Anda di halaman 1dari 28

PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH

TEKSTIL
APAKAH LIMBAH TEKSTIL ITU ?

Limbah tekstil merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses pengkanjian, proses
penghilangan kanji, penggelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan,
pencetakan dan proses penyempurnaan. Proses penyempurnaan kapas menghasil
kan limbah yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada limbah dari proses
penyempurnaan bahan sistesis.

Gabungan air limbah pabrik tekstil di Indonesia rata-rata mengandung 750 mg/l
padatan tersuspensi dan 500 mg/l BOD. Perbandingan COD : BOD adalah dalam
kisaran 1,5 : 1 sampai 3 : 1. Pabrik serat alam menghasilkan beban yang lebih
besar. Beban tiap ton produk lebih besar untuk operasi kecil dibandingkan dengan
operasi modern yang besar, berkisar dari 25 kg BOD/ton produk sampai 100 kg
BOD/ton. Informasi tentang banyaknya limbah produksi kecil batik tradisional belum
ditemukan.

PROSES PEMBUATAN TEKSTIL

Serat buatan dan serat alam (kapas) diubah menjadi barang jadi tekstil dengan
menggunakan serangkaian proses. Serat kapas dibersihkan sebelum disatukan
menjadi benang. Pemintalan mengubah serat menjadi benang. Sebelum proses
penenunan atau perajutan, benang buatan maupun kapas dikanji agar serat menjadi
kuat dan kaku. Zat kanji yang lazim digunakan adalah pati, perekat gelatin, getah,
polivinil alkohol (PVA) dan karboksimetil selulosa (CMC). Penenunan, perajutan,
pengikatan dan laminasi merupakan proses kering.

Sesudah penenunan serat dihilangkan kanjinya dengan asam (untuk pati) atau
hanya air (untuk PVA atau CMC). Penghilangan kanji pada kapas dapat memakai
enzim. Sering pada waktu yang sama dengan pengkanjian, digunakan pengikisan
(pemasakan) dengan larutan alkali panas untuk menghilangkan kotoran dari kain
kapas. Kapas juga dapat dimerserisasi dengan perendaman dalam natrium
hidroksida, dilanjutkan pembilasan dengan air atau asam untuk meningkatkan
kekuatannya.

Penggelantangan dengan natrium hipoklorit, peroksida atau asam perasetat dan


asam borat akan memutihkan kain yang dipersiapkan untuk pewarnaan. Kapas
memerlukan pengelantangan yang lebih ekstensif daripada kain buatan (seperti
pendidihan dengan soda abu dan peroksida).

Pewarnaan serat, benang dan kain dapat dilakukan dalam tong atau dengan
memakai proses kontinyu, tetapi kebanyakan pewarnaan tekstil sesudah ditenun. Di
Indonesia denim biru (kapas) dicat dengan zat warna. Kain dibilas diantara kegiatan
pemberian warna. Pencetakan memberikan warna dengan pola tertentu pada kain
diatas rol atau kasa.

SUMBER LIMBAH
Larutan penghilang kanji biasanya langsung dibuang dan ini mengandung zat kimia
pengkanji dan penghilang kanji pati, PVA, CMC, enzim, asam. Penghilangan kanji
biasanya memberi kan BOD paling banyak dibanding dengan proses-proses lain.
Pemasakan dan merserisasi kapas serta pemucatan semua kain adalah sumber
limbah cair yang penting, yang menghasilkan asam, basa, COD, BOD, padatan
tersuspensi dan zat-zat kimia. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan
volume besar, pH yang sangat bervariasi dan beban pencemaran yang tergantung
pada proses dan zat kimia yang digunakan. Pewarnaan dan pembilasan
menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD tinggi dan bahan-bahan lain
dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam. Di Indonesia zat warna
berdasar logam (krom) tidak banyak dipakai. Proses pencetakan menghasilkan
limbah yang lebih sedikit daripada pewarnaan.

JENIS LIMBAH

1. Logam berat terutama As, Cd, Cr, Pb, Cu, Zn.


2. Hidrokarbon terhalogenasi (dari proses dressing dan finishing)
3. Pigmen, zat warna dan pelarut organic
4. Tensioactive (surfactant)

PENANGANAN LIMBAH

1. Langkah pertama untuk memperkecil beban pencemaran dari operasi tekstil


adalah program pengelolaan air yang efektif dalam pabrik, menggunakan :
o Pengukur dan pengatur laju alir
o Pengendalian permukaan cairan untuk mengurangi tumpahan
o Pemeliharaan alat dan pengendalian kebocoran
o Pengurangan pemakaian air masing-masing proses
o Otomatisasi proses atau pengendalian proses operasi secara cermat
o Penggunaan kembali alir limbah proses yang satu untuk penambahan
(make-up) dalam proses lain (misalnya limbah merserisasi untuk
membuat penangas pemasakan atau penggelantangan)
o Proses kontinyu lebih baik dari pada proses batch (tidak kontinyu)
o Pembilasan dengan aliran berlawanan
2. Penggantian dan pengurangan pemakaian zat kimia dalam proses harus
diperiksa pula :

o Penggantian kanji dengan kanji buatan untuk mengurangi BOD


o Penggelantangan dengan peroksi da menghasilkan limbah yang
kadarnya kurang kuat daripada penggelantangan pemasakan
hipoklorit
o Penggantian zat-zat pendispersi, pengemulsi dan perata yang
menghasilkan BOD tinggi dengan yang BOD-nya lebih rendah.
3. Zat pewarna yang sedang dipakai akan menentukan sifat dan kadar limbah
proses pewarnaan. Pewarna dengan dasar pelarut harus diganti pewarna
dengan dasar air untuk mengurangi banyaknya fenol dalam limbah. Bila
digunakan pewarna yang mengandung logam seperti krom, mungkin
diperlukan reduksi kimia dan pengendapan dalam pengolahan limbahnya.
Proses penghilangan logam menghasilkan lumpur yang sukar diolah dan
sukar dibuang. Pewarnaan dengan permukaan kain yang terbuka dapat
mengurangi jumlah kehilangan pewarna yang tidak berarti.

4. Pengolahan limbah cair dilakukan apabila limbah pabrik mengandung zat


warna, maka aliran limbah dari proses pencelupan harus dipisahkan dan
diolah tersendiri. Limbah operasi pencelupan dapat diolah dengan efektif
untuk menghilangkan logam dan warna, jika menggunakan flokulasi kimia,
koagulasi dan penjernihan (dengan tawas, garam feri atau poli-elektrolit).
Limbah dari pengolahan kimia dapat dicampur dengan semua aliran limbah
yang lain untuk dilanjutkan ke pengolahan biologi.

Jika pabrik menggunakan pewarnaan secara terbatas dan menggunakan pewarna


tanpa krom atau logam lain, maka gabungan limbah sering diolah dengan
pengolahan biologi saja, sesudah penetralan dan ekualisasi. Cara-cara biologi yang
telah terbukti efektif ialah laguna aerob, parit oksidasi dan lumpur aktif. Sistem
dengan laju alir rendah dan penggunaan energi yang rendah lebih disukai karena
biaya operasi dan pemeliharaan lebih rendah. Kolom percik adalah cara yang murah
akan tetapi efisiensi untuk menghilangkan BOD dan COD sangat rendah, diperlukan
lagi pengolahan kimia atau pengolahan fisik untuk memperbaiki daya kerjanya.

Untuk memperoleh BOD, COD, padatan tersuspensi, warna dan parameter lain
dengan kadar yang sangat rendah, telah digunakan pengolahan yang lebih unggul
yaitu dengan menggunakan karbon aktif, saringan pasir, penukar ion dan
penjernihan kimia.

PEMANFAATAN LIMBAH

Industri tekstil tidak banyak menghasilkan banyak limbah padat. Lumpur yang
dihasilkan pengolahan limbah secara kimia adalah sumber utama limbah pada pabrik
tekstil. Limbah lain yang mungkin perlu ditangani adalah sisa kain, sisa minyak dan
lateks. Alternatif pemanfaatan sisa kain adalah dapat digunakan sebagai bahan tas
kain yang terdiri dari potongan kain-kain yang tidak terpakai, dapat juga digunakan
sebagai isi bantal dan boneka sebagai pengganti dakron.

Lumpur dari pengolahan fisik atau kimia harus dihilangkan airnya dengan saringan
plat atau saringan sabuk (belt filter). Jika pewarna yang dipakai tidak mengandung
krom atau logam lain, lumpur dapat ditebarkan diatas tanah. Jika lumpur
mengandung logam, maka ia harus disimpan ditempat yang aman, sampai ada suatu
tempat pengolahan limbah berbahaya yang dikembangkan di Indonesia, dan yang
ada pada saat ini adalah Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B-3) di
Cilengsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Penanganan dan Pengolahan Limbah Rumah Sakit

Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair,
padat dan gas.Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan
lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit.

Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 9 tahun 1990 tentang Pokok-pokok


Kesehatan, bahwa setiap warga berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.

Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan


yang berupa pencegahan dan pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan
pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan kepada
masyarakat (Siregar, 2001).

Upaya perbaikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai macam cara,
yaitu pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan,
perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta pelayanan kesehatan
ibu dan anak. Selain itu, perlindungan terhadap bahaya pencemaran lingkungan juga
perlu diberi perhatian khusus (Said dan Ineza, 2002).

Rumah sakit merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan pelayanan
kesehatan dan dapat dimanfaatkan pula sebagai lembaga pendidikan tenaga kesehatan
dan penelitian. Pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit berupa kegiatan
penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat badan serta jiwa (Said dan Ineza,
2002).

Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair,
padat dan gas. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan
lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit. Unsur-unsur yang
terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit (termasuk pengelolaan
limbahnya), yaitu (Giyatmi. 2003) :

 Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit.


 Pengguna jasa pelayanan rumah sakit.
 Para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran.
 Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan fasilitas yang
diperlukan.

Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah dilaksanakan dengan menyiapkan perangkat
lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan
yang mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit. Di
samping itu secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan
mengupayakan instalasi pengelolaan limbah rumah sakit. Sehingga sampai saat ini
sebagian rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limbah,
meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun harus disadari bahwa pengelolaan limbah
rumah sakit masih perlu ditingkatkan lagi (Barlin, 1995).
1.2. Peranan Rumah Sakit Dalam Pengelolaan Limbah

Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan yang meliputi pelayanan rawat jalan, rawat nginap, pelayanan gawat darurat,
pelayanan medik dan non medik yang dalam melakukan proses kegiatan hasilnya dapat
mempengaruhi lingkungan sosial, budaya dan dalam menyelenggarakan upaya dimaksud
dapat mempergunakan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar terhadap
lingkungan (Agustiani dkk, 1998).

Limbah yang dihasilkan rumah sakit dapat membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu
limbah berupa virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium Virologi dan
Mikrobiologi yang sampai saat ini belum ada alat penangkalnya sehingga sulit untuk
dideteksi. Limbah cair dan Iimbah padat yang berasal dan rumah sakit dapat berfungsi
sebagai media penyebaran gangguan atau penyakit bagi para petugas, penderita maupun
masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa pencemaran udara, pencemaran air, tanah,
pencemaran makanan dan minunian. Pencemaran tersebut merupakan agen agen
kesehatan lingkungan yang dapat mempunyai dampak besar terhadap manusia (Agustiani
dkk, 1998).

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Kesehatan menyebutkan


bahwa setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Oleh karena itu Pemerintah menyelenggarakan usaha-usaha dalam
lapangan pencegahan dan pemberantasan penyakitpencegahan dan penanggulangan
pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan pada rakyat
dan lain sebagainya (Karmana dkk, 2003). Usaha peningkatan dan pemeliharaan
kesehatan harus dilakukan secara terus menerus, sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan, maka usaha pencegahan dan penanggulangan
pencemaran diharapkan mengalami kemajuan. Adapun cara-cara pencegahan dan
penanggulangan pencemaran limbah rumah sakit antara lain adalah melalui (Karmana
dkk, 2003) :

 Proses pengelolaan limbah padat rumah sakit.


 Proses mencegah pencemaran makanan di rumah sakit.

Sarana pengolahan/pembuangan limbah cair rumah sakit pada dasarnya berfungsi


menerima limbah cair yang berasal dari berbagai alat sanitair, menyalurkan melalui
instalasi saluran pembuangan dalam gedung selanjutnya melalui instalasi saluran
pembuangan di luar gedung menuju instalasi pengolahan buangan cair. Dari instalasi
limbah, cairan yang sudah diolah mengalir saluran pembuangan ke perembesan tanah
atau ke saluran pembuangan kota (Sabayang dkk, 1996). Limbah padat yang berasal dari
bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan lain sebagainya baik yang medis maupun non
medis perlu dikelola sebaik-baiknya sehingga kesehatan petugas, penderita dan
masyarakat di sekitar rumah sakit dapat terhindar dari kemungkinan-kemungkinan
dampak pencemaran limbah rumah sakit tersebut (Sabayang dkk, 1996).

1.3. Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit


Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS
di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS
di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per
tempat tidur per hari. Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur
per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa
limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen.
Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per
hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat
dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya
menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah sakit
menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan
di lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per
tempat tidur rumah sakit per hari (Sebayang dkk, 1996).

Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23
rumah sakit (RS) yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan
memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah
sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja
dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit
IPAL-nya dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga
menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut,
digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia
yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma,
pihaknya sudah menyampaikan surat edaran yang mengharuskan pihak rumah sakit
melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, sejak
dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang
memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang
infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius
disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis
dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis.
Padahal, limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah
nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi,
limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di
Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah.
Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan
seperti itu (Sebayang dkk, 1996).Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan
Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena
pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan
proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992
pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Padahal setiap rumah sakit, selain
harus memiliki IPAL, juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan
(SPPL) dan surat izin pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia
harus di bakar di incinerator. Persoalannya, harga incinerator itu cukup mahal sehingga
tidak semua rumah sakit bisa memilikinya (Sebayang dkk, 1996).
Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab
tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit antara lain
disebabkan, kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena
tidak memahami masalah teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan
pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran
karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan
membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa yang disebut produk
usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya (Sebayang dkk, 1996). Untuk itu,
upaya-upaya yang harus dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk
mengidentifikasi dan memilah jenis limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3,
infeksius, dapat digunapakai atau guna ulang). Meningkatkan pengelolaan dan
pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian dan penggunaan, pembuangan bahan
kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat mencakup pembelian dan
persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan lingkungan
melalui pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran,
pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat (Sebayang dkk, 1996).

1.4. Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta
Lingkungan

Limbah rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan
kegiatan penunjang lainnya. Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan
upaya pengelolaan yang baik meliputi pengelolaan sumber daya manusia, alat dan sarana,
keuangan dan tatalaksana pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh
kondisi rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan (Said, 1999).
Limbah rumah Sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme bergantung
pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair
rumah sakit dapat mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan
parameter BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit terdiri
atas sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah- limbah
tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia
beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan
rumah sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang memadal,
kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan
pemeliharaan sarana sanitasi yang masib buruk (Said, 1999).

Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan
memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis kategori
diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah
rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminsai dan trauma (injury).
jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian berikut ini (Shahib dan Djustiana, 1998) :

a. Limbah Klinik

Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan di unit-unit
resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi
kuman dan populasi umum dan staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang
jelas sebagai resiko tinggi. contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkus
yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan semprit
bekas, kantung urin dan produk darah.

b. Limbah Patologi

Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari
unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label biohazard.

c. Limbah Bukan Klinik

Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak
berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah
tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan
mambuangnya.

d. Limbah Dapur

Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa,
kutu dan hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun pasien di
rumah sakit.

e. Limbah Radioaktif

Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit,
pembuangannya secara aman perlu diatur dengan baik.

1.5. Pencegahan Pengolahan Limbah Pada Pelayanan Kesehatan

Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume, konsentrasi


atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui proses fisika, kimia
atau hayati. Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya pertama yang harus dilakukan
adalah upaya preventif yaitu mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke
lingkungan yang meliputi upaya mengunangi limbah pada sumbernya, serta upaya
pemanfaatan limbah (Shahib, 1999). Program minimisasi limbah di Indonesia baru mulai
digalakkan, bagi rumah sakit masih merupakan hal baru, yang tujuannya untuk
mengurangi jumlah limbah dan pengolahan limbah yang masih mempunyainilai ekonomi
(Shahib, 1999).

Berbagai upaya telah dipergunakan untuk mengungkapkan pilihan teknologi mana yang
terbaik untuk pengolahan limbah, khususnya limbah berbahaya antara lain reduksi limbah
(waste reduction), minimisasi limbah (waste minimization), pemberantasan limbah
(waste abatement), pencegahan pencemaran (waste prevention) dan reduksi pada
sumbemya (source reduction) (Hananto, 1999).

Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus dilaksanakan pertama kali
karena upaya ini bersifat preventif yaitu mencegah atau mengurangi terjadinya limbah
yang keluar dan proses produksi. Reduksi limbah pada sumbernya adalah upaya
mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang akan keluar
ke lingkungan secara preventif langsung pada sumber pencemar, hal ini banyak
memberikan keuntungan yakni meningkatkan efisiensi kegiatan serta mengurangi biaya
pengolahan limbah dan pelaksanaannya relatif murah (Hananto, 1999). Berbagai cara
yang digunakan untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah (Arthono, 2000) :

1. House Keeping yang baik, usaha ini dilakukan oleh rumah sakit dalam menjaga
kebersihan lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau
kebocoran bahan serta menangani limbah yang terjadi dengan sebaik mungkin.
2. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai jenis aliran limbah menurut
jenis komponen, konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat mempermudah,
mengurangi volume, atau mengurangi biaya pengolahan limbah.
3. Pelaksanaan preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian alat atau
bagian alat menurut waktu yang telah dijadwalkan.
4. Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar persediaan
bahan selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak
berlebihan sehiugga tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan
penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.
5. Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk
pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.
6. Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan yang
kurang potensi untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup
tinggi, sebaiknya dilakukan pada saat pengembangan rumah sakit baru atau
penggantian sebagian unitnya.

Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di seluruh rumah


sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di
tempat sumbernya, perlu memperhatikan hal-hal berikut (Haryanto, 2001) :

1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk
limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik.
2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik.
3. Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah
klinik.
4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah
klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang.

Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan


warna yang menyangkut hal-hal berikut (Sundana, 2000) :
1. Pemisahan limbah

 Limbah harus dipisahkan dari sumbernya


 Semua limbahberesiko tinggi hendaknya diberi label jelas
 Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang
menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang. Di
beberapa negara, kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai ganti dapat
digunakan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat
diperoleh dengan mudah). Kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip
berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna dibangsal dan unit-
unit lain

2. Penyimpanan limbah

 Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian.
Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas
 Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa
mengayun menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk
dikumpulkan
 Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna
yang samatelah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai
 Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan
perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya

3. Penanganan limbah

 Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup
 Kantung dipegang pada lehernya
 Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung
tangan yang kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong
tersebut
 Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih
untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)
 Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat
mencederainya di dalma kantung yang salah
 Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung
limbah

4. Pengangkutan limbah

Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah
bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa ke
insinerator. Pengankutan dengan kendaran khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas
Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut
sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya bila ada
kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
5. Pembuangan limbah

Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat
penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak
mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang
pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.

Kemudian mengenai limbah gas, upaya pengelolaannya lebih sederhana dibanding


dengan limbah cair, pengelolaan limbah gas tidak dapat terlepas dari upaya penyehatan
ruangan dan bangunan khususnya dalam memelihara kualitas udara ruangan (indoor)
yang antara lain disyaratkan agar (Agustiani dkk, 2000) :

 Tidak berbau (terutania oleh gas H2S dan Anioniak);


 Kadar debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam pengukuran rata-rata selama 24
jam.
 Angka kuman. Ruang operasi : kurang dan 350 kalori/m3 udara dan bebas kuman
padao gen (khususnya alpha streptococus haemoliticus) dan spora gas gangrer.
Ruang perawatan dan isolasi : kurang dan 700 kalorilm3 udara dan bebas kuman
patogen. Kadar gas dan bahan berbahaya dalam udara tidak melebihi konsentrasi
maksimum yang telah ditentukan.

Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri. insinerator
berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500o C atau lebih
tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk
kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula memperoleh penghasilan
tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakityang berasal dari rumah
sakitlain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara
lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik, termasuk benda
tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai (Rostiyanti dan Sulaiman, 2001).

Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan
ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut (Djoko,
2001) :

 Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.


 Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.
 Tambahkan lapisan kapur.
 Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai
ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah.
 Akhirnya lubang tersebut harus dituutup dengan tanah.

1.6. Ozonisasi Pengolahan Limbah Medis

Limbah cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakitumumnya banyak mengandung
bakteri, virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan
masyarakat sekitar rumah sakittersebut. Dari sekian banyak sumber limbah di rumah
sakit, limbah dari laboratorium paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang
digunakan dalam proses uji laboratorium tidak bisa diurai hanya dengan aerasi atau
activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan inveksikus, sehingga
harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum "dilempar" menjadi limbah tak berbahaya.
Untuk foto rontgen misalnya, ada cairan tertentu yang mengandung radioaktif yang
cukup berbahaya. Setelah bahan ini digunakan. limbahnya dibuang (Suparmin dkk,
2002).

1.7. Teknologi Pengolahan Limbah

Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan hanya berkisar
antara masalah tangki septik dan insinerator. Keduanya sekarang terbukti memiliki nilai
negatif besar. Tangki septik banyak dipersoalkan lantaran rembesan air dari tangki yang
dikhawatirkan dapat mencemari tanah. Terkadang ada beberapa rumah sakit yang
membuang hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung ke sungai-sungai, sehingga
dapat dipastikan sungai tersebut mulai mengandung zat medis (Suparmin dkk, 2002).

Sedangkan insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah medis, juga
bukan berarti tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS menemukan teknik
insenerasi merupakan sumber utama zat dioksin yang sangat beracun. Penelitian terakhir
menunjukkan zat dioksin inilah yang menjadi pemicu tumbuhnya kanker pada tubuh
(Suparmin dkk, 2002). Yang sangat menarik dari permasalahan ini adalah ditemukannya
teknologi pengolahan limbah dengan metode ozonisasi. Salah satu metode sterilisasi
limbah cair rumah sakit yang direkomendasikan United States Environmental Protection
Agency (USEPA) pada tahun 1999. Teknologi ini sebenarnya dapat juga diterapkan untuk
mengelola limbah pabrik tekstil, cat, kulit, dan lain-lain (Christiani, 2002).

1.7.1. Ozonisasi

Proses ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu. Proses ozonisasi atau
proses dengan menggunakan ozon pertama kali diperkenalkan Nies dari Prancis sebagai
metode sterilisasi pada air minum pada tahun 1906. Penggunaan proses ozonisasi
kemudian berkembang sangat pesat. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun terdapat
kurang lebih 300 lokasi pengolahan air minum menggunakan ozonisasi untuk proses
sterilisasinya di Amerika (Berlanga, 1998).

Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan
makanan, pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan kerja di
perkantoran. Luasnya penggunaan ozon ini tidak terlepas dari sifat ozon yang dikenal
memiliki sifat radikal (mudah bereaksi dengan senyawa disekitarnya) serta memiliki
oksidasi potential 2.07 V. Selain itu, ozon telah dapat dengan mudah dibuat dengan
menggunakan plasma seperti corona discharge (Berlanga, 1998). Melalui proses
oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam mikroorganisma seperti
bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis, Hepatitis A Virus serta berbagai
mikroorganisma patogen lainnya (Crites, 1998). Melalui proses oksidasi langsung ozon
akan merusak dinding bagian luar sel mikroorganisma (cell lysis) sekaligus
membunuhnya. Juga melalui proses oksidasi oleh radikal bebas seperti hydrogen peroxy
(HO2) dan hydroxyl radical (OH) yang terbentuk ketika ozon terurai dalam air. Seiring
dengan perkembangan teknologi, dewasa ini ozon mulai banyak diaplikasikan dalam
mengolah limbah cair domestik dan industri (Akers, 1993).

1.7.2. Ozonisasi Limbah cair rumah sakit

Limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan laboratorium, dapur, laundry, toilet, dan
lain sebagainya dikumpulkan pada sebuah kolam equalisasi lalu dipompakan ke tangki
reaktor untuk dicampurkan dengan gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor
bereaksi mengoksidasi senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair
(Harper, 1986).

Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tangki koagulasi untuk
dicampurkan koagulan. Lantas proses sedimentasi pada tangki berikutnya. Pada proses
ini, polutan mikro, logam berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi dalam tangki
reaktor dapat diendapkan (Harper, 1986).

Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi. Pada tangki ini terjadi
proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat pollutan yang terlewatkan pada proses
koagulasi. Zat-zat polutan akan dihilangkan permukaan karbon aktif. Apabila seluruh
permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, atau tidak mampu lagi menyerap maka proses
penyerapan akan berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus diganti dengan karbon
aktif baru atau didaur ulang dengan cara dicuci. Air yang keluar dari filter karbon aktif
untuk selanjutnya dapat dibuang dengan aman ke sungai (Harper, 1986).

Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil radikal (-OH), sebuah radikal
bebas yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon
(1.7 V) dan chlorine (1.36 V). Hidroksil radikal adalah bahan oksidator yang dapat
mengoksidasi berbagai senyawa organik (fenol, pestisida, atrazine, TNT, dan
sebagainya). Sebagai contoh, fenol yang teroksidasi oleh hidroksil radikalakan berubah
menjadi hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk kemudian teroksidasi kembali menjadi
asam oxalic dan asam formic, senyawa organik asam yang lebih kecil yang mudah
teroksidasi dengan kandungan oksigen yang di sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari proses
oksidasi hanya akan didapatkan karbon dioksida dan air (Harper, 1986). Hidroksil radikal
berkekuatan untuk mengoksidasi senyawa organik juga dapat dipergunakan dalam proses
sterilisasi berbagai jenis mikroorganisma, menghilangkan bau, dan menghilangkan warna
pada limbah cair. Dengan demikian akan dapat mengoksidasi senyawa organik serta
membunuh bakteri patogen, yang banyak terkandung dalam limbah cair rumah sakit
(Wilson, 1986). Pada saringan karbon aktif akan terjadi proses adsorpsi, yaitu proses
penyerapan zat-zat yang akan diserap oleh permukaan karbon aktif. Apabila seluruh
permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, proses penyerapan akan berhenti. Maka, karbon
aktif harus diganti baru atau didaur ulang dengan cara dicuci (Wilson, 1986).

Dalam aplikasi sistem ozonisasi sering dikombinasikan dengan lampu ultraviolet atau
hidrogen peroksida.Dengan melakukan kombinasi ini akan didapatkan dengan mudah
hidroksil radikal dalam air yang sangat dibutuhkan dalam proses oksidasi senyawa
organik. Teknologi oksidasi ini tidak hanya dapat menguraikan senyawa kimia beracun
yang berada dalam air, tapi juga sekaligus menghilangkannya sehingga limbah padat
(sludge) dapat diminimalisasi hingga mendekati 100%. Dengan pemanfaatan sistem
ozonisasi ini dapat pihak rumah sakittidak hanya dapat mengolah limbahnya tapi juga
akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah terproses (daur ulang). Teknologi
ini, selain efisiensi waktu juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat
instalasi yang luas (Wilson, 1986).

Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi
masyarakat sekitarnya, tetapi juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu berupa
cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang
benar. Pengelolaan limbah rumah sakityang tidak baik akan memicu resiko terjadinya
kecelakaan kerja dan penularan penyakit darin pasien ke pekerja, dari pasien ke pasien
dari pekerja ke pasien maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung rumah sakit. Oleh
sebab itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain
yang berada di lingkungan rumah sakit dana sekitarnya, perlu penerapan kebijakan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan
dan monitoring limbah rumah sakitsebagai salah astu indikator penting yang perlu
diperhatikan. Rumah sakit sebagai institusi yang sosioekonomis karena tugasnya
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab
pengelolaan limbah yang dihasilkan (Wilson, 1986).

DAFTAR PUSTAKA

Agustiani E, Slamet A, Winarni D (1998). Penambahan PAC pada proses lumpur aktif
untuk pengolahan air limbah rumah sakit: laporan penelitian. Surabaya: Fakultas Teknik
IndustriInstitut Teknologi Sepuluh Nopember

Agustiani E, Slamet A, Rahayu DW (2000). Penambahan powdered activated carbon


(PAC) pada proses lumpur aktif untuk pengolahan air limbah rumah sakit. Majalah
IPTEK: jurnal ilmu pengetahuan alam dan teknologi : 11 (1): 30-8

Akers (1993). Paperboard hospital waste container. United States Patent : 5,240,176
Arthono A (2000). Perencanaan pengolahan limbah cair untuk rumah sakit dengan
metode lumpur aktif. Media ISTA : 3 (2) 2000: 15-8 Barlin (1995). Analisis dan evaluasi
hukum tentang pencemaran akibat limbah rumah sakit Jakarta :Badan Pembinaan Hukum
Nasional

Berlanga B (1998). Process, formula and installation for the treatment and sterilization of
biological, solid, liquid, ferrous metallic, non-ferrous metallic, toxic and dangerous
hospitalwaste material. United States Patent : 5,820,541
Christiani (2002). Pemanfaatan substrat padat untuk imobilisasi sel lumpur aktif pada
pengolahan limbah cair rumah sakit. Buletin Keslingmas

Djoko S (2001). Pengelolaan limbah rumah sakit. Sipil Soepra : jurnal sipil 3(8): 91-9

Giyatmi (2003). Efektivitas pengolahan limbah cair rumah sakitDokter Sardjito


Yogyakarta terhadap pencemaran radioaktif. Yogyakarta : Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada

Hananto WM (1999). Mikroorganisme patogen limbah cair rumah sakitdan dampak


kesehatan yang ditimbulkannya. Bul Keslingmas : 18 (70) 1999: 37-44

Harper (1986). Hospital waste disposal system. United States Patent : 4,619,409

Haryanto (2001). Analisis senyawa-senyawa kimia limbah cair rumah sakit Kodya Jambi.
Percikan : 31 (Mei): 54-9

Karmana O, Nurzaman M, Sanusi S (2003). Pengaruh limbah padat rumah sakit hasil
insinerasi dan pupuk NPK bagi pertumbuhan tanaman bayam (Amaranthus sp) var.
Gitihijau : laporan penelitian. Bandung : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
AlamUniversitas Padjadjaran

Rostiyanti SF, Sulaiman F (2001). Studi pemeliharaan bangunan pengolahan air limbah
dan incinerator pada rumah sakit di Jakarta. Jurnal Kajian Teknologi : 3 (2): 113-23

Said NI (1999). Teknologi pengolahan air limbah rumah sakitdengan sistem "biofilter
anaerob-aerob". Seminar Teknologi Pengelolaan Limbah II: prosiding, Jakarta, 16-7 Feb
1999.

Said dan Ineza (2002). Uji performance pengolahan air limbah rumah sakit dengan proses
biofilter tercelup. Jakarta : Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan

Sabayang P, Muljadi, Budi P (1996). Konstruksi dan evaluasi insinerator untuk limbah
padat rumah sakit. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Fisika Terapan Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Fisika
Terapan Shahib MN (1999) Penerapan teknik "Polymerase chain Reaction" (PCR) untuk
memonitor pencemaran lingkungan oleh senyawa merkuri (Hg) pada limbahcair rumah
sakit. Kongres Himpunan Toksikologi Indonesia: prosiding, Jakarta, 22-23 Feb 1999
Shahib MN, Djustiana N (1998). Profil DNA plasmid E. coli yang diisolasi dari limbah
cair rumah sakit. Majalah Kedokteran Bandung : 30 (1) 1998: 328-41

Siregar TM (2001). Pengaruh penambahan inokulum pada pengolahan limbah cair rumah
sakit: studi kasus pengolahan limbah cair RSUD Pasar Rebo, Jakarta menggunakan M-
bio pada reaktor fixed-film aerobic. Jakarta : Program Pasca Sarjana Universitas
Indonesia
Sundana EJ (2000). Hospital waste minimization in Indonesia case studi:
Muhammadiyah Bandung General Hospital (RSMB). Jurnal Itenas : 4 (1): 43-9

Suparmin, Tri C, Budiono Z (2002). Studi evaluasi pengolahan air limbah rumah sakit
diPropinsi Jateng tahun 2002. Buletin Keslingmas

Wilson (1986). Hospital waste disposal system. United States Patent : 4,618,103

Sumber : http://www.klinikmedis.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=7:pencegahan-penanganan-pengolahan-limbah-
rumah-sakit&catid=1:latest-news

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR

Industri primer pengolahan hasil hutan merupakan salah satu penyumbang limbah cair yang berbahaya bagi
lingkungan. Bagi industri-industri besar, seperti industri pulp dan kertas, teknologi pengolahan limbah cair
yang dihasilkannya mungkin sudah memadai, namun tidak demikian bagi industri kecil atau sedang.
Namun demikian, mengingat penting dan besarnya dampak yang ditimbulkan limbah cair bagi lingkungan,
penting bagi sektor industri kehutanan untuk memahami dasar-dasar teknologi pengolahan limbah cair.

Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan. Apapun macam
teknologi pengolahan air limbah domestik maupun industri yang dibangun harus dapat dioperasikan dan
dipelihara oleh masyarakat setempat. Jadi teknologi pengolahan yang dipilih harus sesuai dengan
kemampuan teknologi masyarakat yang bersangkutan.

Berbagai teknik pengolahan air buangan untuk menyisihkan bahan polutannya telah dicoba dan
dikembangkan selama ini. Teknik-teknik pengolahan air buangan yang telah dikembangkan tersebut secara
umum terbagi menjadi 3 metode pengolahan:

1. pengolahan secara fisika


2. pengolahan secara kimia
3. pengolahan secara biologi
Untuk suatu jenis air buangan tertentu, ketiga metode pengolahan tersebut dapat diaplikasikan secara
sendiri-sendiri atau secara kombinasi.

Pengolahan Secara Fisika


Pada umumnya, sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air buangan, diinginkan agar bahan-
bahan tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung disisihkan
terlebih dahulu. Penyaringan (screening) merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan
tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara
mudah dengan proses pengendapan. Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan ini adalah
kecepatan mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak pengendap.

Pemisahan Cair – Padatan


Penapisan
Presipitasi
Filtrasi
Flotasi
Filtrasi
Filter membrane
Filtrasi lambat
Filtrasi cepat
Tipe bertekanan
Tipe gravitasi
Mikro filter
Ultra filter
Reverse osmosis
Dialisis elektris
Filtrasi precoat
Klarifier
Tipe resirkulasi berlumpur
Tipe pallet selimut lumpur
Tipe selimut lumpur
Tipe konvensional
Pemekatan
Dewatering
Filter vacuum rotasi
Filter tekan/press
Belt press
Contrifugasi
Presipitasi sentrifugasi
Dehidrasi sentrifugasi

Proses flotasi banyak digunakan untuk


menyisihkan bahan-bahan yang mengapung
seperti minyak dan lemak agar tidak mengganggu
proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat
digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan
tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur
endapan (sludge thickening) dengan memberikan
aliran udara ke atas (air flotation).
Proses filtrasi di dalam pengolahan air buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului proses adsorbsi atau
proses reverse osmosis-nya, akan dilaksanakan untuk menyisihkan sebanyak mungkin partikel tersuspensi
dari dalam air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam
proses osmosa.

Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa aromatik (misalnya:
fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk menggunakan kembali air
buangan tersebut.

Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan kecil, terutama
jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali air yang diolah. Biaya instalasi dan operasinya
sangat mahal.

Pengolahan Secara Kimia

Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak
mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan
membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan. Penyisihan bahan-bahan tersebut pada prinsipnya
berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut, yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah
diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung
sebagai hasil reaksi oksidasi.

Pengolahan Kimia - Fisik


Netralisasi
Penukar ion
Koagulasi & Flokulasi
Alumina aktif
Karbon aktif
Adsorbsi
Oksidasi dan/atau Reduksi
Aerasi
Ozonisasi
Elektrolisis
Oksidasi kimia/reduksi
UV
Resin penukar anion
Resin penukar kation
Resin penukar anion
Zeolite

Gambar 2. Skema Diagram pengolahan Kimiawi

Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut


dilakukan dengan membubuhkan elektrolit yang
mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan
koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid
tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan
dengan membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya) sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-
logam tersebut atau endapan hidroksiapatit. Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan
untuk hidroksiapatit pada pH > 9,5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom
hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor
(FeSO4, SO2, atau Na2S2O5).

Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu
kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena
sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya
yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan
lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.

Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:

 Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada
pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil
dan mudah menguap
 Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi
 Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn
lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari
hasil proses tersebut
 Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan
digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan
cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.

Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue


(TSR), kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge
moisture content), volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif,
sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan
senyawa kimia).

Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta
zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari
lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-
alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran bahan bakar
fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-logam berat pada
umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah B3
dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup
peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.
Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat
dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak ketiga
(off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan
dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:

 jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar
teknologi pengolahan dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi terhadap
jenis limbah di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan
 jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat
menjustifikasi biaya yang akan dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula
berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1 hingga 2 tahun ke depan)
 pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani
proses pengolahan sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya
manusianya
 peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan
Pemerintah di masa mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat memenuhi
standar

Teknologi Pengolahan

Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling
populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan
incineration.

1. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan
utama dari chemical conditioning ialah:
o menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
o mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
o mendestruksi organisme patogen
o memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih
memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses
digestion
o mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan
aman dan dapat diterima lingkungan

Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara
meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah
gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan
tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering
selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit
pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
2. Treatment, stabilization, and conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan
menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses
pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara
kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-
bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika
berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid
dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi
berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan
reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah
lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment,
polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
3. De-watering and drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang
terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat
yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum
filter, dan belt press.
4. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang
terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan
composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah
sanitary landfill, crop land, atau injection well.
2. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat
diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat
didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif)
dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk
mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan
sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif.
Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti
yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi
menjadi 6 golongan, yaitu:
1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah
dibungkus dalam matriks struktur yang besar
2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi
bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat
mikroskopik
3. Precipitation
4. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia
pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
5. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan
menyerapkannya ke bahan padat
6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi
senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang
sama sekali
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2),
dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-
drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai
solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-
03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

3. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam
teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah
hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan
solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya
memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak
kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun,
insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen
limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu,
insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.

Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating
value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan
berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya
energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling
umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple
hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste
injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln
mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan
gas secara simultan.

Penanganan Limbah B3

Hazardous Material Container

Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang
mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk
proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3
dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum
dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari
karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah
yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat
rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan
mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang
bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam
pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan
yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat
berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50
kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat
dikemas hingga 400 kg per kemasan.

Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus
disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah.
Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan.
Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang
tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air,
tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal
1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air
hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang
bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi
dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan
konstruksi yang tahan api dan korosi.

Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan


pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Namun, kita dapat merujuk peraturan
pengangkutan yang diterapkan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal
pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya.
Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan
dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan
dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar
efektivitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah
terbagak harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan
tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga
diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan
Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam
kebarakan.
Secured Landfill. Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor
lainnya harus diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan
pasca-operasi harus terus dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak
terkontaminasi oleh limbah B3.

Pembuangan Limbah B3 (Disposal)

Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang
tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang
banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur
pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug
telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-
04/BAPEDAL/09/1995.

Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1)
secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner
dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.

Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan
dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan
pemindahan lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas
dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi
geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung
penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk
tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan
kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured
landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan agar
tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Deep Injection Well. Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi
kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang
mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika
Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru
yang dibangun setelah tahun 1980.

Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat
sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes).
Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke
dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki
kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan
menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam
pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah
setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah
lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan
impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak
dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.

Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis
limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima
limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat
mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam
kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang
lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.

Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke
sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh
Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:

1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara
vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber
air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di
atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan
beracun.

Referensi: Pengelolaan Limbah Industri - Prof. Tjandra Setiadi, Wikipedia, US EPA

Advertise here

JENIS TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH BIOLOGIS AEROBIC


Bab Artikel
Pengantar

Bagian 1
PROSES
PENGOLAHAN AIR
LIMBAH SECARA
BIOLOGIS AEROBIC
Bagian 2 - 1
JENIS TEKNOLOGI
PENGOLAHAN AIR
LIMBAH BIOLOGIS
AEROBIC
Bagian 3
APLIKASI
Artikel lain

Kolam Oksidasi

Kolam oksidasi adalah bentuk reaktor pengolahan air limbah secara biologis aerobic yang paling sederhana.
Reaktor berbentuk kolam biasa, dari tanah yang digali dan air limbah dimasukkan kedalamnya dengan
suatu waktu tinggal tertentu (sekitar 7-10 hari. Kedalaman kolam tidak lebih dari 1,0 m (0,4 – 1,0 m).

Pemenuhan oksigen dapat diperoleh dari :

 Absorpsi ke permukaan air di kolam melalui proses difusi

 Adanya mixing/pengadukan pada permukaan kolam akibat pengaruh angin dan permukaan
kolam yang cukup luas

 Photosyntesa dari keberadaan algae

Permasalahan dari Kolam Oksidasi antara lain :

 Membutuhkan lahan yang luas

 Efisiensi penurunan zat organik sangat terbatas, (influen + 200 mg/lt BOD, efluen + 50 mg/l
BOD) dan masih mengandung zat padat tersuspensi yang tinggi dari adanya algae (100 – 200
mg/l).

 Efisiensi tidak stabil (menurun pada malam hari) karena proses photosyntesa terhenti.

Kolam oksidasi ini biasanya digunakan untuk proses pemurnian air limbah setelah mengalami proses
pendahuluan. Fungsi utamanya adalah untuk penurunan kandungan bakteri yang ada dalam air limbah
setelah pengolahan.

Kolam tanaman

Sistem pengolahan air limbah secara biologis aerobic, dapat dilakukan juga dengan memanfaatkan
tanaman air. Seperti halnya kolam oksidasi, kolam tanaman ini juga digunakan untuk pengolahan tahap ke-II
, karena terbatasnya kemampuan mengolah beban organik yang tinggi. Suplai oksigen juga dari proses
photosyntesa. Seringkali juga ditambahkan aerasi mekanis dengan kapasitas terbatas.

Kolam aerasi

Kolam aerasi secara kontruksi masih mendekati kolam oksidasi. Tetapi kedalamannya jauh lebih besar,
yaitu 3-4 m. waktu tinggal lebih pendek (2-5 hari). Kolam aerasi ini ada yang dioperasikan secara aerobic
penuh, tetapi juga ada yang secara fakultatif yaitu lumpur yang merupakan pertumbuhan massa mikroba
dibiarkan mengendap di dalam kolam itu sendiri dan mengalami degradasi secara proses anaerobic.
Sementara yang dioperasikan secara aerobic penuh dibutuhkan kolam tambahan yang terpisah untuk
mengendapkan lumpur. Suplai oksigen diperoleh dari aerator mekanis.

Permasalahan dalam kolam aerasi antara lain :


 Masih membutuhkan lahan yang luas, walaupun lebih kecil jika dibandingkan dengan kolam
oksidasi

 Membutuhkan energi yang besar, karena disamping untuk suplai oksigen juga untuk
pengadukan secara sempurna, khususnya yang aerobic penuh.

Proses lumpur aktif

Merupakan proses pengolahan secara biologis aerobic dengan mempertahankan jumlah massa mikroba
dalam suatu reaktor dan dalam keadaan tercampur sempurna. Suplai oksigen adalah mutlak dari peralatan
mekanis, yaitu aerator dan blower, karena selain berfungsi untuk suplai oksigen juga dibutuhkan
pengadukan yang sempurna. Perlakuan untuk memperoleh massa mikroba yang tetap adalah dengan
melakukan resirkulasi lumpur dan pembuangan lumpur dalam jumlah tertentu.

Pengaturan jumlah massa mikroba dalam sistem lumpur aktif dapat dilakukan dengan baik dan relatif
mudah karena pertumbuhan mikroba dalam kondisi tersuspensi sehingga dapat terukur dengan baik melalui
analisa laboratorium. Tetapi jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya operasi sistem ini jauh lebih
rumit. Khususnya untuk limbah industri dengan karakteristik khusus.

Permasalahan dalam lumpur aktif antara lain :

 Membutuhkan energi yang besar

 Membutuhkan operator yang terampil dan disiplin dalam mengatur jumlah massa mikroba
dalam reaktor

 Membutuhkan penanganan lumpur lebih lanjut.

Proses dengan pertumbuhan melekat

Proses dengan pertumbuhan melekat juga dikenal dengan metode bio-filter. Massa mikroba tumbuh
berkembang melekat pada media. Media ini bisa berupa batu atau media artifisial berupa plastik atau PE.
Suplai oksigen dapat dilakukan melalui aliran udara alami dengan metode aliran yang menetes (trickling)
kebawah atau melalui peralatan mekanis (submersible aerator atau diffuser yang disuplai oleh blower).
Dengan mengandalkan aliran udara alami media selalu dalam keadaan kering (tidak terendam air),
sedangkan dengan peralatan mekanis media dalam keadaan terendam (submerged).

Massa mikroba yang mengalami kematian akan terlepas dari media dan terbawa aliran effluen. Dengan
demikian pada metode bio-filter ini juga diperlukan tangki pengendapan untuk memisahkan bio-solid yang
terbawa aliran efluen.

Dari segi operasional metode bio-filter ini lebih sederhana dari pada metode lumpur aktif dan membutuhkan
area yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kolam aerasi.

Tetapi problem yang utama sulit adalah sulit mengendalikan jumlah massa mikroba di reaktor (media bio-
filter), terutama jika terjadi perubahan beban organik dari air limbah yang diolah.

Anda mungkin juga menyukai