Anda di halaman 1dari 1

Kata yang diulang-ulang jadilah mantra.

Mantra yang diulang-ulang mampu


menghipnotis kumpulan masa.
“Pengulangan membuat sesuatu menjadi
nyata. Adolf Hitler menulis dalam
otobiografinya bahwa jika kebohongan
diulangi secara terus-menerus, maka
pikiran manusia akan mempercayainya.
Kebohongan pun diterimanya sebagai
kebenaran. Pengulangan adalah metode
hypnosis. Apa yang diulangi secara terus-
menerus itu akan terukir pada dirimu.
Inilah yang menyebabkan ilusi dalam
hidup.

S enin, 28
Desember 2015

Al-Hallaj Ana al-Haqq dalam


Kitab Thawasin

“Jadi Hakikat tetap hakikat dan


Segala yang diciptakan tetaplah
makhluk;
Oh! Tinggalkan dan lampaui
segala kemakhlukan tersebut
Agar engkau menjadi Hakikat itu
sendiri.”
(Thasin : 3 : 8).
“Yang Benar tetap Yang Benar,
Pencipta sebagai Khaliq, dan segala
apa yang termasuk diciptakan
tetaplah makhluk. Ini akan tetap
selalu demikian
(Al-Hallaj, Kebun Ma’rifat : 16)

ANA al-HAQQ
(Akulah Kebenaran)
Menyingkap Teosofi al-Hallaj
Oleh Gilani Kamran
Penerbit : Risalah Gusti, Surabaya –
Tahun 2001
Penyadur : Pujo Prayitno

SEKAPUR SIRIH
Dr. Mulyadhi Kartanegara

Al-Hallaj (w. 922 M.), dieksekusi


(hukuman mati) telah kita maklumi
bersama. Tetapi apa yang terjadi di
balik peristiwa tragis itu tidak semua
orang tahu. Oleh karena itu dalam
sekapur sirih ini, saya ingin mencoba
mengungkapkannya terutama dilihat
dari sudut teologis dan politik.
Proses pengadilan Al-Hallaj
berjalan cukup lama, dimulai pada
tahun 2992 H./904 M. Dimana untuk
pertama kali al-Hallaj mendapat
tuduhan atas pandangan-
pandangannya dan berakhir dengan
hukuman matinya di tiang gantungan
pada tahun 309 H./922 M. Jadi proses
pengadilan al-Hallaj berlangsung
kurang lebih 18 tahun. Tuduhan
terhadap pandangan al-Hallaj dimulai
pada tahun 904 M. Segera setelah ia
kembali dari pemukiman dua
tahunnya di Makkah. Adalah Qadhi
Maliki, Abu Umar bin Yusuf di
Baghdad yang menanyakan perihal
Al-Hallaj kepada Ibnu Dawud, putra
pendiri Madzab Zhahiri. Atas
pertanyaan tersebut, Ibnu Dawud
mengeluarkan fatwa berkenaan
dengan pandangan Al-Hallaj, bahwa
bisa terjadi hubungan cinta antara,
manusia dengan Tuhan, yang
mengatakan bahwa “Kalau yang Allah
sampaikan kepada Rasul-Nya itu
benar, maka apa yang Al-Hallaj
katakan adalah salah.” Ibnu Dawud
sangat keras dalam pernyataannya
dan menyatakan halal untuk
menghukum mati Al-Hallaj.
Qadhi Baghdad Abu Umar bin
Yusuf ini tidak cepat-cepat
memutuskan hukuman buat Al-Hallaj,
tetapi berkonsultasi terlebih dahulu
dengan fiqih Syafi’iyyah, Ibnu Suraij,
yang tidak seperti Zhahiri, dimana ia
memungkinkan penafsiran non literal
terhadap al-Qur’an. Ibnu Suraij
mengatakan : “Ia adalah seorang yang
keadaan spiritualnya tersembunyi
bagiku. Karena itu, aku tidak akan
segera mengatakan apa-apa
tentangnya.” Sikap Ibnu Suraij ini
ternyata sangat berarti dalam
menentukan pandangan hukuman
tentang tasawuf, karena dengan
pernyataan Ibnu Suraij ini kasus Al-
Hallaj untuk sementara waktu
ditangguhkan sampai beberapa tahun.
Sampai sejauh ini ternyata tuduhan
tersebut adalah berkenaan dengan
pandangan Al-Hallaj, bahwa antara
manusia dengan Tuhan bisa terjalin
hubungan cinta, yang bagi
penuduhnya itu berarti penyamaan
Tuhan dengan manusia. Namun yang
terjadi sejauh ini belum bisa kita sebut
sebagai pengadilan yang
sesungguhnya.
Pengadilan pertama yagn
sesungguhnya terjadi tujuh tahun
kemudian, ketika empat murid Al-
Hallaj di tangkap di Baghdad dengan
tuduhan mengikuti seseorang yang
mengkalim Ketuhanan (Rububiyyah).
Sementara Al-Hallaj melakukan
persembunyian di Ahwaz dengan
teman-temannya; di sini ia ditemukan
oleh agen Pos Kekhalifahan pada
tahun 301 H/913 M. Kali ini Al-Hallaj
dituduh oleh Gubernur Rasibi telah
mengaku Tuhan dan menyiarkan
ajaran inkarnasi (al-hulul). Gubernur
Wasitf, Hamid menginterogasi Al-
Hallaj (mungkin di Wasith atau Ahwaj)
dan menyimpulkan bahwa ia
mengklaim sebagai “al-Mahdi” yang
memainkan peran al-Masih. Akhirnya
Al-Hallaj di serej diseret ke Baghdad
dengan diikat pada seekor unta.
Selanjutnya Al-Hallaj dipenjara, dan
tetap di sana sampai pengadilan
terakhirnya yang dimulai tujuh tahun
kemudian.
Pada tahun-tahun berikutnya Al-
Hallaj tetap dipenjara, sebagian besar
di istana. Kadang-kadang ia
mengenakan belenggu yang berat
tetapi kdang-kadang hidup dengan
nyaman.
Tuduhan lain yang bersifat
Teologis adalah bahwa Al-Hallaj telah
mengklaim ketuhanan di dasarkan
pada kepercayaan bahwa ia telah
memiliki “karamah” yang bisa
memberikan kehidupan dan kematian.
Pada saat itu Al-Hallaj aktif menulis
beberapa tulisan yang kemudian
dihimpun menjadi Thawasin, dan juga
semacam tafsir al-Qur’an yang ia
tunjukkan kepada Ibnu Mujahid, ketua
himpunan para Qari’. Dari karya tafsir
ini Ibnu Mujahid menemukan
ungkapan-ungkapan yang
mencurigakan yang menyebut
misalnya, “Tuhan-tahun” (Alihah) dan
“Penguasa-penguasa” (Arhab). Ali bin
Isa yang diserahi buku tafsir tersebut
oleh Ibnu Mujahid merasa terkejut
dengan isi kitab tersebut dan
memerintahkan supaya buku-buku Al-
Hallaj disita. Beberapa muridnya juga
di tahan, dan tulisan-tulisan yang
lainnya ditemukan, aiantaranya adalah
Sirr al-Ilah (Rahasia Tuhan), yang
menurut Ibnu Dhiya’ memuat lebih
banyak pelecehan Agama,
korporealisme dan bid’ah daripada
yang dapat diuraikan lidah orang-
orang beriman. Barangkali Al-Hallaj
dituduh karena “teori persaksian” yang
mengatakan bahwa “manusia tuhan”
(divinized human) adalah saksi
ketuhanan yang bersifat materi, yang
berbicara dengan suara Tuhan.
Sementara para investigator
(penyelidik) berusaha untuk
menemukan beberapa bukti dalam
paper-paper Al-Hallaj yang akan
membenarkan hukuman mati.
Sahabat Al-Hallaj yang sama-sama
sufi, Ibnu ‘Atha’ menyulut orang-orang
awam untuk turun ke jalan-jalan
sambil berdo’a menghujat para
penganiaya Al-Hallaj. Meski demikian,
Sang Wazir Hamid berhasil meminta
Ibnu “Atha’ sebagai saksi terhadap
pengadilan Al-Hallaj untuk memberi
komentar terhadap dua bukti yang
ditemukan. Salah satunya adalah
sebuah surat yang ditulis oleh Al-
Hallaj yang dimulai dengan kalimat.
“Dari Yang Maha Pengasih dan
Penyayang kepada si Fulan dan fulan
......” Ketika ditanya, Al-Hallaj
mengakui bahwa surat tersebut
adalah suratnya. Dan atas dasar ini
penanya mengatakan, “Dahulu
engkau mengklaim menjadi seorang
Nabi, tetapi kini engkau mengklaim
sebagai Tuhan.” Namun Al-Hallaj
menjawab, “Aku tidak mengklaim
Ketuhanan, tetapi dalam istilah kami
ini adalah persatun esensiasl.”
“Dapatkah,” Al-Hallaj bertanya, “si
Penulis menjadi selain daripada Allah,
sedangkan aku dan tanganku tidak
lain hanyalah alat dalam hal ini?” Yang
terakhir dari pernyataan teologis (atau
barangkali lebih tepat religius legal)
yang membawa Al-Hallaj ke tiang
salib adalah berkaitan dengan soal
penggantian ibadah haji. Hamid yang
selama ini yang mencoba memberi
bukti : satu cuplikan ditemukan
dimana Al-Hallaj mendukung mereka
yang tidak mempu melaksanakan
ibadah haji untuk membangun sebuah
ka’bah tiruan di sebuah ruangan yang
khusus, bertawaf pada hari-hari yang
tepat serta mengakhirinya dengan
memberi makan dan pakaian kepada
anak-anak yatim. Dan ini akan
merupakan pengganti dari ibadah haji.
Akibat pernyataan ini Abu Hamid
kemudian meminta dengan sangat
sebuah putusan (verdict) tertulis,
sehingga ia menulis bahwa darah Al-
Hallaj halal menurut hukum, dan
setelah itu menuliskan siapa-siapa
yang hadir pada saat itu.
Hamis sang Wazir mengirim
fatwa tertulis tersebut kepada
Khalifah, seraya meminta dengan
sangat konfirmasinya secara langsung
sehingga hukuman mati bisa segera
dilakukan. Meski pun demikian,
pelaksanaan hukuman ditangguhkan
Sang Khalifah untuk menghalangi
pelaksanaan hukuman mati, tetapi
sang khalifah akhirnya mengabulkan
permintaan Sang Wazir Hamid, yang
berkata kepada Khalifah, “Wahai
Amirul Mukminin, jika tidak dihukum
mati, ia akan mengubah hukum
agama, dans etiap orang akan murtad
karenanya. Dan ini akan berarti
kehancuran bagi negara. Izinkan aku
untuk membunuhnya, dan jika ada
akibat jelek apa pun menimpamu,
bunuhlah aku.” Hasilnya telah sama-
sama kita ketahui. Hukuman mati
dilaksanakan dua hari kemudian,
ketika mereka mendera Al-Hallaj
dengan seribu cambukan, memotong
kedua tangan dan kakinya serta
menggantungnya, membakar
tubuhnya dan melemparkan debunya
ke Sungai Tigris. Ini terjadi pada tahun
922.
Itulah beberapa tuduhan yang
bersifat teologis ( dan legal) yang
telah membawa Al-Hallaj pada
kematiannya yang tragis. Kini kita
beralih pada faktor kedua yang telah
menymbang pada pembunuhan Al-
Hallaj. Politik di latar belakang
pembunuhan ini terlihat di bawah
bayang-bayang kepentingan
pertentangan politik, terutama antara
pendukung Syi’ah dan Sunni. Situasi
politik pada saat itu adalah bahwa
yang berada di puncak kekuasaan
adalah Sang Khalifah yang Sunni,
sedangkan banyak para pembesar
negara menganut paham Syi’ah, yang
pada saat itu sedang naik daun.
Gerakan-gerakan politico religius juga
sedang gencar-gencarnya
dilancarkan, seperti Isma’iliyah dan
Qarmathiyah di Iraq dan Bahrain.
Yang menjadi Khalifah pada saat
itu adalah al-Muqtadir, sedangkan
bendaharawan Ahwaz dan Wazir
adalah Syi’ah Ibnu al-Furat,
sementara sekretaris terkemuka di
Baghdad juga seorang penganut
Syi’ah. Keluarga-keluarga Syi’ah
seperti Bani Naubakht dan Bani Furat
telah masuk secara politik ke dalam
pemerintahan, yang keabsahannya
mereka tolak secara rahasia. Jadi
pada dasarnya mereka juga tengah
berusaha memperlemah keududukan
kekhalifahan.
Tidak heran kalau kasus Al-Hallaj
penuh dengan nuansa politik dan
teologis, karena Al-Hallaj sendiri
dipandang berbahaya oleh para
pembesar Syi’ah, disebabkan dalam
beberapa hal ia sangat bertentangan
dengan kepentingan gerakan bahwah
tanah Syi’ah. Tetapi untuk
menimbulkan antipati masyarakat,
maka Al-Hallaj justru dituduh sebagai
agen Qarmathiyah, yang ajaran-
ajarananya sangat bertentangan
dengan ortodoksi mayoritas Sunni.
Itulah sebabnya ketika pada tahun
913 H. Al-Hallaj diseret ke Baghdad
dengan unta, sang penyeret berteriak
“Lihatlah sang utusan Qarmathiyah!”.
Tentu saja ungkapan di atas
bukan tanpa alasan, karena dalam
tulisan-tulisannya yang ditemukan, Al-
Hallaj memang kadang menggunakan
istilah-istilah yang sering dipakai oleh
kaum Qarmathiyah. Misalnya, ia
menggunakan istilah Nur Sya’sya’ani
(cahaya yang cemerlang), yagn
merupakan istilah khusus dalam
kamus gnostik Qarmathiyah, dan ia
perkenalkan dalam bentuknya yang
sudah dimodifikasi ke dalam tasawuf.
Tetapi tentu saja ini tidak cukup untuk
menuduhnya sebagai agen
Qarmathiyah. Ia menggunakan istilah
ini dalam tulisan-tulisannya semata-
mata sebagai sarana komunikasi,
mengingat kebanyakan pekerja
pertanian di sekitar Baghdad dan
kepada siapa ia sering menyampaikan
ajaran-ajarannya adalah kaum
Qarmathiyah.
Al-Hallaj jelas bukan Syi’ah,
karena Al-Hallaj dan para pengikutnya
terkenal dengan pengabdiannya
kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, r.a.
yagn oleh kaum Syi’ah ekstrim dikutuk
telah merampas ekkhalifahan dari Ali,
r.a. Dan yang lebih penting lagi, ajran-
ajran Al-Hallaj tentang kontak
pribadinya secara langsung dengan
Tuhan, betul-betul bertentangan
dengan struktur kewenangan hirarkis
kelompok-kelompok Syi’ah ekstrim.
Tetapi mengapa tuduhan agen
Qarmathiyah diberikan kepadanya? Di
sinilah unsur politik mucnul dengan
cukup jelas. Dukungan Al-Hallaj
terhadap Bani Abbasiyah dan klaim
kontak personalnya dengan Tuhan
dipandang oleh para penguasa Syi’ah
yang sedang mencari peluang untuk
merebut kekusaan dari tangan
Khalifah – yang telah mengalami
kemunduran - tidak menguntungkan,
bahkan bisa menjadi rintangan yang
cukup penting, dan oleh karena itu
perlu segera disingkirkan. Bagi Bani
Naubakht dan Bani al-Furat, Al-Hallaj
dianggap menjijikan baik sebagai
seorang perampas politik maupun
berbagai pesaign spiritual yang
menurut mereka merupakan hak
khusus bagi para wali turunan Ali.
As-Suli mengatakan bahwa
sementara Bendaharawan negara,
Nashr, mencoba menyelamatkan Al-
Hallaj, para sekretaris Syi’ah
(Rafidhah) ingin membunuhnya.
Karena itu dapat kita mengerti
sekrang bahwa tuduhan Al-Hallaj
sebagai agen Qarmathiyah dirancang
untuk menimbulkan prasangka yang
merugikan Al-Hallaj dan memudahkan
jalan bagi hukuman matinya. Di
samping itu juga ada sebuah faksi
kuat yang secara diam-diam
memobilisir dirinya melawan Al-Hallaj
sebagai bagian dari perjuangan
kekuasaan istana.

DAFTAR - ISI

SEKAPUR SIRIH (Dr. Mulyadhi


Kartanegara)
Pengantar (Louis Massignon)
I Biografi Al-Hallaj
II Karya-karya Utama (Yang Telah
Diterbitkan).
III Tuduhan-tuduhan Utama
IV Signifikansi Pengalaman Mistik dan
Musyahadah
V Kosa kata dan Istilah Teknis
VI Madzab Sekte-sekte Hallajiyyah
VII Penilaian-Penilaian tentang Sikap
Al-Hallaj
PRAKATA
Meninjau kembali Ana Al-Haqq
KITAB THAWASIN
THASIN I : KITAB TENTANG
BENTUK CAHAYA
THASIN II : KITAB TENTANG
PEMAHAMAN
THASIN III : KITAB TENTANG
INFORMASI
THASIN IV : KITAB TENTANG
LINGKARAN
THASIN V : KITAB TENTANG TITIK
THASIN VI : KITAB TENTANG ADAM
A.S.
THASIN VII : KITAB TENTANG
KEHENDAK TUHAN
THASIN VIII : KITAB TENTANG
TAUHID
THASIN IX : KITAB TENTANG
MISTERI
THASIN X : KITAB TENTANG
TRANSENDENSI
THASIN XI : KITAB TENTANG
KEBUN MA’RIFAT

PENGANTAR
Louis Massignon

Al-Hllaj (Pemintal Benang), Abu


al-Mughits al-Husain bin Manshur bin
Muhammad al-Baidhawi (244 -309
H/857 -922 M.), adalah seorang teolog
sufi yang berbaha Arab. Kehidupan,
ajaran dan kematiannya memberi
pencerahan dalam periode penting
sejarah kebudayaan Islam, dan
pengalaman batiniah yang ia
gambarkan dapat dianggap sebagai
saat yang menentukan dalam sejarah
tasawuf.

I.
BIOGRAFI AL-HALLAJ

Asal-usul. Al-Hallaj dilahirkan di


sekitar tahun 244 H./857-8 M. Di Thur,
sebelah Timur Laut Baidha di Persia.
Di Thur, dialek Persi yang digunakan;
Baidha’ adalah kota Arab di mana
Sibawaih dilahirkan. Hal ini perlu
dikatakan karena al-Hallaj adalah
cucu seorang gabr dan keturunan
dari Abu Ayub, sahabat Nabi saw.
Ayahnya, yang mungkin seorang
pemintal benang, meninggalkan Thur
menuju wilayah tekstil yang
terbantang dari Tustar sampai Wasith
( di atas Sungai Trigis), suatu kota
yang didirikan oleh orang-orang Arab,
dengan dominasi Kaum Sunni-Hanbali
(dengan wilayah pinggir yang dihuni
minoritas ekstrimis Syi’ah) dan
merupakan pusat madrasah terkenal
di kalangan Qura’ (pembaca al-
Qur’an). Di Wasith, al-Hallaj
kehilangan kemampuan berbicaranya
dalam bahasa Persi. Sebelum berusia
12 tahun, ia belajar menghafalkan al-
Qur’an dan menjadi seorang Hafiz. Ia
mula-mula berusaha mencari makna
batiniah dari ajaran-ajaran surat al-
Qur’an dan menerjunkan diri ke dalam
Tasawuf di madrasah Sahl at-Tustari.
Di Basrah. Ketika berusia dua
puluh tahun, al-Hallaj meninggalkan
Sahl at-Tustar menuju Basrah. Di sini
ia memperoleh tradisi para Sufi dari
Amr al-Makki dan menikahi Ummu al-
Husain, putri Abu Ya’qub al-Aqtha’.
Sepanjang hidupnya, al-Hallaj hanya
mempunyai seorang istri serta
dianugerahi tiga anak laki-laki dan
seorang anak perempuan.
Perkawinannya menimbulkan
kecemburuan dan perlawanan dari
‘Amr al-Makki. Ketika ia tidak ada di
rumah, al-Hallaj menitipkan
keluarganya kepada saudara iparnya,
seorang Karnaba’i. Melalui saudara
iparnya ini, al-Hallaj bisa berhubungan
dengan klan yang mendukung para
pemberontak Zaidi dari Zanj, yang
telah dicemarkan oleh kalangan
ekstrimis Syi’ah, dalam beberapa
tingkatan, mungkin inilah asal mula
dari kegigihannya, tetapi reputasinya
tetap dikenal bahwa ia bukanlah
seorang dai atau “mubaligh Syi’ah”.
Dari periode ini, ia memelihara
beberapa keingintahuhannya dan
memperlihatkan ekspresi Syi’ah, tetapi
tetap melanjutkan ke Basrah untuk
membina kehidupan zuhud dengans
sangat kuat dan tetap meyakini
secara mendalam ajaran Sunni. Al-
Hallaj kemudian pergi ke Baghdad
untuk berdiskusi dengan seorang sufi
terkenal, al-Junaid, namun atas saran
al-Junaid dan kelelahan akibat konflik
yang terus ebrlangsung antara
mertuanya, al-Aqtha’ dengan Amr al-
Makki, ia pergi ke Makkah segera
setelah pemberontakan Zanj meletus.
Ibadah Haji Pertama. Di Makkah
al-Hallaj menjalankan hajinya yang
pertama, dan berjanji menyelesaikan
umrahnya selama satu tahun di dalam
halaman Masjidil Haram dengan
berpuasa dan berdzikir. Dalam
suasana seperti ini al-Hallaj berusaha
menurut caranya sendiri menyatu
dengan Allah swt., dan, berlawanan
dengan disiplin sirr (kerahasiaan),
mulai menyerukan penyatuannya
tersebut. ‘Amr al-Makki kemudian
memutuskan hubungan dengannya,
meski al-Hallaj mulai menarik
pengikut-pengkutnya.
Khuzistan, Khurasan dan
Keberangkatan dari Tustar. Setelah
kembali ke Khuzistan, al-Hallaj mulai
menanggalkan baju gamis panjang
kesufiannya dan kemudian memakai
“jubah” (mungkin qaba, yakni baju
besar yang baisa dipakai kalangan
prajurit) agar berbicara dan
berdakwah secara lebih leluasa. Inilah
permulaan perwaliannya dimana
tujuan utamanya adalah utuk
membuat setiap orang dapat
menemukan Allah swt. di dalam
jiwanya sendiri, karenanya al-Hallaj
diberi julukan al-Hallaj al-Asrar
(“pemintal hati nurani”) yang
membuatnya dicurigai dan dibenci
serta dijadikan polemik di antara para
Sufi. Beberapa kaum Sunni dan
sebagian orang Kristen awal yang
menjadi pejabat negara di Baghdad,
mulai menjadi pengikutnya. Tetapi
kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah yang
menjadi petugas negara, menuduhnya
sebagai penipu dan menentangnya.
Al-Hallaj pergi ke Khurasan untuk
melanjutkan dakwahnya di antara
koloni-koloni Arab di sebelah Timur
Iran dan menetap di sana selama lima
tahun, berdakwah di kota-kota dan
tinggal beberapa lama di perbatasan
bentang-benteng pertahanan yang
menjadi markas para pejuang
sukarela saat pecah “Perang Suci”. Al-
Hallaj kembali ke daerah Tustar, dan
melalui bantuan Sekretaris negara,
Hamid Kunna’i, ia berhasil membawa
keluarganya menetap di Baghdad.
Ibadah Haji Keuda, Perjalanan
Jauh, Ibadah Haji ke Tiga. Bersama
empat ratus pengikutnya, al-Hallaj
kemudian menjalankan ibadah haji
keduanya ke Makkah, di mana
beberapa kawan lamanya dari
kalngan sufi menuduhnya
menggunakan magic dan ilmu sihir
serta membuat perjanjian dengan
para jin. Setelah haji keduanya inilah
ia melakukan perjalanan panjang ke
India (Hinduisme) dan Turkistan
(Manicheisme dan Buddhisme) di
bawah kekuasaan dar al-Islam. “Au de
la de la Communaute
musulmane,c’est a toute I’humanite
qu’il pense pour lui communicuer
cecurieux fesir de Dieu, patient at
pudique, qui de lors le caracterise ...”
(L-Massignon). Sekitar 290 H,/902 M.
al-Hallaj kembali ke Makkah untuk
menjalankan ibadah hajinya yang
ketiga sekaligus terakhir. Ia kembali ke
sana dengan mengenakan
muraqqa’ah (sehelai kain tambalan
yang menutupi bahunya), dan futha
(sejenis kain celana India) yang
melingkar di pinggangnya. Doanya
ketika wuquf di Arafah adalah semoga
Allah swt. menguranginya agar
menjadi tiada, menjadikan dirinya
direndahkan dan di tolak, sehingga
hanya Allah-lah Yang berada di dalam
jiwa dan bibir hamba-Nya.
Seruan terakhir di Baghdad.
Setelah kembali kepada keluarganya
di baghdad, al-Hallaj membangun
sebuah model Ka’bah di dalam
rumahnya, dan berdoa di tengah
malam di samping makam, dan apda
siang hari ia amengumandangkan
jalan atau mabuk cintanya keapda
Allah dan keinginannya “untuk
meninggal secara terhina demi
kaumnya”. “Wahai kaum Muslimin,
selamatkan aku dari Allah!” ..... “Allah
telah membuat darahku menajdi halal
untuk engkau, maka bunuhlah aku.....
!” Seruan ini memunculkan banyak
emosi dan memicu kecemasan di
kalangan terdidik. Seorang Zhahiri,
Muhammad bin Dawud marah ketika
al-Hallaj mengumumkan penyatuan
mistiknya dengan Allah: ia meminta
agar al-Hallaj diseret ke pengadilan,
dengan melakukan provokasi agar al-
Hallaj dihukum mati. Tetapi fuqaha
Syafi’i, Ibnu Suraij menyatakan,
bahwa inspirasi mistik itu di luar
ketentuan fiqih. Pada periode inilah,
menurut pakar nahfu (gramatika) di
Bashrah, ketika di dalam masjid al-
Manshur, al-Hallaj menjawab asy-
Syibli, dengan ungkapan Syath (“frase
teofanik’)-nya yang terkanal “ “Ana al
Haqq (‘Akulah Kebenran”), yang
mengumumkan bahwa ia tidak
mempunyai “Aku” lain selain Allah swt.
Penahanan. Suatu gerakan
massa untuk reformasi moral dan
politik bergolak di Baghdad, setelah
memperoleh inspirasi dari dakwah al-
Hallaj dan dari mereka yang jujur yang
telah melihat apdanya “Quthb” (Orang
yang paling dekat dengan Allah),
tersembunyi di dalam diri al-Hallaj. Ia
menyerahkan beberapa buku penting
menggenai tugas-tugas kementerian
keapda Ibnu Hamdan dan Ibnu Isa.
Tahun 296 H./908 M., beberapa kativis
reformasi Sunni ( di bawah pengaruh
seorang Hanbali, Barbahari) telah
melakukan usaha yang tak berhasil
dalam merebut kekuasaan dan
mengangkat Ibnu al-Mu’taz menjadi
khalifah. Mereka ternyata gagal, dan
Khalifah muda al-Muqtadir,
memulihkan kembali pejabat
finansialnya yagn Syi’ah, Ibnu Furat.
Akibatnya, al-Hallaj menerima
perlakuan represif dari orang-orang
yang bersikap anti Hanbali, tetapi ia
berhasil menyelamatkan diri menuju
Sus di Ahwaz, kota dengan mayoritas
pengikut dari kaum Hanbali, walau
pun empat orang pengikutnya di
tahan. Tiga tahun kemudian, al-Hallaj
sendiri ditahan dan di bawa kembali
ke Baghdad sebagai korban
kebencian Hamid seorang pengikut
Sunni. Al-Hallaj dimasukkan penjara
selama sembilan tahun.
Pemenjaraan. Tahun 301 H./913
M. Menteri Ibnu Isa, saudara sepupu
dari salah seorang pengikut al-Hallaj,
akhirnya menyudahi pengadilan
terhadap al-Hallaj dan pengikut-
pengikutnya yang turut meringkuk
dalam penjara dilepaskan.
Sayangnya, karena provokasi rrepresif
dari musuh-musuh al-Hallaj dengan
dukungan dari kepala Polisi yang juga
menjadi lawan Menteri Ibnu Isa, maka
al-Hallaj dihukum selama tiga hari
dengan dipasang plakat bertuliskan
“agen Qarmathiyah” di atas
kepalanya. Al-Hallaj kemudian dibawa
ke suatu tempat dimana ia sempat
memberi ceramah kepada kalangan
narapidana lainnya. Tahun 303 H./915
M. Al-Hallaj merawat khalifah yang
sakit demam, dan 305 H. Ia
“menghidupkan kembali pangeran
putra mahkota. Kaum Mu’tazilah
lantas mengumumkan “ajaran
perdukunan”-nya. Menteri Ibnu Isa
yang mengagumi al-Hallaj, pada tahun
304 – 6 H. Digantikan oleh Ibnu Furat
yang anti Al-Hallaj. Namun pengaruhd
ari ibu ratu mencegah menteri baru ini
membuka kembali pengadilan
terhadap Al-Hallaj. Tampaknya, bahwa
dua karya utama Al-Hallaj berasal dari
periode ini : Thasin al-Azal, sebuah
perenungan tentang iblis, “sang
monoteis yang tidak patuh”, dan karya

Anda mungkin juga menyukai