TUGAS KELOMPOK 13
MAKALAH
UPAYA REKONSTRUKSI TEOLOGI ISLAM DI ERA
MODERN
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Disusun oleh:
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Teologi Islam.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Penyusun mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian dan penyusunan
makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, karena masih banyaknya kekurangan yang ada pada diri penyusun.
Untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca, sehingga pada penyusunan makalah selanjutnya bisa lebih baik.
Akhir kata penyusun berharap makalah Teologi Islam ini dapat bermanfaat
bagi penyusun khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Semoga Allah ُس ْب َحانَه
ُ
َوتَعَالَىselalu atau senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya bagi kita
semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimologis istilah teologi bersal dari bahasa yunani, yaitu
theologia. Yang berasal dari dua kata theoos yang berarti Tuhan dan logos
yang artinya Ilmu. Sehingga arti Teologi islam adalah pengetahuan
ketuhanan. Sedangkan pengertian Teologi Islam menurut terminologi adalah
ilmu yang membahas tentang ketuhanan yang mencakup seluruh ketauhidan.
Sedangkan rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh
dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Teologi dipahami oleh sebagian besar kaum muslimin sebagai ilmu
yang membahas dan mengkaji tentang ketuhanan saja. Ia jauh dari aspek-
aspek kemanusiaan. Oleh sebab itu, wajar jika ia disebut sebagai ilmu
teologi (seperti arti secara epistimologi dari kata Theos dan logos). Para ahli
intelektual muslim masa kini memulai untuk mengkaji kembali paradigma-
paradigma yang ada dalam ilmu teologi. Banyak dari mereka menegaskan
bahwa sesungguhnya teologi bukanlah ilmu murni yang hadir dari
kekosongan sejarah, melainkan sebuah refleksi dan implikasi dari konflik-
konflik sosial politik. Oleh karena itu, kritik kepada teologi merupakan hal
yang sah dan dibenarkan. Teologi bukanlah Ilmu tentang Tuhan melainkan
teologi adalah ilmu tentang kata (kalam) Tuhan, Karena Tuhan itu tidak
tunduk kepada Ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang
berupa wahyu.
Rekonstruksi teologi adalah salah satu cara yang mesti ditempuh jika
diharapkan teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkrit bagi
sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk
mentrasformasikan teologi menuju antropologi, sebagai wacana tentang
1
2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian rekonstruksi teologi islam.
2. Untuk mengetahui tujuan rekonstruksi teologi islam.
3. Untuk mengetahui sejarah rekonstruksi teologi islam.
4. Untuk mengetahui perkembangan rekonstruksi teologi islam.
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rekonstruksi Teologi Islam
Teologi secara bahasa berasal dari kata “theos” yang berarti Tuhan,
dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi, secara bahasa teologi adalah ilmu
tentang ketuhanan. Sedangkan secara terminologis, teologi adalah ilmu yang
membahas Tuhan dan segala sesuatu yang terkait dengannnya, hubungan
manusia dengan Tuhan, dan hubungan Tuhan dengan manusia.1
Selain itu, pengertian teologi islam adalah ilmu yang membahas
tentang ketuhanan yang mencakup seluruh ketauhidan. Ketauhidan dengan
kata lain mengesakan Allah س ْب َحانَهُ َوتَعَالَى
ُ . Sebagaimana dalam firman Allah
س ْب َحانَهُ َوتَعَالَى
ُ surah Al-Ikhlas ayat 1 yang berbunyi:
Artinya:
Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa
1
Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, Cet. V (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989),
hlm. 11.
3
4
keilmuan tradisional dalam islam, yaitu fiqh, tasawuf, dan falsafah. Alasan
menterjemahkan ilmu kalam dengan teologi adalah karena ilmu kalam
membahas tentang segi-segi mengenai tuhan dan berbagai derivasinya.
Ilmu kalam lahir bermula dari polemik hebat antara sesama umat
Islam sendiri. Keretakan ini sesunguhnya sudah mulai terasa setelah
Rasulullah saw wafat, namun bisa teratasi dengan terpilihnya Abu Bakar
2
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 201-202.
3
HM. Zurkani Jahya, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 81.
5
sebagai khalifah. Pada zaman Khalifah Usman bin Affan terjadi lagi
kemelut politik yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah ketiga
ini. Peristiwa tragis yang biasa disebut al-fitnah al-kubra ini merupakan
awal dari perpecahan umat Islam yang kemudian melahirkan kekacauan
lebih parah di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib. Muawwiyah bin Abi
Sufyan, Gubernur Syria, bangkit menentang Khalifah Ali dengan dalih
menuntut bela atas kematian Usman, keluarganya. Perang saudara pun
terjadi yang dikenal dengan perang Shiffin. Perang ini berakhir dengan
peristiwa Tahkim (arbitrase). Peristiwa Tahkim inilah yang kemudian
melahirkan aliran atau madzhab dalam ilmu kalam (teologi). 4
Dalam konteks ini, Harun Nasution menyimpulkan bahwa
kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik. Sikap Ali yang
menerima tahkim pada perang Shiffin tersebut memunculkan ketidakpuasan
pihak pasukan Ali, dan kemudian keluar dari barisannya. Mereka
berpendapat bahwa persoalan yang terjadi pada saat itu tidak dapat
diputuskan melalui tahkim dan menuduh Ali bin Abi Thalib telah
melakukan dosa besar. Mereka itu dipelopori oleh Asy’ts ibn Qayis yang
dalam perkembangan sekanjutnya mereka itu disebut Khawarij. Selain
pasukan yang membelot dari Ali pada perang Shiffin, ada pula sebagian
besar yang tetap mendukung Ali. Kelompok inilah yang kemudian
memunculkan kelompok Syi’ah.
Khawarij, dianggap sebagai kelompok politik pertama
yang memunculkan persoalan teologi, ketika mereka mempersoalkan siapa
yang kafir di kalangan kaum Muslimin dan siapa yang bukan kafir.
Khawarij menghukumi orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim
sebagai orang yang kafir kerena telah melakukan dosa besar.
Sebagai reaksi dari fatwa Khawarij ini, sebagian umat Islam yang dipelopori
oleh Ghailan Damasqi, tidak menerima fatwa tersebut. Mereka ini dalam
perkembangan selanjutnya menjadi aliran Murji’ah. Menurut mereka,
4
Abu A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung:
Mizan, 1989), hlm. 181.
6
karena fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya
ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak.5
Secara spesifik kelompok yang dapat disebut sebagai mazhab kalam
atau teologi pertama terdapat pada Qadariyah dan Jabariah. Mazhab
Qadariyah didirikan oleh Ma’bad ibn Khalid al-Juhani (79H/699M).
Mazhab ini berpandangan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya (free will dan free act).
Paham Qadariyah mendapat perlawanan dari paham Jabariyah yang
dipelopori oleh Jahm ibn Shafwan (127H/745M). Pandangan utama paham
ini adalah bahwa semua perbuatan manusia ditentukan oleh kuasa Tuhan
termasuk keimanan, kebajikan dan kejahatnnya. Manusia dalam hal ini
tergantung dari kekuasaan atau paksaan Allah dalam segala kehendak dan
perbuatannya; kerena itu tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan
pilihan atas segala perbuatannya.
Sementara persoalan dosa besar yang diperdebatkan antara Khawarij
dan Murji’ah kemudian memunculkan golongan Mu’tazilah yang
dipelopori oleh Washil ibn Atho’ (80-131 H). Mu’tazilah tidak menerima
pendapat Khawariz maupun Murji’ah. Mereka berpandangan bahwa orang
berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Tetapi mengambil
posisi antara mukmin dan kafir, yang dikenal dengan istilah al-manzilah
bain al-manzilatain. Mu’tazilah inilah, menurut Nurcholis Madjid,
merupakan pelopor yang sungguh-sunggguh digiatkannya pemikiran
tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Paham mereka
amat rasional sehingga mereka dikenal sebagai paham rasionalis Islam.
Sikap rasionalik ini dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai
kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan
wahyu dalam memahami agama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras
dari golongan tradisiona Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-
5
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 1986) hlm. 60.
7
Artinya:
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi
Maha Mengetahui
Sebagaimana telah diuraikan di atas, persoalan politik juga
begitu besar pengaruhnya terhadap munculnya persoalan teologi dalam
Islam. Kondisi politik, yaitu terbunuhnya para Khulafa’ Al-Rasyidin
menjadi salah satu sumber utama dalam perumusan konsepsi,
6
Ibid, hlm 65.
8
kategorisasi dan definisi ilmu kalam atau teologi. Iman, kufur, nifak,
dosa besar, Qadariyah dan Jabariyah. Setelah itu muncul pengakuan
kelompok Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan
sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, para ilmuwan akidah menyusun
dan membukukan pengertian dan batasan-batasan ilmu kalam. Sudah
barang tentu bahan-bahan pertimbangan untuk pembakuan definisi-
definisi ilmu kalam amat sangat terbatas dari situasi seperti itu,
dibandingkan dengan bahan-bahan pertimbangan yang bisa diperoleh
dari luar situasi pertikaian politik.7
Dengan kata lain, paling tidak, proses pembakuan keilmuan
teologi klasik disusun tidak dalam situasi yang tenang tentram, tetapi
disusun sesuai dengan alur kepentingan kepentingan kelompok yang
hidup pada saat itu. Teologi tanpa terasa telah membaur menjadi
kepentingan politik. Barangkali berangkat dari kenyataan seperti itu,
da`tanglah kritik yang beranek ragam dari para pemikir yang datang
belakangan terhadap eksistensi ilmu kalam atau teologi dan pemahaman
pemahaman tauhid akidah dalam format keilmuan klasik. Al-Ghazali
menyatakan bahwa akidah yang diformulasikan lewat ilmu kalam tidak
dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan, tetapi melalui ilmu
tasawuflah seseorang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Ibnu
Taymiyah juga berpendapat demikian. Karena ilmu kalam
menggunakan akal sebagai alat untuk memahami agama, maka ia
menganjurkan agar menjauhi ilmu kalam.
Muhammad Iqbal juga melihat adanya anomali-anomali yang
melekat dalam literatur teologi klasik. Teologi Asy’ariyah
menggunakan cara berfikir dialektika Yunani untuk mempertahankan
dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam. Pemikiran teologi
Asy’ariyah dinilai tidak kondusif untuk memajukan dan
membangkitkan etos keilmuan dalam pemikiran islam. Mu’tazilah,
sebaliknya terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya tidak
7
Amin Abdullah, Dinamika Islam Cultural, (Bandung; Mizan, 2000), hlm. 53-55
9
8
Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1995), hlm. 36
12
a. Bersifat Antroposentris
Hasan Hanafi memunculkan paradigm baru dalam kajian
teologi kontemporer, yaitu paradigm yang bersifat antroposentris.
Begitu antroposentrisnya, sampai ia mengatakan bahwa Tuhan
adalah diri mansia itu sendiri. Kita tidak perlu memikirkan Tuhan
yang ada di langit. Sebab ia tidak butuh pemikiran kita. Energi
9
Af’idah Salmah (Ed.), Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif terhadap Hedonisme
Kehidupan Modern (Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 19.
10
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), hlm.
286-287
11
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 24-25.
15
ditonjolkan.
Filsafat yang dimaksud adalah metodologi berfikir. Berfikir
kritis-analisis dan sistematis. Ia lebih mencerminkan proses berfikir
dan bukan sekedar produk berfikir. Dalam proses berfikir itulah
metodologi filsafat dapat diaktualisasikan dalam pemikiran teologi
tanpa dibarengi sentuhan filsafat, agama dan kekuatan spiritual
yang lain dalam era globalisasi budaya akan semakin sulit
memerankan jati dirinya. Kerjasama antar berbagai metode
keilmuan adalah merupakan keniscayaan bagi pengembangan
keilmuan teologi dalam menatap realitas sosial keagamaan di masa
depan.
Era klasik skolastik yang mempertentangkan dengan tajam
kedua pendekatan tersebut dalam memecahkan persoalan agama
telah lewat, isu keterbukaan berkat globalisasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang tidak mungkin dibendung dengan cara apapun
mendorong orang untuk mencari altenatif baru dengan
menggunakan pendekatan yang lebih bernuansa sosio-filosofis-
qur’anis.
c. Berparadigma kritis
Karakteristik teologi kontemporer salah satunya adalah
mempunyai paradigma kritis. Paradigma ini dimotori oleh Ali
Shariati dan Asghar Ali Enginer dengan teologi pembebasannya.
Teologi pembebasan merupakan usulan kreatif yang mengaitkan
antara pentingnya paradigma baru dalam teologi yang memerangi
penindasan dalam struktur sosio-ekonomi. Paradigma ini
dilatarbelakangi oleh banyaknya fenomena arogansi kekuasaan,
ketidakadilan, penindasan terhadap kaum lemah, pengekangan
terhadap aspirasi masyarakat banyak, diskriminsi kulit, bangsa atau
jenis kelamin, penumpukan kekayaan dan pemusatan kekuasaan
dalam realitas masyarakat kontemporer. Paradigma kritis Ali
Shariati dapat dilihat melalui syair-syairnya yang tampak sangat
17
12
Prasetyo, Hakekat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, (Jakarta: Gramedia, 1993),
hlm. 56
BAB III PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rekonstruksi memiliki arti membangun kembali,sedangakn teologi
islam adalah ilmu tentang ketuhanan. Jadi, rekonstruksi teologi islam adalah
pembangunan kembali ilmu tentang ketuhanan. Namun sebenarnya teologi
bukanlah Ilmu tentang Tuhan melainkan teologi adalah ilmu tentang kata
(kalam) Tuhan, Karena Tuhan itu tidak tunduk kepada Ilmu. Tuhan
mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu.
Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan
teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan
menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan
keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai
landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
Ilmu kalam (teologi) lahir bermula dari polemik hebat antara sesama
umat Islam sendiri. Keretakan ini sesunguhnya sudah mulai terasa setelah
Rasulullah saw wafat, namun bisa teratasi dengan terpilinya Abu Bakar
sebagai khalifah.
Perkembangan teologi dibagi menjadi teologi klasik dan teologi
kontemporer. Teologi klasik memiliki karakteristik tekstualis,pembahasan
yang vertikal, belum membahas realitas sosial, dan kental dengan nuansa
konsep ketuhanan. Sedangakan karakteristik teologi kontemporer yaitu
bersifat antropo centris, integrasi teologi dan filsafat, berparadigma kritis,
berprinsip pengembangbiakkan dan pembebasan.
B. Saran
Pada penulisan makalah kali ini diharapkan semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan apabila ada kesalahan dalam penulisan
diharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.
19
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maududi, Abu A’la. 1989. Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad Al-Baqir.
Bandung: Mizan.
Engineer, Asghar Ali. 2000. Islam dan Teologi Pembebasan Terj. Agung
Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hanafi, Ahmad. 1989. Pengantar Theology Islam Cet. V. Jakarta: Pustaka Al-
Husna.
Madjid, Nurcholis. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:
Paramadina.
20