Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa vesikulo bulosa, mukosa
orifisium, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini
bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit
ini merupakan salah satu kegawat daruratan penyakit kulit. Stevens Johnson Syndrome pertama
diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-
laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya.
Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya Ektoderma Erosive
Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe Hebra, Eritema
Mulitiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa Maligna. Meskipun demikian yang umum
digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson. Kejadian SJS di dunia cenderung meningkat.
Penyebabnya belum diketahui dan diperkirakan dapat terjadi secara multifaktorial. Salah satu
penyebab yang dianggap sering ialah alergi sistemik terhadap obat. Di negara barat, beberapa obat
yang ditemukan sering menjadi penyebab terjadinya sindroma ini adalah obat-obatan golongan
Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) dan sulfonamid. Sedangkan di negara timur,
obat yang lebih sering menginduksi terjadinya SJS adalah golongan karbamazepin. Selain itu, obat
alopurinol juga diketahui merupakan penyebab tersering terjadinya SJS di negara-negara Asia
Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong.
Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya Stevens
Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang sering
menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin
(20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti amoksisilin,
kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson.5
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu
dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema
multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang
diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN.
Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren
namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan
makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas
yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama
merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya.
Karena menimbulkan gejala yang serius secara akut, Stevens Johnson Syndrome seringkali
dianggap sebagai suatu tindakan malpraktik medis oleh dokter kepada pasiennya. Padahal
sesungguhnya SJS merupakan sindroma yang bisa terjadi kapan saja kepada pasien. Oleh karena
itu, sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Stevens Johnson Syndrome dan
bagaimana penanganan yang tepat apabila sindroma ini terjadi pada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias kelainan
kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala umum berat. Sindroma ini merupakan
salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi
hipersensitivitas tipe III. Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat
sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia. Pasien mungkin mengeluhkan ruam yang
terasa seperti terbakar yang dimulai secara simetris pada wajah dan bagian atas dari torso tubuh.
Selain itu, ada beberapa tanda dari keterlibatan kulit dalam SJS, antara lain:
a. Eritema
b. Edema
c. Sloughing
d. Blister atau vesikel
e. Ulserasi
f. Nekrosis.4

B. Epidemiologi
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi,kejadian sindroma steven jonshon terjadi 1-
3 kasus per satu juta penduduk setiap tahun nya.Sindroma steven jonshon juga telah dilaporkan
lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.Walaupun sindroma steven jonshon dapat mempengaruhi
orang setiap umur,tampaknya perempuan sedikit lebih rentan dari pada laki-laki.

C. Patofisiologi
Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgG, serta reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan
reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.6 Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya
kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat
limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan
fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten akan
berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk
kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus,
partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut
(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses
metabolik).
Kompleks imun yang beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya.
Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula
disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi
imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan
epidermis.
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi seperti
kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti peningkatan
resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan
fungsi imun, dan infeksi.

D. Etiologi
Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun penyebab yang paling
sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak
obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh. Ada pula yang beranggapan bahwa sindrom ini
merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga
dikatakan mempunyai penyebab yang sama.
Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25% karena infeksi dan
penyebab lainnya.9 Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas yang dihasilkan adalah penyebab
mayoritas yang sangat besar dari kasus SJS. Dalam angka absolut kasus, alopurinol adalah
penyebab paling umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien yang
menerima dosis harian setidaknya 200 mg.
Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya SJS antara lain:

1. Obat-obatan
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun
demam). Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan SJS antara lain: Penisilin dan
derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat
Salisilat, Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin,
Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin, Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-jamuan.

2. Infeksi
a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr, enterovirus, HIV,
Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma venereum, rickettsia dan
variola.
b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis, mikobakteri,
Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan tifus.
c. Jamur , meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis.
d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.

3. Imunisasi
Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.

4. Penyebab lain :
a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain
c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler
d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma, Myeloma, dan
Polisitemia
e. Kehamilan dan Menstruasi
f. Neoplasma
g. Radioterapi.

E. Diagnosis
Dokter sering dapat mengidentifikasi sindromStevens-Johnson berdasarkan riwayat
kesehatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan.
1. Manifestasi Klinis
Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat akut. Gejala
awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk berdahak, pilek, nyeri
tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung selama 1-14 hari. Muntah dan diare juga
dapat muncul sebagai gejala awal. Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang
lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa
lemah, serta penurunan kesadaran.
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson, antara lain
timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula. Sedangkan
tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau targetoid lesions.
Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom Stevens-
Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona warna dengan batasan yang
buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh
penderita sindrom Stevens-Johnson. Lesi yang muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit
yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi sekunder.
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda Nikolsky positif.
Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan seperti pada bagian
punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka
termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic
Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka disebut Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN).
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal, namun
dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital. Adanya kelainan pada
mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa bukal
mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-
waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir
penderita. Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan
bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan
mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia
atau buang air kecil.

Gambar 2.1 Manifestasi klinis Stevens Johnson Syndrome

c. Kelainan pada mata


Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva. Kelopak mata dapat
melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat merobek epidermis. Erosi
pseudomembran pada konjungtiva juga dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara
konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada
kornea mata.
2. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengkonfirmasi diagnosis, dokter akan mengambil sampel jaringan kulit pasien
(biopsi) untuk diperiksa di bawah mikroskop. Infiltrasi sel dermal inflamasi yang minim dan
nekrosis sel yang tebal juga luas di epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas
yang dapat ditemui pada pasien dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan histopatologis
lain dari kulit yang juga dapat ditemukan antara lain:
a. Perubahan epidermal-dermal junction mulai dari perubahan vacuolar subepidermal
b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular
c. Apoptosis keratinosit
d. Limfosit T CD4+ mendominasi dalam dermis, CD8+ mendominasi di epidermis;
persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar disusupi oleh CD8+.

Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:


a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan sel-sel plasma dan
infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar dinding pembuluh, sedangkan
limfosit infiltrasi dominan adalah sel T Helper
b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif dalam substantia
propria, dinding pembuluh, dan epitel.

F. Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa banding SJS:
1. Eritema multiformis (EM)
Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput lendir. Penyebabnya
belum diketahui secara pasti. Yang dapat membedakan EM dengan SJS ialah luas permukaan
tubuh yang terkena. Pada EM ialah <10% sedangkan pada SJS ialah >30%.

2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)


Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson Pada NET terdapat Epidemolisis
(Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan umum penderita biasanya
lebih buruk/berat.
3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa
Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat meniru awal SJS/NET.
Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan mukosa kurang tapi nyeri kulit pada TEN
menonjol.

4. Erupsi Pustural Obat


Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), juga bisa
menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET. AGEP merupakan erupsi yang terdiri
dari non-follicularly centered pustulesyang sering dimulai di leher dan daerah intertriginosa.

5. Erupsi Fototoksik
Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan sinar matahari yang
dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling umum yang dibingungkan dengan
SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang terjadi akibat pemakaian oral. Sebagai contoh,
fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi fototoksik, yang dapat menyebabkan
pengelupasan epidermis luas.
Gambar 2.2. Manifestasi Klinis Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic
Epidermal Necrolysis
6. Toxic shock syndrome
Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus aureus, meskipun
gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai elaborasi dari Grup A streptokokus.
Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS hadiah dengan keterlibatan lebih menonjol dari
beberapa sistem organ.

7. Staphylococcal scalded skin syndrome


SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan dari selaput
lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang mengungkapkan peluruhan
hanya lapisan atas epidermis.
Tabel 2.1. Manifestasi Klinis Eritema Multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal
Necrolysis

G. Penatalaksanaan
Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan stabilitas hemodinamik,
status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol nyeri. Menghentikan penggunaan obat-
obatan yang mungkin menyebabkan hal itu adalah hal yang paling penting dalam mengobati SJS.
Karena sulit untuk menentukan mana obat yang dapat menyebabkan masalah tersebut.
Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SJS. Perawatan suportif mungkin
dapat di terima saat dirawat di rumah sakit meliputi:
a. Pengganti cairan dan nutrisi. Karena kehilangan kulit dapat mengakibatkan kerugian yang
signifikan cairan dari tubuh, menggantikan cairan merupakan bagian penting dari pengobatan.
b. Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat mereka sembuh. Tim
medisakanmengeliminasi kulit mati, dan kemudian menempatkan krim dengan anestesi
topikal di atas area yang terkena, jika diperlukan.
c. Perawatan mata, karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus mencakup konsultasi
dengan seorang spesialis mata (ophthalmologist).

Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi:


a. Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan
b. Antihistamin untuk meredakan gatal
c. Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan
d. Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.

Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari dalam pengobatan SJS:
a. Kortikosteroid intravena
Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan mempersingkat waktu
pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari ketika gejala muncul pertama kali. Untuk
anak-anak, mereka dapat meningkatkan risiko komplikasi.
b. Imunoglobulin intravena (IVIG)
Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem kekebalan tubuh Anda
menghentikan proses SJS.
c. Pencangkokan kulit
Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu menghilangkan kulit dari
satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau menggunakan pengganti kulit sintetis mungkin
diperlukan untuk membantu penyembuhan. Perawatan ini jarang diperlukan.
Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti, kulit Anda mungkin mulai
tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang parah, pemulihan penuh mungkin
memakan waktu beberapa bulan.

H. Prognosis
Pada kasus SJS kematian dilihat dari tingkat pengelupasan kulit.Ketika permukaan tubuh
mengelupas kurang dari 10% itu menandakan presentase tingkat kematianya adalah sekitar 1-
5%.Namun ketika pengelupasan kulit lebih dari 30% maka tingkat presentase kematiannya adalah
sekitar 25-35% bahkan bisa mencapai 50%.
Selain pengelupasan di kulit pada kasus SJS ini bisa dilihat juga dari variabel yang
berhubungan dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut,denyut jantung,kadar
glukosa,kadar BUN dan tingkat bikarbonat.Untuk usia penderita biasanya lebih dari 40 tahun
selain itu bisa juga dilihat dari keganasan yang ditimbulkan,denyut jantung >120,kadar glukosa
>14 mmol / L,kadar BUN >10 mmol / L, dan tingkat bikarbonatnya < 20 mmol / L.
Disetiap variabel ini kita berikan nilai 1 point, dari variabel itu kita bisa melihat tingkat
mortalitasnya adalah sebagai berikut: untuk skor 0-1 presentasenya adalah 3.2%, skor 2
presentasenya adalah 12.1% , skor 3 presentasenya adalah 35.3%, skor 4 presentasenya adalah
58.3%, skor 5 atau lebih presentasenya adalah 90%.
Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan
menggunakan sejumlah faktor prognostik yang dijumlahkan.
Tabel 2.2 Prognosis SJS dengan SCORTEN
Severity-of-Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis (SCORTEN)
Risk Factor* Score

0 1

Age < 40 yr ≥ 40 yr

Associated cancer No Yes

Heart rate (beats/min) < 120 ≥ 120

Serum BUN (mg/dL) ≤ 28 > 28

Detached or compromised body surface < 10% ≥ 10%

Serum bicarbonate (mEq/L) > 20 ≤ 20

Serum glucose (mg/dL) ≤ 250 > 250

Angka mortalitas :
SCORTEN Mortalitas (%)

0-1 3,2

2 12,1

3 35,8

4 58,3

5 90
BAB III
KESIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang
mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Adapun gejala dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat sputum purulen,
sakit kepala, malaise, arthralgia, disertai dengan kelainan yang terjadi pada kulit, mukosa, dan
mata.
Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh
karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit kulit. Sindroma ini
merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity, atau yang juga disebut
reaksi hipersensitivitas tipe III, di mana kejadiaannya dapat diinduksi oleh paparan obat, infeksi,
imunisasi, maupun akibat paparan fisik lain kepada pasien.
Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien SJS sangat
membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang bisa diberikan antara lain
perawatan terhadap kulit dan penggantian cairan tubuh, perawatan terhadap luka, serta perawatan
terhadap mata. Obat-obatan yang dapat diberikan antara lain, obat penghilang nyeri, antihistamin
untuk meringankan reaksi hipersensitivitas, antibiotik apabila terjadi infeksi, dan steroid topikal
untuk mengobati peradangan kulit.
Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndromebergantung pada tingkat pengelupasan
kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas, maka prognosisnya dapat menjadi
semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti dengan usia penderita, keganasan penyakit
tersebut,denyut jantung,kadar glukosa,kadar BUN dan tingkat bikarbonat juga dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/. Diakses pada: 5


November 2013.
2. Adithan C. Stevens-Johnson syndrome in drug alert. Department of Pharmacology. JIPMER.
2006;2(1). Didapat dari: http//www.jipmer.edu. Diakses tanggal: 9 November 2013.
3. Fernando SL, Broadfoot AJ. Prevention of severe cutaneous adverse drug reactions: the
emerging value of pharmacogenetic screening. CMAJ. 2010;182(5):476-80.
4. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome. Medscape. 2013. Didapat dari:
http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 5 November 2013.
5. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:163-5.
6. NN. Sindrom Steven - Johnson. Didapat dari: http://childrenallergyclinic.wordpress.com.
Diakses pada: 9 November 2013.
7. NN. Sindrom Steven-Johnson, manifestasi klinis, dan penanganannya. Didapat dari:
http://allergycliniconline.com. Diakses pada: 9 November 2013.
8. Majiid Sumardi. Steven Johnsons Syndrome. Didapat dari:
http://majiidsumardi.blogspot.com. Diakses pada: 9 November 2013.
9. Williams M. Stevens-Johnson Syndrome. Didapat dari: http://www.patient.co.uk. Diakses
pada: 2 November 2013.
10. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN, Sidoroff A, Naldi
L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC: Allopurinol is the most common cause of Stevens-
Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe and Israel. J Am Acad Dermatol
2008, 58:25-32.
11. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology. 2011;7(6):803-15.
12. Klein PA. Dermatologic manifestation of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis. Medscape. 2013. Didapat dari: http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 5
November 2013.
13. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome. Orphanet
Journal of Rare Disease. 2010;5:39.
14. NN. Stevens-Johnson syndrome. Mayo Clinic. Didapat dari: http://mayoclinic.com. Diakses
pada: 10 November 2013.
15. Nirken, M. H. dan High, W. A. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis:
Clinical manifestations; pathogenesis; and diagnosis. Didapat dari
http://nihlibrary.ors.nih.gov/. Diakses pada 10 November 2013.

Anda mungkin juga menyukai