Anda di halaman 1dari 3

Tidak Ada Janji Mentari

(Hadyan Farrel Nugraha; 18 September 2018)

Mentari sudah mati. Ia mati ditelan malam selepas senja. Mentari mati dalam
pangkuanku dan pergi kepada singgasana bersama ibunya. Atau justru ia ke neraka atas
penebusan dosanya. Kau bodoh, Mentari. Meninggalkan janji atas kehidupan yang murni.

Aku memandang kosong batu nisan bertuliskan nama Mentari yang meninggal 9 tahun
yang lalu. Tidak ada berkas sinar kebahagiaan atau ketenangan yang terpancar darinya.
Kuburannya sepi, tidak memiliki kawan di sampingnya, persis seperti saat ia masih hidup. Saat
itu, aku masih Sekolah Dasar. Aku ingat betul bagaimana Mentari tersiksa oleh dirinya sendiri.
Aku bahkan ingat bagaimana Mentari.. mati.

Dia tertanam di dalam. Atau mungkin kau masih hidup dan sedang meronta ke luar?
Datanglah padaku sekarang. Sekarang.

Aku bergumam sendirian, menangis, lalu tertawa, bergantian. Isi kepalaku sudah
dipenuhi oleh sahutan iblis. Yang jelas, aku rasanya sudah gila, sudah buta oleh Mentari. Aku
bahkan mengalami depresi dan harus dibawa ke Psikiater saat 9 tahun yang lalu. Meskipun saat
ini aku sudah berangsur sembuh, namun kenangan tentang Mentari masih tersayat dan
menimbulkan bekas luka yang belum tertutupi.

“Dia sudah mati.. mengapa kau mati!?” Aku memukul gundukan tanah itu sambil
menangis sejadinya. Terkoyak hati, begitupula dengan ingatanku yang sudah tidak jernih lagi.
Selama ini, aku menganggap Mentari masih hidup. Mentari masih selalu di sampingku.
Menemaniku, dan berbicara padaku. Mentari malah sudah tumbuh dewasa, perawakannya
tinggi, dan kerap membantuku untuk menyelesaikan proyek buku terbitan.

Aku tidak hanya dicap gila oleh teman-temanku. Bahkan ayah tidak tanggung-tanggung
berniat membuangku di Rumah Sakit Jiwa saat aku masih Sekolah Dasar. Namun ibu dengan
sabar menggenggam tanganku saat itu, ibu tidak melepaskanku. Tidak seperti Ayah yang licik
dan tidak berperikemanusiaan.

Sehari-hari, setelah aku keluar dari Rumah Sakit Jiwa−tempat di mana kehancuran itu
selalu datang, sangat hina di sana−aku selalu mengurung diri di kamar. Bernapas sendirian,
meminta pada Tuhan tentang kehidupan yang layak. Namun sepertinya do’aku didengar oleh
iblis. Aku tidak pernah lagi menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya milik manusia fanatik,
aku hanya diberikan sisa penyesalan dan kehampaan.

Selama sekolah, aku masih sesekali berbicara sendirian. Ada teman-teman yang
memakluminya, namun tidak berarti sedikit yang menjauhinya. Aku ingin menjalani hidup
normal, namun rasanya raga Mentari selalu kutemukan dalam tiap kesempatan.

Malam itu, aku kembali teringat Mentari. Aku menulis puisi pendek untuknya. Berharap
ketika aku tertidur ia membaca tulisanku dan bisa bahagia di sana sehingga tidak menemuiku
kembali. Malam itu udaranya membelai lembut, dingin, aku membiarkan jendela kamarku
terbuka. Mentari.. ia mati dalam kesuksesan memutus rasa sakit karena penderitaannya. Aku
yakin sekali, di belakangku sudah ada Mentari dengan tatapannya yang kosong dan lehernya
yang terikat oleh tambang bekas bunuh dirinya.

Mentari mati. Ia mati dalam penyiksaan. Ia mati di belakang sekolah, ia mati dalam
matanya yang tidak menutup sedikit pun, membelalak. Ketika itu, ia memandangku dengan
lidahnya yang terjulur dan terayun di pohon mangga belakang sekolah, wajahnya biru. Saat itu
mulutku sudah tidak bisa berkata-kata. Selain ketakutan, juga kengerian akan dirinya yang sudah
tidak bernyawa. Mentari mati, dalam canda tawa manusia yang biadab.

Saat itu, Sekolah Dasar, di pojokan kelas. Mentari terduduk di pojokan dan sesekali ia
meringis kesakitan. Aku menduga ia sedang diseret oleh malaikat kematian untuk segera mati.
Namun tidak tahan dengan situasinya, aku menyeret Mentari dari kerumuman manusia setan
itu.

“Mentari, ikut aku” aku meraih tangan mentari. Wajahnya pucat, kelam, seperti mayat
hidup.

Mentari meraih tanganku. Tangannya sangat dingin, dia seperti siap untuk mati. Saat itu
aku semakin yakin Mentari adalah gadis menyedihkan yang dihinakan oleh sesama manusia.
Manusia-manusia goblok itu seakan menyuruh Mentari untuk mati. Mati dalam kehinaan. Aku
membawa Mentari ke belakang sekolah. Disajikan hamparan sawah dalam mendung awan yang
sangat kelabu. Sangat pas menggambarkan Mentari saat itu. Namanya Mentari, namun ia sangat
hina, berbeda dengan matahari di atas sana yang mampu memberikan kebahagiaan di
sekitarnya.

“Mentari” dia terdiam, dia duduk di sampingku. Pandanganku masih lurus ke depan. Aku
merasakan ada firasat buruk setelahnya.

“Mentari” ulangku dengan nada yang meninggi. Namun Mentari malah menundukan
kepalanya dalam dan sangat terpukul. Mentari tidak mau berbicara, dia masih terdiam. Dia
duduk dengan penuh penyesalan.

“Mentari!” kali ini suaraku melampaui kesabaranku. Mentari tersentak, jiwanya


terkoyak, dan ia menangis dalam kesakitan batin yang selama ini ia alami. Itulah setidaknya yang
aku inginkan. Aku membiarkan Mentari menangis, tapi tidak untuk meninggalkannya. Dirinya
masih tenggelam dalam kesesatan jiwa serta raga yang lemah seperti orang bodoh. Gadis ini
memberikan pengaruh buruk kepadaku. Aku sedikit geram.

Mentari akhirnya menaikan kepalanya. Ia menyeka air matanya, mulutnya terbuka lalu
menutup kembali. Kalut malut. Aku menunggunya untuk berbicara, meskipun aku tahu gadis itu
tidak akan berbicara kecuali ia akan dibunuh oleh seseorang untuk mengucapkan kata “tolong”.

“Yean”

“Apa?”

Mentari berbicara. Ia merobek mulutnya dalam kebisuan yang selama ini dilakukan. Ia
membuka paksa luka basah dan membiarkan daranya mengalir, begitu perumpaannya. Mentari
tidak bercerita, ia hanya mau berbicara dan meminta satu pertolongan padaku.
“Yean, tolong ambilkan secarik kertas di bawah mejaku” tatapan Mentari agak kosong.

Aku menurutinya. Aku berjalan menuju kelas dan mengambil secarik kertas yang tidak
tahu apa isinya. Aku tidak berani membukanya.

Mentari meraih tambang kematian itu. Ia mengikatnya dalam aliran napas untuk syarat
kehidupan. Mentari ingin bermain ayunan, ia sudah lelah dengan perlakuan manusia yang tidak
lebih jauh mirip dengan setan.

Saat aku kembali, Mentari tidak ada di bangku tempat duduk tadi. Ia sudah tergantung
di pohon mangga, wajahnya mengerikan. Menampakan kesakitan atas ringisan yang selama ini
ia alami. Ia bunuh diri. Dengan penyesalan aku meraih tubuh mentari yang sudah tidak
bernyawa. Napasnya terhenti, jiwanya sudah pergi. Ia mati.

Setelah itu, barulah aku membuka isi carik kertas itu. Aku tertegun sambil menahan
gejolak hati yang rasanya dihantam oleh berbagai pelik kehidupan. Rasanya sangat menyakitkan,
banyak penyesalan. Gadis itu benar-benar mati.

Kebahagiaan hanya untuk manusia fanatik. Dunia tidak seadil itu, aku mati dalam
penyesalan. Setidaknya, aku memutuskan rantai kebringasan atas kelamnya hidup. Aku
meminta pada raga, tidak akan ada yang percaya dan menerima. Aku mati dalam kesakitan, itu
lebih baik daripada terus dihinakan dalam kesempatan.

Begitulah cerita Mentari. Sesampainya aku pada kedewasaan ini, aku memikirkan selalu
bagaimana apabila Mentari terus hidup. Aku membayangkan raganya, mengajaknya bicara.
Padahal sudah jelas terkadang ia benar-benar datang dengan raga yang tidak nyaman
dipandang. Tambang itu selalu menjadi atribut dirinya. Mentari sesekali mengajakku untuk
bermain di dunianya. Namun aku menolak. Aku belum ingin mati. Masih banyak cara untuk
memperbaiki hidupku.

Tidak ada janji Mentari. Ia terlelap dalam cerita kelam yang dikarang sendiri. Mentari
hilang dalam malam, dan malam itu berlanjut tanpa ada penghujungnya. Ia hilang selamanya.

Janji Mentari tidak pernah ada. Karangan gelap itu hanya untuk Mentari dalam canda,
namun aku untuk derita. Tidak pernah ada kebahagiaan cerita Mentari, semua mati dalam
sendiri, dan hidup dalam lawakan manusia untuk terpojokan dalam keadaan. Mentari, dia
kutakdirkan untuk hidup. Selama menulis cerita ini, aku banyak menyisipkan Mentari.

Harapanku hanya satu.. aku ingin Mentari selalu kau ingat dan kau kenang, karena aku
ingin ia tetap hidup. Ketika kau mengingatnya, ia akan hidup. Ia sedang memperhatikanmu
selama aku bercerita tentang Mentari.

FIN

Anda mungkin juga menyukai