Anda di halaman 1dari 23

HALAMAN JUDUL

TUGAS KELOMPOK 13

MAKALAH
UPAYA REKONSTRUKSI TEOLOGI ISLAM DI ERA
MODERN
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah : Teologi Islam

Dosen : Hendra Fitra Candra, M.Pd.I

Disusun oleh:

Normala Sari NIM: 1701140487

Noor Farida NIM: 1701140488

Mahliana NIM: 1701140494

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
2018 M / 1440 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadiran Allah ‫س ْب َحانَهُ َوت َ َعالَى‬


ُ yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan
dengan tepat waktu. Makalah yang dikerjakan ini berjudul “Upaya Rekontruksi
Teologi Islam di Era Modern”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Teologi Islam.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Penyusun mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian dan penyusunan
makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, karena masih banyaknya kekurangan yang ada pada diri penyusun.
Untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca, sehingga pada penyusunan makalah selanjutnya bisa lebih baik.
Akhir kata penyusun berharap makalah Teologi Islam ini dapat bermanfaat
bagi penyusun khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Semoga Allah ُ‫س ْب َحانَه‬
ُ
‫ َوتَعَالَى‬selalu atau senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya bagi kita
semua.

Palangkaraya, Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Pengertian Rekonstruksi Teologi Islam ............................................. 3
B. Tujuan Rekonstruksi Teologi Islam ................................................... 4
C. Sejarah Kelahiran Teologi Islam ....................................................... 4
D. Perkembangan Rekonstruksi Teologi Islam ...................................... 7
1. Kritik Terhadap Teologi Islam Klasik ........................................ 7
2. Rekonstruksi Teologi Islam Klasik: Dari Teosentrisme Ke
Antroposentrisme ...................................................................... 11
3. Karakteristik Pemikiran Teologi Kontemporer ........................ 14
BAB III PENUTUP............................................................................................... 19
A. Kesimpulan ........................................................................................... 19
B. Saran ..................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimologis istilah teologi bersal dari bahasa yunani, yaitu
theologia. Yang berasal dari dua kata theoos yang berarti Tuhan dan logos
yang artinya Ilmu. Sehingga arti Teologi islam adalah pengetahuan
ketuhanan. Sedangkan pengertian Teologi Islam menurut terminologi adalah
ilmu yang membahas tentang ketuhanan yang mencakup seluruh ketauhidan.
Sedangkan rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh
dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Teologi dipahami oleh sebagian besar kaum muslimin sebagai ilmu
yang membahas dan mengkaji tentang ketuhanan saja. Ia jauh dari aspek-
aspek kemanusiaan. Oleh sebab itu, wajar jika ia disebut sebagai ilmu
teologi (seperti arti secara epistimologi dari kata Theos dan logos). Para ahli
intelektual muslim masa kini memulai untuk mengkaji kembali paradigma-
paradigma yang ada dalam ilmu teologi. Banyak dari mereka menegaskan
bahwa sesungguhnya teologi bukanlah ilmu murni yang hadir dari
kekosongan sejarah, melainkan sebuah refleksi dan implikasi dari konflik-
konflik sosial politik. Oleh karena itu, kritik kepada teologi merupakan hal
yang sah dan dibenarkan. Teologi bukanlah Ilmu tentang Tuhan melainkan
teologi adalah ilmu tentang kata (kalam) Tuhan, Karena Tuhan itu tidak
tunduk kepada Ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang
berupa wahyu.
Rekonstruksi teologi adalah salah satu cara yang mesti ditempuh jika
diharapkan teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkrit bagi
sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk
mentrasformasikan teologi menuju antropologi, sebagai wacana tentang

1
2

kemanusiaan, baik secara ekstensial, kognitif maupun kesejarahan.. Untuk


itu ungkapan “teologi menjadi antropologi” merupakan cara “ilmiah” untuk
mengatasi keterasingan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan dengan
melakukan pembalikan seperti yang pernah dilakukan Karl Marx terhadap
filsafat Hegel. Hegel dengan dialektika, kata Marx, berjalan dengan kepala.
Dengan dialektika materialnya, Marx mengajak kita untuk menjadi normal
lagi, yaitu berjalan dengan kaki.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian rekonstruksi teologi islam?
2. Apa tujuan rekonstruksi teologi islam?
3. Bagaimana sejarah rekonstruksi teologi islam ?
4. Bagaimana perkembangan rekonstruksi teologi islam ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian rekonstruksi teologi islam.
2. Untuk mengetahui tujuan rekonstruksi teologi islam.
3. Untuk mengetahui sejarah rekonstruksi teologi islam.
4. Untuk mengetahui perkembangan rekonstruksi teologi islam.
BAB II PEMBAHASAN

PEMBAHASAN
A. Pengertian Rekonstruksi Teologi Islam
Teologi secara bahasa berasal dari kata “theos” yang berarti Tuhan,
dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi, secara bahasa teologi adalah ilmu
tentang ketuhanan. Sedangkan secara terminologis, teologi adalah ilmu yang
membahas Tuhan dan segala sesuatu yang terkait dengannnya, hubungan
manusia dengan Tuhan, dan hubungan Tuhan dengan manusia.1
Selain itu, pengertian teologi islam adalah ilmu yang membahas
tentang ketuhanan yang mencakup seluruh ketauhidan. Ketauhidan dengan
kata lain mengesakan Allah ‫س ْب َحانَهُ َوتَعَالَى‬
ُ . Sebagaimana dalam firman Allah
‫س ْب َحانَهُ َوتَعَالَى‬
ُ surah Al-Ikhlas ayat 1 yang berbunyi:

Artinya:
Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa

Perkataan teologi sendiri sebenarnya bukan berasal dari khazanah


dan tradisi islam. Teologi merupakan istilah yang diadopsi dari khazanah
dan tradisi gereja kristiani. Penggunaan istilah “teologi” dalam tradisi
pemikiran islam diakui memang mengandung polemik. Sebab istilah
“teologi” dalam tradisi kristen dihubungkan dengan ilmu agama secara
keseluruhan. Teologi berbicara tentang berbagai masalah yang menyangkut
dengan agama, termasuk di dalamnya bagaimana mengatur masyarakat,
menafsirkan bible, dan aspek mistik dalam agama. Dalam tradisi islam,
persoalan hukum dan tafsir serta mistik dipelajari terpisah dalam fiqh, tafsir
dan tasawuf. Sementara ilmu tentang tuhan sendiri dalam islam dipelajari
dalam ilmu kalam. Karena itu, teologi kristiani berbeda dengan ilmu
kalam. Meskipun demikian, istilah teologi dalam kajian keislaman
diterjemahkan ilmu kalam yang merupakan satu dari empat disiplin

1
Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, Cet. V (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989),
hlm. 11.

3
4

keilmuan tradisional dalam islam, yaitu fiqh, tasawuf, dan falsafah. Alasan
menterjemahkan ilmu kalam dengan teologi adalah karena ilmu kalam
membahas tentang segi-segi mengenai tuhan dan berbagai derivasinya.

Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian


yang lebih persis akan menerjemahkan ilmu kalam sebagai teologia dialektis
atau teologia rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang
sangat khas islam.2
Ilmu kalam dalam perkembangannya telah tumbuh menjadi bagian
dari tradisi kajian tentang agama islam. Karena itu, sebagai unsur dalam
studi klasik pemikiran keislaman, ilmu kalam menempati posisi yang cukup
terhormat dalam tradisi keilmuan kaum muslim. Ini terbukti dari jenis –jenis
penyebutan lain ilmu ini, yaitu ilmu ‘aqa’id, ilmu tauhid, dan ilmu
ushuluddin.3

B. Tujuan Rekonstruksi Teologi Islam

Banyak dari para pemikir intelektual muslim mewacanakan


rekonstruksi teologi Islam agar teologi Islam benar-benar menjadi Ilmu
yang bermanfaat bagi manusia dan umat masa kini. Yaitu dengan
melakukan rekonstruksi dan revisi , serta membangun kembali epistimologi
lama menju epistimologi yang baru. Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi
adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang
kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang
menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual
sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.

C. Sejarah Kelahiran Teologi Islam

Ilmu kalam lahir bermula dari polemik hebat antara sesama umat
Islam sendiri. Keretakan ini sesunguhnya sudah mulai terasa setelah
Rasulullah saw wafat, namun bisa teratasi dengan terpilihnya Abu Bakar
2
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 201-202.
3
HM. Zurkani Jahya, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 81.
5

sebagai khalifah. Pada zaman Khalifah Usman bin Affan terjadi lagi
kemelut politik yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah ketiga
ini. Peristiwa tragis yang biasa disebut al-fitnah al-kubra ini merupakan
awal dari perpecahan umat Islam yang kemudian melahirkan kekacauan
lebih parah di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib. Muawwiyah bin Abi
Sufyan, Gubernur Syria, bangkit menentang Khalifah Ali dengan dalih
menuntut bela atas kematian Usman, keluarganya. Perang saudara pun
terjadi yang dikenal dengan perang Shiffin. Perang ini berakhir dengan
peristiwa Tahkim (arbitrase). Peristiwa Tahkim inilah yang kemudian
melahirkan aliran atau madzhab dalam ilmu kalam (teologi). 4
Dalam konteks ini, Harun Nasution menyimpulkan bahwa
kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik. Sikap Ali yang
menerima tahkim pada perang Shiffin tersebut memunculkan ketidakpuasan
pihak pasukan Ali, dan kemudian keluar dari barisannya. Mereka
berpendapat bahwa persoalan yang terjadi pada saat itu tidak dapat
diputuskan melalui tahkim dan menuduh Ali bin Abi Thalib telah
melakukan dosa besar. Mereka itu dipelopori oleh Asy’ts ibn Qayis yang
dalam perkembangan sekanjutnya mereka itu disebut Khawarij. Selain
pasukan yang membelot dari Ali pada perang Shiffin, ada pula sebagian
besar yang tetap mendukung Ali. Kelompok inilah yang kemudian
memunculkan kelompok Syi’ah.
Khawarij, dianggap sebagai kelompok politik pertama
yang memunculkan persoalan teologi, ketika mereka mempersoalkan siapa
yang kafir di kalangan kaum Muslimin dan siapa yang bukan kafir.
Khawarij menghukumi orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim
sebagai orang yang kafir kerena telah melakukan dosa besar.
Sebagai reaksi dari fatwa Khawarij ini, sebagian umat Islam yang dipelopori
oleh Ghailan Damasqi, tidak menerima fatwa tersebut. Mereka ini dalam
perkembangan selanjutnya menjadi aliran Murji’ah. Menurut mereka,

4
Abu A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung:
Mizan, 1989), hlm. 181.
6

karena fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya
ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak.5
Secara spesifik kelompok yang dapat disebut sebagai mazhab kalam
atau teologi pertama terdapat pada Qadariyah dan Jabariah. Mazhab
Qadariyah didirikan oleh Ma’bad ibn Khalid al-Juhani (79H/699M).
Mazhab ini berpandangan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya (free will dan free act).
Paham Qadariyah mendapat perlawanan dari paham Jabariyah yang
dipelopori oleh Jahm ibn Shafwan (127H/745M). Pandangan utama paham
ini adalah bahwa semua perbuatan manusia ditentukan oleh kuasa Tuhan
termasuk keimanan, kebajikan dan kejahatnnya. Manusia dalam hal ini
tergantung dari kekuasaan atau paksaan Allah dalam segala kehendak dan
perbuatannya; kerena itu tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan
pilihan atas segala perbuatannya.
Sementara persoalan dosa besar yang diperdebatkan antara Khawarij
dan Murji’ah kemudian memunculkan golongan Mu’tazilah yang
dipelopori oleh Washil ibn Atho’ (80-131 H). Mu’tazilah tidak menerima
pendapat Khawariz maupun Murji’ah. Mereka berpandangan bahwa orang
berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Tetapi mengambil
posisi antara mukmin dan kafir, yang dikenal dengan istilah al-manzilah
bain al-manzilatain. Mu’tazilah inilah, menurut Nurcholis Madjid,
merupakan pelopor yang sungguh-sunggguh digiatkannya pemikiran
tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Paham mereka
amat rasional sehingga mereka dikenal sebagai paham rasionalis Islam.
Sikap rasionalik ini dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai
kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan
wahyu dalam memahami agama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras
dari golongan tradisiona Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-

5
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 1986) hlm. 60.
7

pengikut mazhab ibn Hambal. Mereka yang menentang ini kemudian


mengambil bentuk aliran teologi tradisonal yang dipelopori Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari (w. 324H/935M). Disamping aliranAsy’ariyah, timbul pula suatu
aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah.
Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi
(w.333H/944M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-
Maturudiyah. Kedua aliran ini kemudian digolongkan sebagai Ahlu as-
Sunnah wa-Jama’ah.6
D. Perkembangan Rekonstruksi Teologi Islam

1. Kritik Terhadap Teologi Islam Klasik


Teologi (ilmu kalam) dalam khazanah intelektual Islam
merupakan suatu ilmu yang memusatkan pembicaraannya pada dan
tentang Tuhan dengan segala dimensi-Nya. Ruang lingkup kajiannnya
seputar kepercayaan tentang Tuhan dengan segala segi-Nya, wujud-Nya,
sifat-Nya, perbuatan-Nya, keesaan-Nya dan semacamnya. Jadi, dimensi
kemanusiaan dalam teologi nyaris tak tersentuh. Kalaupun ada di antara
temanya menyentuh tentang manusia, hanyalah dalam dimensi vertikal
hubungan manusia dengan Tuhan.

Allah berfirman pada surah Al-An'am ayat 103 :

Artinya:

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi
Maha Mengetahui
Sebagaimana telah diuraikan di atas, persoalan politik juga
begitu besar pengaruhnya terhadap munculnya persoalan teologi dalam
Islam. Kondisi politik, yaitu terbunuhnya para Khulafa’ Al-Rasyidin
menjadi salah satu sumber utama dalam perumusan konsepsi,

6
Ibid, hlm 65.
8

kategorisasi dan definisi ilmu kalam atau teologi. Iman, kufur, nifak,
dosa besar, Qadariyah dan Jabariyah. Setelah itu muncul pengakuan
kelompok Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan
sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, para ilmuwan akidah menyusun
dan membukukan pengertian dan batasan-batasan ilmu kalam. Sudah
barang tentu bahan-bahan pertimbangan untuk pembakuan definisi-
definisi ilmu kalam amat sangat terbatas dari situasi seperti itu,
dibandingkan dengan bahan-bahan pertimbangan yang bisa diperoleh
dari luar situasi pertikaian politik.7
Dengan kata lain, paling tidak, proses pembakuan keilmuan
teologi klasik disusun tidak dalam situasi yang tenang tentram, tetapi
disusun sesuai dengan alur kepentingan kepentingan kelompok yang
hidup pada saat itu. Teologi tanpa terasa telah membaur menjadi
kepentingan politik. Barangkali berangkat dari kenyataan seperti itu,
da`tanglah kritik yang beranek ragam dari para pemikir yang datang
belakangan terhadap eksistensi ilmu kalam atau teologi dan pemahaman
pemahaman tauhid akidah dalam format keilmuan klasik. Al-Ghazali
menyatakan bahwa akidah yang diformulasikan lewat ilmu kalam tidak
dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan, tetapi melalui ilmu
tasawuflah seseorang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Ibnu
Taymiyah juga berpendapat demikian. Karena ilmu kalam
menggunakan akal sebagai alat untuk memahami agama, maka ia
menganjurkan agar menjauhi ilmu kalam.
Muhammad Iqbal juga melihat adanya anomali-anomali yang
melekat dalam literatur teologi klasik. Teologi Asy’ariyah
menggunakan cara berfikir dialektika Yunani untuk mempertahankan
dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam. Pemikiran teologi
Asy’ariyah dinilai tidak kondusif untuk memajukan dan
membangkitkan etos keilmuan dalam pemikiran islam. Mu’tazilah,
sebaliknya terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya tidak

7
Amin Abdullah, Dinamika Islam Cultural, (Bandung; Mizan, 2000), hlm. 53-55
9

menyadari bahwa dalam wilayah agama, pemisahan antara pemikiran


agama dari pengalaman konkret merupakan kesalahan besar. Al-
Ghazali juga dipersalahkan oleh Iqbal, karena dianggap telah memorak
porandakan struktur pengalaman keberagamaan dengan hanya
mendasarkan agama pada landasan skeptik, dengan alasan bahwa
pemikiran manusia yang terbatas tidaklah dapat mengetahui dan
memahami sesuatu yang tidak terbatas.
Kenyataan bahwa teologi Islam klasik belum dapat dipisahkan
dengan rumusan teologi abad pertengahan, merupakan hal yang tidak
bisa dibantah. Sejak awal kelahirannya sampai sekarang, teologi Islam
masih belum beranjak dari masalah-masalah Tuhan dan sifat-sifat-Nya,
apakah kehendak manusia dari Tuhan (jabariyah) atau manusia bebas
dengan kehendaknya sendiri (qadariyah), apakah al-Qur’an itu makhluk
atau tidak, apakah perbuatan Tuhan terkait dengan hukum kausalitas
atau tidak, dan seterusnya. Pemikiran teologi Islam klasik lebih bersifat
transendental-spekulatif.
Karena itu, banyak dari para pemikir intelektual muslim
mewacanakan rekonstruksi teologi Islam agar teologi Islama benar-
benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan umat masa kini.
Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun
kembali epistimologi lama menuju epistimologi yang baru. Tujuan
pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama
tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai
ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan
tradisional memiliki fungsi secara aktua sebagai landasan etnik dan
motivasi bagi manusia.
Sebab itu juga banyak kritik yang disuarakan oleh para pemikir
Islam terhadap teologi Islam Klasik. Salah satunya adalah Hasan Hanafi,
jauh-jauh hari telah menawarkan rekontruksi teologi Islam ke arah
antroposentrisme. Menurut Hanafi, sejarah Islam tentang teologi
kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal
10

dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan


klasik di bidang teologi yang kita warisi dari para pendahulu Muslim
pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang
kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata
kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para
pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni,
abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-
kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi
paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana
tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif
dan revolutif.
Senada dengan pandangan tersebut, Fazlur Rahman (dalam
Romas) menyatakan bahwa teologi atau berteologi haruslah dapat
menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing dan
menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung jawab moral,
yang dalam Al-Qur’an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam
merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan
setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai
kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan
agama. Disebut fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan
kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia serta dapat
diajarkan pada umat.
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan
postmodern, Islam harusnya mampu meletakkan landasan pemecahan
terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi
manusia, keterbelakangan, dan sebagainya). Teologi yang fungsional
adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan
berdialog, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai
persoalan empirik kemanusiaan.
Berangkat dari hal itu, Amin Abdullah berpandangan bahwa
tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer adalah isu-isu
11

kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan


struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam
agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan
tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan-persoalan
kemanusiaan universal (antroposentris), memiliki rumusan teologis
yang lambat laun akan menjadi out of date. Al-Qur’an sendiri hampir
dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh dimensi kemanusiaan
universal.8
Kalau kita analisis dari pandangan-pandangan tersebut,
setidaknya terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh pembahasan
teologi Islam klasik diantaranya:
a. Ilmu kalam menonjolkan pembahasannya pada hal-hal abstrak
seputar eksistensi Tuhan dan atribut-atribut yang melekat pada-
Nya, yang tidak berkorelasi dengan realitas sosial.
b. Teologi Islam tradisional dalam paradigmanya cenderung
spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial
serta momentum perlawanannya.
c. Paradigma teologi klasik Islam sudah tidak relevan dengan tuntutan
modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman,
karena itu sudah saatnya direformasi, rekonstruksi, dan reformulasi
dalam modelnya yang baru dan progresif.

2. Rekonstruksi Teologi Islam Klasik: Dari Teosentrisme Ke


Antroposentrisme
Pada era kontemporer seperti ini tantangan teologi Islam adalah
isu-isu kemanusiaan universal seperti pluralisme, demokrasi, HAM,
kemiskinan dan lain sebagainya. Apabila teologi Islam klasik dengan
segala rumusannya lahir sebagai jawaban atas problematika yang
berkembang pada saat itu, maka pastinya ia harus mampu merespon
tantangan zaman kekinian yang sedang berkembang agar tidak

8
Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1995), hlm. 36
12

kehilangan peran vitalnya sebagai piranti sistem kepercayaan dalam


beragama. Oleh karena itu, perlu kiranya memahami dan menjelaskan
kembali konsep-konsep atau rumusan-rumusan teologi Islam klasik itu.
Upaya untuk memahami perkembangan pemikiran manusia
kontemporer yang ditimbulkan oleh perubahan sosial, menjadi tuntutan
yang tidak bisa ditawar bagi teologi Islam klasik agar rumusanya tidak
out of date.
Formulasi ilmu kalam atau sistem teologi klasik hanya
menyentuh konsep ketuhanan yang kering dengan wacana kemanusiaan
dan tidak mempunyai sense terhadap problematika sosial yang muncul.
Wahyu yang dalam sejarah penyelamatan umat manusia menjadi suatu
cara yang diajarkan kepada nabi-Nya untuk memahami dan mengubah
realitas direduksi sedemikian rupa, sehingga wacana yang diproduksi
menjadi ekslusif dan apologetis. Ilmu kalam atau sistem teologi sebagai
salah satu mode of thought dalam khazanah intlektual Islam mestinya
membicarakan tema-tema kebebasan itu yang menyangkut praksis
kehidupan sehari-hari.
Untuk itu perlu membangun teologi Islam sebagai solusi bagi
kehidupan manusia, agar tercipta perdamaiaan, kesejahteraan dan anti
kekerasan. Banyak pemikir yang memberikan solusi teologis yang
relevan bagi kehidupan masyarakat dewasa ini.
Menurut Arkoun, mandegnya teologi Islam dalam merespon
persoalan dan tantangan zaman kekinian adalah karena ilmu ini
diposisikan seolah-olah berada di luar sejarah dan di luar kemestian
sosial. Rumusan teologi Islam klasik dibakukan dan dianggap sebagai
parameter yang harus dipelajari dan diikuti. Tidak ada ruang untuk
mendikusikannya: menjadi diskursus yang baku dan kaku, dijelmakan
menjadi ukuran-ukuran yang ideal dan hukum transenden yang suci.
Hasan Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam,
dengan berpandangan bahwa teologi Islam klasik tidak ‘ilmiah’ dan
tidak ‘membumi’. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar
13

sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai


ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara
aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu,
gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk
mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju
antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada
kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju
kehendak bebas.
Perlunya rekonstruksi pemikiran teologi Islam dari teosentrisme
ke antroposentrisme, sesungguhnya dilatari oleh sekurang-kurangnya
tiga hal, yaitu: Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang
jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi.
Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritiknya,
melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata
mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Ketiga,
kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah) yaitu
secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam
dunia Islam.
Hal ini sesuai pandangan Farid Essack bahwa berteologi bukan
berarti mengurusi urusan Tuhan semata, neraka, surga dan lain-lain.
Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus, banyak mengurusi Tuhan itu
adalah pekerjaaan sia-sia (mubazir). Teologi harus dipraksiskan, bukan
digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan pribadi. Akan tetapi dengan
mendekati dan mengasihi makhluknya, kita juga telah mengabdikan diri
kepada Tuhan.
Untuk pengembangan Teologi Islam, menurut M. Amin Syukur
(dalam Af’idah Salmah) perlu memanfaatkan pendekatan multidisiplin
dengan tujuan untuk menyusun konfigurasi iman yang diperkirakan
14

akan mampu berbuat banyak bagi tercapainya tujuan Risalah Islam,


yaitu rahmatan lil’alamin.9
Kuntowijoyo, juga menyebutkan dua pandangan yang berbeda
mengenai gagasan pembaharuan teologi. Pertama, pandangan dari
kalangan yang lebih menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-
ajaran normative dalam berbagai karya kalam klasik (refleksi normatif).
Kedua, pandangan dari kalangan yang cenderung menekankan perlunya
reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris
(refleksi actual-empiris).10
Menurut Engineer, teologi itu haruslah membebaskan. Ada tiga
ciri teologi pembebasan: Pertama: Tidak menginginkan status quo atau
anti kemapanan, baik kemapanan religius maupun politik Kedua:
Teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok
yang tertindas dan tercabut hak miliknya. Ketiga: Teologi pembebasan
mendorong pengembangan praksis Islam sebagai kompromi antara
kebebasan manusia dan takdir.11

3. Karakteristik Pemikiran Teologi Kontemporer


Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan para
pemikir muslim kontemporer sebagaimana telah diuraikan di atas, maka
dapat diketahui ada beberapa karakteristik teologi kontemporer, yaitu:

a. Bersifat Antroposentris
Hasan Hanafi memunculkan paradigm baru dalam kajian
teologi kontemporer, yaitu paradigm yang bersifat antroposentris.
Begitu antroposentrisnya, sampai ia mengatakan bahwa Tuhan
adalah diri mansia itu sendiri. Kita tidak perlu memikirkan Tuhan
yang ada di langit. Sebab ia tidak butuh pemikiran kita. Energi

9
Af’idah Salmah (Ed.), Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif terhadap Hedonisme
Kehidupan Modern (Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 19.
10
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), hlm.
286-287
11
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 24-25.
15

pikiran kita, sebaiknya digunakan untuk menyelesaikan problem-


problem kemanusiaan yang masih banyak belum terselesaikan.
Pendekatan sosial dalam wilayah sosial keagamaan lebih
menekankan metodologi pendekatan Einfuhlung, yakni kontak
langsung lewat perasaan bukan melalui pertimbangan kognisi dan
akal pikiran. Lewat pendekatan ini manusia dituntut untuk dapat
menghayati dan memahami yang dirasakan oleh orang lain dalam
batinnya, sebagaimana yang kita rasakan sendiri jika menghadapi
persoalan-persoalan serupa.
Pemahaman terhadap keberadaan diri sendiri yang terlepas
dari komentar, masukan dan kritik dianggap tidak lagi memadai.
Pemahaman diri sendiri dan kelompok sendiri harus terkait dengan
pemahaman orang lain tentang diri dan kelompok kita sendiri.
Fazlur Rahman menegaskan bahwa yang sebenarnya dituju oleh al-
Qur’an bukanlah Tuhan melainkan manusia dan tingkah lakunya.
Nuansa pemikiran dan refleksi social dibelakang pernyataan
Rahman tampak ada disitu. Wilayah normative theology perlu
segera dipertautkan dengan isu-isu yang muncul dalam wilayah
practical theology.
b. Integrasi Teologi Dan Filsafat
Konstruksi bangunan filsafat Islam klasik menurut Hasan
Hanafi hanya membahas piramida keilmuan Islam, yakni teologi,
kosmologi dan logika. Di mana pemikiran dan keprihatinan tentang
kemanusiaan dan kesejarahan hilang dari model of thought
pemikiran Islam klasik. Hal ini dapat dimaklumi karena konstruksi
pemikiran filsafat Islam klasik lebih banyak terpengaruh oleh pola
konstruksi pemikiran dan logika Yunani, sedangkan filsafat Yunani
sendiri belum mengembangkan secara tajam nuansa-nuansa
pemikiran sosial. Pada dataran pendekatan filsafat sosial, ada
beberapa kata kunci yang digunakan oleh pendekatan teologi.
Kesadaran akan adanya orang lain di luar diri kita sendiri sangat
16

ditonjolkan.
Filsafat yang dimaksud adalah metodologi berfikir. Berfikir
kritis-analisis dan sistematis. Ia lebih mencerminkan proses berfikir
dan bukan sekedar produk berfikir. Dalam proses berfikir itulah
metodologi filsafat dapat diaktualisasikan dalam pemikiran teologi
tanpa dibarengi sentuhan filsafat, agama dan kekuatan spiritual
yang lain dalam era globalisasi budaya akan semakin sulit
memerankan jati dirinya. Kerjasama antar berbagai metode
keilmuan adalah merupakan keniscayaan bagi pengembangan
keilmuan teologi dalam menatap realitas sosial keagamaan di masa
depan.
Era klasik skolastik yang mempertentangkan dengan tajam
kedua pendekatan tersebut dalam memecahkan persoalan agama
telah lewat, isu keterbukaan berkat globalisasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang tidak mungkin dibendung dengan cara apapun
mendorong orang untuk mencari altenatif baru dengan
menggunakan pendekatan yang lebih bernuansa sosio-filosofis-
qur’anis.
c. Berparadigma kritis
Karakteristik teologi kontemporer salah satunya adalah
mempunyai paradigma kritis. Paradigma ini dimotori oleh Ali
Shariati dan Asghar Ali Enginer dengan teologi pembebasannya.
Teologi pembebasan merupakan usulan kreatif yang mengaitkan
antara pentingnya paradigma baru dalam teologi yang memerangi
penindasan dalam struktur sosio-ekonomi. Paradigma ini
dilatarbelakangi oleh banyaknya fenomena arogansi kekuasaan,
ketidakadilan, penindasan terhadap kaum lemah, pengekangan
terhadap aspirasi masyarakat banyak, diskriminsi kulit, bangsa atau
jenis kelamin, penumpukan kekayaan dan pemusatan kekuasaan
dalam realitas masyarakat kontemporer. Paradigma kritis Ali
Shariati dapat dilihat melalui syair-syairnya yang tampak sangat
17

memihak pada masyarakat tertindas.


Paradigma ini memandang islam sebagai agama yang
menjadi pendorong revolusi sosial untuk memerangi struktur yang
menindas. Tujuan dasar paradigm ini adalah persaudaraan universal
(universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan social
(social justice).
d. Berprinsip Pegembangbiakan Dan Pembebasan
Prinsip pengembangbiakan bukan aturan metodologis
melainkan suatu prinsip bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak
dapat dicapai dengan mengikuti metode atau teori tunggal.
Kemajuan ilmu pengetahuan akan dicapai dengan membiarkan
teori-teori yang beraneka ragam. Prinsip ini dapat dipergunakan
untuk studi teologi kontemporer, setiap pengkaji dapat secara sadar
memaknai doktrin-doktrin teologi sesuai pengalaman keagamaan
dan situasi sosialnya sendiri. Dengan begitu, orang tidak lagi saling
mengkafirkan dan merasa paling benar sendiri.
Prinsip pembebasan berarti membiarkan segala sesuatu
berlangsung dan berjalan tanpa banyak aturan. Semua metode,
termasuk yang paling jelas sekalipun pasti mempunyai keterbatasan,
sehinga tidak harus dipaksakan untuk menyelidiki semua objek.
Berdasarkan prinsip apa saja boleh, maka riset ilmu teologi dapat
dilakukan dengan metode apa saja, kapan saja, dimana saja, oleh
siapapun dan bagaimanapun juga. Prinsip inilah yang menjelaskan
mengapa orang muallaf setelah umur dewasa keyakinan
keislamannya seringkali jauh lebih tinggi daripada orang yang telah
menjadi muslim sejak kecil. Ini artinya metode mengkaji teologi
sesungguhnya dapat dilakukan dengan apa saja. Dengan kata lain
metode pengembangan teologi dapat dilakukan dengan cara apapun
juga. Setiap orang bebas dan boleh mengikuti kecenderungannya
18

melakukan usaha kritis memahami teologi sehingga ia mampu


mencapai tingkat keyakinan yang lebih tinggi.12

12
Prasetyo, Hakekat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, (Jakarta: Gramedia, 1993),
hlm. 56
BAB III PENUTUP

PENUTUP
A. Kesimpulan
Rekonstruksi memiliki arti membangun kembali,sedangakn teologi
islam adalah ilmu tentang ketuhanan. Jadi, rekonstruksi teologi islam adalah
pembangunan kembali ilmu tentang ketuhanan. Namun sebenarnya teologi
bukanlah Ilmu tentang Tuhan melainkan teologi adalah ilmu tentang kata
(kalam) Tuhan, Karena Tuhan itu tidak tunduk kepada Ilmu. Tuhan
mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu.
Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan
teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan
menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan
keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai
landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
Ilmu kalam (teologi) lahir bermula dari polemik hebat antara sesama
umat Islam sendiri. Keretakan ini sesunguhnya sudah mulai terasa setelah
Rasulullah saw wafat, namun bisa teratasi dengan terpilinya Abu Bakar
sebagai khalifah.
Perkembangan teologi dibagi menjadi teologi klasik dan teologi
kontemporer. Teologi klasik memiliki karakteristik tekstualis,pembahasan
yang vertikal, belum membahas realitas sosial, dan kental dengan nuansa
konsep ketuhanan. Sedangakan karakteristik teologi kontemporer yaitu
bersifat antropo centris, integrasi teologi dan filsafat, berparadigma kritis,
berprinsip pengembangbiakkan dan pembebasan.
B. Saran
Pada penulisan makalah kali ini diharapkan semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan apabila ada kesalahan dalam penulisan
diharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 1995. Falsafah Kalam. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Abdullah, Amin. 2000. Dinamika Islam Cultural. Bandung; Mizan.

Al-Maududi, Abu A’la. 1989. Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad Al-Baqir.
Bandung: Mizan.

Engineer, Asghar Ali. 2000. Islam dan Teologi Pembebasan Terj. Agung
Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hanafi, Ahmad. 1989. Pengantar Theology Islam Cet. V. Jakarta: Pustaka Al-
Husna.

Jahya, Zurkani. 1996. Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan,

Madjid, Nurcholis. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:
Paramadina.

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa


Perbandingan. Jakarta: UI Press.

Prasetyo. 1993. Hakekat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu,. Jakarta:


Gramedia,

Salmah, Af’idah. 2003. Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif terhadap


Hedonisme Kehidupan Modern. Solo: Tiga Serangkai.

20

Anda mungkin juga menyukai