Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

II.1 Latar belakang


Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik,
farmakokinetik dan dari segi farmakologi & toksikologinya. Farmakologi
sebagai ilmu yang berbeda dari ilmu lain secara umum pada keterkaitannya
yang erat dengan ilmu dasar maupun ilmu klinik sangat sulit mengerti
farmakologi tanpa pengetahuan tentang fisiologi tubuh, biokimia, dan ilmu
kedokteran klinik. Jadi, farmakologi adalah ilmu yang mengintegrasikan
ilmu kedokteran dasar dan menjembatani ilmu praklinik dan klinik.
Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi yaitu, ilmu cara
membuat, menformulasi, menyimpan dan menyediakan obat.
Toksikologi berkembang luas ke bidang kimia, kedokteran hewan,
kedokteran dasar klinik, pertanian, perikanan, industri, etimologi hukum dan
lingkungan. Perkembangan ini memungkinkan terjadinya reaksi dalam
tubuh dalam jumlah yang kecil. Beberapa macam keracunan telah diketahui
terjadi berdasarkan kelainan genetik, gejala keracunan dan tindakan untuk
mengatasinya berbeda-beda.
Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah
berjalan sejak puluhan tahun lalu. Agar mengetahui bagaimana cara kita
sebagai mahasiswa maupun sebagai seorang peneliti dalam hal ini
mengetahui tentang kemampuan obat pada seluruh aspeknya yang
berhubungan dengan efek toksiknya maupun efek sampingnya tentunya kita
membutuhkan hewan uji atau hewan percobaan. Hewan coba adalah hewan
yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologis.
Hewan laboratorium tersebut di gunakan sebagai uji praktek untuk
penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Beberapa jenis

1
hewan yang sering dipakai dalam penelitian maupun praktek yaitu :
Kelinci (Oryctolagus cuniculus) Marmut (Cavia parcellus), Mencit (Mus
musculus), Tikus (Rattus novergicus). Pada praktikum kali ini kami
melakukan penanganan hewan coba pada mencit (Mus musculus).

II.2 Tujuan Praktikum


1. Mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian
obat.
2. Mengevaluasi efek yang timbul akibat pemberian obat yang sama melalui
rute yang berbeda.
3. Dapat menyatakan beberapa konsentrasi praktis dari pengaruh rute
pemberian obat terhadap efeknya.
4. Mengenal manifestasi berbagai obat yang diberikan.

II.3 Manfaat Praktikum


1. Mampu mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute
pemberian obat.
2. Mampu mengevaluasi efek yang timbul akibat pemberian obat yang sama
melalui rute yang berbeda.
3. Mampu menyatakan beberapa konsentrasi praktis dari pengaruh rute
pemberian obat terhadap efeknya.
4. Mampu mengenal manifestasi berbagai obat yang diberikan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Hewan mencit atau Mus musculus adalah tikus rumah biasa termasuk ke
dalam ordo rodentia dan family Muridae. Mencit dewasa biasa memilliki berat
antara 25-40 gram dan mempunyai berbagai macam warna. Mayoritas mencit
laboratorium adalah strain albino yang mempunyai warna bulu putih dan mata
merah muda. Mencit merupakan hewan yang tidak mempunyai kelenjar keringat,
jantung terdiri dari empat ruang dengan dinding atrium yang tipis dan dinding
ventrikel yang lebih tebal.
Percobaan dalam menangani hewan yang akan diuji cenderung memiliki
karakteristik yang berbeda, seperti mencit lebih penakut dan fotofobik, cenderung
sembunyi dan berkumpul dengan sesama, mudah ditangani, lebih aktif pada
malam hari (nocturnal), aktifitas terganggu dengan adanya manusia, suhu normal
37,4°C, laju respirasi 163/menit sedangkan pada hewan tikus sangat cerdas,
mudah ditangani, tidak bersifat fotofobik, lebih resisten terhadap infeksi,
kecenderungan berkumpul dengan sesama sangat kurang atau diperlakukan secara
kasar akan menjadi liar dan galak, suhu normal 37,5°C, laju respirasi 210/menit
pada mencit dan tikus persamaannya gigi seri pada keduanya sering digunakan
untuk mengerat/menggigit benda-benda yang keras. Dengan mengetahui sifat-sifat
karakteristik hewan yang akan diuji diharapkan lebih menyesuaikan dan tidak
diperlakukan tidak wajar. Didalam suatu dosis yang dipakai untuk penggunaan
suatu obat harus sesuai dengan data mengenai penggunaan dosis secara
kuantitatif, dikarenakan bila obat itu diaplikasikan kepada manusia dilakukan
perbandingan luas permukaan tubuh.
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang
kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai
model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu,
antara lain persyaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam

3
pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta
mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia. Cara
memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui.
Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan
ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya.
Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun
rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya (Katzug,
B.G, 1989).
Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis
anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh
karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda, enzim-enzim
dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal
tersebut menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya
dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzug,
B.G, 1989).
Rute pemberian obat, dapat diberikan secara peroral, subkutan,
intramuscular, intravena dan intraperitonial. Rute peroral dapat diberikan dengan
mencampurkan obat bersama makanan, bisa pula dengan jarum khusus ukuran 20
dan panjang kira-kira 5cm untuk memasukkan senyawa langsung ke dalam
lambung melalui esophagus, jarum ini ujungnya bulat dan berlubang ke samping.
Rute subkutan paling mudah dilakukan pada mencit. Obat obat dapat diberikan
kepada mencit dengan jarum yang panjangnya 0,5-1,0 cm dengan ukuran 22-24
(22-24 gauge). Obat bisa disuntikkan dibawah kulit di daerah punggung atau
didaerah perut. Kekurangan dari rute ini adalah obat harus dapat larut dalam
cairan hingga dapat disuntikkan. Rute pemberian obat secara intramuscular lebih
sulit karena otot mencit sangat kecil, obat bisa disuntikkan ke otot paha bagian
belakang dengan jarum panjang 0,5-2,0 cm dengan ukuran 24 gauge, suntikkan
tidak boleh terlalu dalam agar tidak terkena pembuluh darah. Rute pemberian obat
secara intravena haruslah dalam keadaan mencit tidak dapat bergerak ini dapat

4
dilakukan dengan mencit dimasukkan ke dalam tabung plastik cukup besar agar
mencit tidak dapat berputar ke belakang dan supaya ekornya keluar dari tabung,
jarum yang digunakan berukuran 28 gauge dengan panjang 0,5cm dan disuntikkan
pada vena lateralis ekor, cara ini tidak dapat dilakukan karena ada kulit mencit
yang berpigmen jadi venanya kecil dan sukar dilihat walaupun mencit berwarna
putih. Cara intraperitoneal hampir sama dengan IM, suntikkan dilakukan di daerah
abdomen diantara cartilage xiphoidea dan symphysis pubis.
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya
serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah
seperti berikut:
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-
macam rute
g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya


obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan
efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau
sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui
peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat
misalnya salep (Anief, 1990). Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan
c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.

Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:


a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung,
telinga

5
b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran
kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan
atau larut dalam cairan badan

Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular,
subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-
beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri,
intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung
masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara
pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui
kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan
akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan
(Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan ialah


faktor internal dan faktor eksternal, adapun faktor internal yang dapat
mempengaruhi hasil percobaan meliputi variasi biologik (usia, jenis kelamin)
pada usia hewan semakin muda maka semakin cepat reaksi yang ditimbulkan, ras
dan sifat genetic, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh, luas permukaan tubuh.
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan meliputi suplai
oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing
atau baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat keadaan ruangan tempat
hidup seperti suhu, kelembaban, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan
hewan), pemeliharaan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ
untuk percobaan.

6
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai
adalah:

1. Cara/bentuk sediaan parenteral antara lain :


a. Intravena (IV) Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
“onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang
menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus
kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (T1/2) pendek (Joenoes, 2002).
b. Intramuskular (IM) “Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air
yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan
juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan
obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi:
semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi. (Joenoes, 2002).
c. Subkutan (SC) “Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi,
determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana
terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga
difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan
hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks
jaringan. (Joenoes, 2002).
d. Intraperitoneal (IP) tidak dilakukan pada manusia karena berbahaya
(Anonim, 1995).

2. Cara pemberian obat peroral


Merupakan pemberian obat paling umum dilakukan karena relatif mudah
dan praktis serta murah. Kerugiannya adalah banyak faktor dapat
mempengaruhi bioavaibilitasnya (faktor obat, faktor penderita, interaksi dalam
absorpsi disaluran cerna) (Ansel, 1989).

7
BAB III

METODELOGI

III.1. Alat dan Bahan


a. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
1. Jarum berujung tumpul (untuk peroral)
2. Spuit injeksi dan jarum
3. Sarung tangan
b. Bahan yang dignakna dalam praktikum ini adalah:
1. Alkohol 70%
2. NaCl 0,9%
3. Tikus
4. Kapas

III.2. Cara Kerja


1. Mencit ditimbang dan diperhitungkan vplume sediaan NaCl 0,9% ynag
akan diberikan dengan volume 1 ml/200 gram BB tikus.
2. NaCl 0,9% diberkan kepada hewan uji dengan cara:
a. Peroral yaitu diberikan dengan alat suntik ynag dilengkapi dengan
jarum/kanula berujung tumpul/berbentuk bola. Jarum/kanula
dimasukkan kedalam mulut perlahan-lahan, diluncurkan melalui tipe
langit-langit kebelakang sampai esofagus.
b. Subcutan yaitu penyktkan dibawah kulit pada daerah leher.
c. Intravena yaitu penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Letakkan
hewan pada wadah tertutup sedemikian rupa sehingga mencit tidak
leluasa untuk bergerak-gerak dengan ekor menjulur keluar.
Hangatkan ekor dengan mencelupkan kedalam air hanget (40-50o C).
Pegang ujung ekor dengan satu dan suntik degan tanga yang lan.

8
d. Intraperitoneal yaitu penyuntikan dilakukan pada perut sebelah
kanan garis tengah, jangan terlalu tinggi agar tidak mengenai hati
dan kandung kemih. Hewan dipegang pada punggung sehingga kulit
abdomen mejadi tegang. Pada saat penyuntikn posisi kepala lebih
rendah dari abdomen. Suntikan jarum menembus kulit dan otot
masuk ke rogga peritoneal.
e. Intramuskular yaitu penyuntikan dilakukan pada otot gluteus
maximus atau bisep femoris ata semi tendinosus paha belakang.

9
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

VI.1 Hasil Pengamatan

Berat Badan
Mencit Rute Pemberian Dosis (mL)
(gram)
1. 115 Peroral 0,575

2. 115 Subcutan 0, 575

3. 115 Intravena 0, 575

4. 115 Intra peritoneal 0, 575

5. 100 Intramuskular 0,5

Perhitungan Dosis

1 mL
Rumus: Vp NaCl 0,9% = 200 g x BB Tikus (g)

1 mL
1. Tikus pertama : Vp NaCl 0,9% = 200 g x 115 g = 0,575 mL
1 mL
2. Tikus kedua : Vp NaCl 0,9% = 200 g x 115 g = 0,575 mL
1 mL
3. Tikus ketiga : Vp NaCl 0,9% = 200 g x 115 g = 0,575 mL
1 mL
4. Tikus keempat : Vp NaCl 0,9% = 200 g x 115 g = 0,575 mL
1 mL
5. Tikus kelima : Vp NaCl 0,9% = 200 g x 100 g = 0,5 mL

10
VI.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini mempelajari tentang pengaruh cara pemberian
obat terhadap absorbsi obat dalam tubuh. Pada dasarnya rute pemberian obat
menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk kedalam tubuh,
sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan
timbulnya efek yang merugikan. Dalam hal ini, alat uji yang digunakan
adalah tubuh hewan (uji in vivo). Mencit dipilih sebagai hewan uji karena
metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok
untuk dijadikan sebagai objek pengamatan.
Pada praktikum kali ini menggunakan lima ekor mencit. Masing-
masing mencit diberikan rute pemberian obat berbeda-beda. Banyaknya
volume obat yang akan diinjeksi utuk mencit tergantung dengan berat badan
mencit dengan menggunakan rumus Vp. Data yang dihasilkan untuk volume
injeksi mencit berdasarkan berat badan. Pemberian obat pada hewan uji
pada percobaan ini dilakukan melalui cara oral, intravena, subkutan,
intraperitoneal, dan intramuskular.
Pertama, dengan cara oral (pemberian obat melalui mulut masuk
kesaluran intestinal) digunakan jarum injeksi yang berujung tumpul agar
tidak membahayakan bagi hewan uji. Pemberian obat secara oral merupakan
cara pemberian obat yang umum dilakukan karena mudah, aman, dan
murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya sehingga waktu onset yang didapat cukup lama.
Sedangkan pemberian secara suntikan yaitu pemberian intravena, memiliki
keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan
dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka
kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan
langsung dengan respon penderita. Langkah yang dilakukan yaitu dengan
bantuan alat suntik yang dilengkapi jarum sonde. Dosis yang diberikan
sebanyak 0,575 mL kemudian jarum sonde tersebut dimasukkan ke dalam
mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan melalui langit-langit ke arah
belakang sampai esophagus kemudian masuk ke dalam lambung. Perlu

11
diperhatikan dalam cara pemberiannya. Jika keliru, cairan dapat keluar dari
hidung atau masuk ke dalam saluran pernafasan/paru-paru sehingga dapat
menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian. Sedangkan rute
pemberian yang cukup efektif adalah intra peritoneal (i.p.) karena
memberikan hasil kedua paling cepat setelah intravena. Namun suntikan i.p.
tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adhesi terlalu besar
(Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995).
Kedua, pemberian obat dilakukan dengan cara subkutan (cara injeksi
obat melalui tengkuk hewan uji tepatnya injeksi dilakukan dibawah kulit
pada daerah leher). Keuntungannya obat dapat diberikan dalam kondisi
sadar atau tidak sadar, sedangkan kerugiannya dalam pemberian obat perlu
prosedur steril, sakit, dapat terjadi iritasi lokal ditempat injeksi. Langkah
yang dilakukan yaitu dengan bantuan alat suntik yang dilengkapi jarum
suntik yang ujungnya runjing, hal ini dilakukan agar jarum suntik dapat
menembus kulit tikus. Dosis yang diberikan sebanyak 0,575 mL kemudian
tikus diinjeksi melalui kulit didaerah tengkuk dengan posisi tikus mengarah
ke bawah (tidak terbalik). Kemudian arah suntikan yang diberikan adalah
dari depan lalu tikus diinjeksikan dengan cepat agar tidak terjadi
pendarahan.
Ketiga, yaitu dengan cara intravena yaitu dengan menyuntikkan obat
pada daerah ekor (terdapat vena lateralis yang mudah dilihat dan dapat
membuat obat langsung masuk kepembuluh darah). Keuntungannya obat
cepat masuk dan bioavailabilitas 100%, sedangkan kerugiannya perlu
prosedur steril, sakit, dapat terjadi iritasi ditempat injeksi, resiko terjadi
kadar obat yang tinggi kalau diberikan terlalu cepat. Langkah yang
dilakukan yaitu penyuntikkan pada ekor tikus. Sebelum dilakukan
penyuntikkan, ekor tikus disterilkan dengan alkohol. Penyuntikkan di
lakukan pada pembuluh vena yang berada di ekor dengan dosis yang
diberikan sebanyak 0,575 mL.
Keempat dengan cara intraperitoneal (injeksi yang dilakukan pada
rongga perut sebelah kanan garis tengah), cara ini jarang digunakan karena

12
rentan menyebabkan infeksi. Keuntungan adalah obat yang disuntikkan
dalam rongga peritonium akan diabsorpsi cepat, sehingga reaksi obat akan
cepat terlihat. Langkah yang dilakukan yaitu dengan cara menyuntikkan
pada daerah abdomen. Kemudian, tikus dipegang dengan menjepit bagian
tekuk menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, dan ekornya dijepit diantara
jari manis dan kelingking kemudian diposisikan telentang, pada penyuntikan
posisi kepala lebih rendah dari abdomen dengan dosis yang diberikan
sebanyak 0,575 mL. Jarum disuntikkan dari abdomen yaitu, pada daerah
yang menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak terkena kandung
kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena penyuntikan pada
hati. Intraperitoneal (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya
(Anonim, 1995).
Kelima dengan cara intramusckular yaitu dengan menyuntikkan obat
pada daerah yang berotot seperti paha belakang. Keuntungan pemberian
obat dengan cara ini, absorpsi berlangsung dengan cepat, dapat diberikan
pada pasien sadar atau tidak sadar, sedangkan kerugiannya dalam
pemberiannya perlu prosedur steril, sakit, dapat terjadi iritasi ditempat
injeksi. Langkah yang dilakukan yaitu dengan cara menyuntikkan pada
pangkal paha bagian dalam dengan dosis yang diberikan sebanyak 0,5 mL.
Sebelum dilakukan penyuntikan, tikus dipegang dahulu dengan menjepit
bagian tekuk menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, dan ekornya dijepit
diantara jari manis dan kelingking. Pemegangan mencit harus benar agar
tikus tidak lepas atau lari saat disuntik. Kemudian untuk cara penyuntikan
posisi hewan harus terlentang dan kaki agak ditarik keluar agar paha bagian
dalam terlihat. Posisi jarum sejajar dengan tubuh/abdomen. Lalu suntikkan
pada otot paha bagian belakang. Penyuntikan tidak boleh terlalu dalam agar
tidak terkena pembuluh darah.
Pada percobaan yang kami lakukan, banyak terjadi kesalahan-
kesalahan sehingga efek yang dihasilkan tidak sesuai dengan literatur. Hal
ini dikarenakan cara penyuntikan yang salah dan pengambilan volume
injeksi obat yang tidak sesuai. Selain itu, disebabkan juga karena kami disini

13
belum begitu mahir dalam melakukan penyuntikan sehingga efek yang
dihasilkan tidak sesuai.

14
BAB V
PENUTUP

V.1. Kesimpulan
Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi yaitu,
ilmu cara membuat, menformulasi, menyimpan dan menyediakan obat.
Toksikologi berkembang luas ke bidang kimia, kedokteran hewan,
kedokteran dasar klinik, pertanian, perikanan, industri, etimologi hukum dan
lingkungan.
Pada praktikum kali ini menggunakan lima ekor mencit. Masing-
masing mencit diberikan rute pemberian obat berbeda-beda. Pemberian obat
pada hewan uji pada percobaan ini dilakukan melalui cara peroral,
intravena, subkutan, intraperitoneal, dan intramuskular.
Banyaknya volume obat yang akan diinjeksi utuk mencit tergantung
dengan berat badan mencit dengan menggunakan rumus Vp. Data yang
dihasilkan untuk volume injeksi mencit berdasarkan berat badan. Semakin
tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat.
Kesalahan dalam penyuntikan dapat menyebabkan ketidaktepatan dosis
yang diberikan kepada hewan uji, sehingga hasil yang diperoleh pun tidak
akurat.

V.2. Saran
Untuk praktikum selanjutnya sebaiknya praktikan harus lebih teliti
dan berhati-hati dalam memberikan injeksi pada hewan coba agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dan praktikan mampu memahami cara
kerja pada percobaan agar tidak terjadi kesalahan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Depkes RI : Jakarta
Ansel, Howard.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas
Indonesia Press : Jakarta
Katzung, Bertram G., 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika,
Jakarta.
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai
Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Siswandono dan Soekardjo, B, 1995, Kimia Medisinal, Airlangga Press, Surabaya
Tanu, Ian. (2007). Farmakologi dan Terapi, Edisi Kelima. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, Cetakan Pertama.
Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

16
LAMPIRAN

No. Gambar Keterangan

1. NaCl 0,9%

Jarum berujung tumpul


2.
(untuk peroral)

3. Kapas

Proses penimbangan tikus


4.
pertama

Proses penimbangan tikus


5.
kedua

Proses penimbangan tikus


6.
ketiga

17
Proses penimbangan tikus
7.
keempat

Proses penimbangan tikus


8.
kelima

9. Pemberian per oral

10. Pemberian subkutan

11. Pemberian intravena

12. Pemberian intraperitoneal

18
13. Pemberian intramuskular

19

Anda mungkin juga menyukai