TINJAUAN PUSTAKA
2
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan.Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan
bagian posterior dibentuk oleh os vomer.Bagian tulang rawan yaitu kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum
dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar
dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006 dan Soetjipto dkk, 2012).
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os
maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau
atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal
dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid (Snell,
2006 dan Soetjipto dkk, 2012).
Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM adalah unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang
terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Bila terjadi
obstruksi pada KOM, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada
sinus yang terkait (Soetjipto dkk, 2012).
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior
dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris
interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoid anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena
hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah
3
membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis
anterior, dan sfenopalatina (Snell, 2006 dan Soetjipto dkk, 2012).
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dan n.nasosiliaris, yang berasal dan
n.oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dan n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion
sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut saraf sensoris dan n.maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dan n .petrosus
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dan n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dan n.olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung
(Soetjipto dkk, 2012).
Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa
pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel
skuamosa (Soetjipto dkk, 2012).
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai
arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang tidak bersilia. Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung
dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai
mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung pembuluh darah
(Soetjipto dkk, 2012).
4
2.1.2 Anatomi Sinus Paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung (Soetjipto dkk, 2012).
5
2.1.3 Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial osmaksila yang
disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporalmaksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris
dan palatum. Sinus maksila bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris. Karena sinus etmoid anterior dan sinus frontal bermuara ke
infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi
dari sinus-sinus ini ke sinus maksila adalah besar. Dari segi klinik yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1) dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis;
2) sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita;
3) ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis (Snell, 2006 dan Soetjipto
dkk, 2012).
6
sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Ukuran sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari
sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui
ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari
sinus etmoid anterior (Soetjipto dkk, 2012).
7
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.Atap sinus
etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus
etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan
dengan sinus sfenoid (Soetjipto dkk, 2012).
8
Gambar 4. Kompleks Ostio-Meatal
9
Eustachius. Sekret pada septum berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu
kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferor tuba Eustachius. Ini sebab
mengapa pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tapi belum
tentu ada sekret di rongga hidung (Soetjipto dkk, 2012).
10
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
11
2.3 Epidemiologi Rhinosinusitis Kronik
Di Indonesia data epidemiologi yang pasti mengenai prevalensi rinosinusitis
kronik masih belum jelas. Data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2003 menyatakan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan
ke25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat
jalan di rumah sakit. Data dari Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT-KL) RS. Cipto Mangunkusumo
menunjukkan angka kejadian rinosinusitis yang tinggi, yaitu 300 penderita (69%)
dari 435 penderita rawat jalan poli rinologi yang datang selama periode Januari–
Agustus 2005. Data di bagian Rinologi-Alergi THT-KL Rumah Sakit Hasan
Sadikin pada tahun 2011 tercatat 46% kasus rinosinusitis (Candra et al. 2013).
Di poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta tercatat sepanjang
tahun 2014 angka kejadian rinosinusitis kronik sebanyak 204 kasus (13,01%) dari
1567 pasien rawat jalan rawat jalan (Sthefhani, 2016).
12
“serambi depan” bagi sinus maksila dan frontal memegang peran penting dalam
terjadinya rinosinusitis kronis, bila terdapat gangguan di daerah KOM seperti
peradangan atau edema, maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase
sehingga terjadi rinosinusitis (Multazar, 2011).
Pada penderita rinosinusitis kronis terbukti bahwa akumulasi
ketidakseimbangan metabolisme asam arakhidonat dapat memainkan peran
penting dalam rinosinusitis kronis. Metabolisme asam arakhidonat dan
prostaglandin berperan sebagai mediator inflamasi pada suatu penyakit (Multazar,
2011).
Etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial dan
belum sepenuhnya diketahui, rinosinusitis kronis merupakan sindrom yang terjadi
karena kombinasi etiologi yang multipel. Berdasarkan EPOS 2012, faktor-faktor
yang berkaitan dengan terjadinya rinosinusitis kronis adalah kerusakan sistem
mukosiliar, alergi, asma, sensitif terhadap aspirin, pasien immunocompromised,
faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, faktor
lingkungan, faktor iatrogenik, Helicobacter pylori, refluks laringofaringeal, dan
osteitis (Fokkens, 2012).
13
terjadi kegagalan pengeluaran sekret sinus, sehingga menjadi predisposisi infeksi.
Sumbatan drainase dapat ditimbulkan oleh perubahan struktur ostium sinus, atau
oleh lesi dalam rongga hidung, misalnya hipertrofi adenoid, tumor hidung dan
nasofaring, dan suatu septum deviasi. Namun, faktor predisposisi yang paling
lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat
memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium sinus (Adams dan Boeis,
2013).
Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat
ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang
selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang
(Adams dan Boeis, 2013).
Rinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronis,
sumber infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis.
Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan,
akibatnya terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan
mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus (Adams dan Boeis, 2013).
14
Berdasarkan Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga kriteria
yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik, berdasarkan penemuan
pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 3. Diagnosis klinik
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal, CT-scan dan
lainnya (Busquets dkk, 2006).
Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS
2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
15
- Keluar sekret dari hidung atau post nasal dischage yang
purulen
Dan dapat disertai :
- Nyeri pada wajah
- Hiposmia atau anosmia
Durasi gejala ≥ 12 minggu
Pemeriksaan Rinoskopi anterior :
Fisik - Edema konka, dapat disertai hiperemia
- Sekret mukopurulen
Inspeksi rongga mulut :
- Sekret pada faring
- Eksklusi infeksi pada gigi
Pemeriksaan Dianjurkan, bila tidak sembuh setelah 2 minggu terapi
Penunjang (foto
rontgen)
Pemeriksaan Elaborasi faktor risiko yang mendasari
Lain
2.6.1 Anamnesis
Berdasarkan Pengurus Pusat Perhati-KL tahun 2015, anamnesis yang dapat
dilakukan antara lain.
a. Gejala Utama
Ingus mukopurulen
Ingus belakang hidung (post nasal drip)
Hidung tersumbat
Nyeri wajah
Hiposmia dan anosmia
b. Gejala Tambahan
Nyeri kepala
Halitosis/bau mulut
Nyeri daerah gusi atau rahang atas
Batuk
Nyeri telinga
Kelelahan
c. Gejala Faktor Risiko, jika ada :
16
Curiga rinitis alergi (ICD 10: J30.3) : gejala ingus encer, bersin, hidung
gatal jika terpajan alergen.
Curiga refluks laringofaringeal (ICD 10: K21.9) : gejala suara serak,
mendehem, ingus belakang hidung, kesukaran menelan, batuk setelah
makan/berbaring, rasa tercekik, rasa mengganjal di tenggorok, rasa
panas di dada (skor reflux symptom index).
Dapat disertai keluhan gangguan kualitas tidur (ICD 10: G.47.33),
sesuai dengan Epworth sleepiness scale (skor lebih dari 4).
Jika terdapat keluhan bengkak di mata, penglihatan ganda, penurunan
penglihatan, nyeri dan bengkak di dahi yang berat, nyeri kepala berat
dengan kaku kuduk dipikirkan kemungkinan komplikasi sinusitis ke
orbita atau intrakranial.
17
b. Setelah pemberian antibiotika selama 2 minggu, tidak memberikan
perbaikan terhadap infeksi bakteri dan atau
c. Setelah pengobatan medikamentosa maksimal selama 6-8 minggu jika
terdapat faktor risiko rinistis alergi atau refluks laringofaringeal
d. Jika diperlukan pemeriksaan alergi : dapat dilakukan tes cukit kulit dan
pemeriksaan eosinofil darah tepi untuk menentukan tipe inflamasi dan
diagnosis faktor risiko rinitis alergi.
e. Jika diperlukan pemeriksaan rinofaringolaringoskopi serat optik sebagai
pemeriksaan menilai Reflux Finding Score (RFS) untuk menegakkan
diagnosis faktor risiko Refluks Laringofaringeal (RLF)
f. Jika diperlukan dilakukan pemeriksaan kultur bakteri dan tes resistensi
dari sekret hidung
g. Bila terdapat kecurigaan komplikasi, konsultasi ke bidang terkait
(mata/neurologi)
h. Bila terdapat tanda infeksi bakteri, dilakukan pemeriksaan laju endap
darah (LED) dan C-reactive protein (CRP)
18
pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan
mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa.
Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung
memerlukan terapi yang berlainan juga (Mulyarjo, 2004).
19
- Erittromisin
- Klaritromisin
- Azitromisin
20
alergen, obat bebas atau obat resep dapat membantu. OTC antihistamin
atau semprot dekongestan hidung dapat digunakan untuk serangan akut.
- Orang-orang yang memiliki alergi musiman dapat mengambil obat
antihistamin yang tidak sedasi (nonsedatif) selama bulan musim-alergi.
- Hindari menghabiskan waktu yang lama di luar ruangan selama musim
alergi. Menutup jendela rumah dan bila mungkin, pendingin udara dapat
digunakan untuk menyaring alergen serta penggunaan humidifier juga
dapat membantu.
- Suntikan alergi, juga disebut "imunoterapi", mungkin efektif dalam
mengurangi atau menghilangkan sinusitis karena alergi. Suntikan
dikelola oleh ahli alergi secara teratur selama 3 sampai 5 tahun, tetapi
sering terjadi pengurangan remisi penuh gejala alergi selama bertahun-
tahun.
g. Menjaga supaya tetap terhidrasi dengan:
- Menjaga kebersihan sinus yang baik dengan minum banyak cairan
supaya sekresi hidung tipis.
- Semprotan hidung saline (tersedia di toko obat) dapat membantu menjaga
saluran hidung agar lembab, membantu menghilangkan agen infeksius.
Menghirup uap dari semangkuk air mendidih atau mandian panas beruap
juga dapat membantu.
- Hindari perjalanan udara. Jika perjalanan udara diperlukan, gunakan
semprotan dekongestan nasal sebelum keberangkatan untuk menjaga
bagian sinus agar terbuka dan sering menggunakan saline nasal spray
selama penerbangan.
- Hindari alergen di lingkungan: Orang yang menderita sinusitis kronis
harus menghindari daerah dan kegiatan yang dapat memperburuk kondisi
seperti asap rokok dan menyelam di kolam diklorinasi (Kentjono, 2004).
21
Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi
orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya (Busquets, 2006).
Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)
Komplikasi endokranial:
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis
d) Serebritis
e) Trombosis sinus kavernosus
Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis, perforasi
septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel, septikemia.
22
BAB III
KESIMPULAN
23
gejala dimana salah satunya adalah hidung buntu (nasal blockage / obstruction /
congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip): nyeri fasial /
pressure dan penurunan / hilangnya daya penciuman serta dapat di dukung oleh
pemeriksaan penunjang antara lain 1)endoskopik, dimana terdapat : polip atau
sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau udemmukosa
primer pada meatus medius dan CT – scan berupa perubahan mukosa pada
kompleks ostiomeatal dan atau sinus paranasal.
Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi
nasal, CT-scan dan lainnya. Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada
orang dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi
komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
24
Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps 2012. Rhinology Official Journal of the European and
International Societies. March 2012.50(23):55-223.
Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis.Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 1-16.
Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT‐KL.
Edisi enam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2009. hal 150‐4
Multazar A. Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2008. Tesis Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan THT-KL
FK USU. 2011
Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis.Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 59-65.
Pengurus Pusat Perhati-KL. Panduan Praktik Klinis, Panduan Praktik Klinis
Tindakan, Clinical Pathway di Bidang Telinga Hidung Tenggorok – Kepala
Leher. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Indonesia. 2015.
Snell, Richard S. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.
Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi E,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds.Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Jakarta: BP-FKUI;
2012. p.96-100.
Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi E, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, eds.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Jakarta: BP-FKUI; 2012. p.122-6.
25
Stefhani, D. Perbedaan Kadar Transforming Growth Factor Beta (TGF-ß) antara
Rhinitis Alergi dan Infeksi Gigi Rahang Atas pada Rinosinusitis Kronik.
Tesis Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2016.
26