Anda di halaman 1dari 36

‫المبحث االء ول‬

(PEMBAHASAN PERTAMA)

‫قواءد في العمل با ليقين وطرح الثك‬

Berbagai Macam Kaidah Berkaitan dengan Aktivitas

Mengenyampingkan/Meninggalkan Suatu Hal yang Yakin

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

" LEGAL MAXIM"

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Rachmat Syafe`i.,MA

Disusun Oleh:

AGUS BAGIANTO
NIM. 3180120002

KELAS A (EKONOMI SYARIAH) – SMT 1


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI
15 Desember 2018

1
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
ini.
Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta
keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam.
Kemudian dari pada itu, saya sadar bahwa dalam membuat tugas ini banyak
yang membantu terhadap usaha saya, mengingat hal itu dengan segala hormat saya
sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Nurol Aen.,M.A selaku Ketua Prodi Hukum Islam
2. Prof. Dr. H. Rachmat Syafe`i.,MA Selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Legal
Maxim.
3. Seluruh kawan sekelas S3 Ekonomi Syariah yang telah mendukung
terselesaikannya tugas ini.
4. Seluruh adik ipar dan pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyusunan tugas
ini.

Atas bimbingan, petunjuk dan dorongan tersebut saya hanya dapat berdo'a
dan memohon kepada Allah SWT semoga amal dan jerih payah mereka menjadi
amal soleh di sisi Allah SWT. Amin.
Dan dalam pembuatan tugas ini saya sadar bahwa masih banyak
kekurangan dan kekeliruan, maka dari itu saya mengharapkan keritikan positif,
sehingga bisa diperbaiki seperlunya.
Akhirnya saya tetap berharap semoga tugas ini menjadi butir-butir amalan
saya dan bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi seluruh pembaca.
Amin

( AGUS BAGIANTO )
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seseorang yang belum mengetahui secara jelas dan nyata sesuai faktanya,

hal itu merupakan suatu permasalahan dalam meyakini apa yang sedang atau telah

diperbuat. Seseorang akan sulit menentukan suatu pedoman atau dalil yang

menjadikan dasar hukum karena disebabkan oleh keragu-raguan orang yang

mengerjakan suatu hal yang mestinya diperbolehkan atau tidak. Prasangka

seseorang tidak akan berguna bila tidak sesuai dengan faktanya, kecuali Alloh SWT

yang Maha Mengetahui apa yang manusia kerjakan. Manusia memerlukan suatu

kaidah yang dapat meyakinkan manusia itu sendiri dalam aktivitas kehidupan

sehari-hari. Kaidah tersebut bisa saja menjadi hukum baik yang sduah ada

sebelumnya dan tetap menjadi hukum hingga sampai sekarang contohnya

melakukan kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Adapun kaidah yang lain bila

terdapat perbedaan maka sesuatui yang telah pasti dan yakin maka keyakinan ini

tidak akan gugur kecuali dengan ada keyakinan yang lain yang menyerupai, adapun

hal-hal yang merupakan keragu-raguan tidak dapat menggugurkan keyakinan

tersebut.

Menetapkan hukum atas sesuatu hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan

sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut

atau yang disebut istishab serta ijma atau kesepakatan ulama akan sulit dilakukan
dikarenakan ada keragu-raguan dan tidak disertai bukti yang cukup. Keragu-raguan

dan bukti yang cukup menjadikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari manusia,

sehingga terjadi banyak ikhtilaf atau perbedaan diantara para ulama untuk

memutuskan hukum pada aktivitas manusia dalam menjalankan kaidah hukum

islam.

Pada dasarnya merdeka itu berlaku selama belum diketahui oleh orang lain.

Namun seseorang mengaku-ngaku merdeka/bukan hamba sahaya(pada zamannya)

tidak bisa dijadikan dasar hukum bila dia tidak memiliki bukti bahwa dia adalah

orang yang merdeka. Bukti hukum adalah alasan yang kuat dalam menetapkan

dasar hukum.

Rumusan Masalah

1. Mengapa tidak menolak yakin kecuali dengan keyakinan lagi?

2. Mengapa Barang siapa yang mengetahui tentang sesuatu maka dialah

bidangnya sehingga datang penjelasan yang menentangnya?

3. Mengapa tidak akan terhalang kebenaran oleh keragu-raguan?

4. Mengapa Asal manusia itu adalah merdeka (sifat, pendapat, kebebasan)

sehingga kapan mereka sudah tidak merdeka lagi?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui makna, dalil, pandangan dan representasi “tidak menolak

yakin kecuali dengan keyakinan lagi”.


2. Untuk mengatahui makna, dalil, pandangan dan representasi “Barang siapa

yang mengetahui tentang sesuatu maka dialah bidangnya sehingga datang

penjelasan yang menentangnya”.

3. Untuk mengatahui makna, dalil, pandangan dan representasi “tidak akan

terhalang kebenaran oleh keragu-raguan”.

4. Untuk mengatahui makna, dalil, pandangan dan representasi “asal manusia itu

adalah merdeka (sifat, pendapat, kebebasan) sehingga kapan mereka sudah

tidak merdeka lagi”.

D. Batasan Masalah

Kemudian, guna menghindari terjadinya perluasan dan pelebaran masalah dalam

pembahasan makalah ini, maka penulis menyusun batasan-batasan masalah

seputar macam-macam kaidah atau aturan tentang yang dirumuskan dalam

rumusan masalah.
BAB II

PEMBAHASAN

‫قواءد في العمل با ليقين وطرح الثك‬

)qawaid fi alimal bilyaqin watarh alshak(

A. KAIDAH AWAL (SATU)

‫ال ادفع اليقين إال بيقين‬

(Saya (Imam Syafi’i) tidak menolak yakin kecuali dengan yakin)

a) Pokok Masalah Utama

1. Makna kata Qaidah ini

Kata‫ادفع‬berasal dari fi’il mudori (kata kerja yang menunjukkan pekerjaan

yang sedang atau yang akan dilakukan) dari kata ‫دفع الشيء يدفعه دفعا إذا نحاه وأزاله‬

‫( بقوة‬daf’u alshai' yadfau daf’an 'iidha nahah wa'azalah biquwwah) (ia menolak

sesuatu yang ia tolak ketika ia sedang tuju dan menghilangkannya dengan

sepenuh tenaga) Dan disebutkan bahwa arti kata tersebut secara bahasa adalah

‫( دفع القول إذا رده بالحجة‬menolak perkataan/pendapat ketika ditolak dengan hujjah

(argumentasi).

Kata ‫ اليقين‬dalam bahasa Arab terdiri dari 3 huruf poko yaitu huruf ya, qaf

dan nun yang menunjukkan makna mengetahui dan hilangnya suatu keraguan.

Diambil dari sebuah kalimat yang berbunyi ‫( يقن الشيء ييقن يقنا إذا وضح وتحقق‬yaqin

alshay' yayqin yaqna 'iidha wadhaha watahaqaq)( dia meyakini sesuatu yang ia

yakini dengan sepenuh hati ketika jelas dan nyata.


Namun makna ‫اليقين‬dalam etimologi sebagaimana pendapat Imam Al-

Jurjani adalah meyakini sesuatu bahwa yang diyakininya itu begitu serta

keyakinannya itu tidak mungkin tidak begitu kecuali begitu sesuai dengan

faktanya yang tidak mungkin hilang.

2. Makna Secara Garis Besar Pada Qaidah Ini

Maksud dari qaidah ini adalah bahwa sesuatu yang diyakini ada

ketetapannya tidak akan muncul kecuali dengan adanya dalil yang pasti. Dan

tidak dapat dijadikan hukum dengan tidak adanya dalil tersebut dikarenakan ragu

begitu pula perkara yang diyakini tidak ada ketetapannya tidak dapat dihukumi

ada ketetapannya hanya dengan suatu keraguan. Karena ragu lebih lemah

daripada yakin maka tidak dapat dibantah ada dan tidaknya1.

b) Pokok Bahasan Kedua : Dalil Dalil Qaidah Ini:

1. Dari Al- Qur’an surah Yunus ayat 36 : “Dan kebanyakan mereka tidak

mengikuti kecuali hanya persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu

tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”Dari ayat tersebut Allah SWt

memberithukan kepada kita bahwa sangkaan tidak seperti yakin, tidak ada

kedudukannya dan tidak cukup sangkaan itu dalam sesuatu yang

membutuhkan suatu keyakinan.

Abdul Wahab bin Ahmad Kholil, “Qawaid wa Adh-Dhawabit Al-Fiqhiyyah”, Darut


1

Attadmiriysh, Riyadh, 2008 m.hal 74


2. Dari Hadis Nabi Muhammad SAW.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid RA. Bahwasannya ia pernah mengadu

kepada Rasulullah SAW tentang laki-laki yang mengira ia menemukan

sesuatu dalam shalatnya. Maka Rasulullah SAW berkata, tidak perlu shalat

sunnah atau menyudahi shalatnya sampai ia benar-benar yakin mendengar

suara atau merasakan bau. Imam Syafii berpendapat bahwa hadis ini

menjelaskan yakin dalam masalah wudhu dan ragu pada batalnya wudhu lalu

Rasulullah SAW memerintahkan sahabatnya untuk tetap yakin pada

wudhunya dan tidak menyudahi atau membatalkan shalat yang disebabkan

karena ragu sampai ia berkayakinan batal wudhunya dengan mendengar

suaranya sendiri atau merasakan bau (kentut).

Imam Nawawi Rahimahullah berpendapat bahwa hadis ini merupakan pokok

dari pokok-pokok ajaran islam dan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah

ilmu fiqh yaitu segala sesuatu yang menghukumi ketetapannya atas pokok-

pokok masalah qaidah sampai berkeyakinan adanya sesuatu yang

bertentangan dengan kaidah tersebut.2

3. Segolongan ulama muhaqqin menuqil ijma ulama untuk mengamalkan

kaidah ini walaupun berbeda pendapat dalam furu’ yang termasuk

dibawahnya (maksudnya ‫اليقين ال يزال بالشك‬: keyakinan tidak akan hilang

dengan keraguan). Imam Syihabuddin Al-Qarafi berpendapat pada saat ia

2
Abdul Wahab bin Ahmad kholil, 77-79
menyampaikan kaidah yang sangat terkenal (‫ )اليقين ال يزال بالشك‬qaidah ini

merupakan yang diijma’kan yaitu segala sesuatu yang diragukan akan

menjadi seperti tidak ada yang pastinya harus tidak ada. Bahkan imam Al-

Hafidz Al-‘alai berpendapat bahwa ijma itu batal atau gugur pada seseorang

yang ragu terhadap istrinya, apakah ia telah menikahnya atau tidak? yang

mana ia belum menidurinya, karena menistishhabkan (menjadikan hukum

yang sudah ada sebelumnya tetap menjadi hukum hingga sekarang seperti

kewajiban shalat, zakat dan lain-lain) pada hukum haramnya untuk

memastikan menikahi istrinya itu. Bahwa orang yang ragu terhadap istrinya

apakah ia telah dithalaq atau belum? Dan dia pernah menidurinya sampai

memastikan thalaq karena menistishhabkan pada pernikahan sebelumnya.

c) Pokok Bahasan Ketiga : Pandangan Pendapat Ulama Madzhab Tentang

Qaidah Ini.3

Kaidah ini telah diterangkan oleh Imam Syafi’i pada saat Imam Syafi’i

menyampiakan bantahan terhadap penjelasan masalah waris. Beliau

berpendapat, jika seseorang memiliki istri dan anak, ternyata istrinya tersebut

memiliki saudara laki-laki lalu mereka berdua (si laki-laki yang beristridan

saudara istrinya) saling melaporkan pada hakim maka mereka membenarkan

kematian anak dan istrinya dan mengakuinya. Lalu saudara istrinya berkata :

anak nya telah meninggal setelah itu istrisi laki-laki itu pun meninggal, maka

dari itu warisan dan harta peninggalan istrinya itu untukku. Maka suaminya

3
Abdul Wahab bin Ahmad kholil, 79-81
menjawab tetapi istriku yang meninggal lebih dulu lalu aku menjaga anak dan

warisan istri bersamaku kemudian anakku meninggal, maka engkau tidak berhak

mendapatkan warisan anakku dan tidak ada bukti diantara keduanya. Maka

perkataan saudara laki-laki tersebut harus disertai sumpahnya. Karena ia

sekarang adalah yang masih hidupsedangkan saudara perempuannya telah wafat

maka ia otomatis menjadi ahli waris. Begitu juga dengan orang yang terhalang

dengan bukti, aku (imam Syafi’i) tidak menolak keyakinan kecuali dengan

keyakinan yang serupa. Andaikan anak istrinya meninggalkan harta lalu saudara

laki-lakinya itu berkata aku akan mengambil bagian harta warisan saudara

perempuannya dari tangan anak saudara perempuannya. Maka saudara laki-laki

tersebut dalam kondisi demikian adalah penggugat yang mengarah pada

keinginanya mengambil sesuatu yang terkadang mungkin ia tidak akan

mendapatkannya. Sebagai mana Imam Syafi’i berpendapat : sebagaimana aku

menolak bahwa ia (saudara laki-laki tersebut) ahli waris sebab ia meyakini

prasangka anak laki-laki itu yang mengahalanginya. Maka karena itu kenapa ia

(suami) mewariskan warisan kepada anaknya.? karena ayah yakin dan hal

tersebut adalah dugaan. Sedangkan ayah wajib disumpah dan saudara laki-laki

tersebut wajib atas buktinya.

Maka qaidah ‫ال ادفع اليقين إال بيقين‬berarti memberikan pengertian bahwa

sesuatu yang telah pasti dengan yakin maka keyakinan ini tidak akan

gugur/hilang kecuali dengan ada sesuatu keyakinan lain yang menyerupai,

adapun hal-hal lainnya yang merupakan keraguan maka tidak dapat menggurkan

keyakinan tersebut.
Iman Syafi’I memperbanyak argument makna kaidah ini pada beberapa

tema yang berbeda dari kitab Al-Um antara lain hujjah beliau adalah jika

seseorang ragu apakah ia telah merasakan keluarnya mani atau tidak maka ia

tidak wajib melakukan mandi junub sehingga ia harus meyakini betul keluarnya

air mani (dari kemaluannya) sedangkan untuk tetap menjaga kehati-hatian

adalah ia tetap melakukan mandi junub. Imam Suyuthi mengemukakan pendapat

pada qaidah dengan lafadz kaidahnya ia berkata (barang berkeyakinan

mengerjakan sesuatu dan dia ragu dalam sedikit atau banyaknya maka ia

menanggung yang sedikit karena ia yakin. Kecuali ada jaminan/perlindungan

asal muasalnya maka jaminan tersebut tidak dapat membebaskannyakecuali

dengan yakin. Imam suyuti berpendapat bahwa pengecualian ini berlaku pada

kaidah ketiga yang disebutkan Imam Syafi’I yaitu sesuatu yang telah tetap

dengan keyakinan tidak dapat menghilangkan hukum kecuali dengan yakin. Dan

mayoritas ulama madzhab tidak membutuhkan kaidah ini . mereka cukup

menolak masalah-masalah kaidah yang besar seperti : ‫اليقين ال يزال بالشك‬

(keyakinan tidak akan hilang dengan ragu) sebagaimana yang dilakukan oleh

Imam Izuddin Bin Abdul As-salam, Imam Al-Hafidz Al-Ala’i, Al-Alamah

Imam Ibnu Subki dan lain- lain.Bentuk penolakan masalah kaidah ini sebagai

berikut :

‫ اليقين ال يزال بالشك‬bahwa pada redaksi kaidah ini menunjukkan sesuatu yang telah

ditetapkan oleh keyakinan harus ada istishhabnya dan keraguan yang datang

tidak dapat menghilangkan sesuatu tersebut.


d) Pokok Bahasan Keempat : Representasi Pada Kaidah Ini

Imam Syafi’i telah menyebutkan banyak cabang pada kaidah ini antara lain :

1. Jika seseorang melihat air lebih dari 5 qurbah atau 2 qullah lalu ia meyakini

bahwa rusa kencing pada air tersebut dan ia menemukan perubahan rasa atau

warnanya atau baunya saja maka air itu najis. Namun jika ia menduga bahwa

perubahan air tersebut bukan dari kencing maka ia berkeyakinan dengan najis

yang bercampur dengan air tersebut. Dan ia menemukan perubahan yang

tetap pada air tersebut sedangkan perubahan air disebabkan oleh kencing dan

lain-laninya tentu berbeda.

2. Jika seseorang menemukan air yang mengenai pakaiannya dan apakah air

tersebut disebabkan oleh mimpi jima dan lain-lan maka yang paling afdhal

adalah segera mandi junub dan mengulangi shalat. Maka ia mengulangi shalat

sesuai dengan apa yang dilihat apakah dia mimpi jima. Atau ia tidak melihat

apapun dalam mimpinya yang menyerupai ketika ia mimpi jima. Imam

Syafi’I berpendapat bahwa bagiku tidak dapat menjelaskan kewajiban mandi

junub padanya.

3. Imam Syafi’i berkata kadang-kadang sesorang menjadi gila kecuali ia

mengeluarkan air maninya. Jika ini seperti demikian maka orang gila itu harus

mandi junub karena mengeluarkan air mani. Dan jika ragu Aku lebih

menyukainya mandi junub sebagai bentuk kehati-hatian dan aku mewajibkan

hal tersebut pada sampai ia meyakini keluar air mani.


4. Jika seorang imam shalat jumat merasa ragu begitu juga dengan makmumnya

apakah sudah masuk waktu ashar atau tidak? Maka shalatnya imam dan

makmum mencukupi (kesahan shalat jumat) karena mereka yakin masuk

pada waktu shalat jumat. Sebab meragukan dalam waktu shalat jumat tidak

dapat memenuhi kesahan shalat jumatmereka seperti orangyang yakin dengan

wudhu tetapi ragu dalam batalnya wudhu.

Contoh Penerapan Kaidah4

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kaidah ini mencakup banyak

sekali permasalahan syar’i, sangat sulit untuk menyebutkan tiap-tiap

permasalahan tersebut. Cukup disebutkan sebagiannya saja sebagai contoh untuk

memahami penerapan kaidah ini:

1. Apabila seseorang telah yakin bahwa sebuah pakaian terkena najis, akan

tetapi dia tidak tahu dibagian mana dari pakaian tersebut yang terkena najis

maka dia harus mencuci pakaian itu seluruhnya.

2. Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudu, kemudian dia

ragu apakah telah batal wudunya atau belum, maka dia tidak perlu

berwudu lagi.

3. Dan begitu pula sebaliknya, apabila seseorang yakin bahwa wudunya telah

batal, akan tetapi dia ragu apakah dia telah berwudu lagi atau belum, maka

wajib baginya untuk berwudu lagi.


4. Barang siapa yang ragu dalam salatnya apakah dia telah salat tiga rakaat

atau empat rakaat misalnya, maka dia harus mengikuti yang yakin, yaitu

yang paling sedikit rakaatnya, yang mana dalam permasalah ini adalah tiga

rakaat.

5. Begitu pula dalam permasalahan putaran tawaf, apabila dia ragu berapa

kali dia telah berputar mengelilingi ka’bah apakah dua kali atau tiga kali,

maka dia harus menganggap bahwa dia baru berputar dua kali, dan begitu

seterusnya.

6. Barang siapa yang telah sah nikahnya, kemudian dia ragu apakah telah

mentalak istrinya atau belum, maka pernikahannya tetap sah.

7. Apabila seorang istri ditinggal suaminya berpergian dalam jangka waktu

yang lama, maka dia tetap dihukumi sebagai istri laki-laki tersebut dan

tidak boleh baginya untuk menikah lagi. Karena yang yakin adalah bahwa

sang suami pergi dalan keadaan hidup, maka tidak boleh menghukuminya

telah meninggal kecuali dengan berita yang meyakinkan.

8. Jika ada seseorang yang pergi meninggalkan kampung halamannya dalam

keadaan sehat, akan tetapi setelah bertahun-tahun tidak kunjung pulang

dan tidak diketahui kabarnya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang yang

hidup. Yang atas dasar ini tidak boleh diwarisi hartanya sampai datang

kabar yang meyakinkan tentang hidup atau matinya.

9. Apabila seseorang yakin bahwa dirinya pernah berhutang, kemudian dia

ragu apakah dia telah membayar hutang itu atau belum, maka wajib
baginya untuk membayar hutang tersebut kecuali jika pihak yang

menghutangi menyatakan bahwa dia telah membayar hutangnya.


B. KAIDAH YANG KEDUA

َ ِ‫علَ ْي ِه َحتَّ َى تَقُو ُم بَيِنَةٌ ب‬


‫خَلفِ ِه‬ َ ‫ف بِش َْيءٍ فَ ُه َو‬
َ ‫َم ْن ع ُِر‬

Barang siapa yang mengetahui tentang sesuatu maka dialah bidangnya sehingga

datang penjelasan yang menentangnya/bantahannya

a) Pokok Bahasan Pertama, Makna Kaidah

1. Makna Kata Kaidah

‫ ْالبَيِّنَة‬menurut etimologi (bahasa) memiliki makna mengungkap sesuatu dan

menjelaskannya sedangkan menurut terminologi (istilah) dikhususkan untuk

sebuah kesaksian, para Ulama menamai dengan kata tersebut karena kata

tersebut menjelaskan sebuah kebenaran yang tersembunyi. Maksud dalam

kaidah ini adalah petunjuk yang jelas baik secara syara’, akal, panca indera,

makna inilah yang mencangkup makna fiqh yang terdahulu dan fiqh sesudahnya

yang terkenal dan lebih dulu dalam firman Al-Qur’an. Allah berfirman dalam

surat surat hud : 17 “Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang

yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhannya”, Surah Al-

Anfal:42 “yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan dengan

keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan

keterangan yang nyata pula”., surah Ar-Rum: 9 “dan telah datang kepada

mereka Rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata”.


2. Makna Secara Garis Besar Kaidah Ini :

Makna kaidah ini adalah siapapun yang ada pada suatu kondisi di masa lalu, lalu

ia menyatakan berlangsungnya kondisi tersebut selama ia belum mendapatkan

dalil yang jelas pada ikhtilafnya/perbedaan. Imam Syafi’I bependapat, jika dua

saudara kandung hadir yang satu muslim dan yang satunya lagi nasrani lalu

mereka membenarkan bahwa ayahnya telah wafat dan meninggalkan rumah

sebagai warisan dan si muslim itu berkata ayahnya mati dalam keadaan muslim

lalu saudaranya yang nasrani berkata ayahnya wafat dalam keadaan nasrani

maka keduanya harus ditanya, jika mereka berdua membenarkan bahwa ayahnya

meninggal sebagai seorang nasrani kemudian si muslim berkata ayahnya masuk

islam setelah menjadi nasrani, maka dalam perkara ini disebutkan sebuah

pendapat hartanya untuk si nasrani karena seseorang itu pada dasarnya sesuai

dengan dulunya ia berada hingga ada bukti bahwa ayahnya itu berpindah agama

dari agama sebelumnya.

b) Pokok Bahasan Kedua : Dalil-Dalil Kaidah Ini

Kaidah ini berdalil dengan dalil kaidah sebelumnya yaitu (‫ َال أَدْفَع ْاليَ ِّقيْنَ إِّ اال بِّ ْاليَ ِّقي ِّْن‬:

Aku (Imam Syafi’i) menolak suatu keyakinan kecuali dengan keyakinan) karena

keduanya cocok serta saling memberikan penjelasan hukum dengan

mengistishhabkan suatu hukum yang telah ada/tetap di masa lalu baik yang

masih ada atau yang sudah tiada selama belum ditemukan dalil yakin yang

menunjukkan suatu perselisihan pendapatnya.


Bahwa sesuatu yang nyata ada atau tidak adanya yang berada dalam suatu

kondisi yang mengharuskan adanya dugaan ketetapannya. Sedang duagaan

merupakan hujjah yang mengikuti syara’. Tentunya kita menyebutnya harus ada

dugaan ketetapannya pada 4 hal :

i. Bahwa ijma/kesepakatan ulama batal/gugur pada kasus seseorang jika ia ragu

adanya thaharah/bersuci pada permulaannya. Dia tidak boleh shalat . jika ia ragu

dalam ketetapan tharah ia boleh shalat walaupun pada dasarnya tidak dalam

setiap pernyataan keberlangsungannya tentu wajib adanya baik boleh shalat

dalam bentuk pertama atau tidak boleh shalat dalam bentuk kedua. Dan itu

dinamakan perselisihan ijma’(khilaful ijma’).

ii. Para cendikiawan dan para tokoh adat pada saat mereka menyatakan adanya

sesuatu atau tidaknya memiliki hukum-hukum khusus. Maka mereka

memperkenankan putusan hakim dan hukuknya pada masa depan ada tidaknya

hal tersebut. Walaupun pada dasarnya ketetapan sesuatu sudah ada ketika hal

tersebut diperkenankan mereka.

iii. Dugaan suatu ketetapan lebih didominasi dari dugaan perubahan (Dzhanut

Taghayyur), hal tersebut dikarenakan yang tetap tidak berhenti pada kebanyakan

ada masa depandan membandingan hal tersebut adalah yang masih tetap

baginya, baik masih ada ataupun sudah tiada. Adapun perubahan itu adalah yang

menghentikan 3 hal antara lain; adanya masa depan, pergantian yang ada

menjadi tidak ada atau sebaliknya, membandingkan ada tidaknya itu pada waktu

tersebut. Jelas sesuatu yang menghentikan pada dua hal yang tidak ada
perubahan yang lebih umum dari hukum yang menghentikan kedua perkara

tersebut karena aib dan perkara yang ketiga selainya kedua perkara tersebut.

iv. Jika suatu harta berada pada harta yang tersisa dengan sendirinya seperti berlian,

maka jika didominasi oleh dugaan selama memilikinya karena harta tersebut

lebih sering dari yang lainnya maka itu lebih baik. Kerena keberadaan harta

tersebut tidak berpengaruh. Adapun perubahan harta membutuhkan pengaruh.

Dan tidak diragukan bahwa yang tidak membutuhkan pengaruh lebih

unggul/kuat dalam keberadaannya dari pada yang membutuhkannya.

c) Pokok Bahasan Ketiga : Representasi Kaidah Ini

Kaidah ini telah dinash oleh Imam Syafi’i ketika menjelaskan hubungan warisan

harta orang yang murtad dan wasiatnya dimana Imam Syafi’i berpendapat jika

ahli waris orang yang murtad itu termasuk orang muslim berkata ayahnya telah

masuk islam sebelum wafat, maka mereka harus memiliki bukti, jika mereka

membawa buktinya maka serahkan seluruh harta ayahnya pada ahli warisnya

namun jika mereka tidak dapat menunjukkan buktinya maka ayahnya murtad

hingga dapat diketahui taubatnya. Dan jika bukti tersebut didapat dari orang

yang menjadi ahli warisnya maka ditolak bukti tersebut.

Begitu juga jika orang murtad mewasiatkan sebuah wasiat lalu ia

berkata bilamana aku mati, maka berikan untuk si fulan dan si fulan sekian-

sekian lau wafatlah si murtad itu. Maka orang yang menerima wasiat bersaksi

kepada kedua orang tersebut kalau si murtad telah kembali masuk islam maka

kedua orang itu yangan menerima kesasian si penerima wasiat, karena keduanya
bisa menangguhkan bleh berwasiat untuk diri mereka yang mana telah batal

disebabkan murtadnya si murtad. Namun jika si murtad bertaubat lalu wafat, lalu

dikatakan : si murtad telah murtad kemuadian wafat dalam keadaan murtad,

dalam keadaan sedang betaubat hingga ada bukti bahwa dia murtad setelah

bertaubat. Karena orang yang dikenali dengan sesuatu maka itulah yang melekat

padanya hingga ada bukti bantahannya .

َ ‫ف بِش َْيءٍ فَ ُه َو‬


Lafadz (‫علَ ْي ِه‬ َ ‫ َم ْن ع ُِر‬: Orang yang dikenali dengan sesuatu

maka itulah yang melekat padanya) yakni hokum itu bergantung pada tetapnya

suatu perkara yang sudah tetap selama belum diperoleh petunjuk yang jelas atas

bantahannya, Imam Syafi’I berkata dengan makna kaidah ini dalam masalah

lain, seperti : jika ada seorang muslim yang memiliki amat/budak perempuan

lalu budaknya berkata dulu saya seorang budak lalu aku dimerdekakan sebelum

suamiku seorang muslim itu wafat atau dia berkata dulu saya adalah wanita kafir

dzimmi lalu aku masuk islam sebelum dia wafat atau misalkan dia (budak

perempuan) memiliki bukti bahwa dia adalah seorang budak atau wanita kafir

dzimmi ia mengakui kehamba sahayaannya dan keislamannya sebelum

suaminya wafat kemudian ahli warisnya mengingkari pengakuannya tersebut,

dan mereka berkata : kehamba sahayaan dan kesilamannya itu setelah suaminya

wafat. Maka ucapan yang dapat dipegang adalah perkataan ahli waris, sedangkan

si budak perempuan tersebut harus memiliki bukti jiak ia mengenal bahwa bukti

tersebut merupakan keluarganya hingga ada bukti lain atas bantahannya.

Kaidah ini bermakna kaidah terkenal yang disebutkan oleh para ulama

ْ َ ‫األ‬: asal usul hukum adalah tetapnya


qawaid fiqh yaitu, ( َ‫صل َبقَاء َما َكانَ َعلَى َما َكان‬
suatu perkara yang ada pada sesuatu yang sudah ada) dan kaidah ini merupakan

hukum yang telah diakui oleh ahli usul fiqh yang dikenal dengan istilah

istishhabul hal (mengistishhabkan keadaan). Imam Ibnu Subki berpendapat

keyakinan itu tidak dapat menghilangkan keraguan begitu juga nampak bahwa

keyakinan tidak akan bersama dengan keraguan, tetapi maksud dari kaidah ini

adalah mengistishhabkan asal usul hukum yang diyakini tidak dapat

menghilangkan keraguan yang baru.

Istishhab secara etimologi adalah mencari kawan sedangkan menurut

terminologi sebagaimana yang telah didefinisikan oleh Imam Asnawi adalah

suatu ungkapan hukum tetapnya perkara di masa kedua berdasarkan ada

ketetapannya di masa pertama.

Menurut Imam Khawarizmi istishhab adalah akhir topik fatwa, maka

bahwasannya seorang mufti ketika ditanya tentang peristiwa yang diminta

kejelasan hukumnya dalam Al-Qur’an, hadis, ijma’ kemudian qiyas lalu ia tidak

menemukannya maka ia harus mengambil hukumnya melalui istishahabul hal

baik dari segi nafi (penafian), dan itsbatnya (penetapannya). Maka jika ia ragu

dalam tidak ada hukumnya maka dasar hukumnya adalah ada, dan jika ragu

dalam keberadaan hukumnya maka dasar hukumnya adalah tidak ada.

Jadi kesimpulannya adalah istishhab merupakan ungkapan hukum

tentang berpegang pada dalil aqli atau dalil syar’i dan bukan kembali menuju

ketidaktahuan terhadap dalil tapi kembali kepada dalil dengan disertai

penafian/penolakan pengubah hukum atau dugaan menafikan pengubah hukum

pada saat mengerahkan kemampuan dalam meneliti dan mencari dalil.


Istishhab terbagi ke dalam beberapa bentuk antara lain :

i. Istishhabu ‘adamil asli yaitu sesuatu yang diketuhui oleh akan keberadaanya

tidak ada terhadap sesuatu yang asalnya tidak ada seperti menafikan wajib

shalat enam waktu dan wajib puasa syawal. Maka akal akan menunjukkan

gugurnya kewajiban tersebut bukan untuk menjelaskan hukum syara’ akan

tetapi karena tidak ada yang menetapkan kewajibannya maka hukumnya tetap

menafikan asal mulanya. Dan inilah hujjah/alasan menurut jumhur ulama,

sebagian ulama yang mengkuinya ijma’.

ii. Istishhabud dalil ma’a ihtilil ma’aridh : baik berupa takhsish

(mengkhususkan) jika ada dalil dzahir atau baik berupa naskh, jika dalilnya

nash. Hal tersebut sebagaimana yang telah diperintahkan ijma’ untuk

dilakukan.

iii. Istishhab ma dalla al aqla ‘ala tsubutihi wa dawamihi 9mengistishhabkan

sesuatu sesaui yang ditunjukkan oleh akal terhadap ketetapan/keberadaan dan

keberlangsungannya. Seperti seorang raja ketika memberlakukan suatu

perkerjaan yang dikehendaki oleh raja dan melalaikan perlindungan ketika

memberlakukan kerugian atau memonopoli.

iv. Istishhabul hukmi al-aqli (mengistishhabkan hukum dengan akal) menurut

mu’tazilah. Bahwa menurut mereka bahwa akan yang memutuskan dalam

segian hal untuk menolak dalil sam’i (dalil yang didengar saja)hal ini tidak

ada bantahan dari alus sunnah wal jamaah dalam larangan untuk tidak boleh

mengamalkannya. Karena akal tidak memiliki hukum dalam masalah syara’.


v. Istishbul hukmi ats-tsabiti bil ijma’ (mengistishhabkan hukum yang telah

ditetapkan oleh ijma pada dalam kedudukan masalah khilafiah, bahwa hukum

menyesuaikan pada hukum lain dalam suatu situasi, kemudian sifat yang

diijma’kan berubah maka berbedalah yang apapun dijma’kan. Contohnya :

seorang yang bertayammum pada saat melihat air pada pertengahan shalatnya

maka shalatnya tidak batal, krena sebelum tiu ijma’ telah batal/gugur atas

sahnya shalat. Datangnya air seperti datangnya hembusan angin, terbitnya

fajar dan semua makhluk. Maka kami (ulama madzhab Syafi’i

mengistishhabkan sahnya shalat untuk menunjukkan dalil atas melihatnya air

yang dapat membatalkan shalat (bagi orang yang tayammum).

d) Pokok Bahasan Keempat :

Kaidah ini banyak diterapkan antara lain sebagai berikut :

1. Jika segerombolan orang sedang dalam perjalan atau menetap (tidak

bepergian) lalu mereka mengenal seseorang yang bukan beragama islam lalu

orang itu masuk islam dan shalat kemudian mereka shalat di belakangnya di

masjid atau di ruangan terbuka maka tidak sah shalat mereka bersama orang

tersebut kecuali mereka menanyakannya terlebih dulu, maka orang itu

berkata, saya sudah masuk islam sebelum shalat atau ada orang yang

memberitahu mereka bahwa dia seorang muslim sebelum melaksanakan

shalat. Jika ada orang yang memberitahu mereka bahwa orang itu telah masuk

islam sebelum shalat maka shalat mereka sah.


2. Jika ada seseorang memiliki budak yang hilang entah kemana dan ia tidak

tahu apakah budaknya hidup atau mati pada waktu zakat fitrah. . Maka wajib

baginya menunaikan zakat fitrah untuk budaknya. Imam Syafi’i berpendapat

orang itu tidak boleh berhenti untuk mengeluarkan zakat budaknya yang

hilang walaupun ia terputus kabar tentang budaknya sampai ia tahu

kematiannya sebelum hilal bulan syawal. Jika ia melaksanakannya lalu dia

telah diketahui budaknya telah wafat sebelum syawal maka ia tidak perlu

menunaikan zakat untuk budaknya. Namun jika ia yakin maka ia harus segera

menunaikan zakat untuk budaknya.

3. Jika seseorang ditawan, hialng atau menghilang maka istrinya tidak dalam

iddah dan tidak boleh dibagikan hartanya kecuali setelah yakin kematiannya.

Imam Syafi’I berpendapat, jika seorang muslim ditawan di medan perang,

istrinya tidak boleh dinikahi kecuali setelah yakin akan kematianya suaminya

baik diketahui tempatnya atau tidak diketahui. Begitu juga tidak boleh

dibagikan hartanya.
C. KAIDAH YANG KETIGA

(Tidak terhalangi hak-hak dengan dugaan-dugaan itu dan tidak dimiliki hak

itu dengan dugaan pula)

Analisa yg pertama mengenai arti kaidah

a. Makna kosakata dari kaidah itu

Lafadz hukuk itu jama dari hakun menurut bahasa hakol amro, yahuku,

hakon dengan arti hak kepemilikan apabila telah sah dan tetap. yang di maksud

dengan kaidah secara umum bahwa hak itu pengkhususan yang di tetapkan oleh

syariat baik kekuasaan atau pembebanan hak (kewajiban) pribadi.

Dan penjelasan definisi itu secara nyata adalah sebagai berikut maksud

pengkhususan dari definisi diatas adalah hak itu kaitannya bisa mencakup

kekuasaan kemanusiaan untuk terjaganya hak itu seperti kekuasaan wali

terhadap perwaliannya dan wakil terhadap yang diwakilinya.

Alasan mengenai hak terhadap kepemilikan sesuatu akan wajib

ditentukan untuk mausia tertentu pula dan memiliki gambaran untuk

membedakan tentang kepemilikannya.akan keluar dari pengkhususan bagi

kepemilikan itu bagi sesuatu hal yang dibolehkan secara umum seperti berburu,

mengumpulkan kayu bakar dipadang pasir, hal itu menunjukan tidak ada

gambaran yang nyata untuk hak kepemilikan yang dimaksud.

Maksud kalimat (yuqorrirubihisar'u) adalah sebagai isyarat penetapan

syariat kepemilikan dengan khusus baik berupa kekuasaan atau kewajiban yang
ada karena pandangan syariat itu sebagai gambaran yang esensial untuk

menentukan bahwa hukum syara menentukan hak secara nyata.

Maksud kalimat ( suton au taklifan) adalah sebagai isyarat bahwa hak itu

kadang mencakup kekuasaan dan terkadang mencakup juga kewajiban (taklif)

yang mengikat.

Dan sulthon itu terbagi menjadi dua yaitu:

1. Sulton yang berkaitan dengan perorangan seperti hak kewalian terhadap diri

diri manusia

2. Sulton yang berkaitan dengan kekuasaan kerajaan untuk seluruh manusia

Adapun hukum taklifi (kewajiban yang mengikat) adakalanya yang

berkaitan dengan janji atas manusia dan ada kalanya janji yang berkaitan dengan

hukum kemanusiaan seperti kaitan dengan pekerjaan harta dan hutang piutang

- Berdasarkan pemaparan diatas jelaslah bahwa hak itu terbagi menjadi dua

bagian yaitu hak mali dan goermali.

Maka hak yang bersifat mali adalah hak yang berkaitan dengan harta seperti

kepemilikan harta pribadi harta hutang piutang atau pemanfaatan harta dan hak

goermali seperti hak kewalian terhadap perwaliannya dan hak-hak yang bersifat

prinsip yang mencakup juga karakter.


- Kalimat dunuun jama dari donun maksudnya yaitu gambaran tentang dua

persoalan yang bersifat kemungkinan yang dilandasi dugaan yang terjadi dengan

tidak yakin

B. Makna secara global tentang kaidah itu adalah kaidah itu berkaitan dengan aturan

hukum hukum hak berdasarkan fikih islam. kaidah itu mentengahkan bahwa

hukuk itu ada yang berkaitan dengan harta dan adapula yang goermali (selain

harta), ketika ditetapkan hak secara syar'i maka tidak bisa dihalangi atau

terhalangi dengan menghilangkan dugaan dan tidak memungkinkan dihinggapi

oleh dugaan-dugaan dan tidak akan tegak hak itu kecuali dengan keyakinan.
D.KAIDAH KE-EMPAT

‫إن أصل الناس الحرية حتى يعلم أنهم غير أحرار‬

Sesungguhnya pada dasarnya manusia adalah merdeka sehingga ia diketahui

bahwa mereka tidak merdeka (hamba sahaya)

a) Pokok Bahasan Keempat

Kaidah ini memberikan arti bahwa sifat asli manusia adalah merdeka. Adapun

hamba sahaya itu baru ada. Maka seseorang tidak dapat nyatakan sebagai salah

satu hamba sahaya kecuali ada bukti. Dari segi ketetapan bukti atau pengakuan.

b) Pokok bahasan kedua : Dalil-dalil kaidah ini :

Diriwayatkan dari Ali Bin Abi Thalib RA bahwasannya beliau pernah

memutuskan dalam masalah anak pungut (laqith) bahwasanya dia (anak pungut)

adalah merdeka dan beliau membaca ayat Al-Qur’an surat yusuf : 3

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham

saja dan mereka merasa tidak tertarik padanya”.

Bentuk dilalah dari atsar ini jelas saat Ali RA memutuskan perkara dalam

masalah anak pungut, dia (hamba sahaya) tidak diketahui asal usulnya dan

nasabnya karena itu dia berstatus merdeka. Begitu juga setiap orang yang tidak

diketahui asal usulnya maka dia termasuk orang yang merdeka. Dalam suatu bab

(dalam kitab Hilyatul Aulia) diriwayatkan dari Al-Hasan (seorang Tabi’in)

pernah ditanya mengenai anak pungut, apakah boleh dijual? Lalu beliau
menjawab Alloh tidak menginginkan hal tersebut, tidak pernahkah kamu

membaca surah yusuf!

anak pungut ketika tidak diketahui identitasnya maka statusnya merdeka. Imam

Syafi’I berkata bahwa anak pungut itu merdeka karena pada dasarnya manusia

adalah merdeka sampai diketahui bahwa mereka tidak merdeka. Imam Syafi’I

berpendapat dalam pembahasan lainnya dalam kitab Al-Um : Anak pungut itu

merdeka tidak ada orang yang harus dipatuhi olehnya. Bahwa kaum muslimin

berhak memberikannya waris sebab mereka berhak memberikan semua hartanya

yang tidak ada pemiliknya.

c) Pokok Bahasan Ketiga : Pandangan Ulama Madzhab tentang qaidah ini.

Sebenarnya saya (penulis) tidak suka kaidah ini yang mana saya tidak

menemukan dalam kitab-kitab kaidah fiqh madzhab, kecuali argumen yang telah

berlaku pada pandangan-pandangan para Ahli fiqh lain, antara lain :

1. Abu Ishaq As-Syirazi : ( Jika seseorang menemukan anak pungut yang tidak

diketahui identiasnya maka dia dinyatakan merdeka karena pada dasarnya

manusia adalah merdeka, jika mengenakan pakaian, perhiasan, atau di bawahnya

ada ranjang, atau memegang uang atau tali kekang kuda atau dia berada di

sebuah rumah yang tidak ada siapapun kecuali dia, maka semua itu adalah

miliknya, karena ia merdeka. Maka segala sesuatu yang ada ditangannya adalah

miliknya seperti anak baligh). Jika ada seseorang yang mengaku kehamba
sahayaannya anak pungut jangan diterima pengakuannya tersebut kecuali ada

bukti.

2. Imam Nawawi : (anak pungut terkadang ia memiliki harta yang dengan hartanya

tersebut ia berhak mendapatkannya atau didapat dari orang lain. Maka yang

pertama hal tersebut bagi mereka seperti waqaf dan seperti wasiat, kedua seperti

wasiat dan hibbah dan waqaf untuknya. Seorang hakim akan mengabulkan dari

segala sesuatu yang diperlukan untuk diterima baik harta yang berhak ia

dapatkan dan sesuatu yang ia dapat atas pemberian dan kemampuannya. Maka

kepemilikan dan kemampuan milik anak itu seperti anak baligh. Pada dasarnya

merdeka itu berlaku selama belum diketahui oleh orang lain, hal tersebut dapat

dicontohkan seperti pakaian yang dikenakan atau tempat ditidur yang digunakan.

Dalam pembahasan lain Imam Nawawi pernah berkata : barangsiapa yang

mengaku hamba sahayanya seorang anak maka jangan percaya anak tersebut

merdeka, dengarkan pengakuannya karena mungkin saja ia merdeka, jika tidak

ada apapun yang dimilikinya jangan terima ucapannya kecuali dengan bukti.

Karena dzahirnya merdeka jangan kau abaikan kecuali dengan hujjah.

3. Imam Mahalli berpendapat dalam Syarah kitab Alminhaj ( jika anak pungut

mengaku kehamba sahayaannya maka ia merdeka, karena umumnya manusia itu

merdeka kecuali ditemukan salah satu bukti kehamba sahayaanya maka bukti itu

dapat ditindaklanjuti).
4. Imam Zakaria Al-Anshari berpendapat bahwa anak pungut itu merdeka

walaupun orang yang menemukannya atau orang lain mengaku kehamba

sahayaannya. Karena pada umumnya manusia itu merdeka, kecuali ditemukan

bukti kehamba sahayaannya.

Menurut saya (penulis) ungkapan Imam Syafi’I pada kaidah ini lebih indah dan

komprehensif.

d) Pokok Bahasan Ke Empat : Representasi kaidah ini :

Dalam beberapa hal, sebagian contoh-contoh mengikuti kaidah yang disebutkan

Imam Syafi’I dalam kitab Al-Um dan Mukhtashar Al-Muzni antara lain :

1. Imam Syafi’I berpendapat : Jika dua orang muslim (yang satu hamba sahaya

dan satu orang merdeka), kafir dzimmi yang merdeka dan seorang hamba sahaya

terlahir ditemukan sebagai anak pungut maka tidak ada bedanya di antara salah

satu mereka, sebagaimana tidak ada bedanya antara mereka dalam segala sesuatu

yang mereka akui dari apapun yang mereka miliki. Maka akan nampak orang

yang mengaku-ngaku. Maka jika mereka mendapatkan apa yang mereka miliki

oleh salah satu dari mereka maka ia adalah anaknya yang tidak dapat disangkal

lagi, tidak berhak bagi bayi yang ia nafikan dengan suatu kondisi dan jika orang

yang mengaku-ngaku tersebut mendapapatkan harta melalui dua atau lebih dari

mereka (muslim budak/hamba sahaya, muslim yang merdeka, kafir dzimmi,

anak pungut yang berstatus hamba sahaya) atau tidak ada yang mengaku-ngaku
atau ada yang mengaku-ngaku tapi tidak dikenal maka tidak ada satupun anak

pun dari mereka sampai balig dan bernasab kepada siapapun dari mereka yang

mau. Maka jika ia melakukan hal tersebut terputuslah pengakuan dari yang

lainnya. Tidak ada pengakuan seseorang yang bernasab untuk disangkal

sedangkan ia merdeka dalam setiap hal hingga diketahui bahwa mereka tidak

merdeka.

2. Imam Syafi’I pernah berpendapat, jika seseorang bergantung pada orang lain

kemudian ia mengatakan kepada orang lain itu : kamu itu budakku! Dan orang

yang dituduh berkata : akan tetapi saya ini orang yang merdeka. lalu perkataan

itu adalah perkataan orang yang dituduh, maka asal mula manusia itu merdeka

sampai muncul bukti atau pengakuan kehamba sahayaannya. Orang yang

mengaku-ngaku tersebut perlu dimintakan bukti, itupun jika ia membawa bukti

bahwa ia dalah budak/hamba sahaya. namun jika dia mengakui bahwa ia adalah

budak miliknya maka ia adalah budak miliknya. Dan jika ia bersumpah bahwa

dia adalah budaknya maka ia adalah budak miliknya begitu pula amat/hamba

sahaya perempuan sama halnya dengan hamba sahaya laki-laki.

3. Imam Syafi’I berkata sesuatu yang didapat dari anak zina baik yang

disembunyikan dalam peperangan islam atau sesuatu tersebut dekat dari

peperangan islam, maka hal tersebut dinamakan luqathah atau harta temuan.

luqathah tersebut bisa berupa hewan yang hilang maka jika luqathah tersebut
ditemukan pada hewan tunggangan, tempat tidur, atau pakaian didapati harta

maka harta tersebut milik anak zina itu. Jika orang yang memungut luqathah

tersebut termasuk orang tidak dapat dipercaya maka harus diambil oleh hakim

dari orang tersebut dan jika orang memungut luqhathah tersebut orang yang

terpercaya maka ia harus bersaksi terhadap apa yang ia temukan pada harta milik

anak zina tersebut dan menyuruhnya untuk meninfaqkan harta tersebut untuk

anak zina dengan cara yang baik.

4. Imam Syafi’I berpendapat bahwa jika anak pungut dibunuh maka seorang imam

dapat memberikan qishah atau diyat. Jika anak tersebut itu hanya terluka maka

si pelaku harus dipenjara sampai keluar sebuah putusan lalu anak pungut itu

memilih mau qishah atau diyat, jika anak itu dung dan miskin aku (Imam Syafi’i)

suka kepada Imam yang memberikan diyat dan menginfaqkan untuknya. Hal

tersebut terkandung dalam makna merdeka hinggai ia balig dan mengakuinya.

Jika ia pengakuannya mengarah pada kehamba sahayaannya dan aku (imam

syafi’i) mengembalikan apapun yang sudah diputuskan oleh anak pungut itu dan

akan kujadikan kejahatannya tersebut berada dilehernya (pelaku) (qishash). Jika

ada orang yang menfitnahnya maka aku tidak akan memberikannya had sampai

aku menanyainya, jika ia berkata aku orang merdeka amaka aka kuberi had

kepada orang yang memfitnahnya dan jika dia memfitnah merdeka maka dia

(anak zina) akan diberi had.


5. Dari apa yang telah diqiyaskan pada cabang-cabang permasalahan kaidah ini

lebih dominan menjelaskan hukum-hukum yang tidak diketahui seperti gila yang

tidak diketahui keadaanya, orang yang memiliki kelainan terkena gangguan fisik

atau meninggal dan tidak jelas kematian dan lain-lain.


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah penulis sajikan dalam bab pembahasan di atas, maka

penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1.Keraguan tidak bisa menjadi suatu dasar hukum karena tidak memiliki bukti yang

cukup

2.Para ulama tidak dapat membuat dasar hukum ijma dan istishab bila tidak

memiliki bukti yang cukup.

3.Seseorang tidak terhalang oleh suatu keraguan bila memiliki bukti yang cukup.

4.Seorang hamba sahaya tidak bisa dkatakan seorang yang merdeka bila tidak

memiliki bukti yang cukup.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab bin Ahmad Kholil, “Qawaid wa Adh-Dhawabit Al-Fiqhiyyah”,

Darut Attadmiriysh, Riyadh, 2008 m.hal 74

Abdul Wahab bin Ahmad kholil, 77-79

Imam Syafi’I, Qawaid wa dhawabit fiqhiyyah fiikitaabil umm

Imam Syafi’i , Fii kitaabil umm

https://muslim.or.id/18747-kaedah-fikih-al-yaqiinu-la-yazuulu-bisy-syakki.html

Anda mungkin juga menyukai