Anda di halaman 1dari 41

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2. 1. Epidemiologi

Kanker tiroid adalah keganasan yang terjadi pada kelenjar tiroid dan termasuk

urutan kesembilan dari angka kejadian kanker di Indonesia, tetapi diantara kelenjar

endokrin, karker tiroid termasuk jenis keganasan paling sering ditemukan. Kelenjar

tiroid merupakan organ tubuh yang relatif jarang mengalami keganasan, dengan

angka kejadiannya meliputi 95% dari keseluruhan kanker endokrin. Kanker tiroid

secara umum termasuk kelompok keganasan dengan prognosis relatif baik

(Pasaribu, 2009).

Tahun 2016, American Cancer Society memperkirakan 62.450 kasus baru

kanker tiroid ditemukan di Amerika Serikat, dengan perbandingan antara

perempuan dan laki-laki 3:1. Sekitar 1,7% dari seluruh kanker pada perempuan

adalah kanker tiroid, dibandingkan hanya 0,5% kanker pada laki-laki. Laporan

tentang angka kejadian kanker tiroid bervariasi antara 0,5 sampai 10 setiap 100.000

penduduk, serta merupakan 1% dari seluruh kejadian kanker dan 0,5% dari

penyebab kematian oleh karena kanker. Tumor tiroid relatif sering muncul pada

usia 20-50 tahun. Anak-anak usia dibawah 20 tahun dengan nodul tiroid

mempunyai risiko keganasan lebih tinggi dibandingkan kelompok dewasa.

Kelompok usia 60 tahun, disamping mempunyai prevalensi keganasan lebih tinggi,

juga mempunyai agresivitas penyakit lebih berat, terlihat seringnya kejadian kanker

tiroid tipe anaplastik pada kelompok usia ini. Diagnosis dini dan terapi agresif
segera dianjurkan untuk kanker tiroid terutama tipe anaplastik (Haugen et al.,

2015).

Angka kejadian kanker tiroid meningkat stabil sejak pertengahan tahun 1990an

dan diperkirakan angka kejadian 44.670 pada tahun 2010. Rata-rata angka

kematiannya relatif stabil pada wanita namun sejak tahun 1983 pada laki-laki relatif

meningkat yaitu 1% pertahun dan diperkirakan 1.690 kematian pada tahun 2010

(Thomas et al., 2012).

Tumor tiroid paling sering muncul pada usia 20-50 tahun. Anak usia dibawah

20 tahun dengan nodul tiroid mempunyai risiko keganasan lebih tinggi dibanding

kelompok dewasa. Kelompok usia 60 tahun, disamping mempunyai prevalensi

keganasan lebih tinggi, juga mempunyai agresivitas penyakit lebih berat, terbukti

dengan tingginya angka kejadian kanker tiroid tipe anaplastik pada kelompok usia

ini (Figge et al., 2006).

Ditinjau dari aspek histopatologi, kanker tiroid jenis papiler, folikuler, meduler

dan anaplastik diperkirakan menduduki 90% dari seluruh keganasan tiroid,

kemudian disusul dengan limfoma, squamous cell carcinoma, sarkoma, melanoma

dan metastasis. Kanker tiroid tipe papiler (Papillary Thyroid Cancer/PTC) dengan

berbagai variannya (konvensional, follicular, tall cell, solid, diffuse sclerosing dan

columnar) diperkirakan 80%, tipe folikuler (Folicular Thyroid Cancer/FTC)

dengan variantnya (Hürthle) diperkirakan 10%, tipe poorly differentiated medullary

(Medullary Thyroid Cancer/MTC) beserta variannya (insular) sekitar 5% dan tipe

anaplastik (ATC) 1%-5% (Thomas et al., 2012; Simoes et al.,2011).


2.2 Faktor Risiko

Faktor risiko yang berperan khususnya pada kanker tiroid berdiferensiasi baik

(well differentiated) tipe papiler dan folikuler adalah radiasi dan goiter endemis

sedangkan untuk jenis medular adalah faktor genetik. Kondisi geografi endemis

dengan aktivasi TSH berlebihan berhubungan dengan FTC sedangkan geografis

nonendemis dengan tingkat yodium tinggi berkaitan dengan tipe papiler. Belum

diketahui suatu karsinogen berperan pada kanker tiroid tipe anaplastik dan medular.

Diperkirakan kanker tiroid anaplastik berasal dari perubahan kanker tiroid

berdiferensiasi baik (papilar dan folikuler) dengan kemungkinan jenis folikuler 2

kali lebih besar sedangkan limfoma pada tiroid diperkirakan karena perubahan

degenerasi ganas dari tiroiditis Hashimoto. Faktor paparan radiasi diperkirakan

memiliki andil 9% dalam mekanisme onkogenesis kanker tiroid. Paparan radiasi

dengan dosis radiasi diatas 20 Gy secara signifikan berhubungan dengan terjadinya

PTC tipe sporadik. Jenis radiasi dan lama paparan berkaitan dengan perubahan

genetik dan berhubungan dengan tingkat agresifitas keganasan (Thomas et al.,

2012; Pasaribu, 2009; Gimm et al., 2001).

Pengaruh usia dan jenis kelamin, risiko pada usia dibawah 20 tahun dan diatas

50 tahun, dimana jenis kelamin laki-laki memiliki risiko keganasan lebih tinggi

daripada perempuan. Pengaruh radiasi di daerah leher dan kepala pada masa

lampau, riwayat gangguan mekanik di daerah leher, riwayat penyakit serupa dalam

keluarga menjadi risiko terjadinya kanker tiroid (Figge, 2006).


2.3 Klasifikasi

Lihat tabel 1.

2.4.1 Kanker tiroid diferensiasi baik

Kanker tiroid diferensiasi baik/Differentiated Thyroid Cancer/DTC dapat

dibedakan menjadi tiga tipe utama yaitu kanker tiroid tipe papiler (PTC), kanker

tiroid tipe folikuler (FTC) dan tipe sel Hürthle (Hürthle Cell Carcinoma/HCC)

adalah kanker tiroid diferensiasi baik dengan angka kejadian tersering (Wartofsky,

2006).

1. Pemeriksaan Klinis.

Anamnesa memegang peranan penting dalam membedakan kanker

tiroid dengan penyebab nodul lainnya, terkait faktor risiko diketahui.

Diantaranya usia kurang dari 20 tahun, atau lebih dari 70 tahun, riwayat

radiasi eksternal pada leher selama masa anak-anak dan remaja, riwayat

keluarga dengan kanker tiroid. Adanya suara serak, disfagia, nyeri leher,

pembesaran nodul cepat, tanda adanya kompresi seperti stridor dan dispnea,

atau pembesaran kelenjar getah bening merupakan tanda adanya potensi

invasi sel kanker ke struktur disekitarnya. Tanda dan gejala klinis kanker

tiroid telah dievaluasi oleh German Patient Care Evaluation Study of

Thyroid Cancer (PCES) dan dibandingkan dengan PCES di Amerika

Serikat antara lain adanya riwayat paparan radioiodine, adanya pembesaran

kelenjar tiroid, serta adanya nodul terpalpasi. Pada penelitian lain

didapatkan 40% pasien kanker tiroid ditemukan dengan gejala awal nodul

soliter intratiroidal (Reiners, 2005; Mitchell, et al., 2006).


Selain gejala di atas, disfagia, nyeri leher, suara serak, dan stridor

ditemukan pada pasien dengan kanker tiroid. Namun gejala klinis seperti

suara serak akibat paresis n. laringeus (0,6%) atau metastasis jauh (0,8%)

jarang ditemukan sebagai tanda awal kanker tiroid. Pembesaran kelenjar

getah bening leher merupakan gejala awal lebih sering ditemukan pada pria

(21%) dibanding pada wanita (10%). Pada pasien usia kurang dari 40 tahun

pembesaran kelenjar getah bening ditemukan tiga kali lebih sering

dibandingkan pada pasien usia lebih dari 50 tahun (Reiners, 2005).

Pemeriksaan fisik seperti inspeksi dilakukan dengan teknik seperti

berikut, pasien duduk atau berdiri dengan posisi tenang, dengan leher sedikit

ekstensi. Pemeriksa melakukan inspeksi dari bagian depan. Pengaturan arah

cahaya untuk membantu mendeteksi massa. Untuk meningkatkan

visualisasi massa dapat dilakukan dengan melakukan ekstensi leher pasien

dan meminta pasien untuk melakukan gerakan menelan dan pemeriksa

memperhatikan pergerakan tumor tersebut berada di tiroid atau tidak.

Palpasi dilakukan dengan mengarahkan pasien untuk berdiri atau

duduk kemudian pemeriksa berdiri di belakang pasien dan mencari lokasi

dari kelenjar tiroid dengan teknik palpasi. Untuk pemeriksaan adanya

massa, pasien diperintahkan menelan menelan air ludah atau air untuk

merasakan pergerakan dari kelenjar tiroid. Palpasi dilakukan pada leher

penderita untuk mengevaluasi ukuran dan konsistensi dari tiroid dan

mencari nodul tiroid. Biasanya nodul soliter memiliki konsistensi keras,

rata-rata berukuran kurang dari 5 cm, terfiksasi dengan jaringan sekitar dan
ikut bergerak jika pasien menelan. Tanda dari keganasan tiroid adalah

teraba massa padat dan tidak nyeri pada daerah tiroid. Massa terfiksasi pada

otot atau trakea menunjukan kecenderungan adanya keganasan. Nyeri dan

pembengkakan tiba-tiba mengarah pada perdarahan pada nodul ataupun

keganasan invasif. Suara serak dapat muncul sebagai akibat dari penekanan

atau infiltrasi pada saraf laringeus rekuren dan biasanya dihubungkan

dengan keganasan. Beberapa pasien juga mengalami tanda-tanda

pendesakan trakea ataupun esofagus, seperti sesak napas atau sulit menelan.

Selain nodul, terkadang dapat ditemukan pembesaran tiroid difus, kenyal,

ireguler seperti pada tiroiditis kronis, lobus piramidal teraba, serta tes

antibodi positif merupakan tanda dari tiroiditis, namun tidak menyingkirkan

kemungkinan keganasan. Hal ini disebabkan sekitar 14-20 % dari

keganasan tiroid disertai adanya tiroiditis difusa maupun fokal (Mitchell et

al., 2006).

1. Pemeriksaan Laboratorium

Berdasarkan American Thyroid Assosiasion (ATA) tahun 2015

direkomendasikan beberapa pemeriksaan penunjang sebagai pemeriksaan

awal nodul tiroid, serum tirotropin (TSH) harus diukur selama evaluasi awal

pasien dengan nodul tiroid. Jika TSH serum di bawah normal, thyroid scan

harus dilakukan. Jika TSH serum normal atau meningkat, thyroid scan

radionuklida tidak harus dilakukan sebagai evaluasi awal (Strong

recommendation, Moderate-quality evidence) (Haugen et al., 2016).


Pemeriksaan laboratorium seperti pengunaan tumor marker spesifik

tiroid, yaitu tiroglobulin, biasanya tidak terlalu informatif pada kasus

preoperatif dugaan keganasan tiroid karena kadar tiroglobulin relatif tinggi

(Strong recommendation, Moderate-quality evidence) hingga 500 ng/ml,

dapat ditemukan pada cold nodule (misalnya: follicular adenoma atau

oncocytic adenoma). Peningkatan serum tiroglobulin >500 ng/ml

ditemukan pada 72% pasien dengan kanker tiroid tipe folikuler dan 56%

pada pasien dengan kanker tiroid tipe onkositik. Pada pasien dengan

metastasis dan tumor primer belum diketahui, maka kadar tiroglobulin

tinggi mengindikasikan keganasan tiroid walaupun tidak didapatkan

gambaran abnormalitas yang besar pada pencitraan tiroid. Tiroglobulin

berpotensi menjadi tumor marker paling efektif jika digunakan setelah

operasi pengangkatan tiroid dan terapi radioiodine. Pengukuran serum

calcitonin rutin disarankan untuk screening kanker tiroid medular pada

pasien dengan nodul tiroid. Pada pasien dengan penemuan mencurigakan

(misalnya nodul dengan kalsifikasi, pembesaran kelenjar getah bening),

pengukuran serum calcitonin dapat dilakukan sebagai pemeriksaan

penunjang bersama dengan FNAB (Reiners, 2005; Mitchell et al., 2006;

Haugen et al., 2016).

2. Pemeriksaan USG (Ultrasonography).

Tiroid sonografi dengan survei kelenjar getah bening leher harus

dilakukan pada semua pasien dengan nodul tiroid yang terlihat ataupun
dengan suatu kecurigaan. (Strong recommendation, High-quality evidence)

(Haugen et al., 2016).

Pemeriksaan radiologi pada kanker tiroid seperti USG (Gray Scale)

sering digunakan dalam pemeriksaan tiroid, selain murah USG juga mudah

digunakan dan tidak memiliki efek radiasi. USG dapat menentukan volume

tiroid, ukuran nodul, struktur (difus, uni atau multinodular), echogenitas

(iso-, hiper-, hipo-echogenik) dan juga dapat mengevaluasi struktur leher di

sekitar tiroid. USG yang disarankan adalah USG dengan frekuensi tranduser

tinggi (7,5-10 MHz) karena dapat mendeteksi lesi tiroid kecil (2-3 mm).

Tanda keganasan tiroid sering ditemukan (90% kasus) dengan lesi solid

yang hypoechoic. Jarang sekali ditemukan keganasan tiroid dengan lesi

isoechoic atau hiperechoic (Biersack, et al., 2005). Beberapa penelitian

telah dilakukan untuk mengetahui apakah adanya halo sign (pada tepi

nodul), degenerasi kistik atau kalsifikasi dapat digunakan untuk

membedakan antara nodul tiroid jinak atau ganas. Hasilnya, indikator yang

dapat digunakan untuk membedakan nodul tiroid jinak atau ganas adalah

adanya invasi pada struktur sekitar tiroid dan adanya metastasis pada

kelenjar getah bening leher. Kedepannya, penggunaan USG 3-dimensi

diharapkan dapat lebih membantu dalam penegakan nodul tiroid secara

akurat (Biersack et al., 2005; Nostrad, 2006).

Lebih dari 10 tahun, USG Colour Doppler sudah digunakan dalam

membantu penegakan diagnosis nodul tiroid. Walaupun demikian belum

ada penelitian lebih lanjut apakah ada tanda spesifik pada keganasan tiroid.
Vaskularisasi intra nodular meningkat 67% pada kasus keganasan dan

meningkat 50% pada kasus tumor jinak tiroid. Tetapi setidaknya 60%-70%

tiroid cold nodule dapat diklasifikasikan sebagai nodul koloid jinak

berdasarkan USG konvensional dan FNAB dengan bantuan USG. (Biersack

et al., 2005)

4. Pemeriksaan Radioiodine Scan

Radioiodine scan dapat digunakan untuk membantu menentukan

apakah seseorang dengan benjolan di leher kemungkinan kanker tiroid.

Scan ini juga sering digunakan pada orang yang telah didiagnosis dengan

kanker tiroid berdifferensiasi baik (papiler, folikuler, atau sel Hürthle) untuk

membantu apakah tumor telah menyebar. Karena sel kanker tiroid tipe

meduler tidak menyerap yodium, radioiodine scan tidak digunakan untuk

kanker tiroid tipe meduler. Untuk tes ini, sejumlah kecil yodium radioaktif

(I131) ditelan (biasanya sebagai pil) atau disuntikkan ke pembuluh darah dan

seiring waktu, yodium diserap oleh kelenjar tiroid. Sebuah kamera khusus

digunakan untuk melihat adanya radioaktivitas scan tiroid, kamera

ditempatkan di depan leher dan kemudian dipakai untuk mengukur jumlah

radiasi dalam kelenjar (Nostrand, 2006).

5. Pemeriksaan CT Scan (Computed Tomography Scan)

Pemeriksaan dengan CT Scan dalam pengelolaan kanker tiroid dapat

digunakan dalam dua penilaian yaitu praoperasi dan perkembangan

penyakit yang diobati. Pada pasien ini fungsi pencitraan bukan untuk

menegakkan diagnosis tetapi untuk penentuan staging tumor, khususnya


untuk memberitahu ahli bedah tentang perluasan ke daerah kritis dan

struktur sekitarnya, terutama yang berdekatan otot, arteri karotis, trakea,

laring, faring, esofagus, dan mediastinum. Tumor kecil yang terlihat pada

USG (kurang dari diameter 10 mm) dapat terabaikan pada CT dan MRI,

oleh karena itu USG lebih disukai pada kasus tumor multifokal.

Kanker tiroid tipe papiler umumnya relatif kecil, berbatas tegas dan

terlokalisir, namun dapat invasif dan menyerang seluruh lobus tiroid atau

keluar dari tiroid ke dalam struktur berdekatan, termasuk laring dan trakea

dan lebih sering esofagus. Wilayah nekrosis kistik sering muncul dalam

tumor. Pungtat atau area klasifikasi berkabut (Psammoma Bodies) dan

deposit multifokal sering tidak terlihat pada CT. Metastasis pada kelenjar

getah bening terjadi sekitar 50% kasus. Gambaran kelenjar getah bening

sering kali bervariasi, dapat muncul gambaran kalsifikasi, bentukan solid,

hipervaskular ataupun berbentuk kistik (Biersack et al., 2005).

Kanker tiroid tipe folikuler umumnya bersifat agresif dan invasif secara

lokal, jarang kistik dan jarang bermetastasis ke kelenjar getah bening sekitar

10%. Kanker tiroid tipe anaplastik sering mengadakan invasi lokal ke

berbagai struktur termasuk ke pembuluh darah leher, trakea, dan laring.

Kanker tiroid tipe anaplastik ini sering menunjukkan substansi nekrosis

kistik dan perdarahan. Kalsifikasi amorf sering muncul dan lebih dari

seperempat kasus disertai metastasis kelenjar getah bening mediastinum.

Kanker tiroid tipe medular biasanya padat, kasar, serta menunjukkan

kalsifikasi dan invasi lokal. Lebih dari 50% kasus berhubungan dengan
kelenjar getah bening leher dan kelenjar getah bening mediastinum. Sekitar

sepertiga dari tumor ini memiliki keterkaitan dengan beberapa neoplasma

endokrin, sehingga seringkali bilateral. Limfoma tiroid hampir selalu

primer dan sering dikaitkan dengan penyakit Hashimoto. Limfoma tiroid

pada umumnya muncul sebagai massa soliter, kadang-kadang sebagai

multinodul dan jarang nekrosis (Biersack et al., 2005).

6. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging) hingga saat

ini, hanya terdapat sedikit literatur tentang MRI tiroid. Semula diharapkan

teknik ini dapat membedakan berbagai macam kelainan patologis dari

jaringan tiroid, tetapi sampai saat ini harapan tersebut tidak terpenuhi.

Akibatnya, penggunaan MRI untuk memeriksa tiroid berkembang jauh

lebih lambat dibandingkan area tubuh lainnya. Secara umum, peran dari

pencitraan cross-sectional area ini telah dikurangi pada tahun belakangan

ini, oleh karena fungsi kedokteran nuklir lebih bermanfaat bagi organ

endokrin. Secara morfologi, organ berukuran kecil dan terletak superfisial

secara anatomi pemeriksaan lebih cocok menggunakan USG frekuensi

tinggi, sehingga biasanya tidak dibutuhkan penggunaan CT scan atau MRI.

Hal ini juga berkaitan dengan efisiensi biaya (Biersack, et al., 2005).

Peran MRI sendiri sejauh ini pada kanker primer adalah memeriksa

morfologi dari luas masa jaringan dan juga keterlibatan jaringan sekitar

seperti pembuluh dan otot. Invasi tumor ke jaringan sekitar dapat

disingkirkan dengan mendemonstrasikan garis lemak yang berkesinam-


bungan dan paling baik terlihat pada gambaran T1-weighted. Tetapi garis

lemak ini tidak selalu ada dan mungkin akan sulit untuk membedakan invasi

tumor pada jaringan sekitar. Invasi tumor pada otot paling baik ditunjukkan

sebagai hiperintens pada Short TI Inversion Recovery (STIR) dan Gd-DTPA

(Gadolinium Diethylene Triamine Pentaacetic Acid)-Enhanced T1-

Weighted Sequence, dimana gambaran otot normal berbatasan dengan

tumor mungkin menyingkirkan invasi otot (Biersack et al., 2005).

7. Biopsi Jarum Halus/Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB).

FNAB adalah prosedur pilihan dalam evaluasi nodul tiroid jika

diindikasikan secara klinis. FNAB adalah metode yang paling akurat dan

hemat biaya untuk mengevaluasi nodul tiroid (Strong recommendation,

High-quality evidence) (Haugen et al., 2016).

FNAB untuk pemeriksaan sitologi ini sebagai alat bantu diagnostik,

dapat digunakan untuk menegakkan diagnostik karsinoma tipe papiler,

anaplastik, meduler, tiroiditis dan kebanyakan nodul koloid jinak. Namun

demikian, FNAB tidak bisa membedakan adenoma folikuler dan kanker

tiroid tipe folikuler dan nodul koloid hiperseluler (Haugen et al., 2016).

FNAB dengan panduan ultrasonografi direkomendasikan untuk

menegakkan diagnosis pada nodul tiroid soliter dan solid dengan

echogenisitas rendah yang menunjukkan penurunan uptake (Reiners, 2005;

Haugen et al., 2016). Lihat tabel 2.

Pada gambaran histologi kanker tiroid papiler didapatkan bentukan

khas yaitu sel tiroid bermacam-macam terorganisasi dalam lapisan mono


layer dan membentuk kelompok papiler yang disebut badan psamomma,

pembesaran nukleus dengan gambaran “ground-glass” yang mengandung

kromatin dan nukleolus besar dan irregular, serta didapatkan nuclear

grooves dan cytoplasmic inclusions (Reiners, 2005).

2.4.2 Kanker tiroid papiler

Kanker tiroid tipe papiler adalah jenis keganasan tiroid yang paling sering

ditemukan yaitu 75%-85%, timbul pada akhir masa kanak-kanak atau awal

kehidupan dewasa dan berkaitan dengan riwayat terpapar radiasi. Tumor ini

tumbuh lambat, penyebaran melalui kelenjar getah bening dan mempunyai

prognosis lebih baik diantara jenis kanker tiroid lainnya. Faktor yang

mempengaruhi prognosis baik adalah usia dibawah 40 tahun, wanita dan jenis

histologik dominan papilar. Sifat biologi dari kanker papiler ini yakni tumor primer

kecil bahkan mungkin tidak teraba tetapi metastasis ke kelenjar getah bening

dengan massa tumor lebih besar atau terlihat (Wartofsky, 2006; Sharma, 2011).

1. Etiologi

Penyebab pasti dari kanker ini belum diketahui dengan pasti. Faktor

yang berperan dalam patogenesis kanker tiroid yaitu genetik dan

lingkungan. Kanker tiroid tipe papiler dipengaruhi oleh faktor lingkungan

(iodine), genetik dan hormonal serta interaksi diantara ketiga faktor tersebut

sedangkan pada kanker tiroid tipe folikuler, radiasi merupakan faktor

penyebab terjadinya tipe ini. Faktor yang berperan pada kanker tiroid tipe

meduler lebih banyak berhubungan dengan genetik dan sampai saat ini

belum diketahui karsinogen mana menjadi penyebab berkembangnya tipe


meduler dan anaplastik. Diperkirakan kanker tiroid tipe anaplastik berasal

dari perubahan kanker tiroid berdiferensiasi baik seperti tipe papiler dan tipe

folikular dengan kemungkinan jenis folikular dua kali lebih besar

(Wartofsky, 2006; Oerte et al., 2006).

2. Patofisiologi

Kanker tiroid tipe papiler berkaitan erat dengan aktivasi TRK dan

Retproto-onkogen, keduanya melalui mekanisme amplifying dan

rearranging. Kode proto-onkogen TRK untuk reseptor tirosin kinase; Ret

menunjukkan inverse kromosom parasentrik 10 dan 11 dalam 30%-35%

kasus namun proto-onkogen diekspresikan berlebih dan atau diperkuat

dalam 3 dari 4 pasien. Bukti lain menunjukkan bahwa beberapa molekul

fisiologis mengatur pertumbuhan thyrocytes, seperti interleukin-1 dan

interleukin-8, atau sitokin lainnya yaitu IGFR-1(insulin-like growth factor-

1), TGFR-beta (transforming growth factor-beta), EGFR (epidermal

growth factor) dapat berperan dalam patogenesis kanker ini (Wartofsky,

2006).

3. Gambaran klinis

Kanker tiroid tipe papiler berbentuk soliter atau lesi mutifokal pada

tiroid. Pada beberapa kasus berbatas tegas dan bahkan berkapsul. Lesi ini

mengandung area fibrosis dan kalsifikasi dan sering berbentuk kistik. Pada

potongan permukaan tampak granular dan kadang-kadang mengandung

fokus-fokus papiler yang nyata dan dapat dilihat. Nukleus pada sel kanker

tiroid tipe papiler mengandung kromatin tersebar sangat sempurna, dimana


memberi tampilan optikal atau kaca jernih, memberi tanda nukleus “ground

glass” atau “orphan annie’s eye”. Invaginasi pada sitoplasma memberi

tampilan inklusi intranuklear oleh sebab itu disebut pseudo-inclusion pada

potongan melintang. Ketika ada sel papiler pada kanker papiler berbeda dari

yang dilihat dalam area hiperplastik, papiler neoplastik memiliki inti

fibrovaskular tebal. Secara konsentrik struktur yang dikalsifikasi disebut

Psammoma bodies, sering ada di dalam papiler (Cobin et al., 2001;

Wartofsky, 2006).

Berdasarkan epidemiologinya kebanyakan penderita adalah perem-

puan dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki 3:1. Usia

bukanlah suatu patokan karena lesi malignan dapat ditemukan pada usia

sangat muda hingga sangat tua. Hal yang penting diketahui adalah berapa

lama kelainan tersebut dijumpai dan apakah pertumbuhannya lambat, cepat

atau timbul secara tiba-tiba. Informasi ini merupakan diagnostik signifikan

karena nodul atau massa multipel yang tumbuh perlahan menjadi malignan

dibandingkan dengan pembesaran nodul soliter berkembang dengan cepat.

Ukuran tumor bertambah dengan tiba-tiba dapat diduga sebagai perdarahan.

Biasanya nodul tiroid tidak disertai rasa nyeri, apabila ditemukan nyeri

diagnosis banding harus dipertimbangkan adalah tiroiditis akut, kista

dengan perdarahan akut (acute haemorrhage), tiroiditis subakut atau De

Quervain, infark tumor sel Hűrtle (jarang) dan tiroiditis Hashimoto

(Wartofsky, 2006).

4. Lokal invasi
Tumor dapat tumbuh secara langsung melalui kapsul tiroid untuk

menginvasi struktur di sekitarnya. Pertumbuhan ke trakea dapat terjadi,

memproduksi hemoptisis. Keterlibatan yang luas dapat menyebabkan

obstruksi jalan napas. N. laringeus rekuren bisa terlibat karena berdekatan

dalam alur trakeoesofageal. Pasien datang dengan serak, suara desah dan

kadang-kadang disfagia (Sharma, 2011).

5. Regional dan metastase jauh

Gambaran lain yang umum dari karsinoma papiler adalah

kecenderungan untuk bermetastase ke kelenjar getah bening. Terbukti

secara klinis metastasis pada kelenjar getah bening sekitar sepertiga dari

pasien pada karsinoma papiler. Bagian yang paling umum dari keterlibatan

kelenjar getah bening di kompartemen bagian tengah (level 6) terletak

medial mengelilingi karotis di kedua sisi, dengan ekstensi dari tulang hyoid

superior dengan kedudukan sternum inferior serta kelenjar getah bening

jugularis (level 2-4). Kelenjar getah bening di segitiga posterior leher (level

5) juga dapat mengembangkan metastasis. Temuan ini memiliki implikasi

penting pada algoritma pengobatan untuk pasien (Sharma, 2011).

6. Prognosis

Bentuk yang paling umum dari kanker tiroid berdifferensiasi baik

(papiler dan folikuler) memiliki tingkat kelangsungan hidup jangka panjang

yang sangat tinggi (lebih dari 90%), terutama ketika didiagnosis lebih awal.

Sementara prognosis bagi kebanyakan orang dengan kanker tiroid

berdiferensiasi baik, tingkat rekurensi bisa sampai 30 %, dan rekurensi


dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah pengobatan awal. Pemeriksaan

rutin sangat dibutuhkan untuk mendeteksi apakah kanker telah terjadi

rekurensi atau tidak (Sharma, 2011).

7. Angka kesembuhan kanker tiroid tipe papiler.

Data statistik mengenai tingkat kelangsungan hidup yang diterbitkan

pada tahun 2010 pada AJCC Cancer Staging Manual edisi ke-7 berdasarkan

pada stadium kanker pada saat pertama kali didiagnosis, disebutkan bahwa

kanker tiroid tipe papiler stadium I dan II mempunyai angka kelangsungan

hidup relatif 5 tahun mencapai 100% sedangkan stadium II mencapai 93%.

Lihat tabel 3.

2.4.3 Kanker tiroid folikuler

Karsinoma folikuler meliputi sekitar 10-20% keganasan tiroid dan biasa

ditemukan pada usia dewasa pertengahan atau diatas 40 tahun. Pada beberapa kasus

tumor folikuler mungkin hiperfungsi (tirotoksikosis). Angka kejadian kanker tiroid

folikuler meningkat di daerah dengan defisiensi yodium. Diagnosis tumor ini secara

sitologi sulit dibedakan dengan adenoma folikuler, diagnosis pasti dengan

pemeriksaan frozen section pada selama operasi atau dengan pemeriksaan

histopatologi untuk melihat adanya invasi ke kapsul atau pembuluh darah. Kanker

tiroid folikuler bermetastasis terutama melalui pembuluh darah ke paru, tulang, hati

dan jaringan lunak. Penanganan kanker tiroid tipe folikuler dengan tiroidektomi

total diikuti pemberian iodin radioaktif. Sel kanker tipe ini menangkap yodium

sehingga radioterapi dengan Iodine 131(I131) dapat digunakan dengan pengukuran

kadar TSH sebagai follow–up bahwa dosis yang digunakan bersifat supresif dan
untuk memantau rekurensi tumor. Angka survival rate pada pasien folikuler

karsinoma 10 tahun mencapai 85% (Wartofsky, 2006).

1. Etiologi
Paparan sinar radiasi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya

kanker tiroid tipe ini. Banyak kasus kanker tiroid pada anak-anak

sebelumnya mendapatkan pengobatan radiasi pada kepala dan leher karena

penyakit lain. Efek dari radiasi timbul setelah 5-25 tahun dan rata-rata 9-10

tahun. Stimulasi TSH jangka panjang merupakan salah satu faktor etiologi

kanker tiroid. Pemberian diet tanpa garam yodium pada binatang percobaan,

pemberian zat radioaktif atau sub total tiroidektomi berakibat stimulasi TSH

meningkat dan dalam jangka waktu yang lama dapat terjadi karsinoma tiroid

(Wartofsky, 2006; Simoes et al.,2011).

2. Gejala Klinis
Kanker tiroid folikuler berkembang dan tumbuh dengan lambat,

kadang-kadang hingga puluhan tahun dan sering berasal dari adenoma

jinak. Gejala klinis dari kanker tiroid tipe folikuler yaitu pembesaran

kelenjar tiroid berupa nodul padat, suara parau karena perluasan tumor pada

jaringan atau tekanan terhadap nervus laringeus rekuren, sakit menelan atau

disfagia karena tumor meluas ke esofagus, berat badan menurun dan fraktur

patologis (Wartofsky, 2006).

3. Invasi Lokal
Tumor dapat tumbuh secara langsung melalui kapsul tiroid untuk

menginvasi struktur di sekitarnya. Pertumbuhan ke trakea dapat terjadi,


memproduksi hemoptisis dan keterlibatan yang luas dapat menyebabkan

obstruksi jalan napas. Nervus Laringeus rekuren bisa terlibat karena

kedekatan mereka dalam alur trakeoesofageal. Pasien datang dengan serak,

suara desah dan kadang-kadang disfagia (Sharma, 2011).

4. Metastase
Berbeda dengan penyebaran kanker tiroid papiler, metastase dari

kanker tiroid folikuler ke kelenjar limfonodi servikalis jarang terjadi. Pada

kanker tiroid folikuler terjadi peningkatan secara signifikan dalam

bermetastase jauh (sekitar 20%). Paru-paru dan tulang adalah tempat yang

paling umum (Sharma, 2011).

5. Prognosis
Bentuk yang paling umum dari kanker tiroid dibedakan menjadi papiler

dan folikuler memiliki tingkat yang sangat tinggi mengalami kelangsungan

hidup jangka panjang (lebih dari 90 %), terutama ketika didiagnosis lebih

awal. Sementara prognosis bagi kebanyakan orang dengan kanker tiroid

berdifferensiasi baik, tingkat rekurensi bisa sampai 30%, dan rekurensi

dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah pengobatan awal. Pemeriksaan

rutin sangat dibutuhkan untuk mendeteksi apakah kanker telah terjadi

rekurensi atau tidak (Sharma, 2011). Berdasarkan penelitian Sharma, 2011,

kanker tiroid berdifferensiasi baik tipe folikuler mempunyai angka

kelangsungan hidup relatif 5 tahun untuk stadium I dan II mencapai 100%

sedangkan stadium III dan IV mencapai 71%.


2. 4. 4. Adenoma Sel Hürthle

Adenoma Sel Hürthle adalah tumor heterogen yang dapat muncul dengan

berbagai aspek klinis. Neoplasma ini berasal dari sel folikel dan terdiri dari sel

oncocytic, juga disebut oncocytes. Secara mikroskopis oncocytes ditandai dengan

sitoplasma granular berlimpah. Studi ultrastruktural telah menunjukkan bahwa

granular yang berlimpah ini disebabkan karena banyaknya mitokondria dalam

intrasitoplasmik sel. Sel adenoma Hürthle unilateral dapat diobati dengan

lobektomi/isthmusectomy (Wartofsky, 2006; Pasaribu, 2009).

1. Prognosis

Pasien dengan karsinoma sel Hürthle harus dimonitor kmungkinan

berulang dan metastasis. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun secara

keseluruhan adalah 50-60 %. Tumor ini tidak mengambil yodium dan tidak

sensitif terhadap TSH, penekanan tiroid dan terapi radioiodine memiliki nilai

yang sedikit. Terapi radiasi eksternal-beam dapat digunakan untuk mengobati

penyakit metastasis. Pembedahan adalah pengobatan utama (Sharma, 2011).

2. Stadium

Beberapa klasifikasi dan stadium sudah diajukan dalam pengobatan

kanker tiroid berdiferensiasi baik. Untuk keseragaman pada saat ini dipakai

sistim TNM. Lihat tabel 4.

2.5. Terapi

Terdapat beberapa terapi untuk seluruh pasien dengan kanker tiroid. Empat

jenis modalitas terapi pada umumnya digunakan yaitu:

1. Terapi Pembedahan
Pembedahan adalah pengobatan pilihan dari kanker tiroid papiler dan folikuler.

Sampai saat ini tingkatan operasi dalam hal kelenjar tiroid dan kelenjar getah

bening masih bervariasi dari pengobatan konservatif hingga pendekatan secara

radikal. Hasil histologi kanker dan penyebaran secara lokal maupun regional

menentukan jenis pembedahan utama kanker tiroid papiler dan folikuler (Paschke

et al., 2015).

Pembedahan pada kanker tiroid sampai saat ini masih diperdebatkan antara

penganut yang radikal dan lebih konservatif dengan berbagai argumentasi. Pada

golongan konservatif mengacu kepada beberapa faktor prognostik terutama pada

kanker tiroid berdeferensiasi baik, tindakan radikal dilakukan pada penderita

dengan risiko tinggi, tindakan operasi dapat berupa isthmolobektomi, tiroidektomi

mendekati total atau tiroidektomi total (Thomas et al., 2012; Gimm et al., 2001;

Pasaribu, 2006).

Pada kanker tiroid papiler, tiroidektomi total dianjurkan oleh beberapa ahli

bedah sebagai pengobatan pilihan, dengan alasan:

1. Kanker tiroid papiler sering multifokal (> 25 %).

2. Lesi kecil dapat tumbuh secara agresif dengan potensi dedifferentiation.

3. Rekurensi lokal meningkat bila dilakukan tiroidektomi mendekati total.

4. Seorang ahli bedah yang berpengalaman dapat melakukan tiroidektomi total

dengan komplikasi minimal atau tidak ada. Tiroidektomi dengan sisa

kelenjar tiroid berhubungan dengan morbiditas yang lebih tinggi.

5. Pengukuran thyroglobulin dapat dilakukan selama masa follow up.


6. Radioterapi dapat dilakukan untuk tujuan diagnostik dan terapi metastasis.

Ablasi sisa-sisa tiroid dengan radioiodine dapat menyebabkan rasa nyeri

(Gimm et al., 2001).

Tiroidektomi mendekati total dapat dilakukan dengan alasan berikut:

1. Sistem skoring memungkinkan untuk mengidentifikasi pasien low risk yang

memiliki survival rate 20 tahun sebesar 99 % dan disease free 20 tahun

yaitu >90%.

2. Risiko rendah (<1%) terjadinya konversi diferensiasi kanker tiroid menjadi

kanker tiroid undifferentiated (anaplastik).

3. Tidak ada perbedaan survival rate jika dibandingkan dengan tiroidektomi

total.

4. Kekambuhan lokal dapat dikelola dengan operasi ulang.

5. Pertumbuhan kanker tiroid rekuren pada lobus tiroid sisa jarang dilaporkan

dari hasil pemeriksaan mikroskopik.

6. Penurunan morbiditas setelah lobektomi atau tiroidektomi subtotal

dibandingkan dengan tiroidektomi total.

7. Jika perlu ablasi sisa tiroid dengan radioiodin dapat dicapai tanpa

morbiditas (Gimm et al.,2001).

Pada kanker tiroid folikuler, tiroidektomi total merupakan pengobatan pilihan

yang sudah diterima. Terjadinya metastasis secara hematogen lebih umum terjadi

dan tidak dapat diobati secara baik dengan terapi radioiodin jika masih ada sisa

tiroid. Metastasis kelenjar getah bening tampaknya jarang terjadi dibandingkan

dengan kanker tiroid papiler (Gimm et al., 2001).


Berbagai sistem penilaian prognosis telah diterbitkan, misalnya AGES,

AMES, DAMES, MACIS, pTNM, EORTC indeks prognostik yang berkaitan

dengan usia. Sayangnya, tidak satupun dari mereka digunakan secara luas, sehingga

membuat perbandingan prognostik menjadi sangat sulit (Gimm et al., 2001;

Paschke et al., 2015).

Pembedahan pada kelainan tiroid ada berbagai jenis, dapat berupa

isthmolobektomi, tiroidektomi mendekati total atau tiroidektomi total dengan

tujuan untuk mendapat terapi terbaik. Telah terjadi perubahan jenis tindakan

operasi akibat beberapa metoda diagnostik, biomolekuler dan ditemukan beberapa

prosedur prognostik pada kanker tiroid (Pasaribu, 2006; Paschke, et al., 2015)

1. Terapi radioiodine

Pilar kedua pengobatan untuk kanker tiroid berdiferensiasi baik, setelah

dilakukan operasi adalah radioaktif terapi yodium. Dalam konteks ini, yodium

radioaktif mengacu pada isotop I131, yang memancarkan radiasi beta dengan

penetrasi jaringan rata-rata kanker 1 mm, serta sebagai radiasi gamma dalam

penetrasi yang dapat digunakan untuk scintigraphy (Paschke et al., 2015).

Kanker tiroid berdiferensiasi baik umumnya mempertahankan kemampuan

untuk mengambil dan memperbaiki yodium ketika dirangsang oleh tiroid

stimulating hormon (TSH) pada konsentrasi di atas 30 mU/L. Ketika yodium

radioaktif diberikan, tumor menerima dosis radiasi yang tinggi, sedangkan

jaringan normal di sekitarnya sebagian besar terhindar. Dengan demikian,

bahkan tanpa lokalisasi yang tepat dari tumor dan potensi penyebarannya,
radioterapi dapat diberikan secara khusus untuk jaringan kanker (Paschke, et

al., 2015; Dietlein, et al., 2005).

Meskipun sebagian besar kanker tiroid dapat diangkat dengan

pembedahan, tetapi modalitas terapi tersebut memiliki beberapa kesulitan

karena adanya n. Laryngeus rekuren dan kelenjar paratiroid, yang berada pada

sekitar kelenjar tiroid. Konsekuensi dari pembedahan agresif justru

menimbulkan morbiditas yang signifikan, terkadang menyebabkan terjadinya

hypoparatiroidism atau paralisis dari n. Laringeus rekuren oleh karena itulah

tiroidektomi subtotal sering digunakan sebagai terapi standar. Sebaran jaringan

residual tiroid dapat menjadi jaringan normal tanpa ada tanda keganasan.

Laporan pertama mengenai terapi radioiodine dalam kasus metastasis kanker

tiroid adalah pada tahun 1945. Efikasi dari terapi radioiodin adalah berkaitan

langsung pada pengambilan tumor dan retensi (Parthasarathy et al., 2002).

2. Terapi Hormon

Terapi hormon menggunakan hormon-hormon untuk menghentikan

pertumbuhan sel kanker. Dalam melakukan terapi kanker tiroid, hormon dapat

digunakan untuk menghentikan tubuh membuat hormon yang dapat

meningkatkan pertumbuhan kanker. Hormon biasanya diberikan dalam bentuk

pil (Wartofsky, 2006).

Pada beberapa literatur dikatakan bahwa semua pasien dengan kanker

tiroid harus dilakukan terapi hormon setelah dilakukan tiroidektomi sebagai

koreksi surgically induced hypotiroidism dan untuk menekan pertumbuhan

yang terstimulasi dari kanker tiroid persisten maupun yang rekuren dengan
menurunkan kadar TSH. Hormon TSH memiliki fungsi utama dalam

mengkontrol pertumbuhan dan diferensiasi dari sel folikuler tiroid normal.

Hormon ini disekresi oleh kelenjar tiroid dan mengandung glikoprotein dari sub

unit alpha dan beta. Setelah berikatan dengan reseptor membran, TSH

menstimulasi proliferasi sel folikuler dan memiliki fungsi diferensiasi,

termasuk uptake iodine, sintesis thyroglobulin, dan produksi hormon tiroid.

Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) menstimulasi sekresi TSH,

meningkatkan hormon tiroid (thyroxine, T4) dan menurunkan sekresi TSH

sebagai mekanisme feedback pada level pituitari (Draeger, 2005; Wartofsky,

2006). Prinsip utama terapi hormon tiroid berdasarkan hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa proliferasi sel tiroid merupakan TSH dependent. Selain

itu, sekresi TSH dapat dihambat melaui terapi hormon tiroid pada semua pasien

kanker tiroid berdiferensiasi baik. Terapi hormon tiroid dapat menurunkan

sekresi TSH dan memiliki karakteristik khusus yang mampu mengekspresikan

diferensiasi sel folikuler. Sebelum menggunakan radioiodine, terapi hormon

tiroid harus dihentikan terlebih dahulu (rata-rata selama 4 minggu) dengan

tujuan untuk diagnosis dan terapi kanker tiroid. Uptake radioiodine, sintesis

tiroglobulin, dan sekresi hormon dari sel kanker itu sendiri dapat distimulasi

oleh peningkatan level TSH (Draeger, 2005).

Pilihan terapi hormonal pada kanker tiroid adalah levothyroxine (LT4).

Hormon LT4 adalah hormon utama yang diproduksi oleh kelenjar tiroid dan

dikonversi menjadi bentuk aktif dari hormon tiroid, yaitu triiodothyronine (T3),

terutama di liver. Mekanisme ini juga terjadi setelah administrasi secara oral
dari L-T4. Kadar serum T3 lebih stabil setelah administrasi dari L-T4 daripada

administrasi oral dengan menggunakan hormon T3 secara langsung. Beberapa

sumber menyebutkan bahwa terapi hormonal dengan T3 tidak diindikasikan

(Draeger, 2005).

Terapi hormonal (LT4) ini dilakukan seumur hidup, namun tergantung

pada status klinis pasien. Pada pasien yang sudah sembuh, terapi hormonal ini

lebih ditujukan untuk menjaga kadar hormon tiroid dalam kadar rendah tetapi

masih dalam batas yang dapat dideteksi atau sebagai subtitusi sedangkan pada

pasien dengan penyakit persisten atau rekuren, serta kanker tiroid dengan

metastase jauh berdeferensiasi baik tujuan pemberian levothyroxine (LT4)

adalah untuk menjaga supresi dari TSH sekaligus sebagai subtitusi dari TSH

untuk mencegah hipertiroid berlebihan, sehingga diperlukan dosis minimal.

Efek samping dari pemberian levothyroxine (LT4) ini minimal, baik efek pada

jantung maupun pada tulang. Meskipun demikian, L-T4 dapat memperburuk

beberapa keadaan (Draeger, 2005; Manuaba, 2010).

3. Kemoterapi

Penelitian terkait kemoterapi pada pasien kanker tiroid baik jenis well

differentiated maupun undifferentiated sangat terbatas. Hal ini dikarenakan

sebagian besar tumor berespon baik pada terapi pembedahan, terapi

radioiodine, atau external radioterapi. Cytotoxic drugs sering digunakan secara

khusus pada pasien dengan tumor yang tidak dapat direseksi, tidak berespon

pada I131, dan sudah diterapi namun tidak berespon dengan radioterapi external.

Sebagian besar pasien dengan metastasis jauh kehilangan kemampuan untuk


berespon pada I131 dan meninggal dalam 5 tahun. Kemoterapi pada kanker tiroid

berdiferensiasi baik seharusnya hanya dapat diberikan pada kasus metastasis

progresif dan refrakter pada terapi radioiodin. Hanya pada poorly differentiated

dan kanker anaplastik saja dapat dilakukan kemoterapi diikuti terapi

konvensional sebagai modalitas awal (Biersack et al., 2005).

Modalitas terapi dengan citotoxic drugs dibagi berdasarkan jenis

tumornya. Selain itu obat-obatan yang dipakai juga dibagi menjadi monoterapi

dan terapi kombinasi. Pada monoterapi biasa menggunakan doxorubicin,

bleomycin, atau cisplatin tergantung jenis tumornya. Sedangkan pada terapi

kombinasi dapat diberikan doxorubicin dan bleomicyn, doxorubicin dan

cisplatin, atau terapi kombinasi lainnya (Wartofsky, 2006).

2. 6. Prognosis

Prognosis kanker tiroid dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat

dikategorikan menjadi 2 kelompok, yakni berdasar karakteristik tumor dan berdasar

karakteristik pasien. Faktor tersebut antara lain:

2.6.1 Faktor tumor

1. Ukuran tumor

Papillary Thyroid Cancinoma yang ukurannya kurang dari 1 cm, yang

disebut sebagai microcancer, seringkali ditemukan secara tidak sengaja

selama pembedahan pada tumor tiroid jinak. Sementara pada tumor yang

tidak mengancam jiwa dan tidak membutuhkan pembedahan lebih jauh,

sebanyak 20% bersifat multifokal, dan 60% mengalami metastase ke

kelenjar limfe leher, beberapa diantaranya dapat diraba. Metastase paru


jarang terjadi, khususnya pada tumor multifokal dengan metastase cervical,

yang merupakan satu-satunya mikrokanker dengan angka morbiditas dan

mortalitas yang signifikan. Dengan pengecualian tadi, angka terjadinya

rekurensi dan mortalitas kanker tiroid hampir mendekati nol.

Pada DTC yang ukurannya lebih kecil dari 1,5 cm angka rekurensi

selama 30 tahun lebih rendah sepertiga kali daripada tumor yang ukurannya

lebih besar. Terdapat hubungan linear antara ukuran tumor dan rekurensi

kanker serta mortalitas baik pada kanker papiler maupun kanker folikuler.

Meskipun demikian keputusan terapi yang akan diambil terhadap pasien

dengan tumor ini sangat bervariasi (Biersack et al., 2005).

3. Jumlah Tumor

Sekitar 20% dari PTC yang ditemukan bersifat multisenter ketika

dilakukan pemeriksaan tiroid secara rutin dan sebanyak 80% ditemukan

tumor lebih dari satu jika dilakukan pemeriksaan tiroid dengan sangat teliti.

Adanya tumor multisenter tidak dapat diprediksi dari stratifikasi faktor

risiko klinis. Hal tersebut tidak dapat dipastikan sampai dilakukannya studi

klinis pada potongan histopatologis akhir dari semua kelenjar tiroid,

sehingga harus dilakukan eksisi pada lobus kontralateral dan ablasi pada

kelenjar yang masih tersisa pada sebagian besar kasus.

Diantara pasien yang menjalani tiroidektomi total pada DTC unilateral,

separuhnya memiliki tumor pada lobus kontralateral. Ketika tumor

multifokal muncul pada lobus kelenjar tiroid yang pertama kali dieksisi atau

ketika tumor muncul kembali setelah pembedahan, maka biasanya


ditemukan tumor multifokal bilateral. Pasien dengan tumor intratiroid

multipel memiliki angka insiden metastase nodul setidaknya dua kali lebih

besar daripada jenis lainnya dan tiga kali pada paru-paru serta metastase

jauh lainnya, dan lebih sering berkembang menjadi penyakit yang persisten

dibandingkan dengan tumor soliter. Angka mortalitas kanker tiroid selama

30 tahun pada pasien dengan tumor multipel dua kali lebih besar daripada

pasien dengan tumor soliter (Biersack, et al., 2005).

4. Invasi Tumor Lokal

Sebanyak 5-10% tumor tumbuh ke jaringan di sekitarnya secara

langsung, meningkatkan baik morbiditas maupun mortalitas. Invasi tumor

secara mikroskopis maupun makroskopis dapat terjadi pada PTC dan FTC,

yang meliputi otot leher, pembuluh darah, n. Laringeus rekuren, laring,

faring, dan esofagus, atau mungkin tumor bisa mencapai korda spinalis dan

pleksus brachialis. Gejala yang muncul biasanya antara lain suara parau,

batuk, disfagia, hemoptisis dan penyempitan jalan napas atau gangguan

fungsi neurologis. Penyebaran tumor ekstratiroid biasanya pada KGB

sekitar dan metastase jauh (Biersack et al., 2005)

5. Metastasis regional

Metastasis PTC pada limfonodi terjadi lebih sering pada tempat-tempat

yang tidak diprediksi. Pada satu penelitian, 60% pasien dengan PTC yang

mengalami metastase limfonodi cervical, sepertiganya bilateral dan hampir

25% didapatkan di daerah paratrakea kontralateral. Mikrometastase pada

limfonodi cervicalis sering ditemukan ditempat-tempat yang tidak


berhubungan dengan tempat tumor tiroid, khususnya pada pasien dengan

mikrokanker. Metastase KGB dapat diidentifikasi dengan cara mendeteksi

KGB sentinel menggunakan pewarna biru isosulfan atau penanda lainnya

selama pembedahan. Melakukan pemeriksaan USG leher dengan teliti

sebelum pembedahan juga sangat membantu. Pada satu penelitian, sebagai

contoh USG pre-operatif dapat mendeteksi metastase pada KGB atau

jaringan lunak di daerah kompartemen leher yang tidak diketahui saat

pemeriksaan fisik pada 40% pasien, hal tersebut berpengaruh terhadap

prosedur pembedahan yang akan dilakukan. Sementara beberapa orang

percaya bahwa metastase KGB kurang berperan terhadap prognosis, tetapi

sebagian besar metastase KGB berperan penting dalam mempengaruhi

hasilnya. Sebuah penelitian menemukan bahwa adanya metastase pada

KGB meningkatkan kejadian metastase jauh sebanyak lebih dari 11 kali.

Metastase KGB cervical, khususnya bilateral dan letaknya di daerah

mediastinum, merupakan faktor risiko tersendiri untuk terjadinya rekurensi,

metastase jauh, dan angka harapan hidup (Biersack et al, 2005).

6. Metastasis Jauh

Sekitar 10% pasien dengan PTC dan 25% pasien dengan FTC

mengalami metastase jauh. Metastase jauh terjadi lebih sering pada HTC

dibandingkan PTC atau FTC dan pada usia lebih dari 40 tahun. Pada FTC

49% mengalami metastase ke paru-paru, 25% ke tulang, 15% ke tulang dan

paru-paru, dan 10% ke sistem saraf pusat atau jaringan lunak lain. Hasil

tersebut terutama dipengaruhi oleh usia pasien, tempat metastase tumor dan
kemampuan tumor berinvasi, sekitar setengahnya meninggal dalam 5 tahun

dengan histopatologi tumor jenis apapun. Angka survival rate pasien

dengan metastase jauh sekitar 35% pada 5 tahun pertama, 38% pada 10

tahun berikutnya, dan 30% pada 15 tahun kemudian (Biersack et al., 2005).

2.6.2 Faktor pasien

1. Usia Pasien

Setiap penelitian menunjukkan bahwa usia pasien saat terdiagnosa

merupakan faktor sangat penting dalam menentukan prognosis dan kanker

tiroid lebih mematikan pada usia 40 tahun atau lebih. Risiko kematian dari

keganasan meningkat dengan bertambahnya dekade dari usia seseorang,

secara dramatis akan meningkat tajam setelah usia 60 tahun. Pola dari

rekurensi tumor cukup berbeda satu sama lain. Angka rekurensi tertinggi

(40%) pada usia ekstrim, yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 60 tahun.

Pada anak-anak umumnya terjadi penyakit yang lebih lanjut daripada

dewasa dan memiliki rekurensi tumor yang lebih sering setelah terapi, tetapi

prognosis ketahanan hidup mereka baik (Biersack et al., 2005).

2. Jenis Kelamin

Survival rate kanker tiroid pada pria dua kali lebih tinggi daripada

wanita. Pria dengan kanker tiroid harus diberi perhatian khusus, terutama

pada usia lebih dari 50 tahun dimana sebagian besar terjadi tumor stadium

lanjut (Biersack et al, 2005).


2.7. Kualitas Hidup

2.7.1. Definisi

Kualitas umumnya didefinisikan sebagai nilai dari kebaikan. Kualitas hidup

kemudian dijelaskan sebagai kebaikan dari kehidupan, dalam kaitannya dengan

kesehatan, kualitas hidup adalah kebaikan dari aspek-aspek kehidupan yang

dipengaruhi oleh kesehatan. Kualitas hidup didefinisikan dalam makro yaitu

masyarakat dan obyektif dan mikro yaitu individu dan subyektif. Pengertian ini

mencakup pendapatan, perumahan, pendidikan, hidup lainnya, lingkungan sekitar,

persepsi individu, pengalaman individu dan nilai (Bowling, 2005).

Kualitas hidup menjadi ukuran standart kesehatan terutama untuk beberapa

orang dengan penyakit kronis, fungsional, psikologis dan penyakit yang tidak bisa

disembuhkan (Preedy & Watson, 2010).

WHO mendefinisikan secara umum Quality of Life as individual’s perception

of their position in life in the context of the culture and value systems in which they

live and in relation to their goals, expectations, standards and concerns. Artinya,

kualitas hidup sebagai persepsi individu dari posisi mereka dalam kehidupan dalam

konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dan kaitannya dengan tujuan,

harapan, standart dan kekhawatiran hidup. Hal ini merupakan konsep luas yang

mencakup kesehatan fisik seseorang secara kompleks, keadaan psikologis, tingkat

kebebasan, hubungan sosial, keyakinan pribadi dan hubungan manusia dengan

lingkungannya (World Health Organization, 2010).


Kualitas hidup didefinisikan kepuasan dalam berbagai aspek kehidupan.

Kualitas hidup didefiniskan sebagai multi dimensi yang menggabungkan konsep

fisik, kognitif dan fungsi emosional dan sosial (Preedy & Watson, 2010).

Aristoteles menyatakan bahwa kualitas hidup adalah produk bersih dari

kebahagiaan. Kebahagiaan didefinisikan sebagai milik diri sendiri. Kualitas hidup

adalah produk interaksi antara kepribadian individu yang terjadi terus menerus

dalam episode peristiwa kehidupan. Peristiwa yang terjadi dalam kehidupan

memiliki dimensi-dimensi tertentu, yaitu: kebebasan, pengetahuan, ekonomi,

kesehatan, keamanan, hubungan sosial, spiritualitas, lingkungan dan rekreasi

(Ferris, 2010).

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup

adalah persepsi individu mengenai keadaan dirinya pada aspek fisik, psikologis,

social dan lingkungan untuk mencapai kepuasan dalam hidupnya. Kualitas hidup

yang berhubungan dengan kesehatan (Health-related Quality of Life, HRQOL)

meliputi persepsi pasien mengenai penyakit yang diderita serta terapinya terhadap

fungsi individu pasien dalam berbagai aspek kehidupan mencakup fisik dan

psikologis (Varni et al., 2005).

Penilaian kualitas hidup memiliki berbagai manfaat, antara lain dapat

membandingkan manfaat dari berbagai pilihan terapi atau intervensi klinis, serta

sebagai data untuk penelitian klinis. Pengetahuan mengenai nilai kualitas hidup

juga dapat membantu dalam skrining penyulit tertentu pada pasien-pasien yang

memerlukan tindakan medis maupun konseling.


Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker tiroid post

Tiroidektomi total :

1. Usia

Rubic et al., 2014 dalam penelitiannya didapatkan pada kelompok

usia tidak didapatkan perbedaan yang signifikan. Aschebrook-Kilfoy et

al., 2015 dalam penelitiannya menemukan bahwa orang tua secara

konsisten dilaporkan memiliki kualitas hidup total yang lebih tinggi dan

nilai rata-rata yang lebih tinggi signifikan secara statistik pada domain

kesehatan fisik, psikologis, sosial dan spiritual dibandingkan orang

muda. Hee dan Smi, 2013 dalam penelitianya didapatkan kesehatan

secara umum dan kualitas hidup secara signifikan lebih baik untuk

kelompok usia yang lebih muda.

2. Jenis Kelamin

Rubic et al., 2014 dalam penelitiannya didapatkan jenis kelamin

laki-laki memiliki rata-rata kualitas hidup lebih baik dari pada

perempuan. Aschebrook-Kilfoy et al., 2015 dalam penelitiannya

didapatkan jenis kelamin perempuan merupakan faktor yang sangat

mempengaruhi penurunan kualitas hidup. Perempuan dilaporkan

memiliki skor total kualitas hidup secara signifikan lebih rendah dan juga

dilaporkan memiliki skor kualitas hidup lebih rendah (fisik, psikologis,

sosial dan spiritual) dibandingkan dengan laki-laki. Dagan, 2004 dalam

penelitiannya didapatkan perempuan memiliki kualitas hidup secara

signifikan lebih rendah daripada laki-laki dengan terapi penggantian


hormon yang adekuat. Ratki, 2016 dalam penelitiannya didapatkan

perbedaan yang mencolok dimana jenis kelamin perempuan memiliki

skor kualitas hidup yang lebih tinggi dalam domain fungsional.

Perbedaan ini dapat dijelaskan oleh adanya perbedaan budaya serta

ketidaksetaraan peran dan karakteristik sosial perempuan antara negara-

negara maju dan berkembang.

3. Tingkat Pendidikan

Rubic et al., 2014 dalam penelitiannya menemukan perbedaan

signifikan pada kelompok tingkat pendidikan dimana pasien dengan

tingkat pendidikan lebih tinggi mempunyai rata-rata kualitas hidup yang

lebih tinggi. Aschebrook-Kilfoy et al., 2015 dalam penelitiannya menye-

butkan bahwa tingkat pendidikan yang lebih rendah merupakan faktor

yang sangat mempengaruhi penurunan kualitas hidup. Ratki et al., 2016

dalam penelitiannya didapatkan kesehatan global dan kualitas hidup serta

domain fungsional yang lebih baik pada pendidikan lebih tinggi.

Penelitian oleh Tan et al., 2007 melaporkan bahwa semakin tinggi

tingkat pendidikan pasien kanker tiroid berhubungan dengan skor Mental

Health yang lebih baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengertian

yang lebih baik terhadap penyakit dan pengobatannya, sehingga

menurunkan kecemasan dan depresi dan meningkatkan kemampuan

untuk menerima dan menurunkan dampak psikologis dari penyakit

tersebut. Sebaliknya, skor Mental Health yang rendah mungkin

disebabkan oleh perasaan tidak tertolong akibat rendahnya pengetahuan


tentang penyakitnya. Petugas medis dapat mengarahkan pada pasien

dengan tingkat pendidikan rendah untuk mendapatkan konseling

tambahan mengenai penyakitnya dengan bahasa sederhana untuk

masyarakat awan dan menghindari istilah-istilah medis.

4. Status Pernikahan

Ratki et al., 2016 dalam penelitiannya didapatkan kesehatan global

dan kualitas hidup serta domain fungsional yang lebih baik pada pasien

lajang.

5. Penghasilan individu atau keluarga

Ratki et al., 2016 dalam penelitiannya didapatkan bahwa

pendapatan individu tidak mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker

tiroid paska tiroidektomi total.

6. Status Pekerjaan

Ratki et al., 2016 dalam penelitiannya didapatkan bahwa status

pekerjaan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam

mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker tiroid paska tiroidektomi

total. Tan et a.l, 2007 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pasien

yang berstatus bekerja memiliki skor Role Physical dan Role Emotional

yang lebih baik. Hal ini memperkuat pengaruh status pekerjaan terhadap

aspek physical dan emotional atau hal tersebut menunjukkan bahwa

pasien yang bekerja lebih sedikit terpengaruh oleh penyakitnya sehingga

masih bisa melanjutkan pekerjaan. Kembali bekerja sesegera mungkin

merupakan tujuan dari perawatan pasien ini.


7. Kadar TSH

Rubic et al., 2014 dalam penelitiannya didapatkan bahwa kadar

TSH tidak mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker tiroid paska

tiroidektomi total. Lee et al., 2010 dalam penelitiannya menyebutkan

bahwa kadar TSH tidak mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker

tiroid paska tiroidektomi total. Dalam penelitian Tan et al., 2007

melaporkan bahwa pasien kanker tiroid berdifferensiasi baik (DTC) yang

menjalani pengobatan supresi hormon TSH menunjukkan skor 65,0 pada

indikator Mental Health dibandingkan dengan skor 72,4 pada populasi

umum untuk usoa 51 sampai 60 tahun. Juga didapatkan prevalensi

kecemasan sebesar 44% pada pasien dengan hipotiroid dan eutiroid, yang

jauh lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Peneliti

menyimpulkan bahwa kecemasan merupakan fakter yang independen

dan harus dipertimbangkan secara khusus dalam penatalaksanaan pasien

tiroid.

8. Interval waktu sejak diagnosis.

Aschebrook-Kilfoy et al., 2015 dalam penelitiannya menemukan

adanya tren penurunan QoL dalam 5 tahun pertama diagnosis. Setelah 5

tahun QoL bertahan kemudian secara bertahap meningkatkan dari waktu ke

waktu. Ketidakstabilan QoL dalam 5 tahun pertama jelas pada pria dan

wanita.

9. Jenis Histopatologi
Aschebrook-Kilfoy et al., 2015 dalam penelitiannya menemukan

bahwa jenis histopatologi tumor tidak tidak secara signifikan

mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan kanker tiroid.

2.8 Instrumen Penilaian Kualitas Hidup Pasien Kanker

Beberapa instrumen telah dikembangkan untuk menilai kualitas hidup pada

pasien kanker dalam beberapa dekade. Kombinasi instrumen generik dan penyakit

khusus telah diterapkan untuk menentukan kualitas hidup pada pasien dengan

multipatologi. European Organization for Research and Treatment of Cancer

Quality of Life Core Questionnaire (EORTC QLQ-C30) telah digunakan dalam

lebih dari 3000 studi internasional sebagai kuesioner generik pada pasien kanker.

Kuesioner ini telah diterjemahkan dan divalidasi ke lebih dari 50 bahasa. EORTC

QLQ-C30 dan Medical Outcomes Study Short Form 36 (SF-36) memiliki lima

domain kesamaan yaitu fungsi fisik, kesehatan mental/fungsi emosional, fungsi

sosial, vitalitas/fatigue dan nyeri. Studi sebelumnya pada nyeri non-malignan

menggunakan kuesioner ini dan menunjukkan bahwa kedua kuesioner memiliki

karakteristik psikometrik yang dapat diterima. Informasi tentang kualitas hidup

pasien kanker dalam populasi di Indonesia tidak memadai. Publikasi di bidang ini

berfokus pada anak-anak. Sebuah studi tentang kualitas hidup kesehatan pada anak-

anak dengan leukemia limfoblastik akut menyarankan bahwa pasien dan

keluarganya harus didukung oleh perawatan psikososial selama perawatan kanker.

Perawatan psikososial selama intervensi kanker bisa meningkatkan kualitas hidup

pasien sehingga bidang penelitian kualitas hidup perlu dikembangkan di Indonesia

agar perawatan suportif yang lebih baik selama intervensi kanker dapat diberikan.
Terbatas penelitian pada kualitas hidup di Indonesia ini dikaitkan dengan tidak

tersedianya kuesioner yang tervalidasi dalam versi Indonesia (Perwitasari et al.,

2011).

European Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life

Questionnaire Core 30 (EORTC QLQ-C30) versi 3.0 digunakan untuk menilai

QoL dalam penelitian kami. EORTC QLQ-C30 adalah kuesioner 30 item khusus

kanker. Instrumen ini berisi lima domain fungsional (fisik, sosial, peran, kognitif

dan emosional), sembilan skala gejala (kelelahan, mual & muntah, dyspnea,

insomnia, kehilangan nafsu makan, sembelit, diare dan kesulitan keuangan) dan

kesehatan global dan skala QoL. Semua tanggapan dalam kuesioner ini

dikelompokkan dalam empat tingkat, dari "tidak sama sekali" untuk "sangat

banyak" kecuali untuk dua item kesehatan global dan kualitas hidup yang

diklasifikasikan dengan tujuh poin dari "sangat buruk" ke "sangat bagus". Skor

sumatif disajikan sebagai 0 sampai 100. Meskipun skor yang lebih tinggi pada

domain fungsional, kesehatan global dan kualitas hidup sesuai dengan kualitas

hidup yang lebih baik, sedangkan skala gejala lebih tinggi berarti QoL yang lebih

buruk. Instrumen EORTC QLQ-C30 (versi 3.0) sudah tervalidasi dalam bahasa

Indonesia dan diterapkan dalam studi kami dengan menggunakan unit QoL izin

EORTC.

Perwitasari dalam penelitiannya berjudul “Translation and Validation of

EORTC QLQ-C30 into Indonesian Version for Cancer Patients in Indonesia” telah

berhasil memvalidasi dan menterjemahkan kuisioner EORTC QLQ-C30 dan dapat

digunakan untuk menilai kualitas hidup pada pasien kanker di Indonesia dalam
perawatan tinggi-emetogenic (kapasitas untuk menginduksi emesis). Alat yang

akan digunakan untuk mengukur kualitas hidup yang berhubungan dengan

kesehatan adalah EORTC QLQ-C30. Kuisioner ini terdiri dari 30 pertanyaan,

mencakup lima skala fungsi (fungsi fisik, fungsi sosial, fungsi peran, fungsi

emosional, dan fungsi kognitif), skala untuk kualitas hidup global dan sembilan

skala gejala (kelelahan, mual/muntah, sakit, dyspnea, gangguan tidur, hilangnya

nafsu makan, sembelit, diare, dan kesulitan keuangan). QLQ-C30 dikembangkan

secara khusus untuk pasien kanker dan secara luas digunakan dalam bidang studi

dan uji klinis seluruh dunia. Sosiodemografi dan parameter medis termasuk usia,

jenis kelamin, tahap penyakit, dan jenis kanker tiroid dikumpulkan dari catatan

medis. (Perwitasari et al., 2011)

Prinsip umum perhitungan skor QLQ-C30 terdiri dari penghitungan skala multi-

item dan single-item. Kuisioner ini meliputi lima skala fungsional, tiga skala gejala,

skala status kesehatan global/QoL, dan enam single-item. Masing-masing skala multi-

item mencakup kumpulan item yang tidak terdapat dalam skala lain. Semua skala multi-

item dan single-item berkisar dari skor 0 hingga 100. Skor tinggi skala mewakili tingkat

respon yang lebih tinggi. Dengan demikian nilai tinggi pada skala fungsional berarti

tingkat atau level fungsi yang tinggi atau sehat, skor tinggi untuk status kesehatan

global/QoL berarti kualitas hidup yang tinggi, tetapi skor tinggi untuk skala gejala

berarti tingkat gejala atau masalah yang tinggi juga. Prinsip untuk menghitung skala

ini adalah sama di semua kasus sebagai berikut:

1. Nilai rata-rata item yang berkontribusi pada skala, hal ini disebut Skor mentah

(raw score).
2. Dengan menggunakan transformasi linear untuk menstandarisasi skor mentah,

sehingga nilai berkisar dari 0 hingga 100.

Untuk semua skor, skor mentah (raw score) adalah rata-rata dari penjumlahan

semua item. Dengan rumus (lihat tabel 5):

Raw Score : (I1 + I2 + I3 + I4 + … + In)/n

Untuk skala fungsi rumusnya :

Score : 1 - (1-RS) X 100

Range

Untuk skala gejala dan status kesehatan global/QoL rumusnya :

((RS-1)/Range)x100

Anda mungkin juga menyukai