6) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan mual muntah dan intake nutrisi yang tidak adekuat .

7) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik

8) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

b. Post operasi
138

6) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan luka post

laparatomi

7) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis

8) Resiko infeksi berhubungan dengan proses injury

9) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka

post laparatomi

10) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri post laparatomi

Diagnosa Kasus

1) Nyeri akut berhubungan agen cidera fisik

2) Resiko infeksi berhubungan dengan Tindakan pembedahan sehingga

memungkinkan microorganisme masuk

3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akibat post op

laparaskopi kolelitiasis

4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada luka post

operasi laparaskopi kolelitiasis

5) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi (perencanaan) adalah kategori dalam perilaku keperawatan

dimana tujuan yang terpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan dan

ditetapkan sehingga perencanaan keperawatan dipilih untuk mencapai

tujuan (Potter dan Perry, 2005).


139

Dalam penyusunan rencana keperawatan penulis menggunakan

rencana keperawatan yang telah disusun oleh Nanda, NIC, NOC sebagai

standar acuan dalam memberikan asuhan keperawatan. Pada perencanaan

tinjauan kasus dan tinjauan teoritis dilakukan sejalan dengan intervensi

yang dilakukan pada kasus maupun teori. Adapun pada tahap pelaksaan ini

dapat dilakukan dengan baik karena pada tahap perencanaan telah

direncanakan seoptimal mungkin sesuai dengan kondisi pasien, sehingga

kesulitan yang mungkin terjadi dapat diatasi. Selain itu keberhasilan tahap

ini dikarenakan adanya kerja sama yang baik antara penulis, pasien dan

petugas perawat di Ruang Ambun Suri Lantai II RSAM Bukittinggi.

Pada kasus yang penulis temukan, penulis melakukan intervensi teknik

relaksasi genggam jari terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post

operasi laparoskopi kolelitiasis. Relaksasi genggam jari adalah sebuah

teknik relaksasi yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun

yang berhubungan dengan jari tangan serta aliran energi di dalam tubuh kita.

Teknik genggam jari disebut juga finger hold (Liana,2008 ).

Relaksasi dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan

ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri. Dengan relaksasi pasien dapat

mengubah persepsi terhadap nyeri, sehingga nyeri yang dirasakan pasien

dapat berkurang.

Selain itu, penulis juga memberikan intervensi ambulasi dini terhadap

penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparoskopi kolelitiasis.

Ambulasi dini bertujuan untuk meningkatkan pengembalian fungsi tubuh

dan mengurangi nyeri, pasien dianjurkan melakukan mobilisasi dini, yaitu


140

latihan gerak sendi, gaya berjalan, toleransi aktivitas sesuai kemampuan dan

kesejajaran tubuh.

Latihan ambulasi dini dapat meningkatkan sirkulasi darah yang akan

memicu penurunan nyeri dan penyembuhan luka lebih cepat. Terapi latihan

dan mobilisasi merupakan modalitas yang tepat untuk memulihkan fungsi

tubuh bukan saja pada bagian yang mengalami cedera tetapi juga pada

keseluruhan anggota tubuh. Terapi latihan dapat berupa passive dan active

exercise, terapi latihan juga dapat berupa transfer, posisioning dan ambulasi

untuk meningkatkan kemampuan aktivitas mandiri (Smeltzer & Bare, 2002

dalam Rustianwati, 2013).

Penulis juga memberikan terapi aroma lemon terhadap penurunan skala

nyeri. Mekanisme kerja perawatan aromaterapi dalam tubuh manusia

berlangsung melalui dua sistem fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan sistem

penciuman. Wewangian dapat mempengaruhi kondisi psikis, daya ingat,

dan emosi seseorang. Aromaterapi lemon merupakan jenis aroma terapi

yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri dan cemas. Zat yang

terkandung dalam lemon salah satunya adalah linalool yang berguna untuk

menstabilkan sistem saraf sehingga dapat menimbulkan efek tenang bagi

siapapun yang menghirupnya.

Bau berpengaruh langsung terhadap otak manusia, seperti narkotika.

Hidung memiliki kemampuan untuk membedakan lebih dari 100.000 bau

yang berbeda yang mempengaruhi manusia tanpa disadari. Baubauan

tersebut masuk ke hidung dan berhubungan dengan silia. Reseptor di silia

mengubah bau tersebut menjadi impuls listrik yang dipancarkan ke otak dan
141

mempengaruhi bagian otak yang berkaitan dengan mood (suasana

hati),emosi, ingatan, dan pembelajaran (Tara, 2005 dalam Rahmalia, 2014).

Kemudian, penulis melakukan penyuluhan kepada pasien dan keluarga

mengenai perawatan dan pengobatan pasien. Pada saat diberikan

penyuluhan pasien dan keluarga dapat memahami tentang perawatan dan

pengobatan pasien.

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat

untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke

status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang

diharapkan (Potter dan Perry, 2005).

Berdasarkan dari perencanaan intervensi keperawatan yang telah

direncanakan, Asuhan keperawatan berupa tindakan telah dilakukan kepada

Ny. M dengan diagnosa sebagai berikut :

a. Nyeri akut berhubungan agen cidera fisik

Implementasi yang dilakukan adalah mengkaji tingkat nyeri secara

komprehensif (termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas

dan faktor presipitasi), mengobservasi reaksi nonverbal dari

ketidaknyamanan, menggunakan teknik komunikasi terapeutik untuk

mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya, mengontrol faktor

lingkungan yang mempengaruhi nyeri (suhu ruangan, pencahayaan,

kebisingan), mengurangi faktor presipitasi nyeri, memilih dan

melakukan penanganan nyeri (farmakologis/ non farmakologis),


142

mengajarkan teknik nonfarmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk

mengatasi nyeri, kolaborasi memberikan analgetik untuk mengurangi

nyeri, monitor TTV pasien. Implementasi ini dilakukan pada tanggal 30

Juli sampai 1 Agustus 2018 Juni 2017.

Implementasi yang telah peneliti berikan didukung oleh penelitian

Jacobson dan Wolpe menunjukkan bahwa relaksasi dapat mengurangi

ketegangan dan kecemasan (Wallace, 1971. Beech dkk, 1982).

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan

stress, karena dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi afektif

pasien. Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri ketika

terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada

nyeri(Potter & Perry, 2005 dalam Pinandita, 2012).

b. Resiko infeksi berhubungan dengan Tindakan pembedahan sehingga

memungkinkan microorganisme masuk

Implementasi yang dilakukan adalah memonitor tanda dan gejala

infeksi sistemik dan lokal, memonitor ,WBC, memonitor kerentanan

terhadap infeksi, membatasi pengunjung, mempertahankan teknik

aspesis pada pasien yang beresiko, menginspeksi kulit dan membran

mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase, menginspeksi kondisi

luka bedah, mendorong masukkan nutrisi yang cukup,

menginstruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep,

mengajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi, mengajarkan

cara menghindari infeksi, melaporkan kecurigaan infeksi. Implementasi

ini dilakukan pada tanggal 30 Juli sampai 1 Agustus 2018.


143

Implementasi yang sudah penulis berikan sesuai dengan penelitian

yang sudah telah dilakukan oleh Elfarida (2013), bahwa hubungan

mobilisasi dini dapat mengurangi rasa nyeri, menjaga aliran darah,

mengembalikan fungsi fisiologis organ-organ yang rusak pada akhirnya

mampu mempercepat penyembuhan luka post operasi sehingga tidak

terjadi infeksi pada luka post operasi (Mulya, 2015)

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akibat post op

laparaskopi kolelitiasi

Implementasi yang dilakukan adalah mendeterminasi efek-efek

medikasi terhadap pola tidur, menjelaskan pentingnya tidur yang

adekuat, memberikan fasilitas untuk mempertahankan aktivitas sebelum

tidur (membaca), menciptakan lingkungan yang nyaman,

mengkolaborasikan pemberian obat tidur, mendiskusikan dengan pasien

dan keluarga tentang teknik tidur pasien, menginstruksikan untuk

memonitor tidur pasien, memonitor waktu makan dan minum dengan

waktu tidur,memonitor/mencatat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan

jam. Implementasi ini dilakukan pada tanggal 30 Juli sampai 1 Agustus

2018.

Implementasi yang sudah penulis berikan sesuai dengan penelitian

yang sudah telah dilakukan oleh Kozier (2004) kesulitan atau

terganggunya tidur ini jika dibiarkan akan mengganggu proses

penyembuhan dimana fungsi dari tidur adalah untuk regenerasi sel-sel

tubuh yang rusak menjadi baru. Orang yang sedang sakit membutuhkan
144

istirahat dan tidur lebih banyak dari pada saat sehat karena orang yang

sakit membutuhkan energi untuk pemulihan, namun dengan penyakit

yang diderita seseorang membuat sulit dalam memenuhi kebutuhan

istirahat dan tidur. Seseorang yang sesak nafas atau mengalami

gangguan pernafasan sering mengalami kesulitan tidur. Begitu juga

seseorang yang mengalami nyeri sering terbangaun karena nyeri

tersebut (WHO, 2009 dalam Rahman, 2015)

d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada luka post

operasi laparaskopi kolelitiasis

Implementasi yang dilakukan adalah mengajarkan dan berikan

dorongan pada klien untuk melakukan program latihan secara rutin,

mengajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien

dan keluarga, menyediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi

roda, dan walker, memberikan penguatan positif untuk berlatih mandiri

dalam batasan yang aman, mengajarkan pada klien & keluarga tentang

cara pemakaian kursi roda & cara berpindah dari kursi roda ke tempat

tidur atau sebaliknya, mendorong klien melakukan latihan untuk

memperkuat anggota tubuh, mengajarkan pada klien/ keluarga tentang

cara penggunaan kursi roda, mengajarkan pada klien & keluarga untuk

dapat mengatur posisi secara mandiri dan menjaga keseimbangan

selama latihan ataupun dalam aktivitas sehari hari, mengajarkan pada

klien/ keluarga untuk memperhatikan postur tubuh yg benar untuk

menghindari kelelahan, keram & cedera, mengkolaborasikan kepada


145

ahli terapi fisik untuk program latihan.. Implementasi ini dilakukan pada

tanggal 30 Juli sampai 1 Agustus 2018.

Implementasi yang sudah penulis berikan sesuai dengan penelitian

yang sudah telah dilakukan oleh Yusuf pada tahun 2013 tentang

pengaruh mobilisasi dini terhadap proses penyembuhan luka post

appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun

2013, bahwa mobilisasi dini mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap penyembuhan luka. Mobilisasi dini dapat menunjang proses

penyembuhan luka pasien karena dengan menggerakkan anggota badan

akan mencegah kekauan otot dan sendi, sehingga dapat mengurangi

nyeri dan dapat memperlancar peredaran darah ke bagian yang

mengalami perlukaan agar proses penyembuhan luka menjadi lebih

cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat Carpenito (2000) bahwa salah

satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat

pembedahan adalah mobilisasi dini (Ditya, 2016).

e. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.

Implementasi yang dilakukan adalah mengkaji pengetahuan pasien

tentang penyakitnya, memberikan penyuluhan kesehatan mengenai

perawatan luka pasien, penanganan nyeri nonfarmakologi, dan

mobilisasi dini pada pasien post operasi kepada pasien dan keluarga

pasien, memberi kesempatan bertanya kepada pasien dan keluaga,

mengevaluasi pengetahuan pasien dan keluarga serta memberikan

reinforcement positif terhadapa pasien dan keluarga. Implementasi ini

dilakukan pada tanggal 30 Juli sampai 1 Agustus 2018.


146

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan

yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan

dan penatalaksanaan yang sudah berhasil dicapai (Potter dan Perry, 2005).

a. Nyeri akut berhubungan agen cidera fisik

Evaluasi yang didapat setelah dilakukan implementasi pada pasien pada

hari pertama sampai hari ke tiga yaitu masalah teratasi sebagian. Pasien

mengatakan msih merasakan nyeri, pasien tampak meringis, pasien

dapat berjalan dengan baik. Pasien sudah boleh pulang yaitu pada

tanggal 1 Agustus 2018

b. Resiko infeksi berhubungan dengan Tindakan pembedahan sehingga

memungkinkan microorganisme masuk

Evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan implementasi pada pasien

pada hari pertama sampai hari ketiga yaitu masalah teratasi karena

keadaan luka pasien bagus, sudah kering dan tidak ada muncul tanda-

tanda infeksi. Pasien sudah boleh pulang yaitu pada tanggal 1 Agustus

2018, pasien juga telah diberikan discharge planning. Sebelum pasien

pulang juga dijelaskan tentang obat-obat yang akan dibawa pulang serta

kapan waktu untuk kontrol ulang.

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akibat post op

laparaskopi kolelitiasis

Evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan implementasi pada pasien

pada hari pertama sampai hari ketiga yaitu masalah teratasi karena
147

pasien sudah tampak rileks. Pola tidur pasien sudah mulai stabil. Pasien

sudah boleh pulang yaitu pada tanggal 1 Agustus 2018, pasien juga

telah diberikan discharge planning. Sebelum pasien pulang juga

dijelaskan tentang obat-obat yang akan dibawa pulang serta kapan

waktu untuk kontrol ulang.

d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada luka post

operasi laparaskopi kolelitiasis

Evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan implementasi pada pasien

pada hari pertama sampai hari ketiga yaitu masalah teratasi, pasien

dapat berjalan dengan baik walaupun masih merasakan nyeri. Pasien

tampak berjalan dengan nyaman, tidak ragu-ragu dan tidak

menggunakan alat bantu. Pasien sudah boleh pulang yaitu pada tanggal

1 Agustus 2018.

e. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.

Evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan implementasi pada pasien

pada hari pertama sampai hari ketiga yaitu masalah belum teratasi,

pasien belum memahami tentang penyakit yang dialami secara

sempurna, akan tetapi pasien sudah memahami pengobatan serta

perawatan mengenai penyakitnya, serta perawatan dirumah. Pasien

sudah boleh pulang yaitu pada tanggal 1 Agustus 2018. Pasien juga

telah diberikan discharge planning. Sebelum pasien pulang juga

dijelaskan tenyang obat-obat yang akan dibawa pulang serta kapan

waktu untuk kontrol ulang.


148

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada Ny. M

pada tanggal 30 Juli – 01 Agustus 2018 maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Setelah melakukan pengkajian pada Ny. M dengan Post op laparaskopi

kolelitiasis didapatkan hasil bahwa biasanya pasien yang telah selesai

melakukan operasi merasakan nyeri yang lazimnya muncul pada setiap

selesai melakukan operasi. Selanjutnya pada kasus pada Ny. M ia merasa

susah untuk tidur dikarnakan yang ia rasakan dan merasa kesulitan dalam

beraktifitas.

2. Setelah melakukan pengakajian pada Ny. M selanjutnya mengalanisa

masalah keperawatan yang muncul pada Ny. M. pada saat pengkajian

Masalah keperawatan yang ditemukan adalah Nyeri akut berhubungan

dengan agen injury, Resiko infeksi berhubungan dengan Tindakan

pembedahan sehingga memungkinkan microorganisme masuk, Gangguan

pola tidur berhubungan dengan nyeri Post op, Hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan nyeri pada luka post op, dan Kurang pengetahuan

berhubungan dengan kurangnya informasi yang didapatkan

3. Setelah menganalisa masalah keperawatan pada Ny. M selanjutnya

melakukan intervensi keperawatan yang muncul pada Ny. M. intervensi

yang dilakukan pada Ny. M berdasarkan panduan intervensi keperawatan

NIC-NOC dan ditambah dengan Evidence Based Jurnal.


149

4. Setelah melakukan intervensi keperawatan pada Ny. M selanjutnya

melakukan implementasi keperawatan yang muncul pada Ny. M.

implemtasi yang dilakukan pada Ny. M berdasarkan panduan intervensi

keperawatan NIC-NOC dan ditambah dengan Evidence Based Jurnal yang

telah dirumuskan

5. Setelah melakukan implemnetasi keperawatan pada Ny. M selanjutnya

melakukan evaluasi keperawatan yang muncul pada Ny. M. untuk diagnosa

nyeri akut dan Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada

luka post op berhubungan dengan agen injury, telah dilakukan implentasi

dari tanggal 30 juli-1 agustus yang terbagi dalam 3 shift, pagi,siang dan

malam masalah keperawatan teratasi sebagian hingga pasien pulang. untuk

diagnose Resiko infeksi berhubungan dengan Tindakan pembedahan

sehingga memungkinkan microorganisme masuk, Gangguan pola tidur

berhubungan dengan nyeri Post op, Kurang pengetahuan berhubungan

dengan kurangnya informasi yang didapatkan dapat teratasi pada hari ke 2

dan 3 rawatan.

6. EVD pengaruh teknik relaksasi genggam jari terhadap penurunan intensitas

nyeri pada pasien laparoskopi Setelah penulis memberikan Asuhan

keperawatan terhadap pasien, didapatkan hasil bahwa terdapat perubahan

skala nyeri pada pasien post operasi laparoskopi walaupun penurunan skala

nyeri tidak terjadi secara signifikan. EVD efektivitas ambulansi dini

terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparoskopi

Setelah penulis memberikan Asuhan keperawatan terhadap pasien,

didapatkan hasil bahwa terdapat perubahan skala nyeri setelah diberikan


150

terapi ambulasi pada pasien post laparoskopi kolelitiasis dan EVD

efektifitas aroma lemon untuk mengurangi nyeri post op laparaskopi Setelah

penulis memberikan Asuhan keperawatan terhadap pasien, didapatkan hasil

bahwa terdapat perubahan skala nyeri yang signifikan setelah diberikan

terapi aroma lemon pada pasien post laparoskopi kolelitiasis.

7. Pada tinjauan teori didapatkan masalahkan keparawatan pasien dengan post

op laparaskopi sebanyak 5 diagnosa yaitu

a. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan luka post

laparoskopi

b) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis

c) Resiko infeksi berhubungan dengan proses injury

d) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka

post laparoskopi

e) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri post laparoskopi

pada kasus Ny. M di dapatkan juga 5 diagnosa keperawatan yaitu:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury,

b. Resiko infeksi berhubungan dengan Tindakan pembedahan

sehingga memungkinkan microorganisme masuk,

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri Post op,

d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada luka post

op, dan

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi

yang didapatkan
151

Dapat disimpulkan diagnose teori dan kasus yang didapat hampir sama

hanya saja pada kasus tidak ditemukan masalah kerusakan integritas

kulit dan didapatkan masalah kurang pengetahuan.

B. Saran

Dengan selesainya dilakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan

post op laparaskopi kolelitiasis, diharapkan dapat memberikan masukan

terutama pada:

1. Bagi Pelayanan Keperawatan

Diharapkan kepada petugas medis agar meningkatkan pelayanan,

terutama rawat inap dalam memberikan pelayanan yang lebih baik dan

menghasilkan pelayanan yang memuaskan pada pasien. Juga diharapkan

kepada perawat memberikan health education kepada pasien dan keluarga

tentang penyakitnya.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan kepada instansi pendidikan yang dapat dimanfaatkan sebagai

bahan ajar untuk perbandingan dalam memberikan konsep asuhan

keperawatan secara teori dan praktek dan lebih meningkatkan bimbingan

terhadap mahasiswa agar mahasiswa lebih terpapar dengan baik.


152

DAFTAR PUSTAKA

Anggrahini, L. (2016). Upaya Peningkatan Nutrisi Pada Pasien Post op kolelitiasi Di Rsu
Assalam Gemolong. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Anggraini, M. (2013). Pengaruh mobilisasi dini terhadap keberhasilan penyembuhan luka


pada pasien pasca operaso RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Sekolah Tingg
Ilmu Kesehatan Muhammadiya Yogyakarta.

Angraini, D (2018). Efektivitas Pemberian Nutrisi Adekuat dalam Penyembuhan Luka


Pasca Laparoaskopii. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Berger, Williams. (1999). Fundamental of nursing: collaborating for optimal health. USA:
Apleton & Lange.

Black & Hawks. (2005). Medical surgical nursing clinical management for positive
outcomes (ed.7). St. Louis: Missouri Elsevier Saunders.

Brunner & Suddarth. (2002). Keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta:
EGC.

Bukit, E.K. (2003). Kualitas tidur & faktor-faktor gangguan tidur klien lanjut usia yang
dirawat inap di ruang penyakit dalam medan

Ditya, W (2016). Hubungan Mobilisasi Dini dengan Proses Penyembuhan Luka pada
Pasien Pasca Laparatomi di Bangsal Bedah Pria dan Wanita RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Artikel penelitian.

Firmansyah, M. (2015). Diagnosis dan Tata Laksana Kolesistitis Akalkulus Akut. SMF
Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Kota Tangerang

Fitri, Milla. (2012). Hubungan intensitas nyeri luka section caesarea dengan kualitas tidur
pada pasien postpartum hari ke-2 di ruang inap RSUD Sumedang.
153

Ginting, S. (2011). A Description Characteristic Risk Factor Of The Kolelitiasis Disease


In The Colombia Asia Medan Hospital 2011

Girsang, J. (2011). Karakteristik Penderita Kolelitiasis Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit
Santa Elisabeth Medan Pada Tahun 2010-2011. Staf Pengajar Departemen
Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Hadisaputra, W. (2014). Perkembangan laparoskopi opratif di Indonesia. Fakultas


Kedokteran Gigi Universitas Indonesia

Indrawati, N. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Tn. I Dengan Batu Saluran Kemih Di
Lantai 5 Bedah Rspad Gatot Soebroto. Karya Ilmiah Akhir. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia: Depok

Karyati, S. (2013). Efektivitas Ambulasi Dini terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada
Pasien Post Operasi Laparatomi di RSUD Kudus

Kereh, D. (2016). Hubungan antara jenis batu dan perubahan mukosa kandung empedu
pada pasien batu kandung empedu. Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado

Kozier. Barbara, et.all. (2004). Fundamentals of nursing: conceps, process, and practice.
7th Ed. USA: Pearson Prentice Hall.

Kusumawati & Hartono. (2012). Buku ajar keperawatn jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Mulya, R. (2015). Pemberian mobilisasi dini terhadap lamanya penyembuhan lka post
operasi apendiktomi pada asuhan Ny.S di Ruang Kantil 2 RSU Karanganyar.

Narilawati, O. (2015). Pemberian terapi aroma lemon terhadap penurunan skala nyeri
dengan asuhan keperawatan pada Ny. N pada pasien apendiktomi RSU Sidoarjo

Pinandita, I. (2012). Pengaruh teknik relaksasi genggam jari terhadap penurunan


intensitas nyeri pada pasien post operasi laparoskopi. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan, Vol.8
154

Purwandari, F. (2013). Efektifitas terapi aroma lemon terhadap penurunan skala nyeri
pada pasien post laparatomi

Rahmalia, S. (2013). Efektifitas terapi aroma lemon terhadap penurunan skala nyeri pada
pasien post laparatomi

Rahman, A. (2015). Hubungan Antara Nyeri Dan Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada
Pasien Post Laparatomi Di Irna Ruang Bedah RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
Fakultas Keperawatan Universitas Andalas

Rusttianawati, Y (2013). Efektivitas Ambulasi Dini terhadap Penurunan Intensitas Nyeri


pada Pasien Post Operasi Laparoskopi di RSUD Kudus

Sriyanto, (2016). Upaya Penanganan Kerusakan Integritas Jaringan Pada Pasien Post
Orif Fraktur Radius Ulna Hari Ke 0 Di Rsop. Dr. Soeharso Surakarta. Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Thresia, A (2017). Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Dengan Diagnosa Medis Cholesistitis
Di Ruang G1 Rumkital. Karya Tulis Ilmiah. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang
Tuah Surabaya

Wahyuni, S. (2017). Pengaruh ambulasi dini terhadap pemulihan pasien post operasi
abdomen di RS. Kota Medan. Tesis Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan

Bada, Alvaro. Gallbladder Disease, 2011

Widiastuty, Astri Sri. Patogenesis Empedu. Volume I Edisi I. September 2010

Ahmad fuadli, 2010 jurnal

Rased, S. Radiologi Diagnostik FKUI. Jakarta. 2005: 453-479

Anda mungkin juga menyukai