STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Andoolo Utama
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
No. RM : 53 41 32
Tanggal masuk RS : Kamis, 4 Desember 2017
DPJP dr. M Saiful, Sp.B
B. Anamnesis
1
2
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum
Kesan : Sakit sedang Tensi : 150/90 Anemis : (-)
mmHg
Kesadaran : Composmentis Nadi : 80 x/m Ikterus : (-)
Gizi : Dbn Suhu : 36,50C Sianosis : (-)
Pernapasan : 20 x/m
Pemeriksaan toraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Nyeri tekan(-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikular +/+, Rh -/- basal paru, wh -/-
Pemeriksaan Psikiatri
Emosi dan efek : Normal Penyerapan : Normal
Proses berfikir : Normal Kemauan : Normal
Kecerdasan : Normal Psikomotor : Normal
Status neurologis
GCS : E4 M6 V5
1. Kepala
Posisi : Ditengah Bentuk/ukuran : Bulat/normocephal
Penonjolan : (-) Auskultasi : Normal
2. Saraf Cranialis
N.I
Penghidu : Tdp
3
N.II
OD OS
Ketajaman penglihatan Tdp Tdp
Lapangan penglihatan Tdp Tdp
Funduskopi Tdp Tdp
N.III, IV, VI
Dextra Sinistra
Celah kelopak mata
Ptosis (-) (-)
Exoftalmus (-) (-)
Ptosis bola mata (-) (-)
Pupil
Ukuran/bentuk d: 2,5 mm/ bulat d: 2,5 mm/ bulat
Isokor/anisokor isokor isokor
RCL/RCTL (+)/(+) (+)/(+)
Refleks akomodasi (N) (N)
Gerakan bola mata Normal Normal
Parese ke arah (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
N.V
Sensibilitas : N.V1 : Normal
N.V2 : Normal
N.V3 : Normal
Motorik : Inspeksi/palpasi : Normal/normal
(istirahat/menggigit)
Refleks dagu/masseter : Normal
Refleks kornea : Normal
N.VII
Motorik M.Frontalis M. Orbicularis oculi M. Orbicularis oris
Istirahat Normal Normal Normal
4
5. Kolumna vertebralis
Inspeksi : Tdp
Palpasi : Tdp
Perkusi : Tdp
Auskultasi : Tdp
6. Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakan N ↓ N ↓
Tonus N ↓ N ↓
Kekuatan otot N ↓ N ↓
Refleks fisiologis
Dextra Sinistra
Biceps N N
Triceps N N
Radius N N
Ulna N N
Klonus
Lutut : (-)
Kaki : (-)
Refleks patologis
Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior
Hoffmann : -/- Babinski : -/+
Tromner : -/- Chaddock : Tdp
Gordon : Tdp
Schaefer : Tdp
Oppenheim : Tdp
Sensibilitas
Ekstroseptif : -Nyeri : Normal
- Suhu : Tdp
6
2. Kimia Darah
Parameter Hasil Nilai rujukan
GDS : 111 mg/dl 70 - 180
Ureum : 19 mg/dl P = 15-40
L = 19-44
Kreatinin : 0,7 mg/dl P = 0,5-1,0
L = 0,7-1,2
SGOT : 23 mg/dl L = <45
P = <31
SGPT : 19 mg/dl L = <41
P = <31
E. Pemeriksaan Tambahan
CT-scan (29/7/2017)
Hasil CT Scan Kepala potongan Axial dan reformat tanpa kontras dengan
hasil sebagai berikut::
- Tampak massa isodens densitas 32 HU pada daerah temporomental kanan
disertai perifocaledema luas, daerah frontotemporoparietal kanan yang
menyempitkan ventrikel lateral kanan dan menyebabkan shift midline ke
kiri
- Sulcy and gyri frontotemporoparietal kanan obliterasi
- Sistem ventrikel lainnya dan subarachnoid dalam batas normal
- Kalsifikasi pada plexus choroideus dan pineal body
- Pons, Cerebellum dan cerebellopontin angle dalam batas normal
8
K 5 3 S N ↓ Rujuk Makassar
5 3 N ↓
-
T N ↓
Rp -
- -
N ↓ - +
-
11
T N ↓
Rp - - Menunggu keputusan
N ↓ - + keluarga rujuk Makassar
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Astrocytoma adalah neoplasma CNS dimana jenis sel dominan berasal
dari astrosit. Kelangsungan hidup berkorelasi dengan sifat intrinsik dari
astrocytoma dan biasanya berkisar 10 tahun untuk yang didiagnosis sebagai
astrocytoma pilocytic menjadi kurang dari 1 tahun untuk pasien dengan
glioblastoma.[1]
Peranan sentral dari otak dan kelainan fungsional yang terjadi
mencerminkan beratnya akibat yang ditimbulkan oleh tumor otak. Kematian
akibat tumor otak besarnya 2% dari seluruh kematian akibat tumor. Insidens
tumor otak besarnya 7 per 100.000 penduduk per tahun. Jenis tumor otak ini
sangat beraneka ragam dari yang jinak sampai ganas. Salah satu tumor yang
merupakan frekuensi terbesar dari semua jenis tumor di otak adalah glioma.
Insidens dari glioma besarnya 5 per 100.000 penduduk. Menurut Badan
Kesehatan Sedunia (World Health Organization/WHO) terdapat tiga jenis
glioma yang dapat dibedakan dari pemeriksaan histopatologis yaitu
astrocytoma, oligendroglioma dan mixed oligoastrocytoma. Dari ketiga jenis
glioma ini, astrositoma merupakan tumor yang paling sering dan mencakup
lebih dari 50% tumor ganas primer di otak. Istilah astrositoma pertama kali
diperkenalkan pada abad ke 19 oleh Virchow, dan gambaran histopatologi
tumor ini diperkenalkan oleh Bailey dan Cushing pada tahun 1926.[2]
Berdasarkan kecenderungannya untuk menjadi anaplasia, WHO
mengklasifikasi astrositoma menjadi pilocytic astrocytoma (grade I), diffuse
astrocytoma (grade II), anaplastic astrocytoma (grade III) dan glioblastoma
multiforme (grade IV). WHO telah melakukan banyak perubahan klasifikasi
13
sejak pertama kali dipublikasikan pada tahun 1979. Edisi kedua dipublikasi
pada tahun 1993 dan telah mengalami banyak kemajuan dengan
diperkenalkannya pemeriksaan immunohistochemistry. Klasifikasi yang
terakhir dipublikasi pada tahun 2000 yang disusun berdasarkan konsensus
yang direkomendasikan oleh International WHO Working Group of experts
di Lyon. Grade I merupakan tumor yang memberikan gambaran histologis
yang stabil, yang dikenal sebagai tumor jinak. Tanda-tanda bahwa tumor
tersebut atipik adalah gambaran inti sel yang atipik seperti kromatin inti yang
kasar, bentuk inti yang bermacam-macam, jumlah inti lebih dari satu pada
satu sel, dan terdapat pseudoinklusi. Selain itu aktivitas mitosis, bentuk sel,
proliferasi vaskuler dan nekrosis juga memberikan informasi mengenai
perilaku biologi tumor. Kriteria disebut glioblastoma multiforme antara lain,
hiperselluler,
bentuk sel dan inti sel bermacam-macam, proliferasi endotel, gambaran
mitosis dan sering disertai dengan nekrosis. Kriteria astrocytoma anaplastic
antara lain, jumlah sel lebih sedikit dibandingkan dengan glioblastoma
multiforme, demikian juga dengan gambaran sel dan inti sel serta mitosis
yang lebih sedikit, umumnya tidak disertai dengan nekrosis.[2]
B. ANATOMI
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk
oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater
disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater
kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura
korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang
disebut lobus.[3]
a. Serebrum (Otak Besar)
14
3). Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung
atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.
4) Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang
memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap
objek yang ditangkap oleh retina mata
1) Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan
serebelum. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah.
Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan,
gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan
pendengaran.
2) Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara
midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial
posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons.
3) Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang
otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata
terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan
dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan
dari pons dan medulla.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Ras
Kejadian dan atau perilaku antara kelompok ras dalam menentukan
perkembangan astrositoma tidak jauh berbeda secara intrinsik. Faktor
populasi, umur, sikap etnis terhadap suatu penyakit dan akses keperawatan
telah dilaporkan mempengaruhi distribusi.[1]
2. Seks
Tidak ada dominasi seks yang jelas. Laki-laki dan perempuan
mempunyai tingkat yang sama dalam pengembangan astrocytoma.[1]
3. Usia
Astrositoma merupakan tumor yang banyak terjadi pada dekade
pertama kehidupan dengan puncaknya antara usia 5-9 tahun. Insidens
astrositoma difus terbanyak dijumpai pada usia dewasa muda (30-40
tahun) sebanyak 25% dari seluruh kasus. Sekitar 10% terjadi pada usia
kurang dari 20 tahun, 60% pada usia 20-45 tahun dan 30% di atas 45
tahun.[2]
17
Tumor doubling time untuk astrocytoma low grade kira-kira 4 kali lebih
lambat dibandingkan dengan astrocytoma anaplastic (grade III astrocytoma).
Sering diperlukan waktu beberapa tahun antara gejala awal hingga diagnosa
low grade astrocytoma ditegakkan, interval ini kira-kira 3,5 tahun.
Astrocytoma low grade ini seringkali disebut diffuse astrocytoma WHO
grade II.[2,4]
F. DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Saat tumor otak kambuh, mungkin akan mengganggu normal fungsi
otak. Gejala adalah tanda lahiriah dari gangguan ini. Karena tengkorak tidak
dapat memperluas dalam menanggapi pertumbuhan tumor, gejala pertama
biasanya karena meningkatnya tekanan di otak. Misalnya, sakit kepala,
kejang, hilangnya memori, berkurangnya gerakan dan sensibilitas pada satu
sisi tubuh dan ada perubahan perilaku, disfungsi bahasa dan ada gangguan
kognitif.[5]
a) Astrositoma
Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang berkisar dari
lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma pilositik hingga
neoplasma infiltratif yang sangat ganas seperti glioblastoma multiforme.
Tumor Astrositik dapat dibagi menjadi astrositik fibriler (infiltratif),
astrositoma pilositik dan beberapa varian yang jarang (Kumar et al., 2007).
Tumor astrositoma merupakan tipe tumor SSP yang paling banyak
(38,6%) dan berlokasi di korteks frontoparietal. Astrositoma merupakan
tumor tersering pada anak dengan insidensi puncak usia 5–9 tahun pada
laki-laki dan 10–14 tahun untuk wanita.
1) Neoplasma Astrositik Difus
Neoplasma astrositik difus merupakan tumor yang biasa terjadi
pada dewasa muda dan ditandai dengan tingkat diferensiasi seluler
yang tinggi dan pertumbuhan yang lambat. Astrositoma difus dapat
terjadi di seluruh SSP namun biasanya terletak supratentorial dan
19
oksipital. Keterlibatan lebih dari satu lobus otak atau tumor bilateral
umum terjadi. Ada pula pasien yang dilaporkan menderita
oligodendroglioma dalam fossa posterior, ganglia basal, batang otak atau
sumsum tulang belakang.
Terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (misal,
nyeri kepala). Selain itu bisa juga terdapat kelainan fokal yang berkaitan
dengan lokasinya (misal, kejang).
2. Pemeriksaan Fisis
Sebuah pemeriksaan neurologis rinci diperlukan untuk evaluasi yang
tepat dari setiap pasien dengan astrositoma. Karena tumor ini dapat
mempengaruhi setiap bagian dari SSP, termasuk sumsum tulang belakang,
dan dapat menyebar ke daerah-daerah yang jauh dari SSP, pemeriksaan fisik
secara menyeluruh merujuk ke seluruh neuroaxis diperlukan untuk
menentukan lokasi dan luasnya penyakit.[1]
Periksa apakah ada tanda-tanda lateralisasi, kelumpuhan saraf cranial,
hemiparesis, tingkat sensorik, perubahan refleks tendon, dan adanya refleks
patologis.[1]
3. Gambaran Radiologi
Pemeriksaan computed tomography imaging (CT scan) dan magnetic
resonance imaging (MRI) di daerah kepala dengan dan tanpa kontras, sangat
membantu dalam diagnosa, penentuan grading, dan evaluasi patofisiologi
tumor ini. MRI dapat memberikan gambaran yang lebih baik dari pada CT
scan. Pada pemeriksaan CT scan, gambaran low grade astrocytoma akan
terlihat sebagai lesi dengan batas tidak jelas, homogen, hipodens tanpa
penyangatan kontras (Lihat Gambar 2). Kadang-kadang dapat ditemukan
kalsifikasi, perubahan kistik dan sedikit penyangatan kontras.[6]
23
G. DIAGNOSA BANDING
Hasil CT maupun MRI memiliki tingkat kepercayaan yang relatif
tinggi untuk diagnosis Low Grade Astrocytoma (LGA). Meskipun demikian,
gambaran radiologis LGA pada pencitraan CT-Scan dapat mirip dengan
astrocytoma anaplastik, ischemia, cerebritis dan oligodendroglioma.[2]
24
H. PENATALAKSANAAN
Pada saat menentukan jenis pengobatan bagi penderita astrositoma,
perlu dinilai manfaat yang akan diperolehnya. Manfaat tersebut diukur
berdasarkan lamanya kelangsungan hidup penderita dibandingkan lamanya
pemberian pengobatan. Dan yang paling penting adalah kualitas hidup
penderita setelah pengobatan. Pengobatan utama yang dilakukan saat in
mencakup : a) pembedahan, b) radioterapi, dan c) kemoterapi.[2]
Pembedahan dilakukan berdasarkan besarnya tumor di dalam otak dan
status fungsional penderita. Penderita yang mengalami tumor yang berlokasi
di pusat vital dengan hemiparesis, disfasia/afasia, penderita usia lanjut bukan
merupakan indikasi untuk operasi. Diagnostik dikonfirmasi melalui biopsi
dan dilanjutkan dengan pemberian radioterapi. Penderita lainnya dapat
dilakukan pembedahan, seperti open craniotomy dan stereotactic biopsy.
Biopsi secara stereotaktik merupakan tindakan minimal invasive terutama
terhadap tumor yang letaknya dalam dan di tempat yang sulit dicapai. Jika
disertai dengan hidrosefalus, dapat dilakukan VP Shunt atau External
Ventricular Drainage (EVD). Peranan pembedahan bagi penderita antara lain
untuk: (i) melakukan dekompresi terhadap massa tumor, (ii) mengambil
jaringan untuk pemeriksaan histopatologi, sehingga dapat direncanakan
pengobatan adjuvans dan memperkirakan prognosis.[2]
Radioterapi sudah berhasil memperpanjang kelangsungan hidup
penderita terutama dengan grade tumor yang tinggi. Pemberian radioterapi
pada penderita astrositoma mampu memperkecil massa tumor dan
memperbaiki gejala-gejala neurologis sebesar 50 - 75% kasus.[2]
Pada saat ini, kemoterapi bukanlah pilihan utama untuk pengobatan
astrositoma. Bila tumor menjadi ganas, pembedahan, radioterapi dan
pemberian kemoterapi dapat dilakukan. Astrositoma yang ganas bersifat
incurable, dan tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki gangguan
neurologis (seperti fungsi kognitif) dan memperpanjang kelangsungan hidup
penderita. Pengobatan simtomatis, rehabilitasi dan dukungan psikologis
sangat penting. Pemberian steroid umumnya akan memberikan hasil yang
25
membaik karena pengurangan efek massa tumor yang disertai edema sekitar
tumor. Pemberian steroid harus segera dihentikan setelah dilakukan tindakan
pembedahan. Obat ini dapat menimbulkan efek samping dan mengganggu
pemberian kemoterapi. Median dari kelangsungan hidup penderita
astrositoma adalah 5-8 tahun.[2]
Mekanisme kerja kortikosteroid belum diketahui secara jelas.
Beberapa hipotesis yang dikemukakan: meningkatkan transportasi dan
resorbsi cairan serta memperbaiki permeabilitas pembuluh darah. Perbaikan
sudah ada dalam 24-48 jam. Jenis kortikosteroid yang dipilih yaitu
glukokortikoid; yang paling banyak dipakai ialah deksametason, selain itu
dapat diberikan prednison atau prednisolon. Dosis deksametason biasa
diberikan 4-20 mg intravena setiap 6 jam untuk mengatasi edema vasogenik
(akibat tumor) yang menyebabkan tekanan tinggi intrakranial (Greenberg et
al., 1999). Selanjutnya yang ideal adalah bila tumor itu dapat diangkat secara
menyeluruh. Bila hal ini tidak mungkin maka sebanyak mungkin tumor
diangkat. Bila tumor itu tidak dapat diangkat maka akan dilakukan
dekompresi. Untuk mengurangi tekanan intrakranial dapat pula dipasang
suatu “ventrikulocaval shunt”. Suatu pembedahan kemudian disusul dengan
suatu terapi sinar atau kimia. Penatalaksanaan tumor otak sementara yang
dapat dilakukan adalah terapi suportif, yaitu IVFD RL XX tetes/menit
(makro), ceftriaxon vial 1 gram/12 jam, ranitidin ampul 1 gram/12 jam,
dexamethason 1 ampul/6 jam.[2]
I. PROGNOSIS
Prognosis penderita astrositoma tergantung dari tiga faktor : i) usia,
ii)status fungsional, dan iii) grade histologis. Penderita usia ˂45 tahun
mempunyai kelangsungan hidup empat kali lebih besar dibandingkan
penderita berusia ˂65 tahun. Pada low grade astrocytoma, prognosis akan
lebih buruk jika disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial, gangguan
kesadaran, perubahan perilaku, defisit nerologis yang bermakna, dan adanya
penyangatan kontras pada pemeriksaan radiologi.[2]
26
BAB III
RESUME DAN ANALISIS KASUS
A. Resume
Pasien datang ke IGD Bahteramas dengan keluhan muntah-muntah sejak 2
hari SMRS. Awalnya pasien di rawat oleh dokter interna, namun 1 hari
kemudian pasien tersebut dikonsul kebagian neuro dengan keluhan lemah
pada separuh badan kiri. Keluhan lain yang dirasakan, yaitu mual (+), muntah
(+), sulit menelan (+), sakit kepala (+), pusing (+), bicara cadel (+). Riwayat
HT (-), riwayat DM tidak diketahui.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan TD: 150/90, N: 80x/menit, S: 36,5oC,
P: 20x/menit. Lidah pasien dan mulut pasien deviasi kearah kiri.
Pada pemeriksaan hematologi leukosit dan eritrosit di atas nilai rujukan,
pemeriksaan elektrolit dalam batas normal, kimia darah cholesterol total dan
LDL diatas nilai rujukan. Pada foto CT-Scan kepala, suspek Astrocytoma
daerah temporoparietal kanan.
Pasien kemudian didiagnosis Astrocytoma setelah melakukan CT-Scan,
kemudian diberikan terapi, non medikamentosa dan medikamentosa, serta
dirujuk ke Makassar untuk penatalaksanaan selanjutnya.
B. Analisis Kasus
Pasien merupakan seorang pria usia 70 tahun. Dari anamnesis ditemukan
gejala-gejala yang mendukung didiagnosisnya suatu Astrocytoma yaitu
keluhan sakit kepala lama dan muntah-muntah. Penemuan dari pemeriksaan
fisis yaitu lidah deviasi ke kiri dan mulut deviasi ke kiri.
Pada pemeriksaan Ct-Scan tampak isodens densitas 32 HU pada daerah
temporomental kanan disertai perifocaledema luas, daerah
frontotemporoparietal kanan yang menyempitkan ventrikel lateral kanan dan
menyebabkan shift midline ke kiri, Sulcy and gyri frontotemporoparietal
kanan obliterasi, sistem ventrikel lainnya dan subarachnoid dalam batas
normal, kalsifikasi pada plexus choroideus dan pineal body. Pons, Cerebellum
dan cerebellopontin angle dalam batas normal. Opasitas densitas 10-45 HU
pada sinus maxillaris dan frontalis kanan. Sinus paranasalis lainnya dan aircell
27
mastoid yang terscan dalam batas normal. Tampak pneumotisasi concha nasi
bilateral dan deviasi septi nasi ke kanan. Cavum orbita dan orbita dalam batas
normal, Tulang-tulang intak. Kesimpulan: Massa isodens daerah
temporoparietal kanan disertai perifocal edema luas suspek Astrocytoma,
Sinusitis maxillaries dan frontalis kanan. Concha bullosa bilateral dan deviasi
septi nasi ke kanan.
28
DAFTAR PUSTAKA