Anda di halaman 1dari 3

Janji Mentari

(Hadyan Farrel Nugraha; 17 September 2018)

Dia Mentari. Anak desa Sukamantri yang memiliki hobi menulis puisi. Perawakan agak tinggi
namun rendah hati. Tidak memiliki banyak mimpi, hanya Sastrawan untuk sebuah ketetapan janji.
Mentari, tentu bersinar. Ia tidak kalah dengan ‘leluhurnya’ di atas sana, matahari. Siang hari, ia
menampakan kebahagiannya pada banyak orang. Mencerahkan sedikit harapan meski di luar sedang
hujan. Dan keabadiannya masih belum jelas terhitung oleh rumus Matematika ataupun Fisika.

Aku bersamanya sudah 9 tahun. Saat itu, Mentari masih sangat mungil dan tidak setinggi
sekarang. Seragam putih merahnya agak berbeda denganku. Dia bahkan pucat pasi saat itu, bukan
seperti Mentari yang sekarang. Entah ada apakah, saat itu aku tidak begitu peduli. Dia selalu terduduk
dipojokan kelas, sesekali ia meringis kesakitan sambil meronta-ronta sesuatu. Seisi kelas
berpandangan ngeri, apalagi saat itu kami semua masih Sekolah Dasar. Beberapa ada yang
meninggalkan ruangan kelas sambil mencibir menduga keterlaluan tidak kiranya. Ia dikatai gila.

“Mentari? Kamu enggak apa-apa?” sejurus saat itu aku menerobos kerumunan manusia apatis
yang otaknya tidak diatur dengan baik mengenai sikap sosial yang semestinya. Aku agak geram dengan
mereka.

Mentari menggeleng-geleng. Wajahnya murung, pucat, mengurangi pendaran wajahnya yang


putih dan bersih. Saat itu, cuaca di luar memang sedang mendung. Gemuruh bersahutan, seperti
orkestra, dan burung-burung berterbangan di langit seakan memberikan sebuah pertanda. Akan turun
hujan.

“Mentari, ikut aku” aku segera menariknya. Tanpa pikir panjang ia meraih uluran tanganku
dan aku memaksanya untuk ke luar dari kerumunan yang isinya sedang mencibir segala pemasukan
persepsi gila di pikiran mereka. Aku sangat menyayangkan mengenai nilai sosial dan pertemanan di
usia yang masih belia itu. Memangnya tidak bisa sedikit saja ‘peduli’ ?

Mentari. Wajahnya masih murung, sedih, dan matanya sembab. Ia seperti terkurung di dalam
sangkar dan meronta ingin ke luar menyapa alam yang bebas. Namun, aku tidak tahu pasti sesuatu
hal yang terjadi padanya. Tangan mungilnya gemetaran menyiksa sarafnya yang mungkin sedang
sekuat tenaga untuk menenangkan Mentari. Kunciran Ponytailnya membuat Mentari manis dan imut,
namun pancaran kebahagiannya seperti matahari sekarang yang redup dan tidak tahu keberadaannya
dimana karena terhalang oleh awan kelabu yang mengisyaratkan akan ada cerita sendu nanti siang.

“Mentari” panggilku pelan, menatap hamparan ladang, duduk di belakang sekolah.

Dia tidak menjawab.

“Mentari” aku mengulangi, agak naik nadanya, tapi dia masih terdiam dan menunduk
menatap bebatuan kecil di sekitaran bangku. Aku menoleh ke arahnya dengan penuh pengharapan
agar ia setidaknya mau berbicara kepadaku. Tapi rasanya, nihil sekali.

“Mentari!” bersamaan dengan suara gemuruh, hatinya tersentak, menciut, berlindung dibalik
hoodie yang ia kenakan. Tapi sesaat kemudian, aku mulai mendengar suara isakannya. Dan aku
merasa berdosa telah menyentaknya barusan.

Angin bertiup cukup intens. Menggerakan hati hamparan padi yang menguning dan
merunduk. Mentari tersiksa, batinnya terkoyak, jiwanya sunyi. Dia menyiratkan demikian. Air matanya
berjatuhan. Aku di sampingnya menunggu setidaknya ia mulai sedikit tenang dan aku akan mulai
berbicara lagi kepadanya. Suatu emosi yang tidak terprediksi. Aku bahkan tidak mengetahui siapa
gadis yang baru lusa kemarin masuk ke kelasku dengan bekas luka bakar di tangan kirinya.

Mentari, engkau bukan putri siang sendu yang harus terus mengadu pada kalbu sendiri.

“Ceritakan saja, aku akan mendengarnya” aku masih menatap lurus ke depan, tidak berani
menatapnya, “Kalau kau terus begini, silahkan tinggalkan dunia. Kalau kau setidaknya berbicara, aku
akan menuntunmu pada sosok Mentari yang sebenarnya”

Dia masih terdiam. Mulutnya terbuka lalu menutup kembali bergantian. Kalut malut. Aku
masih menunggunya meski aku masih berpikir dia tidak akan pernah berbicara kepadaku.

“Yean” dia bergumam, masih menunduk.

“Apa?”

Dia hampir melepaskan rantai kebisuan di dalam dirinya. Mulai menjemput jiwanya yang
sempat tersesat di hutan yang gelap dan mengerikan. Membiarkan air mengalir dalam irigasi sawah
untuk sebuah kehidupan. Mentari berbicara. Menceritakan sebagian kisah memilukan antara dirinya
dan kehidupannya. Mengadu pada kalbu orang lain, dan tidak membisu dalam kebringasan emosi yang
suatu saat memuncak dan membahayakan dirinya sendiri. Dia menangis dalam setiap kata yang
diceritakan. Tangisan meminta harapan, juga pelepas kehampaan.

Gadis itu menceritakan cerita sendu atas abu yang memilu pada kalbu. Menjelma kisahnya
pada langit yang menurunkan rintik-rintik air dalam dinginnya desa yang asri nan hijau ini. Mentari
boleh menangis dalam penyesalan diri atas masalahnya. Namun tunggu saja kegembiraan jingga atas
pendaran cahaya dalam riak air selepas hujan.

Mentari, gadis manis yang ditinggalkan ibunya. Ibu yang sangat ia sayangi, beliau menapakan
kakinya pada singgasana suci di surga kelak. Berjuang untuk kehidupan, saat Ayahnya berhura ria di
perkotaan tanpa kepedulian sesuap nasi. Mentari tinggal bersama neneknya di desa. Tanpa
kebahagiaan, karena dirinya dicap gila oleh teman-temannya. Kemarin lusa ia pindah sekolah karena
penyiksaan demi penyiksaan sudah keterlaluan dan akan membahayakan dirinya. Mentari itu sering
menangis, terkadang tanpa alasan ia akan menangis. Dan sampai sekarang, ia belum pernah memiliki
teman satu pun. Aku merasakan bagaimana ia memikul beban sendiri atas penderitannya selama ini.

Dan Hoodie yang ia kenakan adalah hadiah ulangtahun ibunya 2 tahun yang lalu. Berwarna
merah muda, cantik. Mentari hanya memiliki ibunya saat ia sedang bersedih atau bahkan tertidur di
pangkuannya saat ia mengantuk. Ibunya meninggal karena sakit yang dideritanya, saat itu Ayahnya
sudah lebih dahulu meninggalkan keluarganya tanpa kejelasan sedikitpun. Bahkan, Mentari kerap
diejek ‘anak haram’ atau ‘anak pulung’ oleh anak-anak yang lainnya.

“Sekarang aku temanmu” pungkasku.

“Anu..”

“Jangan berkomentar, sekarang kau temanku, ok? Kau aman denganku”

Setelah aku meyakinkan dirinya, ia mengangguk dengan harapan di pancaran matanya.


Matanya yang bulat, dipenuhi oleh kaca air yang siap lagi terjatuh. Namun jemari mungilnya segera
menyeka matanya itu sambil tersenyum kepadaku. Entah kenapa, rasanya ia benar-benar bersinar
sekarang. Berbinar, sangat cantik. Aku berjanji akan menjaganya sesuai batas kemampuanku.

Mentari, jadilah cahaya kehidupan yang menjemput segala kebahagiaan.


Mentari sudah beranjak dewasa. Dia satu SMA denganku. Setiap hari kami pasti mengadakan
pertemuan untuk proyek terbitan buku. Dan omong-omong, ini buku yang kedua setelah menerbitkan
buku teenlit yang mengangkat tema comedy-horror. Sense of Humor Mentari sangat tinggi dan aku
sering terpingkal dengan Jokes dirinya. Mentari saat ini sudah benar-benar berubah. Ia tumbuh
menjadi gadis kuat dan tangguh. Penampilannya masih tetap cantik dan imut sesuai umurnya. Dia
tidak melebihkan berpenampilan. Berkelakuan sewajarnya tanpa memandang modern adalah
keharusan dirinya mengikuti tren hedonisme dan individualisme. Kuno sekali menurutku.

Sore ini aku dan Mentari pulang cepat dari sekolah. Menyempatkan sejenak untuk mampir ke
lokasi 9 tahun lalu di mana Mentari masih sangat absurd dan tidak karuan keadaannya. Maafkan aku
mengatakan hal ini, namun sepertinya memang begitu kenyataannya.

“Kau masih ingat?”

“Tentu, tempat ini sangat.. mengerikan” ia terkekeh. Aku duduk di sampingnya. Memandang
hamparan sawah dalam senja yang semakin dalam.

“Jika aku tidak ada saat itu, mungkin kau sudah menceburkan diri ke sumur itu” aku
menimpalinya, ia terkekeh sambil memukuli kepalaku dengan buku Fisika di tangannya.

“Aku sempat berpikir sesuatu” Mentari menatap dalam sawah di depannya. Sekali lagi, ia
sangat manis.

Ada yang lebih cepat dari kecepatan Cahaya. Yaitu kalbu manusia, ia berubah haluan dalam
detik kehangatan. Bahkan aku tidak menemukan adanya kehampaan udara meski sudah terjatuh di
angkasa.

Air matanya jatuh seketika. Aku merasakan air mata itu bukanlah air mata 9 tahun lalu yang
menampakan kesakitan batin yang dideritanya. Mentari kembali menangis. Wajahnya tersenyum,
senada dengan cahaya senja saat ini. Suara serangga sawah bersahutan memberikan irama,
menebarkan seketika kalbu ku yang keras seperti batu sesungguhnya. Mentari, dia seperti merasuk
ke dalam hanyutan pikiranku. Jemariku hampir meraihnya, namun aku masih harus menahannya dan
menikmati pemandangan senja yang damai di desa yang dipenuhi cerita indahnya.

Berdebar, dalam hangat musim panas. Dan keadaan damai merupakan pertanda
kebahagiaan yang akan berlanjut. Dia matahariku, dia Mentari, dia gadis yang kutemukan dalam
sangkar kelam yang tidak bisa menggapai dunianya.

FIN

Anda mungkin juga menyukai