Anda di halaman 1dari 45

Grand Case

FRAKTUR KRURIS

OLEH :
Carlo Prawira Azali 1740312113

PRESEPTOR:
Prof. Dr. dr. H. Menkher Manjas, SpB, SpOT, FICS.

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur merupakan cedera
yang sering terjadi pada kecelakaan baik itu kecelakaan kerja, rumah tangga,
maupun lalu lintas. Angka kecelakaan di Indonesia bisa dikatakan cukup tinggi.1,2
Pada penelitian sebelumnya di Indonesia, proporsi cedera patah tulang atau
amputasi paling tinggi terjadi karena kecelakaan lalu lintas.3 Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), kecelakaan lalu lintas menjadi pembunuh terbesar
ketiga di Indonesia setelah penyakit jantung koroner dan penyakit
tuberculosis/TBC.4 Namun, seringkali kejadian patah tulang tidak ditangani secara
cepat dan tepat sehingga kondisi korban kecelakaan pun menjadi semakin parah
dan bahkan fatal.1
Mobilitas yang tinggi disektor lalu lintas dan faktor kelalaian manusia
merupakan salah satu penyebab paling sering terjadinya kecelakaan yang dapat
menyebabkan fraktur. Penyebab yang lain adalah karena kecelakaan kerja, olah
raga dan rumah tangga.1
Berdasarkan penelitian di rumah sakit di Indonesia pada tahun 2013, jumlah
pasien yang mengalami fraktur terutama pada regio kruris yaitu sebanyak 11.357
laki–laki dan 8.319 perempuan.sedangkan insidennya pada laki-laki yaitu 152 per
100.000 pasien laki-laki dan 120 per 100.000 untuk pasien perempuan. Pada tahun
2014, insiden tertinggi dan faktor resiko yaitu pada usia 10–14 tahun untuk laki-
laki dan diatas 85 tahun untuk perempuan. Insiden fraktur di Indonesia pada usia
50 tahun keatas meningkat 81% dari tahun sebelumnya. 2
Tibia merupakan tulang panjang yang paling sering mengalami cedera.
Mempunyai permukaan subkutan yang paling panjang, sehingga paling sering
terjadi fraktur terbuka. Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua
tulang kaki dalam tingkat yang berbeda, daya angulasi menimbulkan fraktur
melintang atau oblik pendek, biasanya pada tingkat yang sama. Pada cedera tak
langsung, salah satu dari fragmen tulang dapat menembus kulit, cedera langsung

2
akan menembus atau merobek kulit di atas fraktur. Kalau kulit diatasnya masih
utuh, keadaan ini disebut fraktur tertutup. Kecelakaan sepeda motor adalah
penyebab yang paling lazim. Banyak diantara fraktur itu disebabkan oleh trauma
tumpul, dan resiko komplikasinya berkaitan langsung dengan luas dan tipe
kerusakan jaringan lunak.2
Fraktur tibia dan fibula adalah fraktur tulang panjang yang paling sering
terjadi. Insidens tahunan pada fraktur terbuka tulang panjang diperkirakan 11.5
per 100 000 orang, dengan 40% kasus terjadi pada ekstremitas bawah. Pada anak-
anak sering terjadi pada usia 9 bulan hingga 3 tahun yang dikenal sebagai fraktur
toddler, yaitu fraktur spiral pada distal os tibia. Predileksi paling sering terjadi
fraktur tulang panjang adalah di daerah diafisis tulang tibia. Daerah midshaft yang
terisolasi dan proksimal fibula jarang terjadi fraktur. Fraktur ini bisa sembuh jika
dideteksi dini dan ditangani secara cepat dan adekuat. Kehilangan tungkai dapat
terjadi apabila adanya cedera jaringan lunak, kerusakan neurovaskular, cedera
arteri poplitea, terjadinya sindroma kompartemen atau suatu infeksi seperti
gangren atau osteomelitis.2

1.2. Batasan Masalah


Makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,
pemeriksaan, temuan klinis dari kasus Fraktur Kruris yang didapatkan di bagian
Ilmu Bedah RSUP M. Djamil Padang.

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui definisi, epidemiologi,
etiologi, faktor risiko, pemeriksaan, temuan klinis dari kasus Fraktur Kruris yang
didapatkan di bagian Ilmu Bedah RSUP M. Djamil Padang

1.4. Metode Penulisan


Penulisan makalah ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan dan kasus
yang ditemukan

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kruris
Fasia kruris merupakan tempat perleketan muskulus dan bersatu dengan
perosteum. Ke proksimal akan melanjutkan diri ke fasia lata, dan akan melekat di
sekitar artikulasi genu ke Os. patella, ligamentum patella, tuberositas tibia dan
kapitulum fibula. Ke posterior membentuk fasia poplitea yang menutupi fossa
poplitea. Disini tersusun oleh serabut-serabut transversal yang ditembus oleh vena
safena parva. Fasia ini menerima serabut-serabut tendo M. biceps femoris
disebelah lateral dan tendo M. sartorius, M. gracilis, M. semitendinosus, dan
M.semimembranosus disebelah medial. Ke anterior, fascia ini bersatu dengan
perosteum tibia serta perosteum capitulum fibulae dan malleolus fibula. Ke distal,
fasia ini melanjutkan diri ke retinakulum Mm. extensorum superior dan
retinakulum Mm. flexorum. Fasia ini menjadi tebal dan kuat dibagian proximal
dan anterior cruris, untuk perlekatan M. tibialis anterior dan M. extensor
digitorum longus. Tetapi, fasia ini tipis dibagian posterior yang menutupi M.
gastrocnemius dan M. soleus. disisi lateral cruris, fascia ini membentuk septum
intermuskular anterior dan septum intermuskular posterior. Muskulus di regio
cruris dibedakan menjadi tiga kelompok. Yaitu (a) kelompok anterior, (b)
kelompok posterior dan (c) kelompok lateral.3,4,5
1). Musculus di region anterior
a. M. tibialis anterior.
b. M. extensor hallucis longus
c. M. extensor digitorum longus
2) Musculus regio cruris posterior kelompok superficialis
a. M. gastrocnemius
b. M. soleus
c. M. plantaris
3) Musculus regio cruris posterior kelompok profunda
a. M. popliteus
b. M. flexor hallucis longus

4
c. M. flexor digitorum longus
d. M. tibialis posterior
4) Musculus region cruris lateralis
a. M. peroneus longus
b. M. peroneus brevis
N. Iskiadikus merupakan saraf yang terbesar dalam tubuh manusia yang
mempersarafi kulit regio cruris dan pedis serta otot-otot di bagian dorsal regio
femoris, seluruh otot pada kruris dan pedis, serta seluruh persendian pada
extremitas inferior. Nervus ini berasal dari medulla spinalis L4-S3, berjalan
melalui foramen infra piriformis, berada di sebelah lateral N. kutaneus femoris
posterior, berjalan desenden di sebelah dorsal M. rotator triceps, di sebelah dorsal
terdapat M. quadratus femoris, di sebelah ventral terdapat kaput longum M. biceps
femoris selanjutnya berada di antara M. biceps femoris dan M. semimembranosus,
masuk ke dalam fossa popliteal. Lalu saraf ini bercabang dua menjadi N. tibialis
dan N. peroneus communis6

2.1.1 Anatomi Os Tibia


Os Tibia merupakan os longum, mempunyai corpus, ujung proximal dan
ujung distal berada di sisi medial dan anterior dari cruris. Pada posisi berdiri, tibia
meneruskan gaya berat badan menuju ke pedis. Ujung proximal lebar sehingga
membentuk gaya persendian dengan os femur yaitu kondilus medialis.7,8
Facies articularis ini dibagi menjadi dua bagian, dari anterior ke posterior,
oleh fossa intercondyloidea anterior, eminentia intercondyloidea dan fossa
intercondyloidea posterior. Fossa intercondyloidea anterior mempunyai bentuk
yang lebih besar daripada fossa intercondyloidea posterior. Tapi eminentia
intercondyloidea membentuk tuberculum intercondylare lateral. Facies articularis
dari kondilus medialis berbentuk oval, sedangkan facies articularis kondilus
lateralis hampir bundar. kondilus lateral lebih menonjol daripada kondilus
medialis.7,8
Corpus tibia mempunyai tiga buah permukaan, yaitu facies medialis, facies
lateralis, facies posterior. Mempunyai tiga buah tepi, yaitu margo anterior, margo
medialis, dan margo interosseus. Ujung distal tibia membentuk malleolus

5
medialis. Malleolus medialis mempunyai facies superior, anterior, posterior,
medial, lateral dan inferior. Pada facies posterior terdapat sulcus malleolaris,
dilalui oleh tendo m.tibialis posterior dan M. flexor dgitorum longus. Pada
permukaan lateral terdapat incisura fibularis yang membentuk persendian dengan
ujung distal fibula. Facies articularis inferior pada ujung distal tibia membentuk
persendian dengan facies anterior tali.7
Facies medialis datar, agak konveks, ditutupi langsung kulit dan dapat
dipalpasi secara keseluruhan. Facies lateralis berbentuk konkaf, ditempati oleh
serabut otot. Bagian distalnya menjadi konveks, berputar kearah ventral kemudian
melanjutkan diri menjadi bagian ventral ujung distal tibia. Facies posterior berada
di antara margo medialis dan margo interosseus. Pada bagian proximal terdapat
linea popliteal, suatu garis oblique dari facies articularis menuju ke margo
medialis. Pada facies inferior di permukaan dorsalnya terdapat facies articularis
yang disebut facies articularis fibularis. Di sebelah inferior dari kondilus tibia
terdapat tonjolan kearah anterior disebut tuberositas tibia. Di bagian distalnya
melekat ligamentum patella. 9

2.1.2 Anatomi Os Fibula


Merupakan tulang tungkai bawah yang terletak disebelah lateral dan
bentuknya lebih kecil sesuai os ulna pada tulang lengan bawah. Arti kata fibula
adalah kurus atau kecil. Tulang ini panjang, sangat kurus dan gambaran korpusnya
bervariasi diakibatkan oleh cetakan yang bervariasi dari kekuatan otot–otot yang
melekat pada tulang tersebut.7
Pada fibula bagian ujung bawah disebut malleolus lateralis. Disebelah bawah
kira–kira 0,5 cm disebelah bawah medialis, juga letaknya lebih posterior. Sisi–
sisinya mendatar, mempunyai permukaan anterior dan posterior yang sempit dan
permukaan–permukaan medialis dan lateralis yang lebih lebar. Permukaan
anterior menjadi tempat lekat dari ligamentum talofibularis anterior. Permukaan
lateralis terletak subkutan dan berbentuk sebagai penonjolan lubang. Pinggir
lateral alur tadi merupakan tempat lekat dari retinakulum. Permukaan sendi yang
berbentuk segi tiga pada permukaan medialis bersendi dengan os talus, persendian
ini merupakan sebagian dari sendi pergelangan kaki. Fosa malleolaris terletak

6
disebelah belakang permukaan sendi mempunyai banyak foramina vaskularis
dibagian atasnya. Pinggir inferior malleolus mempunyai apek yang menjorok
kebawah. Disebelah anterior dari apek terdapat sebuah insisura yang merupakan
tempat lekat dari ligamentum kalkaneofibularis.7,8

Gambar 1. Anatomi Os Tibia dan Os Fibula

2.2 Fraktur
2.2.1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang,
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan
jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot
dan persarafan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan

7
langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak
langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah
fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada
klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.10
Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa
trauma langsung, misalnya sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah yang
menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula.11
Fraktur kruris merupakan fraktur yang terjadi pada tibia dan fibula. Fraktur
tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
Maka fraktur kruris tertutup adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang
rawan sendi maupun tulang rawan epifisis yang terjadi pada tibia dan fibula yang
tidak berhubungan dengan dunia luar. Fraktur kruris merupakan fraktur yang
sering terjadi dibandingkan dengan fraktur pada tulang panjang lainnya.
Periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama pada daerah depan yang hanya
dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya fragmen frakturnya
bergeser karena berada langsung dibawah kulit sehingga sering juga ditemukan
fraktur terbuka. 10,11

2.2.2. Etiologi
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh12 :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan
fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.

8
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi
pada berbagai keadaan berikut12,13 :
a. Tumor Tulang (Jinak atau Ganas): pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat
dan sakit nyeri.
c. Rakhitis: suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya
disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan
kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara Spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran12

2.2.3. Klasifikasi Fraktur


A. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu14:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.

9
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit. Fraktur terbuka terbagi atas 3 derajat (menurut R.Gustilo),
yaitu15:
 Derajat I:
o Luka < 1cm,
o Kerusakan jaringan sedikit, tidak ada tanda luka remuk.
o Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau komunitif ringan.
o Kontaminasi minimal.
 Derajat II:
o Laserasi >1cm.
o kerusakan jaringan lunak. Tidak luas, falp/avulsi.
o Fraktur komunitif sedang.
o Kontaminasi sedang.
 Derajat III:
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur
derajat III terbagi atas:
a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas/falp/avulsi atau fraktur segmental yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya
ukuran luka.
b. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur yang terpapar atau
kontaminasi masif.
c. Luka pada pembuluh darah arteri utama yang harus diperbaiki
tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

10
Fraktur tertutup Fraktur terbuka
Gambar 2. Fraktur tertutup dan Fraktur Terbuka

B. Berdasarkan komplit atau ketidak-klomplitan fraktur15.


1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang.

Gambar 3. Tipe Fraktur Komplit & Incomplete


2). Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a. Hair Line Fraktur.
b. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c. Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

11
C. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.15
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.

Gambar 4. Tipe Fraktur berdasarkan bentuk garis patah

D. Berdasarkan jumlah garis patah15.


1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.

12
E. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang15.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

F. Berdasarkan posisi fraktur15:


1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal

2.2.4. Patofisiologi
Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagiankorteks,
sumsum tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) ciderapembuluh darah ini
merupakan keadaan derajat yang memerlukanpembedahan segera sebab dapat
menimbulkan syok hipovolemik.Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan
pembengkakan jaringansekitar daerah cidera yang apabila di tekan atau di gerakan
dapat timbulrasa nyeri yang hebat yang mengakibatkn syok neurogenik.16,17
Sedangkan kerusakan pada system persyarafan akan menimbulkan
kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralisis yang menetap pada fraktur juga
terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerahcidera. Sewaktu tulang
patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah, kedalam jaringan lemak
tulang tersebut, jaringan lunak jugabiasanya mengalami kerusakan.Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.18
Sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkanpeningkatan aliran
darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa -sisa sel mati di mulai.
Di tempat patah terdapat fibrin hematomafraktur dan berfungsi sebagai jala-jala
untuk membentukan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk

13
tulang baru imatur ygdisebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tuulang
baru mengalamiremodelling untuk membentuk tulang sejati.18

Gambar 5. Patofisiologi Fraktur


Pada kondisi fraktur fisiologis akan diikuti proses penyambungan.
Prosespenyambungan tulang menurut Apley (1995) dibagi dalam 5 fase19:
1. Fase hematoma
Pada fase haematoma terjadi selama 1-3 hari. Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan
fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah akan mati sepanjang satu atau
dua milimeter.
2. Fase proliferasi
Pada fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam
setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi di bawah
periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus ujung fragmen
dikelilingi jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang

14
membeku perlahan-lahan di absorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang
ke dalam daerah fraktur.
3. Fase pembentukan kalus
Pada fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang
berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik,
jika diberikan tindakan yang tepat sel itu akan membentuk tulang, cartilago
dan osteoklas. Masa tulang akan menjadi lebih tebal dengan adanya tulang dan
cartilago juga osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada
permukaan periosteal dan endosteal. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati
akan dibersihkan.
4. Fase konsolidasi
Pada fase konsolidasi terjadi 3 minggu hingga 6 bulan. Tulang fibrosa atau
anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoklastik masih
berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini
osteoklas tidak memungkinkan osteoklas untuk menerobos melalui reruntuhan
garis fraktur karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen
dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblast. Perlu beberapa bulan sebelum
tulang cukup untuk menumpu berat badan normal.
5. Fase remodeling
Pada fase remodeling terjadi selama 6 bulan hingga 1 tahun. Fraktur telah
dihubungkan oleh tulang yang padat, tulang yang padat tersebut akan
diresorbsi dan pembetukan tulang yang terus menerus lamelar akan menjadi
lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, dibentuk rongga
sumsum dan akhirnya akan memperoleh bentuk tulang seperti normalnya.
Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun.

15
Gambar 6.Proses penyembuhan tulang

2.2.5. Manifestasi Klinis


1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah
dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echimosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot involunters dekat fraktur
5. Tenderness/nyeri tekan
6. Nyeri yang disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Krepitasi.

2.2.6. Penegakkan Diagnosis


1. Anamnesis

16
Pada anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama yang dirasakan
pasien. Lalu menanyakan tentang Mechanism of Injurydari pasien tersebut
untuk menentukan perkiraan lokasi, tipe dan derajat keparahan fraktur.
Identitas pasien harus digali untuk mencari faktor resiko seperti usia, jenis
kelamin, dan pekerjaan atau aktivitas sehari- hari. Riwayat penyakit
dahulu penting ditanyakan terutama riwayat trauma untuk mencari apakah
ada trauma berulang, riwayat operasi sebelumnya, dan riwayat penyakit
yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka seperti diabetes mellitus dan
hipertensi15.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya15,16:
 Syok, anemia atau perdarahan.
 Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan
abdomen.
 Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis (penyakit
Paget).
Pada pemeriksaan fisik dilakukan15,16
 Look
o Deformitas: angulasi (medial, lateral, posterior atau anterior),
diskrepensi (rotasi,perpendekan atau perpanjangan)
o Bengkak atau kebiruan
o Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak).
o Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas,
tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh. Kalau kulit
robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu
terbuka (compound).
 Feel
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan
o Temperatur setempat yang meningkat
o Nyeri tekan; nyeri tekan yang superfisisal biasanya disebabkan

17
oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada
tulan
o Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati.
o Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri
pada kuku.
o Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang
memerlukan pembedahan.
 Move
o Nyeri bila digerakan
o Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada
sendinya.
o Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan
nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi Conventional (X-rays)
Tujuan utama pemeriksaan ini adalah untuk mendiagnosis adanya
frakturatau dislokasi meskipun jaringan lunak sekitarnya agak sulit
untuk dinilai. Fotorontgen juga penting untuk menilai posisi ujung
tulang sebelum dan sesudahterapi. Follow up ini dibutuhkan untuk
melihat penyatuan tulang dankomplikasi15,20.
Prinsip pemeriksaan Radiologi15:
 Penting untuk melakukan foto paling sedikit pada 2 bidang yaitu
pada posisi AP dan Lateral.
 Persendian di atas dan di bawah harus terlihat di dalam foto. Hal ini
digunakan untuk menilai adanya dislokasi yang terkait terutama
pada tulang-tulang yang berpasangan seperti tulang tibia dan fibula.
 Garis fraktur akan tampak lebih jelas kira-kira 2 minggu sesudah

18
cedera karena adanya resorpsi tulang. Pembentukan kalus juga
dapat terjadi. Oleh karena itu, pemeriksaan secara serial dibutuhkan
bila adanya fraktur secara klinis, tetapi tidak tampak segera sesudah
cedera.
 Foto perbandingan pada ekstremitas sisi berlawanan mungkin
dibutuhkan pada tulang rangka yang immmatur sebelum terjadi
penutupan epifisis. Hal ini akan membantu untuk memastikan
apakah suatu fragmen tulang tambahan/aksesoria, epifisis yang telah
menjadi tulang, namun tidak menyatu ataukah suatu fraktur.
 Pada daerah yang mengalami stress, berguna untuk menilai cedera
ligamentum, terutama di pergelangan kaki dan lutut. Foto ini
membantu dengan menekankan pada pelebaran sendi abnormal
yang disebabkan oleh kelemahan atau cedera pada ligamentum
penyokongnya.

Gambar 7.(kiri) Fraktur kominutif pada os tibia dengan fragmen


butterfly triangular (kanan) Fragmen dari fraktur, menunjukkan
fraktur kominutif
b. CT Scan
Lebih sensitif dan spesifik dari radiografi konvensional dalam
mendeteksi keseluruhan aspek fraktur, termasuk regio yang kompleks
seperti daerah muka, tulang belakang dan pelvis. Saat ini

19
perkembangan pencitraan CT dari potongan sagital dan coronal
sangat membantu dalam menegakkan diagnosis fraktur. Modalitas ini
biasanya digunakan untuk mengevaluasi depresi fragmen tulang pada
fraktur tibial pletau atau menentukan posisi fragmen pada fraktur
tibial plafond, talus dan calcaneus21.

Gambar 8. Fraktur plateau tibia. Gambaran CT menunjukkan adanya


fraktur pada aspek posterior dari lateral plateau tibia
c. MRI
Menunjukkan kondisi dan derajat keparahan sesuatu lesi termasuk
jaringan lunak seperti ligamen, tendon, kartilago dan otot. MRI juga
amat sensitif terhadap perubahan pada sumsum tulang. Pencitraan
dapat dilakukan dalam berbagai potongan tanpa menggerakkan
pasien. Umumnya lemak akan kelihatan sebagai sinyal tinggi (warna
cerah) pada T1 dan secara progressif akan bertukar menjadi gelap
pada T2. Cairan (edema) akan memberikan gambaran sinyal rendah
(warna gelap) pada T1 dan akan bertukar menjadi warna yang sangat
cerah pada T215.
d. USG
Mengevaluasi trauma muskuloskeletal terutama yang berhubungan
dengan trauma pada jaringan lunak. Resolusi yang tinggi dan
transduser elektronik yang susunannya secara linear akan memberikan
hasil yang baik pada struktur superficial. Evaluasi yang sering

20
dilakukan pada cedera tendon, tapi otot, ligamen dan beberapa fraktur
lain dapat terlihat. Tendon umumnya bisa dilihat pada potongan
longitudinal dan transversal, dengan transduser parallel atau
perpendicular pada tendon itu. Perbandingan USGdengan ekstremitas
yang normal akan membantu dalam menegakkan diagnosis15.
2.2.7. Tatalaksana
Pengelolaan penderita yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat
dan pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian. Pada penderita trauma,
waktu sangat penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah
dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai inisial assessment yang secara garis besar
terdiri dari primary survey dan secondary survey3.
a. Primary survey.
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan,
tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Tanda vital dinilai secara cepat dan
efisien16,21.
 Airway
Pada evaluasi awal penderita trauma, yang pertama kali harus dinilai
adalah jalan nafas. Penilaian ini untuk mengetahui adanya obstruksi saluran
nafas seperti benda asing, adanya fraktur mandibula atau kerusakan trakea
yang dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas. Usaha untuk membebaskan
jalan nafas dapat dengan cara jaw thrust ataupun chin lift. Proteksi vertebra
servikalis merupakan hal penting.
 Breathing
Perlu diperhatikan dan dilihat secara keseluruhan daerah thoraks untuk
menilai ventilasi. Jalan nafas yang bebas bukan berarti ventilasi cukup.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan
diafragma. Dada penderita dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan.
Perkusi untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga dada.
Auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Bila ada
gangguan atau instabilitas kardiovaskuler, respirasi, atau gangguan
neurologis, kita harus melakukan ventilasi dengan bantuan alat pernafasan.
 Circulation

21
Sirkulasi dan control perdarahan meliputi dua hal yaitu :
o Volume darah dan output jantung
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada trauma. Ada
tiga tanda klinis yang dengan cepat dapat menunjukkan adanya tanda-
tanda hipovolemik yaitu kesadaran, warna kulit, dan nadi.
o Perdarahan
Perdarahan luar harus diatasi dengan balut tekan. Jangan melakukan
pengikatan dengan bahan seperti karet, verban, dan sebagainya karena
dapat menyebabkan kematian anggota gerak.
 Disability
Disability merupakan evaluasi neurologis secara cepat setelah satu
survey awal. Dengan evaluasi ini kita dapat menilai tingkat kesadaran, besar,
dan reaksi pupil. Evaluasi ini dapat menggunakan metode AVPU yaitu :
o A: alert, sadar
o V: verbal, respon terhadap stimuli verbal
o P: pain, adanya respon hanya pada rangsang nyeri
o U: unresponsive, tidak ada respon sama sekali
 Exposure
Untuk melakukan pemeriksaan secara teliti, pakaian penderita harus
dilepas, selain itu perlu dihindari terjadinya hipotermi

b. Secondary survey
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi
dilakukan dan ABC penderita dipastikan membaik. Survey sekunder adalah
pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk re-evaluasi
pemeriksaan tanda vital. Pada survey sekunder ini dilakukan pemeriksaan
neurologis lengkap termasuk mencatat skor GCS bila belum dilakukan dalam
primary survey. Prosedur khusus seperti laboratorium dan radiologis dapat
dilakukan.
Penanganan awal fraktur dan dislokasi sendi berupa immobilisasi.
Immobilisasi adalah suatu tindakan untuk memfiksasi dan mencegah
pergerakanbagian tubuh yang cidera22.

22
Tujuan immobilisasi:
 mengatasi nyeri
 merelaksasi otot
 mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut

Prinsip immobilisasi:
 memfiksasi bagian yang tidak stabil diantara dua bagian yang stabil
 mencegah pergerakan tiga dimensi (vertikal, horizontal, dan rotasi)
Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri
dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period).
Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:2,15
1) Pembersihan luka
2) Eksisi
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
Seluruh Fraktur
 Rekognisi/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.1
 Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan reduksi fraktur (setting tulang)
adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan posisi
anatomis
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan
reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan.

23
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan
untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur,
dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan
anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan
lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut15,17
 Reduksi tertutup
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas
dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, bidai dan
alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi
dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-X
harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam
kesejajaran yang benar.
 Traksi
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi. Sinar-X digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan
aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar-X. Ketika kalus telah kuat dapat
dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
 Reduksi Terbuka
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi
tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga
aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
 Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun.Setelah fraktur direduksi, fragmen

24
tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan,
gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.19
 Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan
ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol
dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi
peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot
diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap
pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya,
fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan
stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat
aktivitas dan beban berat badan.17,18

2.2.8. Komplikasi
a. Komplikasi Awal24,25
 Compartment Syndrome: merupakan kondisi serius yang
terjadikarena terjebaknya otot, tulang, saraf dan pembuluh darah
dalamjaringan parut. Hal ini disebabkan adanya penekanan
olehpendarahan atau edema yang menekan otot, saraf, dan
pembuluhdarah. Selain itu, karena tekanan dari luar seperti gips
danpembebatan yang terlalu kuat

25
 Avaskular Necrosis (AVN): Ini terjadi karena aliran darah ketulang
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dandiawali dengan
adanya Volkman’s Ischemia
 Infeksi: Apabila ada trauma pada jaringan, maka akan terjadi proses
infeksi yang akan menyebabkan sistem pertahanan tubuh badan
menurun. Dalam kasus Ortopedi, infeksi sering dimulai dari kulit
(superfisial) dan masuk ke dalam tulang. Selain itu proses infeksi juga
bisa disebabkan oleh penggunaan alat seperti pin dan screw sewaktu
melakukan operasi atau pembedahan.
 Fat Embolism Syndrome (FES): Ini adalah komplikasi yang seriusdan
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke dalam
aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah
dan ditandai dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi,
takipnea dan demam.
 Kerusakan arteri: hal ini ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, sianosis di bagian distal, hematoma yang melebar, dan
dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan
pembedahan.
 Shock: terjadi karena kehilangan terlalu banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi.
b. Komplikasi Lanjutan15
 Nonunion: merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
membentuk sambungan yang sempurna, kuat dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebihan
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
 Malunion: merupakan suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut atau
miring. Contoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat

26
dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana
kemungkinan gerakan untuk rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang
patah kurang diperhatikan. Akibatnya, sesudah gips dibuang ternyata
anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam atau ke luar, dan
penderita tidak dapat mempertahankan posisi tubuhnya dalam posisi
netral.
 Delayed Union: merupakan suatu keadaan di mana kegagalan fraktur
untuk berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang
untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke
tulang.

2.2.9. Prognosis
 Prognosis dari Fraktur kruris tergantung dari type, klasifikasi dan
komplikasi yang ada
 Semakin cepat penanganan pada fraktur maka akan semakin baik
prognosis pasien tersebut

27
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn ZN
Umur : 64 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Tanjung Raya, Agam
Tanngal pemeriksaan : 12 Juli 2018

Anamnesis
Seorang pasien laki-laki berusia 64 tahun dibawa ke IGD RSUP Dr M. Djamil
Padang pada tanggal 11 Juli 2018, dengan:
Keluhan Utama
Patah tungkai kiri akibat pisau terkena pemotong rumput dan berdarah sejak 8 jam
sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
 Patah tungkai kiri akibat pisau terkena pemotong rumput dan berdarah
sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit
 Awalnya pasien sedang memotong rumput dengan mesin pemotong
rumput, kemudian mata pisau pemotong rumput mengenai batu dan
melenting ke arah kaki pasien.
 Pasien kemudian dibawa ke puskesmas dan diberi injeksi ATS 1 ampul,
kemudian dirujuk ke RSUD Lubuk Basung. Pasien mendapat oksigen 3
liter/menit, IVFD RL + Ketorolac 1 ampul, cefotaxim 1 gram/12 jam, dan
ranitidin 2x1 ampul dan kemudian dirujuk ke RSUP Dr M Djamil
 Trauma di tempat lain (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
 Tidak ada riwayat penyakit kelainan tulang bawaan maupun infeksi pada
tulang sebelumnya

28
Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit tulang
bawaan sebelumnya.
Riwayat Pekerjaan dan Sosial
 Pasien seorang petani

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 GCS : E4M6V5
 Tekanan Darah : 130/70mmHg
 Nadi : 72x/menit
 Nafas : 14x/menit
 Suhu : Afebris
 Anemis : tidak ada
 Skala Nyeri :6

Kulit : turgor kulit baik


Kepala dan Rambut : normochepal, rambut warna hitam keputihan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
THT : tidak ditemukan kelainan
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Paru:
 Inspeksi : Simetris statis dan dinamis.
 Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan.
 Perkusi : Sonor kiri dan kanan.
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada.
Jantung:
 Inspeksi : Iktus tidak terlihat.
 Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial linea midclavicula sinistra RIC V.
 Perkusi : Batas jantung kanan linea sternalis dextra, kiri 1 jari medial

29
linea midclavicula sinistra RIC V, atas RIC II.
 Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada.
Perut:
 Inspeksi : Tidak tampak membuncit.
 Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba.
 Perkusi : Timpani.
 Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Alat Kelamin : tidak ditemukan kelainan
Anus : tidak ditemukan kelainan
Anggota Gerak : status lokalis

Status Lokalis
Regio Kruris Sinistra
1. Look :
- Terpasang bidai pada tungkai kiri pasien
- Terdapat luka yang sudah dijahit dengan benang berwarna hitam
sebanyak 9 jahitan pada bagian anterior kruris, edema (-), deformitas (+),
angulasi (+) ke medial
2. Feel :
- Teraba patah tulang pada tungkai kiri pasien
- Teraba ruptur tendon
3. NVD
- Akral hangat, sensorik baik, motorik terngganggu, CRT <2 detik, pulsasi
arteri dorsalis pedis (++)
Foto pasien secara klinis

30
Diagnosa Kerja
 Fraktur tibia fibula 1/3 distal sinistra terbuka
 Ruptur tendon tungkai kiri

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hb : 13,6 g/dl Ureum : 30 mg/dl
Leukosit : 10.940/mm3 Kreatinin : 1 mg/dl
Trombosit : 283.000/mm3 Natrium : 134 Mmol/L
Hematokrit : 40% Kalium : 4,6 Mmol/L
PT : 11,4 detik Klorida : 108 Mmol/L
APTT : 45,4 detik SGOT : 22 u/l
GDS : 94 mg/dl SGPT : 16 u/l
Kesan: Leukositosis, APTT melebihi nilai rujukan, Hiponatremia

31
Rontgen Kruris AP/Lateral

Interpretasi:
 Kedudukan tulang-tulang cruris tidak baik, tampak angulasi ke medial.
 Tampak tanda-tanda fraktur pada 1/3 distal tibia dan fibula
 Tidak tampak pembentukan spur.
 Celah sendi dan permukaan sendi femorotibial ataupun sendi talocrural
terlihat baik.
 Jaringan lunak sekitar regio cruris terlihat edema.
Kesan: Fraktur tibia fibula 1/3 distal sinistra

32
Rontgen Thorax PA

Interpretasi:
 Trakea di tengah.
 Jantung tidak membesar (CTR < 50%).
 Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.
 Kedua hillus tidak melebar/ menebal.
 Corakan bronkovaskular kedua paru baik.
 Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapangan paru.
 Kedua diafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip.
Kesan: Cor dan pulmo dalam batas normal

Diagnosa
 Fraktur tibia fibula 1/3 distal sinistra terbuka grade III B ec mesin
pemotong rumput
 Ruptur tendon tungkai kiri

33
Tatalaksana
 Rencana operasi debridement, repair tendon, dan back slap
 IVFD aminofusin 28 tpm
 Pasang kateter
 Injeksi ceftriaxon 2x1 gram
 Injeksi ranitidin 2x50 mg
 Injeksi ketorolac 3x30mg
 ORIF elektif

Perjalanan Penyakit Pasien


12-07-18 I Pasien mendapat perawatan berupa:
G  Pembersihan luka
D  Pemasangan bidai yang baru
 Pemasangan kateter
 Pemberian antibiotik, antinyeri, dan antitetanus
 Konsul anestesi untuk persiapan operasi
O Telah dilakukan operasi pada tungkai kiri pasien pada pukul
K 00.30 WIB. Dilakukan eksplorasi luka dan ditemukan fraktur
pada tulang tibia dan fibula. Ditemukan juga ruptur pada tendon
extensor hallucis longus, tendon extensor digitorum longus, dan
tendon peroneus brevis. Pada pasien dilakukan:
 Dilusi luka
 Debridemant
 Reposisi
 Tendoraphi
 Jahit luka
 Imobilisasi (pasang back slap)
Operasi selesai dan pasien dirawat di TC Bedah
12-07-18 S Luka tertutup perban
Nyeri (-)
Demam (-)

34
O Keadaan umum : sedang
Kesadaran : GCS 15
HD : Stabil
Cruris (S): L: luka tertutup perban, rembesan darah (-)
F: NVD baik
A Fraktur tibia fibula 1/3 distal terbuka post debridement
Ruptur tendon post repair
P Aff infus, ganti inject pump
Aff kateter
Ceftriaxon 2x1 gram
Ranitidine 2x50mg
Ketorolac 3x30mg
13-07-18 S Luka tertutup perban
Nyeri (-)
Demam (-)
O Keadaan umum : sedang
Kesadaran : GCS 15
HD : Stabil
Cruris (S): L: luka tertutup perban, rembesan darah (-)
F: NVD baik
A Fraktur tibia fibula 1/3 distal terbuka post debridement
Ruptur tendon post repair
P Ceftriaxon 2x1 gram
Ranitidine 2x50mg
Ketorolac 3x30mg
16-07-18 S Luka tertutup perban
Nyeri (-)
Demam (-)
O Keadaan umum : sedang
Kesadaran : GCS 15
HD : Stabil
Cruris (S): L: luka tertutup perban, rembesan darah (-)

35
F: NVD baik
A Fraktur tibia fibula 1/3 distal terbuka post debridement
Ruptur tendon post repair
Ceftriaxon 2x1 gram
P Ranitidine 2x50mg
Na diklofenak 2x50mg
17-07-18 S Luka tertutup perban
Nyeri (-)
Demam (-)
O Keadaan umum : sedang
Kesadaran : GCS 15
HD : Stabil
Cruris (S): L: luka tertutup perban, rembesan darah (-)
F: NVD baik
A Fraktur tibia fibula 1/3 distal terbuka post debridement
Ruptur tendon post repair
Ceftriaxon 2x1 gram
P Ranitidine 2x50mg
Na diklofenak 2x50mg
Pro ORIF hari jumat
Konsul ke bagian jantung dan penyakit dalam untuk toleransi
operasi
18-07-18 S Luka tertutup perban
Nyeri (-)
Demam (-)
O Keadaan umum : sedang
Kesadaran : GCS 15
HD : Stabil
Cruris (S): L: luka tertutup perban, rembesan darah (-)
F: NVD baik
A Fraktur tibia fibula 1/3 distal terbuka post debridement
Ruptur tendon post repair

36
Ceftriaxon 2x1 gram
P Ranitidine 2x50mg
Na Diklofenak 2x50mg
Menunggu jadwal operasi
19-07-18 S Luka tertutup perban
Nyeri (-)
Demam (-)
O Keadaan umum : sedang
Kesadaran : GCS 15
HD : Stabil
Cruris (S): L: luka tertutup perban, rembesan darah (-)
F: NVD baik
A Fraktur tibia fibula 1/3 distal terbuka post debridement
Ruptur tendon post repair
Ceftriaxon 2x1 gram
P Ranitidine 2x50mg
Ketorolac 3x30mg
20-07-18 O Telah dilakukan ORIF pada pukul 14.00
K  Posisi supine dalam spinal anestesi
 Desinfeksi lapangan operasi
 Cuci luka operasi
 Reposisi dan pemasangan internal fixation
menggunakan tibial plate
 Jahit luka operasi
 Operasi selesai
Pasien dipasang kateter dan dirawat di TC
23-07-18 S Nyeri (-)
Demam (-)
O Keadaan umum : sedang
Kesadaran : GCS 15
HD : Stabil
Cruris (S): L: luka bekas operasi tertutup perban, rembesan

37
darah (-)
F: NVD baik
A Fraktur tibia fibula 1/3 distal terbuka post ORIF
P Cefixime tab 2x100mg
Ranitidine tab 2x150mg
Na diklofenak tab 2x50mg
Pasien boleh pulang

38
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki usia 64 tahun dibawa ke IGD RSUD Dr M Djamil


dengan didiagnosa fraktur tibia fibula 1/3 distal sinistra terbuka grade III B ec
mesin pemotong rumput dan ruptur tendon tungkai kaki kiri. Fraktur atau patah
tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang umumnya disebabkan oleh
tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan
berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan persarafan. Grade
fraktur tibia fibula pasien tidak dimasukkan kedalam III C karena tidak mengenai
pembuluh darah utama pada tungkai.
Prinsip penanggulangan fraktur adalah recognition (mengenali), reduction
(mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitation. Recognition
adalah mengenali kelainan yang terjadi sebagai akibat dari fraktur, yang
didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Selain itu, kelainan yang ditemukan pada pasien adalah ruptur tendon ruptur
tendon extensor hallucis longus, tendon extensor digitorum longus, dan tendon
peroneus brevis yang ditemukan di kamar operasi saat eksplorasi luka. Reduction
berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula (reposisi).
Awalnya dilakukan dilusi pada luka sampai benar-benar bersih, kemudian
dilakukan debridement, reposisi, tendoraphi, dan imobilisasi.
Prisnsip debridemant adalah membersihkan kontaminasi yang terdapat di
sekitar fraktur dengan melakukan pengangkatan terhadap jaringan yang non viabel
dan material asing pada jaringan lunak. Dilakukan penilaian pada sekitar jaringan
sekitar tulang, cedera pembuluh darah, tendon, otot, saraf. Debridement jaringan
otot dipertimbangkan jika otot terkontaminasi berat dan kehilangan kontraktilitas.
Debridement pada tendon mempertimbangkan kontraktilitas tendon, sedangkan
debridement pada kulit dilakukan hingga timbul perdarahan. Pada fraktur terbuka
grade IIIb dan IIIc dilakukan serial debridement yang diulang dalarn selang waktu
24-72 jam untuk tercapainya debridement definitif.

39
Gambar 9: Teknik-teknik penyambungan tendon26

Tendoraphi adalah penyambungan tendon, dengan sejumlah faktor


memengaruhi hasil perbaikan tendon. Kekuatan reparasi adalah faktor yang paling
penting karena fungsi utama tendon adalah untuk mentransmisikan gaya, maka
perbaikan harus menahan kekuatan tinggi yang diterapkan oleh mobilisasi aktif
awal. Hal ini telah menyebabkan banyak teknik penjahitan yang berbeda, dengan
sebagian besar berfokus pada peningkatan kekuatan perbaikan. Faktor lain adalah
pencegahan adanya celah antara tendon untuk memungkinkan penyembuhan.
Celah maksimum yang diizinkan untuk memungkinkan penyembuhan tendon
adalah 3mm dan celah yang lebih besar dari ini meningkatkan tingkat kerusakan
dan gangguan rentang gerak. Berbagai teknik penjahitan tendon adalah:
a) Bunnell e) Four strand double modified
b) Grasping Kessler Kessler
c) Tajima f) Modified pennington
d) Modified locking Kessler g) Becker
h) Grasping Cruciate

40
i) Locking Cruciate n) Four strand Kessler repair dengan
j) Savage knot pada sisi berlawanan
k) Locking Lee o) Four strand cross lock repair
l) Tsuge p) Tang
m) Four strand Kessler repair q) U shaped four strand repair
r) Six strand M-tang
Retaining adalah tindakan mempertahankan hasil reposisi dengan fiksasi
(imobilisasi), dapat dengan pemasangan gips atau dengan pemasangan fiksasi dari
dalam maupun dari luar. Pada pasien dilakukan fiksasi dari dalam dengan ORIF.
Tujuan dari imobilisasi adalah menghilangkan spasme otot pada ekstremitas yang
sakit sehingga terasa lebih nyaman dan sembuh lebih cepat. Rehabilitation berarti
mengembalikan kemampuan anggota gerak yang sakit agar dapat berfungsi
kembali. Tujuan utama penatalaksanaan rehabilitasi pada perawatan pasca fraktur
adalah mengembalikan fungsi, gerakan, kekuatan otot dan daya tahan (endurance)
ke tingkat semula sebelum terjadi trauma.
Imobilisasi pada fraktur menyebabkan otot-otot tidak digunakan. Otot
yang tidak digunakan akan mengalami atrofi dan kehilangan kekuatan rata-rata 5
% per hari sampai dengan 8 % per minggunya. Atrofi terjadi pada kedua tipe
serabut otot yaitu slow-twitch (tipe satu) dan fast-twitch (tipe dua). Atropi serabut
otot fast-twitch menyebabkan hilangnya kekuatan dari otot. Sedangkan atropi
serabut otot low-twitch menyebabkan hilangnya daya tahan (endurance) otot.
Kekuatan otot artinya kemampuan otot berkontraksi melawan tahanan. Prinsip
dasar dari latihan kekuatan otot adalah menggunakan tahanan dan kontraksi
berulang untuk menaikkan kemampuan keseluruhan motor unit otot. Daya tahan
otot adalah kemampuan untuk melakukan gerakan secara berulang-ulang. Daya
tahan ini didapatkan dengan latihan endurance.27
Latihan weight bearing merupakan latihan pembebanan berat badan pada
kaki. Program latihan ini didesain untuk merefleksikan kerja otot pada fungsi
weight bearing dalam kegiatan sehari-hari seperti berdiri, berjalan atau menaiki
tangga. Latihan weight bearing terbukti menghasilkan pemulihan yang lebih baik
dibandingkan latihan non-weight bearing, khususnya pada performa aktivitas
fungsional dan keseimbangan.

41
Tingkatan latihan weight bearing dibedakan menjadi lima yaitu: 28
1. Non Weight Bearing (NWB): kaki tidak boleh menyentuh lantai. Non
weight bearing adalah 0 % dari beban tubuh, dilakukan selama 3 minggu
pasca operasi.
2. Touch Down Weight Bearing (TDWB): berat kaki pada lantai saat
melangkah tidak lebih dari 5 % beban tubuh. Alat bantu yang dibutuhkan
adalah walker/crutches.
3. Partial Weight Bearing (PWB): berat dapat berangsur ditingkatkan dari 30-
50 % beban tubuh, dilakukan 3-6 minggu pasca operasi. Alat bantu yang
dibutuhkan adalah walker/crutches.
4. Weight Bearing as Tolerated (WBAT): tingkatannya dari 50-100 % beban
tubuh. Pasien dapat meningkatkan beban jika merasa sanggup
melakukannya. Alat bantu yang dibutuhkan adalah cane/tongkat.
5. Full Weight Bearing (FWB): kaki dapat membawa 100 % beban tubuh
setiap melangkah, dilakukan 8-9 bulan pasca operasi.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer Suzanne, C. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart.


Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC.1997.
2. Price Sylvia, A. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid
2. Edisi 4. Jakarta. Adam, James G. Emergency Medicine Clinical
Essentials Second Edition. Philadelphia : Elsevier, 2013.
3. Thompson JC.Netter”s Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy. 1st edition.
Philadelphia; Mosby Elsevier. 2001.
4. Mer-C. Basic on Emergency. Jakarta. 2007.
5. Purwadianto, Agus, dkk. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta
Binarupa Aksara. 2000.
6. Canale ST and Beaty JH. Editors. Campbell’s Operative Orthopaedics.
11th ed. Philadelhia, Pennsylvania; Mosby Elsivier. 2007.
7. Moore KL, and Agur, AMR. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta;HIpokrates
.2002.
8. Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003.
Makasar. P355-60
9. Netter, Frank H. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition.
Saunders Elseiver.
10. Alan Graham Appley. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9th
edition. Butterworths Medical Publications. 2010.p687-90, 870-2.
11. Brown Austin,dkk. Internal Fixation for Supracondylar Fracyure of The
Femur In The Elderly Patient. Journal of Bone and Joint Surgery. 2005
12. Welch Fossum, Theressa. Femoral diaphyseal and supracondylar
fractures. [cited: 18 Juli 2018) . Available from:
http://veterinarymedicine.dvm360.com
13. Krettek, Christian, dkk. Fracture of the distal femur. Chapter 53. Page
1957
14. Robinson PJA, Jenkins JPR, Whitehouse RW, Allan PL, Wilde P,
StevenJM. The Muskuloskeletal system. In: Sutton D, editor. Textbook of
Radiology And Imaging, 7th ed. London: Elsevier Science Ltd; 2003.

43
15. Murtala B. Radiologi Trauma & Emergensi. Bogor: HasanuddinUniversity
Press; 2013.
16. Holmes EJ, Misra RR. A-Z of Emergency Radiology. New
York:Greenwich Medical Media Ltd; 2004.
17. Grainger RG, Allison DJ. Diagnostic Radiology A Textbook of
MedicalImaging. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Limited; 2008.
18. Norvell J. G. Tibia and Fibula Fracture, 2013. [Online] Available from
:http:// emedicine.medscape.com/article/82630.
19. Siew-Kune Wong & Wilfed C.G.Peh, BAB 20 Trauma
Ekstremitas,Textbook Mengenal Pola Foto-Foto Diagnostik: Bagian 3
PolaMuskulosleletal, 2007
20. Iain H. Kalfas, M.D. , F.A.C.S Department of Neurosurgery, Section
ofSpinal Surgery, Cleveland Clinical Foundation ; Principle of
BoneHealing; Article 1, Volume 10, April 2001
21. Ramdass, Michael J, Naraynsingh Vijay, Maharaj, Dale : Fractured
Tibia& Fibula Due to Erotic Dancing, Internet Journal of Orthopedic
Surgery2002, Vol1, Issue 140
22. Bagian Anantomi FK UNHAS; Buku Ajar Anantomi Biomedik 1 ,Bab
IIOsteologi, Edisi 3, 2013
23. Christos Garnavos, Nikolaos K. Kanakaris, New Classification SystemFor
Long-bone Fractures Supplementing the OA/OTA ClassificationVolume
35, 2012
24. Merck Manual; Medical information, Fracture, Dislocation and Sprain2nd
Home Edition published by Merck & Co.Inc. 2003
25. Muller AO Classification of Fracture – Long Bone ; Tibia / Fibula;
Copyright © 2010 by AO Foundation, Switzerland.
26. Rawson S, Cartmell S, Wong J. Suture Techniques For Tendon Repair; A
Comparative Review. 3.3(2013): 220-228.
27. Hoppenfeld S, Murthy VL. Editors : Treatment and Rehabilitation of
Fractures. Philadelphia. Lippincott, Williams & Wilkins. 2000. p8.
28. Sherrington C, Lord SR, Herbert RD. A Randomized Controlled Trial of
Weight-Bearing Versus Non–Weight-Bearing Exercise for Improving

44
Physical Ability After Usual Care for Hip Fracture. Presented in part at the
Australian Physical Therapy Association’s 7th International Physical
Therapy Congress, May 2002, Sydney, Australia. 2002 (diakses 24 Juli
2018). Tersedia di : http://dx.doi.org/10.1016/S0003-9993(03)00620-8

45

Anda mungkin juga menyukai