Aku ingat betul bagaimana hari terakhir yang mengerikan itu terus menggelayuti pikiranku. Perempuan bergaun hitam renda dengan tatapan matanya yang lemah itu sepertinya sudah menandakan bahwa waktunya di dunia sudah tidak lama lagi. Aku masih menyimpan rahasia terbesar bahwa aku masih ingin menghabiskan waktu dengannya lebih lama, dan mengajaknya untuk mengikatkan janji untuk hidup bersama. Saat itu kulitnya yang putih melebihi gading gajah terpendar oleh cahaya jingga yang merayap perlahan bersamaan dengan suara serangga musim panas yang saling berbalas irama. Bibirnya yang tipis dengan sedikit lengkungan itu akhirnya tersenyum sambil melambaikan tangannya sesaat matahari senja ikut tertelan oleh sambutan malam. Aku tahu, ia sudah pergi untuk selamanya. Rambut hitamnya yang tergerai itu terkibas oleh angin yang searah denganku yang sedang terpaku menatap pemandangan yang memilukan. Kekasihku itu, hanya bayangan sekarang. Ia sudah pergi. Aku melamun cukup lama sembari membiarkan tinta penaku kering. Secarik kertas yang lusuh dengan noda-noda merah mediaku menulis memang menyedihkan. Kursi cokelat lapuk dengan ujungnya yang melengkung dan diukir, menjadi sandaran ketika aku mulai kehabisan kata-kata untuk menuliskan sebuah mahakarya. Alunan musik Renaisans dari Pierre de La Rue−berjudul Masses−yang gaya musiknya sangat aku sukai mengalun dari Gramofon cokelat yang antik sekaligus menarik. Pierre memang menyukai nada rendah, sehingga saat itu Requiem adalah karyanya yang paling gemilang. Salah satu karyanya yang paling aku sukai adalah Masses. Aku memperhatikan lukisan Aleena, perempuan yang pernah mengisi relung hati kosong nan sepi saat jiwaku benar-benar kehilangan arah untuk hidup. Aku selalu memandang lukisan dirinya yang terpampang di dinding ruangan bercat putih pudar dengan kurangnya cahaya matahari sehingga segala ornamen berwarna cokelat di sini menjadikannya terbilang kuno sekali. Dalam lukisan itu Aleena memperlihatkan senyuman tipisnya dengan rambut hitam yang digerai. Wajahnya sangat begitu nyata, bola mata yang bulat dan indah itu terkadang seakan mengikutiku ke mana pun aku pergi di ruangan ini. Dan hatinya meski sudah melebur dengan tanah masih aku rasakan sampai saat ini. Seringkali suaranya yang lembut itu pun masih terdengar di sela-sela musik Pierre yang aku gemari. Sampai empat malam berlalu aku masih selalu terpikir akan Aleena. Aku sedang berkiprah di dunia tulisan−maksudnya Novel, yang sedang populer di kota ini. Selain banyak penulis Novel, kota ini digandrungi pula oleh penyair muda. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjadi penyanyi kafe di kota yang bergaya Medieval ini. Aku hanyalah penduduk miskin yang menyedihkan sekarang dan penyambung hidupku hanyalah Novel yang aku tulis. Novel ini nantinya akan dijual ke pusat baca yang didirikan khusus oleh kerajaan di kota ini. Nominal yang diberikan memang lumayan besar, dan aku sempat mendapatkan bayaran dua kali lipat dari pihak istana. Namun, semua itu terkadang habis hanya untuk membayar hutang-hutang yang ditinggalkan oleh kedua orangtuaku yang sudah bersama Aleena di surga. Harta warisanku nyaris habis, dan rumah ini adalah satu-satunya harta yang aku miliki. “Bisakah aku menulisnya untuk Aleena? Jiwanya masih selalu menghantui pikiranku, bahkan aku tidak mampu untuk menuliskan satu kata pun untuknya.. aku tidak tahu bagaimana lagi caranya hidup” Dan sungguh ketika itu aku benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa selain meratapi segala kemalangan yang menimpaku. Aku berniat untuk menjadi pengamen, untuk Aleenaku, agar ia tidak melihatku menyedihkan. Namun itu mustahil, aku bahkan tidak memiliki bakat musik! Tirai kamar yang bergoyang karena angin membuyarkan lamunanku. Lantas aku pikir lebih baik jalan-jalan ke luar sebentar untuk membeli makanan−karena bubur sumsum bekas pemberian temanku yang sekarang sedang sibuk dengan syairnya itu sudah habis sekarang. Aku akan membeli gandum hitam yang lebih murah ketimbang gandum normal yang harganya pasti jauh lebih mahal. Dan parahnya saat ini Novelku belum juga selesai karena selalu memikirkan Aleena. Aku sudah hancur, jauh lebih hancur dari bubur sumsum yang aku makan. Aleena sudah tidak bisa memberikan apapun selain kengiluan yang aku rasakan sebagai pria yang paling menyedihkan. Seketika, aku menangis. Benar-benar menangis hingga emosiku yang selama ini berkecamuk di dalam hati dilampiaskan pada meja yang penuh dengan kertas berisi tulisan karanganku yang belum selesai−atau tidak pernah selesai. Aku sangat berdosa karena tidak mampu berbuat apa-apa. Lukisan besar itu, Aleena, bergerak dengan tidak sabaran di dinding hingga suara gemeretaknya terdengar dengan jelas. Aku memperhatikannya dengan perasaan kagum sekaligus takut. Dari matanya muncul cairan merah kental yang membuatku tertegun sambil merasakan badanku yang gemetar bukan main. Bibirku kalut marut menyebut namanya, “A..A..Aleena, kau kah itu?” Sosok yang selalu aku pikirkan itu sekarang muncul di hadapanku dengan tatapan yang tajam. Ia bukan lagi Aleena yang manis dengan senyumnya yang membuatku selalu terpana oleh kecantikannya. Sekarang, ia benar-benar marah. Sangat marah, sehingga aku tidak dapat bergerak dan terjatuh di lantai kusam yang dipenuhi oleh kertas-kertas yang bertinta hitam. “Aleena.. ALEENA!!!” aku berteriak hingga histeris melandaku yang gembira sekaligus takut. Aku tidak tahu harus apa.. pada Aleena. “Hentikan!! Jangan hina dirimu karena orang yang sudah mati. Aku menjerit setiap kali kau memikirkanku!!!” dan aku tidak percaya Aleena begitu marah kepadaku. Karena memang aku selalu memikirkannya, bahkan menganggap dirinya masih hidup. Tapi aku tidak menyangka ini malah membuatnya tersiksa di dimensi yang berbeda denganku. Sesaat Aleena tersungut-sungut dengan matanya yang membulat lebar, lukisan dirinya terjatuh di lantai dan menimbulkan retak yang cukup parah. Bersamaan dengan itu, Aleena menghilang dengan debu pekat berwarna hitam. Aku masih mengatur napasku, keringat yang membasahi dahiku sudah tidak dapat lagi aku bendung. Keinginan Aleena adalah agar aku melupakannya dan bisa menulis sebuah karya Novel seperti biasa, untuk menyambung hidupku. Keesokan harinya setelah kejadian itu, aku pergi ke bukit di belakang rumahku dan membakar lukisan Aleena. Ada perasaan berat sekaligus lega mengingat aku sekarang benar- benar akan melupakan Aleena, perempuan yang sangat aku cintai, dan dengan ketenangan jiwanya sekarang aku dapat pula meneruskan keinginanku untuk menjadi penulis terkenal di kota. Hingga nanti suatu hari, aku dapat merasakan apa artinya gemilang hidup sesungguhnya. Dan aku sangat yakin, Aleena akan bahagia melihatku yang sudah beranjak dari kepiluan yang selama ini membuatku tersiksa. Hidupku bukan hanya bernuansa romansa, hidupku bergantung kepada apa yang harus aku lakukan ke depan. Pena hitam dan secarik kertas putih bersih ini akan menjadi awal baru, untukku. FIN