Review Spss & Simulasi Responsi Biasa
Review Spss & Simulasi Responsi Biasa
CEDERA KEPALA
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Ilmu Radiologi di RSUD Salatiga
Diajukan Kepada:
Disusun oleh:
20090310057
RSUD SALATIGA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
CEDERA KEPALA
Menyetujui,
Dokter Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
terhingga kehadirat Allah SWT. akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi
kasus yang berjudul Cedera Kepala. Sholawat dan salam tak lupa penulis haturkan
Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat pendidikan profesi
Muhammadiyah Yogyakarta.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulusnya
kepada:
Penulisan resentasi kasus ini masih jauh dari kata sempurna, karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang berguna. Semoga untuk selanjutnya tulisan ini
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. Nike Dewi Yulianti
Umur : 22 Tahun
Alamat : Banyubiru
No CM : 15-16-292161
Bangsal : ICU
B. Anamnesis
Keluhan Utama : Kecelakaan Lalu Lintas
Pasien datang ke IGD dengan tidak sadarkan diri, pasien merupakan korban
kecelakaan lalulintas motor dengan mobil.
1
2
C. Pemeriksaan Fisik
Kesan umum : Kesadaran menurun
Vital sign : HR= 100 kpm RR= 22 kpm
T= 36’6 TD= 104/88
GCS : 12, E3V5M
3
Kepala
Rambut dan kulit kepala : Kelebatan dan distribusi rambut baik, infeksi kulit
kepala (-), terdapat hematom di daerah parietal-occipital
Mata : Palpebra simetris, tidak tampak edema, conjungtiva
anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), racoon eyes (+/+)
Hidung : simetris, cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis(-), defek
kongenital (-).
Telinga :simetris, tanda- tanda infeksi (-), nyeri tekan tragus (-),
sekret (-), defek kongenital (-).
Mulut :bibir kering (+), sianosis (-)
Leher : Pembesaran lnn (-), pembesaran kel. Tiroid (-), massa (-).
Thorax
I : simetris (+), ketinggalan gerak (-), retraksi (-), massa (-), spider nevi (-), ginekomastia (-),
ictus cordis tampak (-)
P : massa (-), nyeri tekan (-),
P : sonor (+)
A: vesikuler (+), rhonki (-), wheezing (-), suara jantung S1 S2 reguler (+), bising (-)
Abdomen
I : simetris, distensi (-), massa (-), cembung (-), spider nevi (-),
A: peristaltik (+) kesan normal
P: timpani pada keempat kuadran, pekak hepar (-), nyeri ketok ginjal (-).
P: supel, nyeri tekan (-), massa intraabdominal (-), hepar tidak teraba (-)
turgor kulit melambat (-),
Extremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema (-), telapak tangan nampak kekuningan (-),
D. Data Laboratorium
AL : 12.11 x 103/
Hb: 8,3 g/ dL
Ht: 24,1 %
MCV: 83,2 FL
MCH: 28,5 Pg
AT : 189 x 103
Ureum : 22
Creatinin : 0,9
SGOT : 72
SGPT : 11
Pemeriksaan Radiologi
-Linear fracture pada os occipitalis aspek sinistra dan os parietalis dengan gambaran hematom
-Gambaran contusional haemorrhage dilobus frontalis dextra et sinistra dengan gambaran brain
edema
E. Diagnosis Kerja :
CKS dengan fracture cranii
F. Penatalaksanaan
Oksigen 2-3 Lpm
Infus RL 30tpm
Inf. Manitol 3x200 cc
Inj. Phenitoin 1x100mg
Inj. Citicolin 3x 250mg
Inj. Ranitidin 3x50mg
Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
Inj. Ketorolac 3x3 Amp
Inj. Asam Tranexamat 3x500mg
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
A. CEDERA KEPALA
1. Definisi
7
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak
langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
2. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda
paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup.
Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat
terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
8
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
3. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi yaitu
berdasarkan:
a. Mekanisme
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh, atau
b. Beratnya cedera
GCS digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara
umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala. Penderita dengan GCS 14-15
diklasifikasikan ke dalam cedera kepala ringan, GCS 9-13 termasuk cedera kepala sedang,
dan GCS 3-8 termasuk cedera kepala berat. Koma didefinisikan bila penderita tidak mampu
melaksanakan perintah, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat membuka mata.
Penderita yang mampu membuka kedua mata secara spontan, mematuhi perintah dan
berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang
keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai
Trauma kepala ringan adalah trauma kepala dengan SKG 14-15 dimana tidak dijumpai
keadaan hilangnya kesadaran (< 30 menit), pasien dapat mengeluh pusing dan nyeri
kepala, pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala serta tidak
adanya kriteria cedera sedang-berat.
Trauma kepala sedang adalah trauma kepala dengan SKG 9-13. Pasien mungkin
bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana. Dapat
dijumpai konkusi, amnesia pasca-trauma, muntah, kejang serta tanda kemungkinan
fraktur kranium (Battle sign, mata rabun, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal).
Trauma kepala berat adalah trauma kepala dengan SKG 3-8 dimana terdapat penurunan
derajat kesadaran secara progresif (koma). Pada keadaan ini dapat dijumpai tanda
neurologis fokal, serta trauma kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
Hampir 100% trauma kepala berat dan 66% trauma kepala sedang menyebabkan cacat
yang permanen. Pada trauma kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali
disertai cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak
segera dicegah dandihentikan.
c. Morfologi
1. fraktur kranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat berbentuk garis atau
bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan
pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign),
ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis.
Sebagai patokan umum bila terdapat fragmen tulang yang menekan ke dalam, lebih dari tebal tulang
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan
dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat
sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih
banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai
cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi
risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
11
tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah
Fraktur dasar tengkorak sering disertai dengan kebocoran CSS baik melalui hidung (rhinorrhea)
atau melalui telinga (otorrhea). Fraktur ini juga sering menyebabkan paresis nervus fasialis yang dapat
terjadi segera setelah cedera atau timbul beberapa hari kemudian. Umunnya prognosis pemulihan
paresis nervus fasialis lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini
sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural dan kontusio
(atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan
CT scan normal namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan
koma. Maka cedera difus dikelompokan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan cedera aksonal
difus.
Hematoma Epidural
12
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula
interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien
koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama.
Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya
“lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal
(talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny,
bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi
kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya
jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih
Hematom Subdural
13
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid.
SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala
berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus venosus.
Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak
mungkin ada atau tidak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan
epidural.
Mortalitas yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan dengan tindakan
pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan medikamentosa yang agresif. Subdural hematom terbagi
SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula interna,
terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya
hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.
SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh
bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area
hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula.
14
Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas
ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens .
Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid adalah ekstravasasi darah ke dalam rongga subaraknoid yang terdapat
di antara lapisan piamater dan membran araknoid. Etiologi yang paling sering dari perdarahan
subaraknoid non traumatik adalah pecahnya aneurisma intrakranial (berry aneurism). Gejala klinisnya
biasanya tampak sepuluh hingga dua puluh hari setelah terjadinya ruptur. Gejala yang paling sering
berupa sakit kepala, nyeri daerah orbital, diplopia, gangguan penglihatan, gangguan sensorik dan
motorik, kejang, ptosis, disfasia.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan
dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau
dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan
kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula
pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas
perdarahan.
15
Hematoma Intraventrikular
Hematoma Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak yang semakin lama
semakin banyak dan menimbulkan tekanan pada jaringan otak sekitar. Hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan konfusi dan letargi. Gejala klinis biasanya
timbul dengan cepat bergantung pada lokasi perdarahan. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala,
nausea, muntah, letargi atau konfusi, kelemahan mendadak atau kebas pada wajah, tangan atau kaki
yang biasanya pada satu sisi, hilangnya kesadaran, hilang penglihatan sementara, dan kejang.
4. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi,
dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah
keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali
tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan
disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio
16
yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini
merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk
beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan
depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup
berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana pendeerita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau
serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering
tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala
disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera
aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala.
Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian
namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
B. ANATOMI KEPALA
Kepala merupakan bagian superior tubuh yang menempel dengan batang tubuh melalui leher.
Kulit kepala menutupi cranium, dan meluas dari linea nuchalis superior pada os occipitale sampai
margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus
zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan; tiga lapis pertama saling berhubungan secara
erat satu dengan yang lain dan bergerak sebagai satu kesatuan.
a. Skin (kulit). Merupakan kulit yang tipis, mengandung banyak kelenjar keringat dan kelenjar
b. Connective tissue (jaringan ikat). Merupakan lapisan subkutan, memiliki banyak pembuluh
c. Aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica). Selembar jaringan ikat yang kuat dan
- M. frontalis: menarik kulit kepala ke depan, mengerutkan dahi, dan mengangkat kedua alis.
d. Loose connective tissue (jaringan ikat longgar). Bentuknya menyerupai spon karena berisi
banyak ruang potensial yang dapat mengembang karena menyerap cairan yang terbentuk akibat
cedera atau infeksi; lapis ini memungkinkan ketiga lapis di atasnya bergerak secara bebas
e. Pericranium. Selapis jaringan ikat padat, melekat erat pada ossa cranii
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan
tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgleal ( hematoma subgalea). Kulit kepala memiliki banyak
pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap
Cranium (skull) adalah bagian superior tengkorak yang bulat dan besar, yang menutupi otak dan
Terdiri dari :
20
Persarafan
- Belakang auricula: berasal dari saraf-saraf kulit spinal (C2 dan C3).
Limfe
Limfe dari kelenjar-kelenjar ini disalurkan ke nodi lymphoidei cervicales profundi di sepanjang
v.jugularis interna.
3. Vaskularisasi Otak
a. basilaris melintas lewat cisterna pontis ke tepi superior pons a. cerebri posterior dextra
Circulus arteriosus cerebri (Willis), terdapat di dasar otak, dibentuk oleh a. cerebri posterior, a.
4. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
22
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).
Laserasi pada arteri ini dapat menyebabkan laserasi dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak
antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan
dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan umumnya disebabkan akibat cedera
kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.
Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk
5. Otak
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum. Serebrum terdiri dari hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falk
serebri yaitu lipatan dura mater yang berada di inferior sinus sagitalis superior.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat dari semua
organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) yang
dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum),
dan batang otak (Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat
terdiri dari otak besar.
Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua lapisan ini
dilapisi oleh lapisan kelabu (substansia grisea) yaitu pada bagian korteks serebral dan substansia
alba yang terdapat pada bagian dalam yang mengandung serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu
sebagai pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga
mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara,
berpikir dan lain sebagainya.
Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan oleh
jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan menyampaikan
rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta
mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak.
1. Diensefalon
Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan mesensefalon, kumpulan
dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut
menghadap kesamping. Diensefalon ini berperan dalam proses vasokonstriksi (memperkecil pembuluh
darah), respiratorik (membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu
pekerjaan jantung.
2. Mesensefalon
Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua di sebelah atas
disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus
inferior. Mesensefalon ini berfungsi sebagai pusat pergerakan mata, mengangkat kelopak mata, dan
memutar mata.
3. Pons varoli
Pons varoli merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu memiliki jalur lintas naik dan
turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang menghubungkan
kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri.
4. Medula Oblongata
Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama
dengan diensefalon.
6. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 30 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III,
dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
26
takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan
7. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa
kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Nervus
okulomotorius (saraf otak ke 3) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada
keadaan herniasi otak yang umumnya diakibatkan oleh adanya masa supratentorial atau edema otak.
Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata berada pada
permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut ini yang disebabkan oleh penekanan akan
mengakibatkan dilatsi pupil karena aktivitas serabut simpatik tidak dihambat. Bila penekanan ini terus
berlanjut akan menimbulkan paralisis total okulomotorik yang menimbulkan gejala deviasi bola mata
Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial lobus
temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi unkus juga menyebabkan penekanan traktur piramidalis
yang berjalan pada otak tengah. Traktus piramidalis atau trunkus motorik menyilang garis tengah
menuju sisi berlawanan pada level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini
menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia
kontralateral dikenal sebagai sindrom kalsik herniasi. Jadi, umumnya perdarahan intracranial terdapat
pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun tidak selalu.
27
C. FISIOLOGI
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan perubahan tekanan
intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk
terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi otak
dan mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial (TTIK) tidak
hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak, tetapi justru merupakan masalah
utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136mmH 2O). TIK lebih tinggi
dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke dalam kenaikan
TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk prognosisnya.
2. Doktrin Monro-Kellie
Merupakan suatu konsep sederhana yang dapat menjelaskan pengertian dinamika TIK.
Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan, karena
rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin terekspansi/mekar. TIK
yang normal tidak berarti tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya tetap
dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase
Mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat
penting. Tekanan perfusi otak (TPO) merupakan indikator yang sama penting dengan TIK.
TPO kurang dari 70mmHg umunya berkaitan dengan prognosis yang buruk pada penderita
cedera kepala. Maka dari itu, mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita
cedera kepala adalah sangat penting, terutama pada keadaan TIK yang tinggi.
Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Bila ADO menurun
sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit, sel-
sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita trauma, fenomena
autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila MAP 50-160 mmHg.
Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan bila MAP >160mmHg terjadi dilatasi pasif
pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami
gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya penderita tersebut sangat rentan terhadap
cedera otak sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba.
Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi
otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Maka dari itu, bila
29
terdapat TTIK, harus dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus
dipertahankan.
Pasien harus diperiksa secara klinis dan diagnosis dibuat berdasarkan apakah pada pemeriksaan
fisik dan riwayat perjalanan penyakit menunjukkan cedera kepala sedang hingga berat atau cedera
kepala ringan. CT, MRI, atau radiografi tengkorak tidak diperlukan untuk pasien berisiko rendah.
Risiko rendah didefinisikan sebagai mereka yang tidak menunjukkan gejala atau hanya pusing, sakit
kepala ringan, kulit kepala lecet, atau hematoma, usia lebih dari 2 tahun, dan tidak memiliki temuan
yang berisiko sedang ataupun tinggi.
Pasien dengan resiko sedang adalah mereka yang memiliki salah satu kondisi berikut: riwayat
penurunan tingkat kesadaran beberapa waktu ataupun setelah terjadi cedera kepala, sakit kepala berat
atau progresif, kejang pasca-trauma, muntah terus menerus, multipel trauma, cedera wajah yang serius,
tanda-tanda dari fraktur tengkorak basilar (hemotympanum, “raccoon eyes”, rinorrea atau otorrea),
dugaan kekerasan pada anak, gangguan perdarahan, atau usia lebih muda dari 2 tahun.
Pasien berisiko tinggi adalah mereka dengan salah satu kondisi berikut: temuan neurologis
fokal, pasien dengan derajat kesadaran berdasarkan GCS dengan skor 8 atau kurang, dipastikannya
terdapat penetrasi tengkorak, gangguan metabolik, keadaan postictal, atau penurunan atau depresi
tingkat kesadaran (tidak berhubungan dengan narkoba, alkohol , atau obat-obatan depresan pada system
saraf pusat lainnya). Jika terdapat cedera sedang atau berat dan pasien dengan kondisi neurologis yang
tidak stabil, CT scan harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya hematoma. Jika pasien dengan
kondisi neurologis yang stabil, MR scan lebih digunakan untuk mencari cedera dengan penekanan
30
parenkim. Dalam cedera kepala ringan (tanpa kehilangan kesadaran atau defisit neurologis), pasien
dapat hanya diobservasi. Jika sakit kepala terus-menerus terjadi setelah trauma, CT scan harus
dilakukan.
Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan tidak mampu
menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya darah untuk menunjukkan cedera
intrakranial. Adanya patah tulang tengkorak tanpa kelainan neurologis tidak begitu signifikan. Patah
tulang tengkorak yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan foto polos kepala pada pasien dengan
cedera kepala ringan telah dilaporkan dengan angka sangat rendah, mulai dari 1,9% hingga 4,3%. Patah
tulang tengkorak tidak selalu berarti cedera intrakranial yang signifikan, meskipun tidak adanya patah
tulang tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan patologis yang signifikan pada intrakranialnya.
Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak cedera akibat kecelakaan,
patah tulang tengkorak depresi, cedera kepala akibat penetrasi oleh benda asing, atau trauma kepala
pada anak-anak kurang dari 2 tahun,walaupun tanpa gejala neurologis.
Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang
tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial. Fraktur pada tengkorak
dapat berupa fraktur impresi (depressedfracture), fraktur linear, dan fraktur diastasis (traumatic suture
separation). Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak dan pada foto terlihat sebagai
garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang tengkorak (Gambar 9.a).Fraktur linear
harus dibedakan dari gambaran pembuluh darah normal atau dengan garis sutura interna, yang tidak
bergerigi seperti sutura eksterna. Garis sutura interna bersifat superimposisi pada sutura yang bergerigi,
sedangkan fraktur akan menyimpang dari itu di beberapa titik.Selain itu, pada foto polos kepala, fraktur
ini terlihat sebagai garis radiolusen, paling sering di daerah parietal (Gambar 9.a). Garis fraktur
biasanya lebih radiolusen daripada pembuluh darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur diastasis lebih
sering pada anak-anak dan terkihat sebagai pelebaran sutura (Gambar 9.a).
31
Gambar 9.a Gambaran Fraktur Impresi (kiri), Fraktur Linear (tengah), dan
Fraktur Diastasis (kanan) pada Foto Polos Kepala
Dengan CT scanisi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kepala,
fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya. Indikasi
pemeriksaan CT scanpada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan merupakan alat
yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran dari perdarahan intrakranial.
32
Teknik Pemeriksaan
a. Posisi pasien
Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi kepala dekat dengan gantry.
b. Posisi Objek
Kepala hiperfleksi dan diletkkan pada head holder. Kepala diposisikan sehingga mid sagital plane
tubuh sejajar dengan lampu indikator longitudinal dan interpupilary line sejajar dengan lampu
indikator horizontal. Lengan pasien diletakkan diatas perut atau disamping tubuh.Untuk
mengurangi pergerakan dahi dan tubuh pasien sebaiknya difikasasi dengan sabuk khusus pada head
holder dan meja pemeriksaan.Lutut diberi pengganjal untuk kenyamanan pasien (Nesseth, 2000).
33
2) Potongan Axial IV
Merupakan irisan axial yang ke empat yang disebut tingkat medial ventrikel.Kriteria gambarnya
tampak :
a) Anterior corpus collosum
34
3) Potongan Axial V
Menggambarkan jaringan otak dalam ventrikel medial tiga. Kriteria gambar yang tampak :
a) Anterior corpus collosum
b) Anterior horn ventrikel lateral kiri
c) Ventrikel tiga
d) Kelenjar pineal
e) Protuberantia occipital interna
Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar tengkorak (basis kranii)
biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan teknik “Jendela Tulang” (bone window) untuk
mengidentifikasi garis frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang melintang kanalis karotikus dapat
mencederai arteri karotis (diseksi, pseuoaneurisma ataupun trombosis) perlu dipertimbangkan untuk
dilakukan pemeriksaan angiography cerebral.
CT Scan Kepala
Pada Gambar, memperlihatkan gambaran fraktur tulang temporal petrous kiri, yang melibatkan
telinga tengah (panah kecil). Dapat dilihat juga adanya gambaran sedikit udara pada fossa posterior dari
tulang tengkorak (panah terbuka).
Perdarahan Epidural
38
Hematoma epidural didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam ruang antara duramater, yang
tidak dapat dipisahkan dari periosteum tengkorak dan tulang yang berdekatan
Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural dengan bentuk
bikonveks dibandingkan dengan crescent-shape dari hematoma subdural. Selain itu, tidak seperti
hematoma subdural, hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura. Hematoma epidural sangat
sulit dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya kecil. Dengan bentuk bikonveks yang khas,
elips, gambaran CT scan pada hematoma epidural tergantung pada sumber perdarahan, waktu berlalu
sejak cedera, dan tingkat keparahan perdarahan. Karena dibutuhkan diagnosis yang akurat dan
perawatan yang cepat, diperlukan pemeriksaan CT scan dengan cepat dan intervensi bedah saraf
Pada Gambar 11, pasien mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, terlihat peningkatan
kepadatan (hiperdens) di daerah lenticular pada CT Scan aksial non kontras di wilayah parietalis kanan.
Ini biasanya terjadi akibat pecahnya arteri meningeal media. Sedikit perdarahan juga terlihat di lobus
frontal kiri (perdarahan intraserebral).
Perdarahan Subdural
Sebelum CT scan dan teknologi pencitraan magnetic (MRI), hematoma subdural didiagnosis
hanya berdasarkan efek massa, yang digambarkan sebagai perpindahan dari pembuluh darah pada
angiogram atau sebagai kalsifikasi kelenjar hipofisis pada foto polos kepala.Munculnya CT scan dan
MRI telah menjadi pilihan diagnosik rutin bahkan untuk perdarahan kecil.
Pada faseakut,hematoma subdural muncul berbentuk bulan sabit, ketika cukup besar, hematoma
subdural menyebabkan pergeseran garis tengah. Pergeseran dari gray matter-white matter junction
merupakan tanda penting yang menunjukkan adanya lesi.
Gambaran Perdarahan Subdural dengan Fraktur Tengkorak (kiri) dan Perdarahan Subdural disertai
Perdarahan Subarakhnoid (kanan)
Perdarahan Subaraknoid
Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan akan
tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan tampak sebagai abu-
abu. Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT scan berguna untuk melokalisir sumber perdarahan.
Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh trauma terhadap pembuluh darah, timbul
hematoma intraparenkim dalam waktu ½-6 jam setelah terjadinya trauma. Hematoma ini bisa timbul
pada area kontralateral trauma. Pada CT scan sesudah beberapa jam akan tampak daerah hematoma
(hiperdens), dengan tepi yang tidak rata.
Perdarahan Intraventrikular
- Kira – kira sebanyak 80% penderita yang dibawa ke UGD adalah cedera kepala ringan.
Penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat
namun sulit untuk dibuktikan terutama bila disertai minum alcohol atau dibawah pengaruh
obat-obatan.
- Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun mungkin ada gejala
sisa yang sangat ringan. Namun sebanyak 3% mengalami perburukan yang tidak terduga,
dengan akibat disfungsi neurologis yang berat, yang seharusnya dapat dicegah dengan
- Pemeriksaan CT-Scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak yang disertai dengan
kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala, GCS <15, serta defisit
neurologis fokal. Namun bila pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan kondisi
penderita tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat diobservasi selama
12-24 jam di RS. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk pemerinsaan penunjang, tetapi bila
tidak memungkinkan rontgen kepala dapat dilakukan untuk membedakan trauma tumpul atau
tembus.
42
- Pada foto polos kepala harus dicari : fraktur linear atau depresi, posisi glandula pineal di garis
tengah, batas air udara pada sinus, pneumosefal, fraktur tulang wajah, serta benda asing.
- Fraktur dasar tengkorak sering tidak tampak pada foto rontgen kepala, namun adanya gejala
klinis seperti ekimosis periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau battle’s sign merupakan
indikasi adanya fraktur dasar tengkorak dan penderita harus dirawat dengan observasi khusus.
- Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik seperti acetaminophen, kodein
bisa diberikan pada keadaan yang sangat nyeri. Suntikan toksoid tetanus rutin diberikan
- Bila penderita asimtomatis, sadar, neurologis normal observasi dilakukan dalam beberapa
jam dan diperiksa ulang. Bila kondisi tetap normal, pasien dikatakan aman.
- Bila dalam perjalanan dijumpai sakit kepala, peurunan kesadarn, atau defisit neurologis fokal,
PEMBAHASAN
Seorang wanita dibawa ke IGD post trauma kecelakaan lalu lintas, kepalanya terbentur
sehingga tidak sadarkan diri. Setelah di IGD pasien mulai sadar dengan GCS 12 E3V5M4 yaitu
cidera kepala sedang, terdapat gambaran racoon eye dan hematom di kepala bagian belakang di
regio occipitalis. Kemudian dilakukan CT Scan dengan indikasi secara klinis didapatkan
klasifikasi trauma kepala sedang dan berat dan kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis
kranii.
Dilakukan foto CT Scan dengan potongan axial, dengan window parenchim dan tulang serta 3D
reformat, tanpa bahan kontras IV. Kemudian didapatkan hasil tampak soft tissue swelling
extracranial regio parietooccipitalis sinistra, pada bone window dan 3D reformat, tampak
discontinuitas linear pada os occipitalis aspek sinistra dan os parietalis dextra et sinistra, gyri tak
44
tampak prominent, sulci dan fissura silvii tampak sempit, batas grey matter dan white matter
tampak mengabur, tampak lesi hiperdens kecil-kecil di lobus frontalis dextra et sinistra dengan
perifocal edema, cornu anterior ventrikel lateralis dan ventrikel tertius tampak menyempit,
ventrikel quartus dalam batas normal, tak tampak deviasi linea mediana, pada air celluale
mastoidea dan sinus paranasal yang tervisualisasi tampak normodens. Sehingga didapatkan kesan
radiologi CT Scan yaitu Linear fracture pada os occipitalis aspek sinistra dan os parietalis dengan
gambaran hematom extracrania regio parietooccipitalis sinistra, Gambaran contusional
haemorrhage dilobus frontalis dextra et sinistra dengan gambaran brain edema
Daftar Pustaka
Bontrager KL, Lampignano. Textbook of Radiographic Positioning and Related Anatomy. Mosby
Elsevier; 2009
Sitorus MS. Sistem Ventrikel Dan Liquor Cerebrospinal. Anatomi USU; 2004
International Atomic Energy Agency, Safety Report Series No. 34, Radiation Protection and the
Management of Radioactive Waste in the Oil and Gas Industry, IAEA, Vienna (2003).
Rasjad C, 2003. Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Trauma, 12 Edition. Bintang Lamupatue. Makasar.
Sjamsuhidayat, De Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi 3). Jakarta:EGC.
45