(PEMBAHASAN PERTAMA)
Disusun Oleh:
AGUS BAGIANTO
NIM. 3180120002
1
KATA PENGANTAR
Atas bimbingan, petunjuk dan dorongan tersebut saya hanya dapat berdo'a
dan memohon kepada Allah SWT semoga amal dan jerih payah mereka menjadi
amal soleh di sisi Allah SWT. Amin.
Dan dalam pembuatan tugas ini saya sadar bahwa masih banyak
kekurangan dan kekeliruan, maka dari itu saya mengharapkan keritikan positif,
sehingga bisa diperbaiki seperlunya.
Akhirnya saya tetap berharap semoga tugas ini menjadi butir-butir amalan
saya dan bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi seluruh pembaca.
Amin
( AGUS BAGIANTO )
BAB I
PENDAHULUAN
Seseorang yang belum mengetahui secara jelas dan nyata sesuai faktanya,
hal itu merupakan suatu permasalahan dalam meyakini apa yang sedang atau telah
diperbuat. Seseorang akan sulit menentukan suatu pedoman atau dalil yang
seseorang tidak akan berguna bila tidak sesuai dengan faktanya, kecuali Alloh SWT
yang Maha Mengetahui apa yang manusia kerjakan. Manusia memerlukan suatu
kaidah yang dapat meyakinkan manusia itu sendiri dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari. Kaidah tersebut bisa saja menjadi hukum baik yang sduah ada
melakukan kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Adapun kaidah yang lain bila
terdapat perbedaan maka sesuatui yang telah pasti dan yakin maka keyakinan ini
tidak akan gugur kecuali dengan ada keyakinan yang lain yang menyerupai, adapun
tersebut.
sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut
atau yang disebut istishab serta ijma atau kesepakatan ulama akan sulit dilakukan
dikarenakan ada keragu-raguan dan tidak disertai bukti yang cukup. Keragu-raguan
dan bukti yang cukup menjadikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari manusia,
sehingga terjadi banyak ikhtilaf atau perbedaan diantara para ulama untuk
islam.
Pada dasarnya merdeka itu berlaku selama belum diketahui oleh orang lain.
tidak bisa dijadikan dasar hukum bila dia tidak memiliki bukti bahwa dia adalah
orang yang merdeka. Bukti hukum adalah alasan yang kuat dalam menetapkan
dasar hukum.
Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
4. Untuk mengatahui makna, dalil, pandangan dan representasi “asal manusia itu
D. Batasan Masalah
rumusan masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
yang sedang atau yang akan dilakukan) dari kata دفع الشيء يدفعه دفعا إذا نحاه وأزاله
( بقوةdaf’u alshai' yadfau daf’an 'iidha nahah wa'azalah biquwwah) (ia menolak
sepenuh tenaga) Dan disebutkan bahwa arti kata tersebut secara bahasa adalah
( دفع القول إذا رده بالحجةmenolak perkataan/pendapat ketika ditolak dengan hujjah
(argumentasi).
Kata اليقينdalam bahasa Arab terdiri dari 3 huruf poko yaitu huruf ya, qaf
dan nun yang menunjukkan makna mengetahui dan hilangnya suatu keraguan.
Diambil dari sebuah kalimat yang berbunyi ( يقن الشيء ييقن يقنا إذا وضح وتحققyaqin
alshay' yayqin yaqna 'iidha wadhaha watahaqaq)( dia meyakini sesuatu yang ia
Jurjani adalah meyakini sesuatu bahwa yang diyakininya itu begitu serta
keyakinannya itu tidak mungkin tidak begitu kecuali begitu sesuai dengan
Maksud dari qaidah ini adalah bahwa sesuatu yang diyakini ada
ketetapannya tidak akan muncul kecuali dengan adanya dalil yang pasti. Dan
tidak dapat dijadikan hukum dengan tidak adanya dalil tersebut dikarenakan ragu
begitu pula perkara yang diyakini tidak ada ketetapannya tidak dapat dihukumi
ada ketetapannya hanya dengan suatu keraguan. Karena ragu lebih lemah
1. Dari Al- Qur’an surah Yunus ayat 36 : “Dan kebanyakan mereka tidak
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”Dari ayat tersebut Allah SWt
memberithukan kepada kita bahwa sangkaan tidak seperti yakin, tidak ada
sesuatu dalam shalatnya. Maka Rasulullah SAW berkata, tidak perlu shalat
suara atau merasakan bau. Imam Syafii berpendapat bahwa hadis ini
menjelaskan yakin dalam masalah wudhu dan ragu pada batalnya wudhu lalu
dari pokok-pokok ajaran islam dan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah
ilmu fiqh yaitu segala sesuatu yang menghukumi ketetapannya atas pokok-
2
Abdul Wahab bin Ahmad kholil, 77-79
menyampaikan kaidah yang sangat terkenal ( )اليقين ال يزال بالشكqaidah ini
menjadi seperti tidak ada yang pastinya harus tidak ada. Bahkan imam Al-
Hafidz Al-‘alai berpendapat bahwa ijma itu batal atau gugur pada seseorang
yang ragu terhadap istrinya, apakah ia telah menikahnya atau tidak? yang
yang sudah ada sebelumnya tetap menjadi hukum hingga sekarang seperti
memastikan menikahi istrinya itu. Bahwa orang yang ragu terhadap istrinya
apakah ia telah dithalaq atau belum? Dan dia pernah menidurinya sampai
Qaidah Ini.3
Kaidah ini telah diterangkan oleh Imam Syafi’i pada saat Imam Syafi’i
berpendapat, jika seseorang memiliki istri dan anak, ternyata istrinya tersebut
memiliki saudara laki-laki lalu mereka berdua (si laki-laki yang beristridan
kematian anak dan istrinya dan mengakuinya. Lalu saudara istrinya berkata :
anak nya telah meninggal setelah itu istrisi laki-laki itu pun meninggal, maka
dari itu warisan dan harta peninggalan istrinya itu untukku. Maka suaminya
3
Abdul Wahab bin Ahmad kholil, 79-81
menjawab tetapi istriku yang meninggal lebih dulu lalu aku menjaga anak dan
warisan istri bersamaku kemudian anakku meninggal, maka engkau tidak berhak
mendapatkan warisan anakku dan tidak ada bukti diantara keduanya. Maka
maka ia otomatis menjadi ahli waris. Begitu juga dengan orang yang terhalang
dengan bukti, aku (imam Syafi’i) tidak menolak keyakinan kecuali dengan
keyakinan yang serupa. Andaikan anak istrinya meninggalkan harta lalu saudara
laki-lakinya itu berkata aku akan mengambil bagian harta warisan saudara
prasangka anak laki-laki itu yang mengahalanginya. Maka karena itu kenapa ia
(suami) mewariskan warisan kepada anaknya.? karena ayah yakin dan hal
tersebut adalah dugaan. Sedangkan ayah wajib disumpah dan saudara laki-laki
Maka qaidah ال ادفع اليقين إال بيقينberarti memberikan pengertian bahwa
sesuatu yang telah pasti dengan yakin maka keyakinan ini tidak akan
adapun hal-hal lainnya yang merupakan keraguan maka tidak dapat menggurkan
keyakinan tersebut.
Iman Syafi’I memperbanyak argument makna kaidah ini pada beberapa
tema yang berbeda dari kitab Al-Um antara lain hujjah beliau adalah jika
seseorang ragu apakah ia telah merasakan keluarnya mani atau tidak maka ia
tidak wajib melakukan mandi junub sehingga ia harus meyakini betul keluarnya
mengerjakan sesuatu dan dia ragu dalam sedikit atau banyaknya maka ia
dengan yakin. Imam suyuti berpendapat bahwa pengecualian ini berlaku pada
kaidah ketiga yang disebutkan Imam Syafi’I yaitu sesuatu yang telah tetap
dengan keyakinan tidak dapat menghilangkan hukum kecuali dengan yakin. Dan
(keyakinan tidak akan hilang dengan ragu) sebagaimana yang dilakukan oleh
Imam Ibnu Subki dan lain- lain.Bentuk penolakan masalah kaidah ini sebagai
berikut :
اليقين ال يزال بالشكbahwa pada redaksi kaidah ini menunjukkan sesuatu yang telah
ditetapkan oleh keyakinan harus ada istishhabnya dan keraguan yang datang
Imam Syafi’i telah menyebutkan banyak cabang pada kaidah ini antara lain :
1. Jika seseorang melihat air lebih dari 5 qurbah atau 2 qullah lalu ia meyakini
bahwa rusa kencing pada air tersebut dan ia menemukan perubahan rasa atau
warnanya atau baunya saja maka air itu najis. Namun jika ia menduga bahwa
perubahan air tersebut bukan dari kencing maka ia berkeyakinan dengan najis
tetap pada air tersebut sedangkan perubahan air disebabkan oleh kencing dan
2. Jika seseorang menemukan air yang mengenai pakaiannya dan apakah air
tersebut disebabkan oleh mimpi jima dan lain-lan maka yang paling afdhal
adalah segera mandi junub dan mengulangi shalat. Maka ia mengulangi shalat
sesuai dengan apa yang dilihat apakah dia mimpi jima. Atau ia tidak melihat
junub padanya.
mengeluarkan air maninya. Jika ini seperti demikian maka orang gila itu harus
mandi junub karena mengeluarkan air mani. Dan jika ragu Aku lebih
apakah sudah masuk waktu ashar atau tidak? Maka shalatnya imam dan
pada waktu shalat jumat. Sebab meragukan dalam waktu shalat jumat tidak
1. Apabila seseorang telah yakin bahwa sebuah pakaian terkena najis, akan
tetapi dia tidak tahu dibagian mana dari pakaian tersebut yang terkena najis
2. Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudu, kemudian dia
ragu apakah telah batal wudunya atau belum, maka dia tidak perlu
berwudu lagi.
3. Dan begitu pula sebaliknya, apabila seseorang yakin bahwa wudunya telah
batal, akan tetapi dia ragu apakah dia telah berwudu lagi atau belum, maka
atau empat rakaat misalnya, maka dia harus mengikuti yang yakin, yaitu
yang paling sedikit rakaatnya, yang mana dalam permasalah ini adalah tiga
rakaat.
5. Begitu pula dalam permasalahan putaran tawaf, apabila dia ragu berapa
kali dia telah berputar mengelilingi ka’bah apakah dua kali atau tiga kali,
maka dia harus menganggap bahwa dia baru berputar dua kali, dan begitu
seterusnya.
6. Barang siapa yang telah sah nikahnya, kemudian dia ragu apakah telah
yang lama, maka dia tetap dihukumi sebagai istri laki-laki tersebut dan
tidak boleh baginya untuk menikah lagi. Karena yang yakin adalah bahwa
sang suami pergi dalan keadaan hidup, maka tidak boleh menghukuminya
dan tidak diketahui kabarnya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang yang
hidup. Yang atas dasar ini tidak boleh diwarisi hartanya sampai datang
ragu apakah dia telah membayar hutang itu atau belum, maka wajib
baginya untuk membayar hutang tersebut kecuali jika pihak yang
Barang siapa yang mengetahui tentang sesuatu maka dialah bidangnya sehingga
sebuah kesaksian, para Ulama menamai dengan kata tersebut karena kata
kaidah ini adalah petunjuk yang jelas baik secara syara’, akal, panca indera,
makna inilah yang mencangkup makna fiqh yang terdahulu dan fiqh sesudahnya
yang terkenal dan lebih dulu dalam firman Al-Qur’an. Allah berfirman dalam
surat surat hud : 17 “Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang
yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhannya”, Surah Al-
Anfal:42 “yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan dengan
keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan
keterangan yang nyata pula”., surah Ar-Rum: 9 “dan telah datang kepada
Makna kaidah ini adalah siapapun yang ada pada suatu kondisi di masa lalu, lalu
dalil yang jelas pada ikhtilafnya/perbedaan. Imam Syafi’I bependapat, jika dua
saudara kandung hadir yang satu muslim dan yang satunya lagi nasrani lalu
sebagai warisan dan si muslim itu berkata ayahnya mati dalam keadaan muslim
lalu saudaranya yang nasrani berkata ayahnya wafat dalam keadaan nasrani
maka keduanya harus ditanya, jika mereka berdua membenarkan bahwa ayahnya
islam setelah menjadi nasrani, maka dalam perkara ini disebutkan sebuah
pendapat hartanya untuk si nasrani karena seseorang itu pada dasarnya sesuai
dengan dulunya ia berada hingga ada bukti bahwa ayahnya itu berpindah agama
Kaidah ini berdalil dengan dalil kaidah sebelumnya yaitu ( َال أَدْفَع ْاليَ ِّقيْنَ إِّ اال بِّ ْاليَ ِّقي ِّْن:
Aku (Imam Syafi’i) menolak suatu keyakinan kecuali dengan keyakinan) karena
mengistishhabkan suatu hukum yang telah ada/tetap di masa lalu baik yang
masih ada atau yang sudah tiada selama belum ditemukan dalil yakin yang
merupakan hujjah yang mengikuti syara’. Tentunya kita menyebutnya harus ada
adanya thaharah/bersuci pada permulaannya. Dia tidak boleh shalat . jika ia ragu
dalam ketetapan tharah ia boleh shalat walaupun pada dasarnya tidak dalam
dalam bentuk pertama atau tidak boleh shalat dalam bentuk kedua. Dan itu
ii. Para cendikiawan dan para tokoh adat pada saat mereka menyatakan adanya
memperkenankan putusan hakim dan hukuknya pada masa depan ada tidaknya
hal tersebut. Walaupun pada dasarnya ketetapan sesuatu sudah ada ketika hal
iii. Dugaan suatu ketetapan lebih didominasi dari dugaan perubahan (Dzhanut
Taghayyur), hal tersebut dikarenakan yang tetap tidak berhenti pada kebanyakan
ada masa depandan membandingan hal tersebut adalah yang masih tetap
baginya, baik masih ada ataupun sudah tiada. Adapun perubahan itu adalah yang
menghentikan 3 hal antara lain; adanya masa depan, pergantian yang ada
menjadi tidak ada atau sebaliknya, membandingkan ada tidaknya itu pada waktu
tersebut. Jelas sesuatu yang menghentikan pada dua hal yang tidak ada
perubahan yang lebih umum dari hukum yang menghentikan kedua perkara
tersebut karena aib dan perkara yang ketiga selainya kedua perkara tersebut.
iv. Jika suatu harta berada pada harta yang tersisa dengan sendirinya seperti berlian,
maka jika didominasi oleh dugaan selama memilikinya karena harta tersebut
lebih sering dari yang lainnya maka itu lebih baik. Kerena keberadaan harta
Kaidah ini telah dinash oleh Imam Syafi’i ketika menjelaskan hubungan warisan
harta orang yang murtad dan wasiatnya dimana Imam Syafi’i berpendapat jika
ahli waris orang yang murtad itu termasuk orang muslim berkata ayahnya telah
masuk islam sebelum wafat, maka mereka harus memiliki bukti, jika mereka
membawa buktinya maka serahkan seluruh harta ayahnya pada ahli warisnya
namun jika mereka tidak dapat menunjukkan buktinya maka ayahnya murtad
hingga dapat diketahui taubatnya. Dan jika bukti tersebut didapat dari orang
berkata bilamana aku mati, maka berikan untuk si fulan dan si fulan sekian-
sekian lau wafatlah si murtad itu. Maka orang yang menerima wasiat bersaksi
kepada kedua orang tersebut kalau si murtad telah kembali masuk islam maka
kedua orang itu yangan menerima kesasian si penerima wasiat, karena keduanya
bisa menangguhkan bleh berwasiat untuk diri mereka yang mana telah batal
disebabkan murtadnya si murtad. Namun jika si murtad bertaubat lalu wafat, lalu
dalam keadaan sedang betaubat hingga ada bukti bahwa dia murtad setelah
bertaubat. Karena orang yang dikenali dengan sesuatu maka itulah yang melekat
maka itulah yang melekat padanya) yakni hokum itu bergantung pada tetapnya
suatu perkara yang sudah tetap selama belum diperoleh petunjuk yang jelas atas
bantahannya, Imam Syafi’I berkata dengan makna kaidah ini dalam masalah
lain, seperti : jika ada seorang muslim yang memiliki amat/budak perempuan
lalu budaknya berkata dulu saya seorang budak lalu aku dimerdekakan sebelum
suamiku seorang muslim itu wafat atau dia berkata dulu saya adalah wanita kafir
dzimmi lalu aku masuk islam sebelum dia wafat atau misalkan dia (budak
perempuan) memiliki bukti bahwa dia adalah seorang budak atau wanita kafir
dan mereka berkata : kehamba sahayaan dan kesilamannya itu setelah suaminya
wafat. Maka ucapan yang dapat dipegang adalah perkataan ahli waris, sedangkan
si budak perempuan tersebut harus memiliki bukti jiak ia mengenal bahwa bukti
Kaidah ini bermakna kaidah terkenal yang disebutkan oleh para ulama
hukum yang telah diakui oleh ahli usul fiqh yang dikenal dengan istilah
keyakinan itu tidak dapat menghilangkan keraguan begitu juga nampak bahwa
keyakinan tidak akan bersama dengan keraguan, tetapi maksud dari kaidah ini
kejelasan hukumnya dalam Al-Qur’an, hadis, ijma’ kemudian qiyas lalu ia tidak
baik dari segi nafi (penafian), dan itsbatnya (penetapannya). Maka jika ia ragu
dalam tidak ada hukumnya maka dasar hukumnya adalah ada, dan jika ragu
tentang berpegang pada dalil aqli atau dalil syar’i dan bukan kembali menuju
i. Istishhabu ‘adamil asli yaitu sesuatu yang diketuhui oleh akan keberadaanya
tidak ada terhadap sesuatu yang asalnya tidak ada seperti menafikan wajib
shalat enam waktu dan wajib puasa syawal. Maka akal akan menunjukkan
tetapi karena tidak ada yang menetapkan kewajibannya maka hukumnya tetap
(mengkhususkan) jika ada dalil dzahir atau baik berupa naskh, jika dalilnya
dilakukan.
segian hal untuk menolak dalil sam’i (dalil yang didengar saja)hal ini tidak
ada bantahan dari alus sunnah wal jamaah dalam larangan untuk tidak boleh
ditetapkan oleh ijma pada dalam kedudukan masalah khilafiah, bahwa hukum
menyesuaikan pada hukum lain dalam suatu situasi, kemudian sifat yang
seorang yang bertayammum pada saat melihat air pada pertengahan shalatnya
maka shalatnya tidak batal, krena sebelum tiu ijma’ telah batal/gugur atas
bepergian) lalu mereka mengenal seseorang yang bukan beragama islam lalu
orang itu masuk islam dan shalat kemudian mereka shalat di belakangnya di
masjid atau di ruangan terbuka maka tidak sah shalat mereka bersama orang
berkata, saya sudah masuk islam sebelum shalat atau ada orang yang
shalat. Jika ada orang yang memberitahu mereka bahwa orang itu telah masuk
tahu apakah budaknya hidup atau mati pada waktu zakat fitrah. . Maka wajib
orang itu tidak boleh berhenti untuk mengeluarkan zakat budaknya yang
telah diketahui budaknya telah wafat sebelum syawal maka ia tidak perlu
menunaikan zakat untuk budaknya. Namun jika ia yakin maka ia harus segera
3. Jika seseorang ditawan, hialng atau menghilang maka istrinya tidak dalam
iddah dan tidak boleh dibagikan hartanya kecuali setelah yakin kematiannya.
istrinya tidak boleh dinikahi kecuali setelah yakin akan kematianya suaminya
baik diketahui tempatnya atau tidak diketahui. Begitu juga tidak boleh
dibagikan hartanya.
C. KAIDAH YANG KETIGA
(Tidak terhalangi hak-hak dengan dugaan-dugaan itu dan tidak dimiliki hak
Lafadz hukuk itu jama dari hakun menurut bahasa hakol amro, yahuku,
hakon dengan arti hak kepemilikan apabila telah sah dan tetap. yang di maksud
dengan kaidah secara umum bahwa hak itu pengkhususan yang di tetapkan oleh
Dan penjelasan definisi itu secara nyata adalah sebagai berikut maksud
pengkhususan dari definisi diatas adalah hak itu kaitannya bisa mencakup
kepemilikan itu bagi sesuatu hal yang dibolehkan secara umum seperti berburu,
mengumpulkan kayu bakar dipadang pasir, hal itu menunjukan tidak ada
syariat kepemilikan dengan khusus baik berupa kekuasaan atau kewajiban yang
ada karena pandangan syariat itu sebagai gambaran yang esensial untuk
Maksud kalimat ( suton au taklifan) adalah sebagai isyarat bahwa hak itu
yang mengikat.
1. Sulton yang berkaitan dengan perorangan seperti hak kewalian terhadap diri
diri manusia
berkaitan dengan janji atas manusia dan ada kalanya janji yang berkaitan dengan
hukum kemanusiaan seperti kaitan dengan pekerjaan harta dan hutang piutang
- Berdasarkan pemaparan diatas jelaslah bahwa hak itu terbagi menjadi dua
Maka hak yang bersifat mali adalah hak yang berkaitan dengan harta seperti
kepemilikan harta pribadi harta hutang piutang atau pemanfaatan harta dan hak
goermali seperti hak kewalian terhadap perwaliannya dan hak-hak yang bersifat
persoalan yang bersifat kemungkinan yang dilandasi dugaan yang terjadi dengan
tidak yakin
B. Makna secara global tentang kaidah itu adalah kaidah itu berkaitan dengan aturan
hukum hukum hak berdasarkan fikih islam. kaidah itu mentengahkan bahwa
hukuk itu ada yang berkaitan dengan harta dan adapula yang goermali (selain
harta), ketika ditetapkan hak secara syar'i maka tidak bisa dihalangi atau
oleh dugaan-dugaan dan tidak akan tegak hak itu kecuali dengan keyakinan.
D.KAIDAH KE-EMPAT
Kaidah ini memberikan arti bahwa sifat asli manusia adalah merdeka. Adapun
hamba sahaya itu baru ada. Maka seseorang tidak dapat nyatakan sebagai salah
satu hamba sahaya kecuali ada bukti. Dari segi ketetapan bukti atau pengakuan.
memutuskan dalam masalah anak pungut (laqith) bahwasanya dia (anak pungut)
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham
Bentuk dilalah dari atsar ini jelas saat Ali RA memutuskan perkara dalam
masalah anak pungut, dia (hamba sahaya) tidak diketahui asal usulnya dan
nasabnya karena itu dia berstatus merdeka. Begitu juga setiap orang yang tidak
diketahui asal usulnya maka dia termasuk orang yang merdeka. Dalam suatu bab
pernah ditanya mengenai anak pungut, apakah boleh dijual? Lalu beliau
menjawab Alloh tidak menginginkan hal tersebut, tidak pernahkah kamu
anak pungut ketika tidak diketahui identitasnya maka statusnya merdeka. Imam
Syafi’I berkata bahwa anak pungut itu merdeka karena pada dasarnya manusia
adalah merdeka sampai diketahui bahwa mereka tidak merdeka. Imam Syafi’I
berpendapat dalam pembahasan lainnya dalam kitab Al-Um : Anak pungut itu
merdeka tidak ada orang yang harus dipatuhi olehnya. Bahwa kaum muslimin
Sebenarnya saya (penulis) tidak suka kaidah ini yang mana saya tidak
menemukan dalam kitab-kitab kaidah fiqh madzhab, kecuali argumen yang telah
1. Abu Ishaq As-Syirazi : ( Jika seseorang menemukan anak pungut yang tidak
ada ranjang, atau memegang uang atau tali kekang kuda atau dia berada di
sebuah rumah yang tidak ada siapapun kecuali dia, maka semua itu adalah
miliknya, karena ia merdeka. Maka segala sesuatu yang ada ditangannya adalah
miliknya seperti anak baligh). Jika ada seseorang yang mengaku kehamba
sahayaannya anak pungut jangan diterima pengakuannya tersebut kecuali ada
bukti.
2. Imam Nawawi : (anak pungut terkadang ia memiliki harta yang dengan hartanya
tersebut ia berhak mendapatkannya atau didapat dari orang lain. Maka yang
pertama hal tersebut bagi mereka seperti waqaf dan seperti wasiat, kedua seperti
wasiat dan hibbah dan waqaf untuknya. Seorang hakim akan mengabulkan dari
segala sesuatu yang diperlukan untuk diterima baik harta yang berhak ia
dapatkan dan sesuatu yang ia dapat atas pemberian dan kemampuannya. Maka
kepemilikan dan kemampuan milik anak itu seperti anak baligh. Pada dasarnya
merdeka itu berlaku selama belum diketahui oleh orang lain, hal tersebut dapat
dicontohkan seperti pakaian yang dikenakan atau tempat ditidur yang digunakan.
mengaku hamba sahayanya seorang anak maka jangan percaya anak tersebut
ada apapun yang dimilikinya jangan terima ucapannya kecuali dengan bukti.
3. Imam Mahalli berpendapat dalam Syarah kitab Alminhaj ( jika anak pungut
merdeka kecuali ditemukan salah satu bukti kehamba sahayaanya maka bukti itu
dapat ditindaklanjuti).
4. Imam Zakaria Al-Anshari berpendapat bahwa anak pungut itu merdeka
Menurut saya (penulis) ungkapan Imam Syafi’I pada kaidah ini lebih indah dan
komprehensif.
Imam Syafi’I dalam kitab Al-Um dan Mukhtashar Al-Muzni antara lain :
1. Imam Syafi’I berpendapat : Jika dua orang muslim (yang satu hamba sahaya
dan satu orang merdeka), kafir dzimmi yang merdeka dan seorang hamba sahaya
terlahir ditemukan sebagai anak pungut maka tidak ada bedanya di antara salah
satu mereka, sebagaimana tidak ada bedanya antara mereka dalam segala sesuatu
yang mereka akui dari apapun yang mereka miliki. Maka akan nampak orang
yang mengaku-ngaku. Maka jika mereka mendapatkan apa yang mereka miliki
oleh salah satu dari mereka maka ia adalah anaknya yang tidak dapat disangkal
lagi, tidak berhak bagi bayi yang ia nafikan dengan suatu kondisi dan jika orang
yang mengaku-ngaku tersebut mendapapatkan harta melalui dua atau lebih dari
anak pungut yang berstatus hamba sahaya) atau tidak ada yang mengaku-ngaku
atau ada yang mengaku-ngaku tapi tidak dikenal maka tidak ada satupun anak
pun dari mereka sampai balig dan bernasab kepada siapapun dari mereka yang
mau. Maka jika ia melakukan hal tersebut terputuslah pengakuan dari yang
sedangkan ia merdeka dalam setiap hal hingga diketahui bahwa mereka tidak
merdeka.
2. Imam Syafi’I pernah berpendapat, jika seseorang bergantung pada orang lain
kemudian ia mengatakan kepada orang lain itu : kamu itu budakku! Dan orang
yang dituduh berkata : akan tetapi saya ini orang yang merdeka. lalu perkataan
itu adalah perkataan orang yang dituduh, maka asal mula manusia itu merdeka
bahwa ia dalah budak/hamba sahaya. namun jika dia mengakui bahwa ia adalah
budak miliknya maka ia adalah budak miliknya. Dan jika ia bersumpah bahwa
dia adalah budaknya maka ia adalah budak miliknya begitu pula amat/hamba
3. Imam Syafi’I berkata sesuatu yang didapat dari anak zina baik yang
peperangan islam, maka hal tersebut dinamakan luqathah atau harta temuan.
luqathah tersebut bisa berupa hewan yang hilang maka jika luqathah tersebut
ditemukan pada hewan tunggangan, tempat tidur, atau pakaian didapati harta
maka harta tersebut milik anak zina itu. Jika orang yang memungut luqathah
tersebut termasuk orang tidak dapat dipercaya maka harus diambil oleh hakim
dari orang tersebut dan jika orang memungut luqhathah tersebut orang yang
terpercaya maka ia harus bersaksi terhadap apa yang ia temukan pada harta milik
anak zina tersebut dan menyuruhnya untuk meninfaqkan harta tersebut untuk
4. Imam Syafi’I berpendapat bahwa jika anak pungut dibunuh maka seorang imam
dapat memberikan qishah atau diyat. Jika anak tersebut itu hanya terluka maka
si pelaku harus dipenjara sampai keluar sebuah putusan lalu anak pungut itu
memilih mau qishah atau diyat, jika anak itu dung dan miskin aku (Imam Syafi’i)
suka kepada Imam yang memberikan diyat dan menginfaqkan untuknya. Hal
syafi’i) mengembalikan apapun yang sudah diputuskan oleh anak pungut itu dan
ada orang yang menfitnahnya maka aku tidak akan memberikannya had sampai
aku menanyainya, jika ia berkata aku orang merdeka amaka aka kuberi had
kepada orang yang memfitnahnya dan jika dia memfitnah merdeka maka dia
lebih dominan menjelaskan hukum-hukum yang tidak diketahui seperti gila yang
tidak diketahui keadaanya, orang yang memiliki kelainan terkena gangguan fisik
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis sajikan dalam bab pembahasan di atas, maka
1.Keraguan tidak bisa menjadi suatu dasar hukum karena tidak memiliki bukti yang
cukup
2.Para ulama tidak dapat membuat dasar hukum ijma dan istishab bila tidak
3.Seseorang tidak terhalang oleh suatu keraguan bila memiliki bukti yang cukup.
4.Seorang hamba sahaya tidak bisa dkatakan seorang yang merdeka bila tidak
https://muslim.or.id/18747-kaedah-fikih-al-yaqiinu-la-yazuulu-bisy-syakki.html