Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

“TERAPI CAIRAN”

Referat ini dibuat untuk melengkapi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu ANASTESI di RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai

Disusun Oleh:

Nama

Reza Yulitianto (17360247)


Boby Ahmad (17360245)
Syartika Mega Sanjaya

Pembimbing:

dr. Syahmaidin Purba, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU ANASTESI


RSUD.DR.RM.DJOELHAM KOTA BINJAI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2018
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cairan Tubuh ................................................................................................... 2

2.2 Terapi Cairan .................................................................................................. 4

2.3 Jenis Cairan dan Indikasinya…………………………………………. 5

2.4 Jalur Pemberian Terapi Cairan…………………………………………… 11

2.5 Terapi Cairan Perioperatif ................................................................................ 12

BAB III KESIMPULAN .............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Tubuh manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian yang padat dan bagian yang
cair. Bagian padat terdiri dari tulang, kuku, otot, dan jaringan yang lain. Sedangkan
bagian yang cair berupa cairan intraselular dan ekstraselular. Cairan ekstraseluler dibagi
menjadi plasma darah sebanyak 5% dan cairan interstitial sebanyak 15%. Cairan
antarsel khusus disebut cairan transeluler, seperti cairan serebrospinal, cairan
persendian, cairan peritoneum, dan lain-lainnya. Dalam cairan ekstraseluler dan
intraseluler, terdapat elektrolit-elektrolit utama yang berbeda. Elektrolit utama dalam
cairan ekstraseluler adalah natrium dan klorida, sedangkan elektrolit utama dalam
cairan intraseluler adalah kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat. Cairan dan elektrolit
sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar dapat menjaga dan mempertahankan
fungsinya, sehingga tercipta kondisi yang sehat pada tubuh manusia.1,2

Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh sudah diatur sedemikian
rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat dipertahankan. Apabila terjadi
gangguan keseimbangan, baik cairan atau elektrolit, maka akan memberikan pengaruh
pada yang lainnya. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat
terjadi pada keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi, ekskresi keringat
yang berlebih pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insesible water loss)
secara berlebihan oleh paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada ginjal
dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam keadaan
tersebut, pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh yang hilang,
dengan segera dapat digantikan. 3

Terapi cairan merupakan terapi yang sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan


pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi cairan dapat dilakukan untuk
mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi kebutuhan per hari,
mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi lain. Administrasi terapi cairan
melalui intravena adalah salah satu rute terapi yang paling umum dan penting dalam
pengobatan pasien bedah, medis dan sakit kritis.4 Pemilihan pemberian terapi cairan untuk
perbaikan dan perawatan stabilitas hemodinamik pada tubuh cukup sulit. Karena
pemilihannya tergantung pada jenis dan komposisi elektrolit dari cairan yang hilang.
Meskipun kesalahan terapi cairan jarang dilaporkan, namun disebutkan satu dari lima pasien
dengan terapi cairan dan elektrolit intravena menderita komplikasi atau morbiditas karena
pemberian terapi cairan yang tidak tepat. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis
tertarik untuk membahas terapi cairan.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cairan Tubuh

2.1.1 Komposisi dan Distribusi Cairan Tubuh

Komponen terbesar tunggal dari tubuh adalah air. Air merupakan perlarut bagi
semua yang terlarut. Air tubuh total atau total body water (TBW) adalah persentase dari
berat air dibagi dengan berat badan total, yang bervariasi berdasarkan kelamin, umur,
dan kandungan lemak yang ada di dalam tubuh. Air membuat sampai sekitar 60 persen
pada laki laki dewasa. Sedangkan untuk wanita dewasa terkandung 50 persen dari total
berat badan. Pada neonatus dan anak-anak, presentase ini relatif lebih besar
dibandingkan orang dewasa.1,2

Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama yang


dipisahkan oleh membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan
ekstraseluler dibagi menjadi intravaskular dan kompartemen interstitial. Cairan antarsel
khusus disebut cairan transeluler, seperti cairan serebrospinal, cairan persendian, cairan
peritoneum, dan lain-lainnya. Cairan tersebut termasuk ke dalam jenis khusus cairan
ekstraseluler. Dalam beberapa kasus, komposisinya dapat berbeda dari plasma atau
cairan interstitial.1,2

Gambar 1. Kompartemen Cairan Tubuh Manusia1


a. Cairan intraselular
Cairan intraseluler merupakan cairan yang terkandung di dalam sel. Cairan
intraseluler berjumlah sekitar 40% dari berat badan. Pada cairan intraseluler memiliki
ion kalium dan fosfat dalam jumlah besar, ion magnesium dan sulfat dalam jumlah
sedang, ion klorida dan natrium dalam jumlah kecil, dan hampir tidak ada ion kalsium.
Sel juga memiliki protein dalam jumlah besar, hampir lebih dari empat kali lipat di
dalam plasma.1 b. Cairan ekstraselular

Jumlah relatif cairan ekstraselular menurun seiring dengan bertambahnya usia,


yaitu sampai sekitar sepertiga dari volume total pada dewasa. Cairan ekstraselular
terbagi menjadi cairan interstitial dan cairan intravaskular. Cairan interstitial adalah
cairan yang mengelilingi sel dan termasuk cairan yang terkandung diantara rongga
tubuh seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi
saluran pencernaan. Sementara, cairan intravaskular merupakan cairan yang terkandung
dalam pembuluh darah, dalam hal ini plasma darah.1

Pada orang dewasa normal, rata-rata asupan air setiap harinya adalah 2500 ml,
yang termasuk kira-kira 300 ml sebagai produk sampingan dari metabolisme substrat
energi. Rata-rata kehilangan cairan per hari adalah 2500 ml dimana 1500 ml di urin, 400
ml dievaporasi saluran pernafasan, 400 ml di evaporasi kulit, 100 ml di keringat, dan
100 ml di feses. Penguapan sangat diperlukan untuk pengaturan suhu karena mekanisme
ini secara normal menyumbang 20-25% kehilangan panas. Perubahan pada komponen
cairan dan volume sel akan memicu kerusakan fungsi yang serius, khususnya pada
otak.2

2.2 Terapi Cairan


Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan
penanganan pasien kritis. Dalam langkah-langkah resusitasi, langkah D (“drug and fluid
treatment”) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan langkah penting yang dilakukan
secara simultan dengan langkah-langkah lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan
langkah “life saving” pada pasien yang menderita kehilangan cairan yang banyak seperti
dehidrasi karena muntah mencret dan syok.2,3
2.3 Jenis Cairan dan Indikasinya
Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan koloid.

a. Cairan Kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida). Kristaloid tidak
mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam ruang intravascular
dengan waktu paruh kristaloid di intravascular adalah 20-30 menit. Beberapa peneliti
merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter kristaloid isotonik.
Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi imun. Larutan kristaloid
adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi intravena prehospital. Tonisitas
kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit yang dilarutkan dalam air,
dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid,
diantaranya3:

- Isotonis.
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia memiliki konsentrasi
yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik, konsentrasi). Ketika
memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan yang signifikan antara cairan
di dalam intravascular dan sel. Dengan demikian, hampir tidak ada atau minimal
osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah murah, mudah didapat, mudah
penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera dipakai untuk mengatasi defisit volume
sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge
test. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema
paru pada jumlah pemberian yang besarContoh larutan kristaloid isotonis:

Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% in ¼ NS.2,3


- Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih
terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik, konsentrasi).
Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan tersebut akan menarik
cairan dari sel ke ruang intravascular. Efek larutan garam hipertonik lain adalah
meningkatkan curah jantung bukan hanya karena perbaikan preload, tetapi peningkatan
curah jantung tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik positif pada miokard
dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral. Kedua
keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Efek samping dari
pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh
larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam
Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam RL.2,3,5

- Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan
kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik, konsentrasi).
Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari
intravascular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam air, ½

Normal Saline.3
b. Cairan Koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi
dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien
dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum
diberikan transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan
protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari
plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander
yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk menggantikan
plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi, Kerugian dari ‘plasma
expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match.2,3 Berdasarkan
jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:

1. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5% dan
25%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat
dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.3

2. Koloid Sintetik
• Dextran
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang
besar. Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat
molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam ruang
intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan karena efek samping terkait
yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam tubulus ginjal,
gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-matching darah.
Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul
40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000.4

• Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)


Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500 ml
larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2
hari dan sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam waktu
8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan adanya reaksi
anafilaktoid. Low molecular weight Hydroxylethyl starch (PentaStarch) mirip
Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume
yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai
plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak
mengganggu koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi
cairan jumlah besar.5
• Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya
berasal dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan gelatin
adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat
molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan dengan koloid lain.
Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l. Efek ekspansi plasma segera dari gelatin
adalah 80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi
normovolemik. Efek ekspansi plasma akan bertahan 1-2 jam. Tidak ada batasan
dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas,
lebih sering daripada larutan HES. Meskipun produk mentahnya bersumer dari
sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko penyebaran infeksi. Kebanyakan
gelatin dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada akumulasi jaringan.6

Tabel 1. Perbandingan Kristaloid dan Koloid.3,4


Sifat Kristaloid Koloid

Berat molekul Lebih kecil Lebih besar


Distribusi Lebih cepat: 20-30 menit Lebih lama dalam
sirkulasi (3-6
jam)
Faal hemostasis Tidak ada pengaruh Mengganggu
Penggunaan Dehidrasi Perdarahan masif
Koreksi perdarahan Diberikan 2-3x jumlah Sesuai jumlah perdarahan
perdarahan

2 . Komposisi Beberapa
Tabel Caira n.3,4
Cairan Ton Osm Na+ Cl- K+ Gluk Laktat pH Lainnya

D51/4NS Hiper 50
D51/2NS Hiper 406 77 77 0 4,0
5% alb Hiper 330 <2,5 7,4 COP 32
mmHg
Plasmanat 145 <2,0 7,4 COP 20
mmHg
10%Dextran Hipo 255 0 4,0
HES Iso 310 154 5,9

Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi empat kelompok,


yaitu:

1. Cairan Pemeliharaan
Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada
penyediaan IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan mereka dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal
keseimbangan cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada
dasarnya euvolemik tanpa signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal
yang sedang berlangsung atau masalah redistribusi internal yang kompleks).
Tujuan saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk menyediakan
cukup cairan dan elektrolit untuk memenuhi insensible losses (500-1000 ml),
mempertahankan status normal tubuh kompartemen cairan dan memungkinkan
ekskresi ginjal dari produk-produk limbah (500-1500 ml.). Jenis cairan rumatan
yang dapat digunakan adalah : NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, ringer
laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari
saluran cerna ataupun ginjal, glukosa 5% atau glukosa salin.7,8
Jumlah kehilangan air tubuh berbeda sesuai dengan umur, yaitu
Dewasa 1,5-2 ml/kg/jam
Anak-anak 2-4 ml/kg/jam
Bayi 4-6 ml/kg/jam
Neonatus 3 ml/kg/jam
Kebutuhan cairan rumatan adalah 25-30 ml/kg/hari. Kebutuhan K, Na dan Cl kurang
lebih 1mmol/kg/hari. Kebutuhan glukosa 50-100 g/hari. Setelah cairan pemeliharaan
intravena diberikan, monitor dan lakukan penilaian ulang pada pasien. Hentikan
cairan intravena jika tidak ada indikasi yang tepat. Cairan nasogastrium atau
makanan enteral lebih dipilih untuk kebutuhan

pemeliharaan lebih dari 3 hari.9,10

2. Cairan Pengganti
Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan
spesifik untuk menutupi penggantian dari deficit cairan atau kehilangan cairan
atau elektrolit serta permasalahan redistribusi cairan internal yang sedang
berlangsung, sehingga harus dihitung untuk pemilihan cairan intravena yang
optimal. Cairan dan elektrolit intravena pengganti dibutuhkan untuk
mengangani deficit yang ada atau kehilangan yang tidak normal yang sedang
berlangsung, biasanya dari saluran pencernaan (contoh: ileostomy, fistula,
drainase nasogastrium, dan drainase bedah) atau saluran kencing (contoh: saat
pemulihan dari gagal ginjal akut). Secara umum, terapi cairan intravena untuk
penggantian harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan dan
elektrolit seperti kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis dapat kembali
dan terjaga.9
Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari defisit,
kehilangan yang sedang berlangsung, distribusi yang tidak normal atau
permasalahan kompleks lainnya. Periksa kehilangan yang sedang berlangsung
dan perkirakan jumlahnya dengan mengecek untuk muntah dan kehilangan NG
tube, diare, kehilangan darah yang berlangsung. Periksa redistribusi dan
masalah kompleks lainnya dengan memeriksa pembengkakan, sepsis berat, dan
lainnya. Berikan tambahan cairan dari kebutuhan pemeliharaan rutin, mengatur
sumber-sumber cairan dan elektrolit yang lain. Monitor dan periksa ulang pasien
setelah meresepkan.9,10

3. Cairan untuk Tujuan Khusus


Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus,
misalnya natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi
khusus terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.9

4. Cairan Nutrisi
Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien
yang tidaak mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis
cairan nutrisi parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik
untuk parenteral parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu.
Adapun syarat pemberian nutrisi parenteral yaitu berupa:

• Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia


intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.

• Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat,


status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis
arteri mesenterika, diare berulang.
• Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan,
pseudo-obstruksi dan skleroderma.

• Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada gangguan


makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis
gravidarum.11,13

2.4 Jalur Pemberian Terapi Cairan


Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan dilakukan melalui
jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi tertutup atau terbuka
dengan seksi vena.12

1. Kanulasi Vena Perifer


Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah ekstremitas
atasm berikutnya dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Hindari
vena di daerah kepala karena sangat tidak fiksasinya, sehingga mudah
terjadu hematom. Pada bayi baru lahir, vena umbilikalis bisa digunakan
untuk kanulasi terutama dalam keadaan darurat. Tujuan dilakukannya
kanulasi vena perifer ini adalah untuk12:

a. Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari tiga
hari, harus pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.

b. Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti


kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut.

c. Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau
berulang

2. Kanulasi Vena Sentral


Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang, misalnya untuk nutrisi
parenteral total, kanulasi dikalukan melalui vena subklavikula atau vena
jugularis interna. Sedangkan untuk jangka pendek, dilakukan melalui venavena
di atas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka dengan vena seksi. Tujuan
dari kanulasi vena sentral ini tersendiri adalah12,13:
a. Terapi cairan dan nutrisi pareterla jangka panjang. Terutama untuk cairan
nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk mencegah iritasi
pada vena.

b. Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya cardio vascular,
vena perifer sulit diidentifikasi

c. Untuk pemasanganan alat pemacu jantung


2.5 Terapi Cairan Perioperatif
Terapi cairan perioperatif mencakup penggantian kehilangan cairan atau
defisiensi cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah pada tindakan bedah
seperti pada sebelum tindakan pembedahan, selama, dan pasca pembedahan.

Menurut National Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death


menyatakan bahwa pasien dengan hipovolemik yang mendapatkan terapi cairan
perioperative dengan jumlah tidak adekuat mengalami peningkatan angka mortalitas
20,5% dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi cairan dengan jumlah
yang adekuat.14
1. Terapi Cairan Prabedah
Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan kalori
yang dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah15:

a. Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan


b. Untuk koreksi defisist puasa atau dehidrasi diberikan cairan kristaloid
c. Perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau transfusi
2. Terapi Cairan selama Operasi
Tujuan dari pemberian cairan selama operasi adalah sebagai koreksi
kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti peredarahan dan mengganti
cairan yang hilang melalui organ eksresi. Idealnya, perdarahan seharusnya
diatasi dengan penggantian cairan dengan kristaloid atau koloid untuk menjaga
volum intravascular (normovolemia) sehingga resiko terjadinya anemia dapat
diatasi.
Namun jika terjadi anemia berat pada pasien dapat diatasi dengan pemberian
transfusi darah. Untuk menentukan jumlah transfusi yang akan diberikan dapat
ditentukan dari hematokrit dan dengan menghitung estimated blood volume.

Hal yang terpenting juga berdasarkan dari kondisi klinis pasien dan prosedur
operasi yang akan pasien jalani. Jumlah kehilangan darah dapat dihitung dengan
beberapa cara diantaranya:

1. Menghitung Estimated Blood Volume = 65ml/kg dikalikan dengan berat


badan pasien.

2. Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit preoperatif (RBCV


preop)

3. Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit 30% (RBCV 30%)

4. Hitung jumlah kehilangan volume sel darah merah (RBCV lost); RBCV
lost = RBCV preop – RBCV 30% .

5. Hitung Allowable Blood Loss = EBV x (Hct preop – Hct 30%).3,5,6

Hct preop

Tabel 3. Rata – rata Volume Darah.3


Usia Volume Darah
Neonatus
Prematur 95 ml/kg
Matur 85 ml/kg
Infan 80 ml/kg
Dewasa
Pria 75 ml/kg
Wanita 65 ml/kg
Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan:
• Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung atau tabung
suction

• Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah )


• Ditambah dengan factor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang terukur
ditambah terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain
penutup lapangan operasi).3

3. Terapi Cairan Pasca Bedah


Pemberian cairan pasca bedah digunakan tergantung dengan masalah yang
dijumpai, bisa mempergunakan cairan pemeliharaan, cairan pengganti atau
cairan nutrisi. Prinsip dari pemberian cairan pasca bedah adalah4,5:

a. Dewasa:
• Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah, diberikan
cairan pemeliharaan

• Apabila pasien puasa dan diperkirakan < 3 hari diberikan cairan


nutrisi dasar yang mengandung air, eletrolit, karbohidrat, dan asam
amino esensial. Sedangkan apabila diperkirakan puasa > 3 hari bisa
diberikan cairan nutrisi yang sama dan pada hari ke lima
ditambahkan dengan emulsi lemak

• Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra bedah yang
buruk segera diberikan nutrisi parenteral total

b. Bayi dan anak, memiliki prinsip pemberian cairan yang sama, hanya
komposisinya berbeda, misalnya dari kandungan elektrolitnya, jumlah
karbohidrat dan lain – lain.

c. Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau anemia,


penatalaksanaanya disesuaikan dengan etiologinya.5,6,8
Satu atau lebih komplikasi yang terjadi pasca operasi memberikan dampak
buruk dalam jangka waktu pendek atau panjang. Pencegahan angka morbiditas pada
pasca operasi adalah kunci untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang

berkualitas7,11
BAB III
KESIMPULAN

Air merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia. Persentase cairan tubuh
tergantung pada usia, jenis kelamin, dan derajat status gizi seseorang. Seluruh cairan
tubuh tersebut secara garis besar terbagi ke dalam 2 kompartemen, yaitu intraselular
dan ekstraselular. Apabila terjadi deficit atau kekurangan cairan pada tubuh maka perlu
segera diberikan penanganan atau pencegahan untuk mencegah terjadinya masalah
kekurangan cairan.

Terapi cairan secara garis besar dibagi menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan berbasis air yang mengandung elektrolit atau gula yang paling sering
dan paling pertama digunakan sebagai cairan resusitasi. Keuntungan dari cairan ini
antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu
dilakukan cross match, sedangkan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung
bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler dan baik untuk resusitasi cairan pada
pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik.
Berdasarkan penggunaannya dibagi menjadi cairan pemeliharaan, pengganti, nutrisi,
dan untuk tujuan khusus.

Jalur pemberian cairan dapat melalu kanulasi vena sentral dan perifer dimana
masing memiliki indikasi tersendiri. Pemberian cairan perioperative juga diperlukan
pada saat sebelum, selama, dan setelah atau pasca operasi. Pemantauan kehilangan
darah pada pasien perioperative juga menentukan jenis terapi cairan yang akan
diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hall, J. E., 2006. Guyton's Textbook of Medical Physiology. 11 ed. Philadelpia:


Elsevier. Chow JL, B. K. a. B. L., 2004. Critical Care Handbook of the
Massachusetts General Hospital. 3rd ed. US: Lippincott Williams & Wilkins.

2. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and Electrolytes.
Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 3rd ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015; 17 : h. 341 – 49.

3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and
Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th
ed. New York: Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40.

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2010.


Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. PP IDSAI, 108-142.

5. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative
Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 : h. 1

– 10.
6. Niemi TT, Miyasitha R, Yamakage M. Colloid solutions: a clinical update. Japanese
Society of Anesthesiologist. 2010.

7. Intravenous Fluid Selection [cited 2017 May 5]. Available from


catalogue.pearsoned.co.uk. 2005.

8. Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous fluids principles of treatment. Clinical


Pharmacist Vol.3. 2011.

9. Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology to


Therapy. Verlag Italia: Springer. 2013.

10. Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders.
Dalam Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th ed.
Philadelphia: Elsevier Inc. 2013; 18: h.216 – 230.
11. Braga M, Ljungqvist O, Soeters P, et al: ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition:
surgery. Clin Nutr 2009;28:378.
12. Gaol, H. L., Tanto, C. & Pryambodho, 2014. Terapi Cairan. In: C. Tando, F. Liwang,
S. Hanifati & E. A. Pradipta, eds. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius, pp. 561-564.

13. Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al: ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition:


surgery including organ transplantation. Clin Nutr 2006;25:224.

14. Brugnolli, A, RN, MSN, Canzan F, RN, MSN, PhD. 2017. Fluid Therapy
Management in Hospitalized Patients: Results From a Cross-sectional Study

15. Voldby AW, Branstrup B. Fluid Therapy in the Perioperative Setting. Journal of
Intensive Care. 2016; 4 : h.27 – 39.

Anda mungkin juga menyukai