Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal


2.1.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah, yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak
hidung (tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan (Gambar 1) yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasal), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dan beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor
dan tepi anterior kartilago septum (Soetjipto dkk, 2012).

Gambar 1. Anatomi Eksternal Hidung


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di belakang nares anterior disebut
vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise (Soetjipto dkk, 2012).
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaltu dinding lateral, medial,
inferiordan superior. Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar
sampai yang terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimeter. Di antara konka-konka
dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Berdasarkan letaknya, terdapat tiga meatus yaitu meatus superior, meatus medius,
dan meatus inferior. Meatus superior terletak di antara konka superior dan konka
media. Di daerah ini terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid
anterior.Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada daerah ini terdapat muara duktus
nasolakrimalis (Snell, 2006 dan Soetjipto dkk, 2012).

Gambar 2a. Dinding Lateral Hidung. Gambar 2b. Septum Nasi

2
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan.Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan
bagian posterior dibentuk oleh os vomer.Bagian tulang rawan yaitu kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum
dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar
dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006 dan Soetjipto dkk, 2012).
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os
maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau
atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal
dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid (Snell,
2006 dan Soetjipto dkk, 2012).
Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM adalah unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang
terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Bila terjadi
obstruksi pada KOM, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada
sinus yang terkait (Soetjipto dkk, 2012).
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior
dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris
interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoid anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena
hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah

3
membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis
anterior, dan sfenopalatina (Snell, 2006 dan Soetjipto dkk, 2012).
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dan n.nasosiliaris, yang berasal dan
n.oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dan n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion
sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut saraf sensoris dan n.maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dan n .petrosus
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dan n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dan n.olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung
(Soetjipto dkk, 2012).
Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa
pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel
skuamosa (Soetjipto dkk, 2012).
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai
arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang tidak bersilia. Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung
dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai
mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung pembuluh darah
(Soetjipto dkk, 2012).

4
2.1.2 Anatomi Sinus Paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung (Soetjipto dkk, 2012).

Gambar 3. Sinus Paranasal

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga


hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak
yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia
8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada orang sehat, sinus
terutama berisi udara. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang
mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret
disalurkan ke dalam rongga hidung (Soetjipto dkk, 2012).

5
2.1.3 Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial osmaksila yang
disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporalmaksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris
dan palatum. Sinus maksila bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris. Karena sinus etmoid anterior dan sinus frontal bermuara ke
infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi
dari sinus-sinus ini ke sinus maksila adalah besar. Dari segi klinik yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1) dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis;
2) sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita;
3) ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis (Snell, 2006 dan Soetjipto
dkk, 2012).

2.1.4 Sinus Frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan
kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh

6
sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Ukuran sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari
sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui
ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari
sinus etmoid anterior (Soetjipto dkk, 2012).

2.1.5 Sinus Etmoid


Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian
posterior (Soetjipto dkk, 2012).
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-
sel etmoid. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya
di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior
biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari
lamina basalis (Soetjipto dkk, 2012).
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang

7
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.Atap sinus
etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus
etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan
dengan sinus sfenoid (Soetjipto dkk, 2012).

2.1.6 Sinus Sfenoid


Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus
dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.Setiap sinus bermuara ke
dalam resesus sfenoetmoidalis di atas konka nasalis superior (Snell, 2006 dan
Soetjipto dkk, 2012).
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons (Soetjipto dkk, 2012).

2.1.7 Kompleks Ostio-Meatal


Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila (Soetjipto dkk, 2012).

8
Gambar 4. Kompleks Ostio-Meatal

2.1.7 Sistem Mukosiliar


Sistem transpor mukosiliar adalah sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama
udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan
palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar
seromusinosa submukosa (Soetjipto dkk, 2012).
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute pertama
adalah gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini
bergabung di dekat infundibulum etmoid, selanjutnya berjalan menuju tepi bebas
prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju
nasofaring melewati bagian anteroinferior orifisium tuba Eustachius. Transpor
aktif berlanjut ke epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, dan jatuh ke
bawah dibantu gaya gravitasi dan proses menelan (Soetjipto dkk, 2012).
Rute kedua adalah gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid
bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-
superior orifisium tuba Eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior dan
septum bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba

9
Eustachius. Sekret pada septum berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu
kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferor tuba Eustachius. Ini sebab
mengapa pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tapi belum
tentu ada sekret di rongga hidung (Soetjipto dkk, 2012).

2.1.8 Fungsi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan mengenai fungsi sinus paranasal
yakni:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi.Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga
hidung.Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar
yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita
dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara.Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif.Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

10
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.2 Definisi Rinosinusitis Kronis


Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat
dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa
hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu
sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan.3
Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya
merupakan sumbatan hidung (nasal blockage/obstruction/congestion) atau nasal
discharge (anterior/posterior nasal drip) selama 12 minggu atau lebih, serta
diikuti ada atau tanpa nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau hilangnya
daya penghidu (Fokkens dkk, 2012).
Selain gejala-gejala klinis tersebut, rinosinusitis kronis dapat didukung oleh
pemeriksaan penunjang antara lain: endoskopi, dimana dapat ditemukan polip dan
atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau
edema/obstruksi mukosa pada meatus medius; dan CT Scan, dapat ditemukan
perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal dan atau sinus paranasal (Fokkens
dkk, 2012).
Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan
sebagai sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid.
Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus
etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang (Fokkens
dkk, 2012).

11
2.3 Epidemiologi Rhinosinusitis Kronik
Di Indonesia data epidemiologi yang pasti mengenai prevalensi rinosinusitis
kronik masih belum jelas. Data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2003 menyatakan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan
ke25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat
jalan di rumah sakit. Data dari Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT-KL) RS. Cipto Mangunkusumo
menunjukkan angka kejadian rinosinusitis yang tinggi, yaitu 300 penderita (69%)
dari 435 penderita rawat jalan poli rinologi yang datang selama periode Januari–
Agustus 2005. Data di bagian Rinologi-Alergi THT-KL Rumah Sakit Hasan
Sadikin pada tahun 2011 tercatat 46% kasus rinosinusitis (Candra et al. 2013).
Di poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta tercatat sepanjang
tahun 2014 angka kejadian rinosinusitis kronik sebanyak 204 kasus (13,01%) dari
1567 pasien rawat jalan rawat jalan (Sthefhani, 2016).

2.4 Etiologi Rinosinusitis Kronik


Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks
ostiomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan (Soetjipto dkk, 2012).
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok
sinus anterior (frontalis, etmoidalis anterior dan maksilaris) dan berperan penting
bagi transpor mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang
cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Rinosinusitis lebih sering terjadi
pada beberapa sinus (multisinusitis) dibandingkan dengan satu sinus (single
sinusitis), hal ini kemungkinan berkaitan erat dengan kompleks ostiomeatal
(KOM), karena KOM merupakan satu kesatuan dari muara beberapa sinus, jika
terjadi gangguan patensi KOM, maka mungkin akan terjadi gangguan beberapa
sinus. KOM atau celah sempit di daerah etmoid anterior yang merupakan

12
“serambi depan” bagi sinus maksila dan frontal memegang peran penting dalam
terjadinya rinosinusitis kronis, bila terdapat gangguan di daerah KOM seperti
peradangan atau edema, maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase
sehingga terjadi rinosinusitis (Multazar, 2011).
Pada penderita rinosinusitis kronis terbukti bahwa akumulasi
ketidakseimbangan metabolisme asam arakhidonat dapat memainkan peran
penting dalam rinosinusitis kronis. Metabolisme asam arakhidonat dan
prostaglandin berperan sebagai mediator inflamasi pada suatu penyakit (Multazar,
2011).
Etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial dan
belum sepenuhnya diketahui, rinosinusitis kronis merupakan sindrom yang terjadi
karena kombinasi etiologi yang multipel. Berdasarkan EPOS 2012, faktor-faktor
yang berkaitan dengan terjadinya rinosinusitis kronis adalah kerusakan sistem
mukosiliar, alergi, asma, sensitif terhadap aspirin, pasien immunocompromised,
faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, faktor
lingkungan, faktor iatrogenik, Helicobacter pylori, refluks laringofaringeal, dan
osteitis (Fokkens, 2012).

2.5 Patofisiologi Rinosinusitis Kronik


Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusistis kronis cukup beragam. Dalam
patofisiologi sinusitis kronis, beberapa faktor ikut berperan dalam siklus dari
peristiwa yang berulang (Adams dan Boeis, 2013).
Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar
biasa terahadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri.
Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa
sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila faktor anatomi
menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk suatu
medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau anaerobik,
akibatnya berupa edema, sumbatan, dan infeksi (Adams dan Boeis, 2013).
Kegagalan mengobati rinosinusitis akut atau berulang secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya

13
terjadi kegagalan pengeluaran sekret sinus, sehingga menjadi predisposisi infeksi.
Sumbatan drainase dapat ditimbulkan oleh perubahan struktur ostium sinus, atau
oleh lesi dalam rongga hidung, misalnya hipertrofi adenoid, tumor hidung dan
nasofaring, dan suatu septum deviasi. Namun, faktor predisposisi yang paling
lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat
memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium sinus (Adams dan Boeis,
2013).
Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat
ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang
selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang
(Adams dan Boeis, 2013).
Rinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronis,
sumber infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis.
Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan,
akibatnya terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan
mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus (Adams dan Boeis, 2013).

Gambar 5. Siklus yang berulang, mengakibatkan terjadinya proses berkelanjutan yang


mengarah pada rinosinusitis kronis.

2.6 Diagnosis Rinosinusitis Kronik

14
Berdasarkan Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga kriteria
yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik, berdasarkan penemuan
pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 3. Diagnosis klinik
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal, CT-scan dan
lainnya (Busquets dkk, 2006).

REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS


(2003 TASK FORCE)
Duration Physical findings (on of the following must be
present)
>12 weeks of continuous 1. Discolored nasal discharge, polyps, or
symptoms (as described polypoid swelling on anterior rhinoscopy (with
by 1996 Task Force) or decongestion) or nasal endoscopy
physical findings 2. Edema or erythema in middle meatus on nasal
endoscopy
3. Generalized or localized edema, erythema, or
granulation tissue in nasal cavity. If it does not
involve the middle meatus, imaging is required
for diagnosis
4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or
computerized tomography)b
Tabel 3. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan pemeriksaan fisik. Bila
hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat
ditegakkan.

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS
2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.

Kriteria Sekurang-kurangnya 2 faktor mayor, dimana salah satu harus :


- Hidung tersumbat

15
- Keluar sekret dari hidung atau post nasal dischage yang
purulen
Dan dapat disertai :
- Nyeri pada wajah
- Hiposmia atau anosmia
Durasi gejala ≥ 12 minggu
Pemeriksaan Rinoskopi anterior :
Fisik - Edema konka, dapat disertai hiperemia
- Sekret mukopurulen
Inspeksi rongga mulut :
- Sekret pada faring
- Eksklusi infeksi pada gigi
Pemeriksaan Dianjurkan, bila tidak sembuh setelah 2 minggu terapi

Penunjang (foto
rontgen)
Pemeriksaan Elaborasi faktor risiko yang mendasari
Lain

2.6.1 Anamnesis
Berdasarkan Pengurus Pusat Perhati-KL tahun 2015, anamnesis yang dapat
dilakukan antara lain.
a. Gejala Utama
Ingus mukopurulen
Ingus belakang hidung (post nasal drip)
Hidung tersumbat
Nyeri wajah
Hiposmia dan anosmia
b. Gejala Tambahan
Nyeri kepala
Halitosis/bau mulut
Nyeri daerah gusi atau rahang atas
Batuk
Nyeri telinga
Kelelahan
c. Gejala Faktor Risiko, jika ada :

16
Curiga rinitis alergi (ICD 10: J30.3) : gejala ingus encer, bersin, hidung
gatal jika terpajan alergen.
Curiga refluks laringofaringeal (ICD 10: K21.9) : gejala suara serak,
mendehem, ingus belakang hidung, kesukaran menelan, batuk setelah
makan/berbaring, rasa tercekik, rasa mengganjal di tenggorok, rasa
panas di dada (skor reflux symptom index).
Dapat disertai keluhan gangguan kualitas tidur (ICD 10: G.47.33),
sesuai dengan Epworth sleepiness scale (skor lebih dari 4).
Jika terdapat keluhan bengkak di mata, penglihatan ganda, penurunan
penglihatan, nyeri dan bengkak di dahi yang berat, nyeri kepala berat
dengan kaku kuduk dipikirkan kemungkinan komplikasi sinusitis ke
orbita atau intrakranial.

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Berdasarkan Pengurus Pusat Perhati-KL tahun 2015, pemeriksaan fisik yang
dapat dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan atau nasoendoskopi dapat
ditemukan:
Sekret mukopukulen dari meatus medius
Edema dan/atau hiperemis dan/atau polip di meatus medius
Ingus di belakang hidung
Septum deviasi/ konka paradoks/ defleksi prosesus unsinatus ke lateral
b. Dapat ditemukan bengkak dan nyeri tekan di pipi dan kelopak mata
bawah (pada sinus maksila)
c. Dapat ditemukan bengkak dan nyeri tekan di pipi dan kelopak mata atas
pada sinusitis frontal
d. Dapat ditemukan tanda komplikasi sinusitis, berupa :
Edema/hiperemis periorbita
Diplopia
Oftalmoplegia
Penurunan visus
Tanda-tanda meningitis

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Berdasarkan Pengurus Pusat Perhati-KL tahun 2015, pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan antara lain.
a. CT scan sinus paranasal potongan koronal aksial soft tissue setting
ketebalan 3 mm tanpa kontras dilakukan jika :

17
b. Setelah pemberian antibiotika selama 2 minggu, tidak memberikan
perbaikan terhadap infeksi bakteri dan atau
c. Setelah pengobatan medikamentosa maksimal selama 6-8 minggu jika
terdapat faktor risiko rinistis alergi atau refluks laringofaringeal
d. Jika diperlukan pemeriksaan alergi : dapat dilakukan tes cukit kulit dan
pemeriksaan eosinofil darah tepi untuk menentukan tipe inflamasi dan
diagnosis faktor risiko rinitis alergi.
e. Jika diperlukan pemeriksaan rinofaringolaringoskopi serat optik sebagai
pemeriksaan menilai Reflux Finding Score (RFS) untuk menegakkan
diagnosis faktor risiko Refluks Laringofaringeal (RLF)
f. Jika diperlukan dilakukan pemeriksaan kultur bakteri dan tes resistensi
dari sekret hidung
g. Bila terdapat kecurigaan komplikasi, konsultasi ke bidang terkait
(mata/neurologi)
h. Bila terdapat tanda infeksi bakteri, dilakukan pemeriksaan laju endap
darah (LED) dan C-reactive protein (CRP)

Gambar 5. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik akibat


konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.

2.7 Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronik


Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan

18
pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan
mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa.
Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung
memerlukan terapi yang berlainan juga (Mulyarjo, 2004).

2.7.1 Terapi Medikamentosa


Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis
kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita dan
membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa
gagal maka cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik). Pada dasarnya
yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi
drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung
(Mulyarjo, 2004).
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa
polip nasi pada orang dewasa antara lain (PP Perhati-KL, 2015) :
a. Cuci hidung dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%)
b. Steroid topikal intranasal atau sistemik.
- Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
- Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.
c. Dekongestan (golongan agonis α-adrenergik), analgetik, dan
mukolitik
d. Terapi medikamentosa terhadap faktor risiko, yaitu antihistamin dan
steroid topikal intranasal untuk rinitis alergi persisten sedang berat dan proton
pump inhibitor untuk refluks laringofaringeal.
e. Antibiotik jika terdapat 3 gejala dan tanda infeksi bakteri dari 5
kriteria berikut ini : ingus mukopurulen satu sisi, nyeri wajah satu sisi, demam
lebih dari 380C, terdapat double sickening –gejala yang memberat sesuadah
tejadi perbaikan pemeriksaan, CRP dan LED meningkat, dan atau sesuai
kultur resistensi.
f. Antibiotik empirik selama 7 – 14 hari :
- Amoksisilin Klavulanat
- Sefalosporin

19
- Erittromisin
- Klaritromisin
- Azitromisin

2.7.2 Terapi Pembedahan


Terapi pembedahan dengan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)
(PP Perhati-KL, 2015) :
- Intranasal antrotomy
- Frontal sinusectomy
- Ethmoidectomy
- Sphenoidectomy
2.7.3 Terapi selama 3 hari pasca operasi (PP Perhati-KL, 2015) :
- Antibiotik intravena
- Parasetamol atau NSAID intravena
- Jika diperlukan Metilprednisolon dosis tinggi (3 x 125 g)
- Jika diperlukan Pseudoefedrin HCl oral
- Jika diperlukan Loratadin oral
- Jika diperlukan Asam Traneksamat intravena

2.8 Pencegahan Rinosinusitis Kronik


a. Menghindari penularan infeksi saluran pernapasan atas dengan menjaga
kebiasaan cuci tangan yang ketat dan menghindari orang-orang yang
menderita pilek atau flu.
b. Disarankan mendapatkan vaksinasi influenza tahunan untuk membantu
mencegah flu dan infeksi berikutnya dari saluran pernapasan bagian atas.
c. Obat antivirus untuk mengobati flu, seperti zanamivir (Relenza), oseltamivir
(Tamiflu), rimantadine (Flumadine) dan amantadine (Symmetrel), jika
diambil pada awal gejala, dapat membantu mencegah infeksi.
d. Dalam beberapa penelitian, lozenges seng karbonat telah terbukti
mengurangi durasi gejala pilek.
e. Pengurangan stres dan diet yang kaya antioksidan terutama buah-buahan
segar dan sayuran berwarna gelap, dapat membantu memperkuat sistem
kekebalan tubuh.
f. Rencana serangan alergi musiman.
- Jika infeksi sinus disebabkan oleh alergi musiman atau lingkungan,
menghindari alergen sangat penting. Jika tidak dapat menghindari

20
alergen, obat bebas atau obat resep dapat membantu. OTC antihistamin
atau semprot dekongestan hidung dapat digunakan untuk serangan akut.
- Orang-orang yang memiliki alergi musiman dapat mengambil obat
antihistamin yang tidak sedasi (nonsedatif) selama bulan musim-alergi.
- Hindari menghabiskan waktu yang lama di luar ruangan selama musim
alergi. Menutup jendela rumah dan bila mungkin, pendingin udara dapat
digunakan untuk menyaring alergen serta penggunaan humidifier juga
dapat membantu.
- Suntikan alergi, juga disebut "imunoterapi", mungkin efektif dalam
mengurangi atau menghilangkan sinusitis karena alergi. Suntikan
dikelola oleh ahli alergi secara teratur selama 3 sampai 5 tahun, tetapi
sering terjadi pengurangan remisi penuh gejala alergi selama bertahun-
tahun.
g. Menjaga supaya tetap terhidrasi dengan:
- Menjaga kebersihan sinus yang baik dengan minum banyak cairan
supaya sekresi hidung tipis.
- Semprotan hidung saline (tersedia di toko obat) dapat membantu menjaga
saluran hidung agar lembab, membantu menghilangkan agen infeksius.
Menghirup uap dari semangkuk air mendidih atau mandian panas beruap
juga dapat membantu.
- Hindari perjalanan udara. Jika perjalanan udara diperlukan, gunakan
semprotan dekongestan nasal sebelum keberangkatan untuk menjaga
bagian sinus agar terbuka dan sering menggunakan saline nasal spray
selama penerbangan.
- Hindari alergen di lingkungan: Orang yang menderita sinusitis kronis
harus menghindari daerah dan kegiatan yang dapat memperburuk kondisi
seperti asap rokok dan menyelam di kolam diklorinasi (Kentjono, 2004).

2.9 Komplikasi Rinosinusitis Kronik


Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan
seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya
teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.

21
Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi
orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya (Busquets, 2006).
Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)
Komplikasi endokranial:
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis
d) Serebritis
e) Trombosis sinus kavernosus
Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis, perforasi
septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel, septikemia.

2.10 Prognosis Rinosinusitis Kronik


Rinosinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan
sendirinya. Namun, sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas
dan dalam kasus yang jarang dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus
sinusitis akut membaik secara spontan tanpa antibiotik.Perbaikan spontan pada
sinusitis virus adalah 98%. Pasien dengan sinusitis akut, jika diobati dengan
antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat.Tingkat
kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5%. Jika tidak
adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi
kembali. Rinosinusitis yang tidak diobati atau diobati dengan tidak adekuat dapat
menyebabkan komplikasi seperti meningitis, tromboflebitis sinus cavernous,
selulitis orbita atau abses, dan abses otak (Mangunkusumo, 2009).

22
BAB III
KESIMPULAN

Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena


alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Terdapat 4 sinus disekitar hidung
yaitu sinus maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus
sphenoidalis.Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh
infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus
ethmoid dan maksilaris. Gejala umum rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat
diserai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulent, yang
seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip).
Rhinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi mukos hidung dan sinus
paranasal, berlangsung selama dua belas minggu atau lebih disertai dua atau lebih

23
gejala dimana salah satunya adalah hidung buntu (nasal blockage / obstruction /
congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip): nyeri fasial /
pressure dan penurunan / hilangnya daya penciuman serta dapat di dukung oleh
pemeriksaan penunjang antara lain 1)endoskopik, dimana terdapat : polip atau
sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau udemmukosa
primer pada meatus medius dan CT – scan berupa perubahan mukosa pada
kompleks ostiomeatal dan atau sinus paranasal.
Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi
nasal, CT-scan dan lainnya. Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada
orang dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi
komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis


and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck
Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins, 2006; 406-416.
Candra, et al. Penurunan Kadar IL-8 Sekret Mukosa Hidung pada Rhinosinusitis
Tanpa Polip Non Alergi Oleh Antibiotik Makrolid meningkatkan Fungsi
Penghidu. FK Universitas Padjajaran. RSHS Bandung. 2013.
Daudia A, Jones NS.Questioning The Prevalence of Chronic Rhinosinusitis. 2008
In: Moffat D, et al, ed. Recent Advances in Otolaringology 8. UK: The
Royal Society of Medicine Press. 2008.p.147-151.

24
Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps 2012. Rhinology Official Journal of the European and
International Societies. March 2012.50(23):55-223.
Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis.Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 1-16.
Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT‐KL.
Edisi enam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2009. hal 150‐4
Multazar A. Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2008. Tesis Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan THT-KL
FK USU. 2011
Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis.Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 59-65.
Pengurus Pusat Perhati-KL. Panduan Praktik Klinis, Panduan Praktik Klinis
Tindakan, Clinical Pathway di Bidang Telinga Hidung Tenggorok – Kepala
Leher. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Indonesia. 2015.
Snell, Richard S. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.
Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi E,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds.Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Jakarta: BP-FKUI;
2012. p.96-100.
Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi E, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, eds.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Jakarta: BP-FKUI; 2012. p.122-6.

25
Stefhani, D. Perbedaan Kadar Transforming Growth Factor Beta (TGF-ß) antara
Rhinitis Alergi dan Infeksi Gigi Rahang Atas pada Rinosinusitis Kronik.
Tesis Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2016.

26

Anda mungkin juga menyukai