Anda di halaman 1dari 28

BAB I

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. E
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Andoolo Utama
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
No. RM : 53 41 32
Tanggal masuk RS : Kamis, 4 Desember 2017
DPJP dr. M Saiful, Sp.B

B. Anamnesis

Keluhan utama : Kejang


Anamnesis : Pasien ini merupakan pasien konsul dari bedah
terpimpin onkologi dengan keluhan kejang pada seluruh badan

sekitar ± 5 menit, yang baru pertama kali dirasakan.

Kejang dirasakan terus menerus, diantara kejang ada


fase tidak sadar. Kejang terjadi saat sedang tidur.
Sebelumnya paien mengeluh sakit kepala yang hebat

di sertai muntah sebanyak ≥ 5x. Kejang terjadi 2x

namun lebih cepat. Demam (-), Riwayat kejang


sebelumnya (-), Riwayat Ca. Mamma (+) sejak 8
bulan yang lalu, Riwayat post Op. Mastektomi
Dekstra 5 bulan yang lalu, Riwayat post kemoterapi
3x. Riwayat HT (-), Riwayat DM tidak diketahui.

1
2

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum
Kesan : Sakit sedang Tensi : 150/90 Anemis : (-)
mmHg
Kesadaran : Composmentis Nadi : 80 x/m Ikterus : (-)
Gizi : Dbn Suhu : 36,50C Sianosis : (-)
Pernapasan : 20 x/m
Pemeriksaan toraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Nyeri tekan(-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikular +/+, Rh -/- basal paru, wh -/-
Pemeriksaan Psikiatri
Emosi dan efek : Normal Penyerapan : Normal
Proses berfikir : Normal Kemauan : Normal
Kecerdasan : Normal Psikomotor : Normal
Status neurologis
GCS : E4 M6 V5
1. Kepala
Posisi : Ditengah Bentuk/ukuran : Bulat/normocephal
Penonjolan : (-) Auskultasi : Normal

2. Saraf Cranialis
N.I
Penghidu : Tdp
3

N.II
OD OS
Ketajaman penglihatan Tdp Tdp
Lapangan penglihatan Tdp Tdp
Funduskopi Tdp Tdp

N.III, IV, VI
Dextra Sinistra
Celah kelopak mata
Ptosis (-) (-)
Exoftalmus (-) (-)
Ptosis bola mata (-) (-)
Pupil
Ukuran/bentuk d: 2,5 mm/ bulat d: 2,5 mm/ bulat
Isokor/anisokor isokor isokor
RCL/RCTL (+)/(+) (+)/(+)
Refleks akomodasi (N) (N)
Gerakan bola mata Normal Normal
Parese ke arah (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
N.V
Sensibilitas : N.V1 : Normal
N.V2 : Normal
N.V3 : Normal
Motorik : Inspeksi/palpasi : Normal/normal
(istirahat/menggigit)
Refleks dagu/masseter : Normal
Refleks kornea : Normal
N.VII
Motorik M.Frontalis M. Orbicularis oculi M. Orbicularis oris
Istirahat Normal Normal Normal
4

Mimik Normal Normal Mencong ke


sinistra
Pengecap 2/3 depan : Tdp
N.VIII
Pendengaran : Normal
Tes rinne/weber : Tdp
Fungsi vestibularis : Tdp
Posisi arkus faring : Tdp
Refleks telan/muntah : Tdp
Pengecap 1/3 lidah belakang : Tdp
Suara : Normal
Takikardi/bradikardi : Normal
N.XI
Memalingkan kepala dengan/ : Normal /normal
tanpa tahanan
Angkat bahu : Normal/normal
N.XII
Deviasi lidah : (+) ke arah sinistra
Fasikulasi : (-)
Atrofi : (-)
Tremor : (-)
Ataxia : (-)
3. Leher
Rangsang menings
Kaku kuduk : (-)
Kernig’s sign : (-)
Kelenjar limfe : Pembesaran (-)
Arteri karotis : Bruit (-)
Kelenjar gondok : Pembesaran (-)
4. Abdomen
Refleks dinding perut : Tdp
5

5. Kolumna vertebralis
Inspeksi : Tdp
Palpasi : Tdp
Perkusi : Tdp
Auskultasi : Tdp

6. Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakan N ↓ N ↓
Tonus N ↓ N ↓
Kekuatan otot N ↓ N ↓
Refleks fisiologis
Dextra Sinistra
Biceps N N
Triceps N N
Radius N N
Ulna N N
Klonus
Lutut : (-)
Kaki : (-)
Refleks patologis
Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior
Hoffmann : -/- Babinski : -/+
Tromner : -/- Chaddock : Tdp
Gordon : Tdp
Schaefer : Tdp
Oppenheim : Tdp
Sensibilitas
Ekstroseptif : -Nyeri : Normal
- Suhu : Tdp
6

- Rasa raba halus : Tdp


Proprioseptif : - Rasa sikap : Tdp
- Rasa nyeri dalam : Tdp
Fungsi kortikal : - Rasa diskriminasi : Tdp
- Stereognosis : Tdp
Pergerakan abnormal spontan : (-)
Gangguan koordinasi
Tes jari hidung : Tdp
Tes pronasi supinasi : Tdp
Tes tumit : Tdp
Tes pegang jari : Tdp
Gangguan keseimbangan
Tes Romberg : Tdp
Tes Gait : Tdp
Pemeriksaan fungsi luhur :
Reaksi emosi : Normal
Fungsi bicara : Terganggu
Fungsi psikosensorik (gnosis) : Tdp
Intelegensia : Normal
Fungsi psikomotorik (praksia) : Tdp
D. Pemeriksaan Laboratorium (29/7/2017)
1. Darah rutin
Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC : 11,37 + [10^3/ul] 4.00-10.0
RBC : 4,45 [10^6/ul] 4.00-6.00
HGB : 11,5 - [g/dl] 12.0-16.0
HCT : 37,9 [%] 37.0-48.0
MCV : 85,2 [fL] 80.0-97.0
MCH : 25,8 - [Pg] 26.5-33.0
MCHC : 30,3 - [g/dL] 31.5-35.0
7

PLT : 379 [10^3/ul] 150-400

2. Kimia Darah
Parameter Hasil Nilai rujukan
GDS : 111 mg/dl 70 - 180
Ureum : 19 mg/dl P = 15-40
L = 19-44
Kreatinin : 0,7 mg/dl P = 0,5-1,0
L = 0,7-1,2
SGOT : 23 mg/dl L = <45
P = <31
SGPT : 19 mg/dl L = <41
P = <31

E. Pemeriksaan Tambahan
CT-scan (29/7/2017)
Hasil CT Scan Kepala potongan Axial dan reformat tanpa kontras dengan
hasil sebagai berikut::
- Tampak massa isodens densitas 32 HU pada daerah temporomental kanan
disertai perifocaledema luas, daerah frontotemporoparietal kanan yang
menyempitkan ventrikel lateral kanan dan menyebabkan shift midline ke
kiri
- Sulcy and gyri frontotemporoparietal kanan obliterasi
- Sistem ventrikel lainnya dan subarachnoid dalam batas normal
- Kalsifikasi pada plexus choroideus dan pineal body
- Pons, Cerebellum dan cerebellopontin angle dalam batas normal
8

- Opasitas densitas 10-45 HU pada sinus maxillaris dan frontalis kanan.


Sinus paranasalis lainnya dan aircell mastoid yang terscan dalam batas
normal
- Tampak pneumotisasi concha nasi bilateral dan deviasi septi nasi ke kanan
- Cavum orbita dan orbita dalam batas normal
- Tulang-tulang intak
Kesimpulan :
- Massa isodens daerah temporoparietal kanan disertai perifocal edema luas
suspek Astrocytoma. DD/ infark cerebri
- Sinusitis maxillaries dan frontalis kanan
- Concha bullosa bilateral dan deviasi septi nasi ke kanan
F. Resume
Tn. S, 58 tahun merupakan pasien konsul dari interna dengan keluhan
lemah pada separuh badan sebelah kiri, yang sehari sebelumnya masuk IGD
RSUB dengan keluhan muntah-muntah sejak 2 hari SMRS. Keluhan lain yang
dirasakan, yaitu mual (+), muntah (+), sulit menelan (+), sakit kepala (+),
pusing (+), bicara cadel (+). Riwayat HT (-), riwayat DM tidak diketahui.
K 5 2 S N ↓ T N ↓ Rp - -
5 2 N ↓ N ↓ - +
- -
- -
G. Diagnosis
1. Klinis : Hemiparese sinistra
2. Topis : Hemisphere serebri dekstra
3. Etiologis : Susp. Astrocytoma
H. Diferensial diagnosis
1. Ischemia
2. Cerebritis
I. Penatalaksanaan
Non-farmakologi Farmakologi
1. Bed rest 1. IVFD NaCl 0,9% 1 20 tpm
2. Fisioterapi (Elektrolit)
9

2. Citicolin 250 mg 1 A/12 jam/iv


(Neuroprotektor)
3. Piracetam 800 mg 2x1
(Neuroprotektor)
4. Deksamethason 1 Amp/8 jam/iv
J. FOLLOW UP
Nama : Tn. S
No. RM :
Umur : 58 tahun
Permintaan dokter dan
Tanggal Perjalanan Penyakit
pengelolaan tindakan
Jum’at 28 Juli Kelemahan separuh IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm
2017 badan sebelah kiri Citicolin 250 mg 1A/12jam/iv
Bicara cadel (+) Piracetam 800 mg 2x1
T : 160/100 mmHg Gelisah (+) Deksamethason 1 Amp/8
N : 76x/m Tidak bisa makan jam/iv
P : 20x/m Pasang NGT
S : 36,5°C K 5 2 S N ↓ Susu 2 x 100 ml
5 2 N ↓ Bubur Saring 3 x 100 ml
-
T N ↓
Rp -
- -
N ↓ - + CT scan kepala
-
Fisioterapi
Cek Lab
Sabtu, 29 Juli 2017 Kelemahan separuh IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm
badan sebelah kiri Citicolin 250 mg 1A/12jam/iv
T : 140/100 mmHg Bicara cadel (+) Piracetam 800 mg 2x1
N : 80x/m Gelisah (+) Deksamethason 1 Amp/8
P : 20x/m Tidak bisa makan jam/iv
S : 36,5°C K S N ↓ Pasang NGT
5 2
5 2 N ↓ Susu 2 x 100 ml
-
T N ↓
Rp Bubur Saring 3 x 100 ml
- -
N ↓ - +
-
10

Minggu, 30 Juli IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm


2017 Citicolin 250 mg 1A/12jam/iv
Piracetam 800 mg 2x1
Deksamethason 1 Amp/8
jam/iv
Pasang NGT
Susu 2 x 100 ml
Bubur Saring 3 x 100 ml
Senin, 31 Juli 2017 Kelemahan separuh IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm
badan sebelah kiri Citicolin 250 mg 1A/12jam/iv
T : 130/100 mmHg Bicara cadel (+) Piracetam 800 mg 2x1
N : 84x/m Gelisah (+) Dexamethason 1A/8jam/IV
P : 20x/m Tidak bisa makan Pasang NGT
S : 36,2°C Susu 2 x 100 ml
K 5 3 S N ↓ Bubur Saring 3 x 100 ml
5 3 N ↓
-
T N ↓
Rp -
- -
N ↓ - +
-

Selasa,1 Agustus Kelemahan separuh IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm


2017 badan sebelah kiri Citicolin 250 mg 1A/12jam/iv
Bicara cadel (+) Piracetam 800 mg 2x1
T : 130/90 mmHg Gelisah (+) Dexamethason 1A/8jam/IV
N : 70x/m Tidak bisa makan Pasang NGT
P : 22x/m Parese N.VII dan N.XII Susu 2 x 100 ml
S : 36,9°C (S) Bubur Saring 3 x 100 ml

K 5 3 S N ↓ Rujuk Makassar
5 3 N ↓
-
T N ↓
Rp -
- -
N ↓ - +
-
11

Rabu,2 Agustus Kelemahan separuh IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm


2017 badan sebelah kiri Citicolin 250 mg 1A/12jam/iv
Membaik Piracetam 800 mg 2x1
T : 130/90 mmHg Parese N.VII dan N.XII Dexamethason 1A/8jam/IV
N : 84x/m (S)
P : 22x/m Menunggu keputusan
S : 36,4°C K 5 3 S N ↓ keluarga rujuk Makassar
5 3 N ↓
-
T N ↓
Rp -
- -
N ↓ - +
-

Kamis,3 Agustus Kelemahan separuh IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm


2017 badan sebelah kiri Citicolin 250 mg 1A/12jam/iv
Membaik Piracetam 800 mg 2x1
T : 190/80 mmHg Parese N.VII dan N.XII Dexamethason 1A/8jam/IV
N : 86x/m (S) Ketorolac 1A/8 jam/iv
P : 24x/m K 5 3 S N ↓ Herbesser 200 mg 1x1
S : 36,6°C 5 3 N ↓ Lansoprazole 30 mg 1x1
-
T N ↓ Rp - -
N ↓ - + Menunggu keputusan
-
keluarga rujuk Makassar

Jumat,4 Agustus Kelemahan separuh IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm


2017 badan sebelah kiri Citicolin 250 mg 1A/12jam/iv
Sakit kepala (+) Piracetam 800 mg 2x1
T : 140/100 mmHg Pusing (+) Dexamethason 1A/8jam/IV
N : 84x/m Parese N.VII dan N.XII Ketorolac 1A/8 jam/iv
P : 22x/m (S) Herbesser 200 mg 1x1
S : 36,4°C K 5 S N ↓ Lansoprazole 30 mg 1x1
3
N ↓
5 3 -
-
12

T N ↓
Rp - - Menunggu keputusan
N ↓ - + keluarga rujuk Makassar
-

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Astrocytoma adalah neoplasma CNS dimana jenis sel dominan berasal
dari astrosit. Kelangsungan hidup berkorelasi dengan sifat intrinsik dari
astrocytoma dan biasanya berkisar 10 tahun untuk yang didiagnosis sebagai
astrocytoma pilocytic menjadi kurang dari 1 tahun untuk pasien dengan
glioblastoma.[1]
Peranan sentral dari otak dan kelainan fungsional yang terjadi
mencerminkan beratnya akibat yang ditimbulkan oleh tumor otak. Kematian
akibat tumor otak besarnya 2% dari seluruh kematian akibat tumor. Insidens
tumor otak besarnya 7 per 100.000 penduduk per tahun. Jenis tumor otak ini
sangat beraneka ragam dari yang jinak sampai ganas. Salah satu tumor yang
merupakan frekuensi terbesar dari semua jenis tumor di otak adalah glioma.
Insidens dari glioma besarnya 5 per 100.000 penduduk. Menurut Badan
Kesehatan Sedunia (World Health Organization/WHO) terdapat tiga jenis
glioma yang dapat dibedakan dari pemeriksaan histopatologis yaitu
astrocytoma, oligendroglioma dan mixed oligoastrocytoma. Dari ketiga jenis
glioma ini, astrositoma merupakan tumor yang paling sering dan mencakup
lebih dari 50% tumor ganas primer di otak. Istilah astrositoma pertama kali
diperkenalkan pada abad ke 19 oleh Virchow, dan gambaran histopatologi
tumor ini diperkenalkan oleh Bailey dan Cushing pada tahun 1926.[2]
Berdasarkan kecenderungannya untuk menjadi anaplasia, WHO
mengklasifikasi astrositoma menjadi pilocytic astrocytoma (grade I), diffuse
astrocytoma (grade II), anaplastic astrocytoma (grade III) dan glioblastoma
multiforme (grade IV). WHO telah melakukan banyak perubahan klasifikasi
13

sejak pertama kali dipublikasikan pada tahun 1979. Edisi kedua dipublikasi
pada tahun 1993 dan telah mengalami banyak kemajuan dengan
diperkenalkannya pemeriksaan immunohistochemistry. Klasifikasi yang
terakhir dipublikasi pada tahun 2000 yang disusun berdasarkan konsensus
yang direkomendasikan oleh International WHO Working Group of experts
di Lyon. Grade I merupakan tumor yang memberikan gambaran histologis
yang stabil, yang dikenal sebagai tumor jinak. Tanda-tanda bahwa tumor
tersebut atipik adalah gambaran inti sel yang atipik seperti kromatin inti yang
kasar, bentuk inti yang bermacam-macam, jumlah inti lebih dari satu pada
satu sel, dan terdapat pseudoinklusi. Selain itu aktivitas mitosis, bentuk sel,
proliferasi vaskuler dan nekrosis juga memberikan informasi mengenai
perilaku biologi tumor. Kriteria disebut glioblastoma multiforme antara lain,
hiperselluler,
bentuk sel dan inti sel bermacam-macam, proliferasi endotel, gambaran
mitosis dan sering disertai dengan nekrosis. Kriteria astrocytoma anaplastic
antara lain, jumlah sel lebih sedikit dibandingkan dengan glioblastoma
multiforme, demikian juga dengan gambaran sel dan inti sel serta mitosis
yang lebih sedikit, umumnya tidak disertai dengan nekrosis.[2]
B. ANATOMI
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk
oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater
disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater
kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura
korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang
disebut lobus.[3]
a. Serebrum (Otak Besar)
14

Gambar 1. Area otak[1]


Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian
lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai
parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus
frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal.
1) Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah
serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis
dan bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-
oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini
berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus
yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala
jenis rangsangan somatik.
2) Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling
depan dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior
sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik
untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca
sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang
mengontrol aktivitas intelektual.
15

3). Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung
atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.
4) Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang
memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap
objek yang ditangkap oleh retina mata

b. Serebelum (Otak Kecil)


Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang
batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian
atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan.
Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi
otot dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan
melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti
gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan
mengunci pintu dan sebagainya.
c. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak
bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan,
kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang
otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah
baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala
ketika bangun.
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
16

1) Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan
serebelum. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah.
Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan,
gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan
pendengaran.
2) Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara
midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial
posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons.
3) Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang
otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata
terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan
dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan
dari pons dan medulla.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Ras
Kejadian dan atau perilaku antara kelompok ras dalam menentukan
perkembangan astrositoma tidak jauh berbeda secara intrinsik. Faktor
populasi, umur, sikap etnis terhadap suatu penyakit dan akses keperawatan
telah dilaporkan mempengaruhi distribusi.[1]
2. Seks
Tidak ada dominasi seks yang jelas. Laki-laki dan perempuan
mempunyai tingkat yang sama dalam pengembangan astrocytoma.[1]
3. Usia
Astrositoma merupakan tumor yang banyak terjadi pada dekade
pertama kehidupan dengan puncaknya antara usia 5-9 tahun. Insidens
astrositoma difus terbanyak dijumpai pada usia dewasa muda (30-40
tahun) sebanyak 25% dari seluruh kasus. Sekitar 10% terjadi pada usia
kurang dari 20 tahun, 60% pada usia 20-45 tahun dan 30% di atas 45
tahun.[2]
17

Dalam kebanyakan kasus, pasien dengan astrocytoma pilocytic terjadi


dalam 2 dekade pertama kehidupan. Sebaliknya, kejadian puncak
astrocytoma tingkat rendah, yang mewakili 25% dari semua kasus orang
dewasa, terjadi pada orang berusia 30-40 tahun. Sepuluh persen dari
astrocytoma tingkat rendah terjadi pada orang yang lebih muda dari 20
tahun, 60% dari astrositoma tingkat rendah terjadi pada orang berusia 20-
45 tahun, dan 30% dari astrositoma tingkat rendah terjadi pada orang yang
lebih tua dari 45 tahun. Usia rata-rata pasien yang menjalani biopsy dari
astrositoma anaplastik adalah 41 tahun.[1]
D. ETIOLOGI
Sejumlah penelitian epidemiologi belum berhasil menentukan faktor
penyebab terjadinya tumor otak, terkecuali pemaparan terhadap sinar-X.
Anak-anak dengan leukemia limfositik akut yang menerima radioterapi
profilaksis pada susunan saraf pusat akan meningkatkan risiko untuk
menderita astrositoma, bahkan glioblastoma. Tumor ini juga dihubungkan
dengan makanan yang banyak mengandung senyawa nitroso (seperti
nitosurea, nitrosamine, dan lain-lain). Saat ini penelitian yang
menghubungkan tumor jenis ini dengan kerentanan genetik tertentu terus
dikembangkan. Tumor ini sering dihubungkan dengan berbagai sindroma
seperti Li-Fraumeni Syndrome, mutasi Germline p53, Turcot Syndrome, dan
neurofibromatosis tipe 1 (NF-1).[1]
E. PATOFISIOLOGI
Tumor ini akan menyebabkan penekanan ke jaringan otak sekitarnya,
invasi dan destruksi terhadap parenkim otak. Fungsi parenkim akan terganggu
karena hipoksia arterial maupun vena, terjadi kompetisi pengambilan nutrisi,
pelepasan produk metabolisme, serta adanya pengaruh pelepasan mediator
radang sebagai akibat lanjut dari hal tersebut diatas. Efek massa yang
ditimbulkan dapat menyebabkan gejala defisit neurologis fokal berupa
kelemahan suatu sisi tubuh, gangguan sensorik, parese nervus kranialis atau
bahkan kejang. Astrocytoma low grade yang merupakan grade II klasifikasi
WHO akan tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan bentuk yang maligna.
18

Tumor doubling time untuk astrocytoma low grade kira-kira 4 kali lebih
lambat dibandingkan dengan astrocytoma anaplastic (grade III astrocytoma).
Sering diperlukan waktu beberapa tahun antara gejala awal hingga diagnosa
low grade astrocytoma ditegakkan, interval ini kira-kira 3,5 tahun.
Astrocytoma low grade ini seringkali disebut diffuse astrocytoma WHO
grade II.[2,4]
F. DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Saat tumor otak kambuh, mungkin akan mengganggu normal fungsi
otak. Gejala adalah tanda lahiriah dari gangguan ini. Karena tengkorak tidak
dapat memperluas dalam menanggapi pertumbuhan tumor, gejala pertama
biasanya karena meningkatnya tekanan di otak. Misalnya, sakit kepala,
kejang, hilangnya memori, berkurangnya gerakan dan sensibilitas pada satu
sisi tubuh dan ada perubahan perilaku, disfungsi bahasa dan ada gangguan
kognitif.[5]
a) Astrositoma
Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang berkisar dari
lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma pilositik hingga
neoplasma infiltratif yang sangat ganas seperti glioblastoma multiforme.
Tumor Astrositik dapat dibagi menjadi astrositik fibriler (infiltratif),
astrositoma pilositik dan beberapa varian yang jarang (Kumar et al., 2007).
Tumor astrositoma merupakan tipe tumor SSP yang paling banyak
(38,6%) dan berlokasi di korteks frontoparietal. Astrositoma merupakan
tumor tersering pada anak dengan insidensi puncak usia 5–9 tahun pada
laki-laki dan 10–14 tahun untuk wanita.
1) Neoplasma Astrositik Difus
Neoplasma astrositik difus merupakan tumor yang biasa terjadi
pada dewasa muda dan ditandai dengan tingkat diferensiasi seluler
yang tinggi dan pertumbuhan yang lambat. Astrositoma difus dapat
terjadi di seluruh SSP namun biasanya terletak supratentorial dan
19

memiliki kecenderungan intrinsik untuk berkembang menjadi


astrositoma anaplastik dan akhirnya menjadi glioblastoma.
Astrositoma difus dapat menempati setiap wilayah di SSP, tetapi
kebanyakan sering berkembang di area supratentorial, lobus frontal
dan lobus temporal baik pada anak-anak maupun orang dewasa.
Batang otak dan tulang belakang adalah lokasi tersering berikutnya.
Astrositoma difus ini paling jarang berlokasi di otak kecil.
Kejang adalah gejala yang umum, meskipun dalam studi
retrospeksi kelainan halus seperti kesulitan berbicara, perubahan
sensasi, visi, atau beberapa perubahan motorik mungkin telah hadir
sebelumnya. Tumor yang berlokasi di lobus frontal dapat
menyebabkan perubahan perilaku atau kepribadian. Setiap perubahan
tersebut mungkin telah hadir selama berbulan-bulan sebelum
diagnosis, tetapi gejala mungkin juga berupa onset yang mendadak.
2) Astrositoma Pilositik
Astrositoma pilositik merupakan tumor WHO grade I yang timbul
lambat dan berbatas tegas (Louis et al., 2007). Pada penampang
mikroskopis sering ditemukan daerah kistik, serat Rosenthal yang
eosinofilik terang, dan butir-butir eosinofilik kaya-protein (badan
granular hialin) (Kumar et al., 2007). Astrositoma pilositik memiliki 5
years survival 96,4% pada anak usia 0 – 19 tahun (Kohler et al., 2011).
Astrositoma pilositik terdiri sekitar 5 – 6% dari semua glioma.
Astrositoma pilositik merupakan tumor otak glioma yang paling sering
terjadi tanpa predileksi jenis kelamin yang jelas dan biasanya terjadi
pada dua dekade pertama hidup. Prevalensi kejadian tumor ini pada
usia 0 – 14 tahun dan 15 – 19 tahun masing-masing sekitar 21% dan
16% dari semua tumor SSP. Dalam sebuah studi pada 1195 tumor
pediatrik dari satu institusi, astrositoma pilositik adalah tumor yang
paling umum (18%) di kompartemen otak. Pada orang dewasa,
astrositoma cenderung muncul satu dekade sebelumnya (usia rata-rata
20

22 tahun) dibandingkan low grade astositoma infiltasi tetapi relatif


sedikit timbul pada pasien yang lebih tua dari 50 tahun.
Astrositoma pilositik muncul di sepanjang neuraxis, namun pada
pediatrik populasi tumor lebih muncul dalam daerah infratentorial.
Lokasi tumor ini meliputi saraf optik (glioma saraf optik), chiasma
optikum, talamus dan ganglia basal, hemisfer, serebelum, dan batang
otak. Pada anak-anak, lokasi paling umum di supratentorial.
Astrositoma pilositik yang terjadi di sumsum tulang belakang kurang
sering, namun tidak jarang, dan pada anak-anak mewakili sekitar 11%
dari tumor tulang belakang.
Astrositoma pilositik menghasilkan defisit neurologis fokal atau
tanda-tanda non-lokalisasi, misalnya makrosefali, sakit kepala,
endokrinopati, atau peningkatan tekanan intrakranial. Kejang jarang
terjadi karena lesi jarang melibatkan korteks serebri.
3) Glioblastoma Multiforme
Glioblastoma multiforme merupakan tumor otak primer kelompok
neuroepitel tersering dan neoplasma yang paling ganas (Kohler et al.,
2011; Louis et al., 2007). Tumor ini biasanya menyerang orang dewasa
dan terutama berlokasi di hemisferium. Glioblastoma dapat timbul
cepat secara de novo, tanpa lesi prekursor yang sering disebut
glioblastoma primer. Sedangkan glioblastoma sekunder berkembang
secara perlahan dari difus astrositoma (WHO grade II) atau anaplastik
astrositoma (WHO grade III). Karena sifatnya yang invasif,
glioblastoma tidak dapat sepenuhnya direseksi dan meskipun mendapat
radioterapi atau kemoterapi, kurang dari setengah pasien yang dapat
bertahan lebih dari satu tahun (Louis et al., 2007). Bahkan berdasarkan
registri kanker oleh Beasty A. Kohler dkk, 5 years survival untuk
penderita glioblastoma yang berusia 40 – 60 tahun hanya 5% (Kohler
et al., 2011). Prognosis lebih jelek pada pasien usia tua dibandingkan
pasien muda tidak dapat dihubungkan dengan perifokal edema.
21

Berdasarkan laporan kasus dari Lee TT dan Manzano GR dalam


Luis (2007) pada 987 penderita glioblastoma dari Rumah Sakit
Universitas Zurich, lokasi yang paling sering terkena adalah lobus
temporal (31%), lobus parietal (24%), lobus frontal (23%) dan lobus
oksipital (16%). Infiltrasi dari glioblastoma sering meluas ke korteks
yang berdekatan dan melalui corpus callosum ke belahan kontralateral.
Glioblastoma yang berlokasi ganglia basal dan talamus juga tidak
jarang, terutama pada anak-anak. Glioblastoma dari batang otak jarang
terjadi dan sering menyerang anak-anak. Serebelum dan sumsum
tulang belakang merupakan lokasi yang paling jarang ditempati oleh
neoplasma ini.
Gejala dan tanda-tanda yang umum dari glioblastoma berupa gejala
peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala, mual, muntah
dengan disertai papil edema. Sepertiga pasien dapat mengalami kejang
epilepsi. Gejala neurologis non-spesifik seperti sakit kepala dan
perubahan kepribadian juga dapat terjadi.
b) Oligodendroglioma
Oligodendroglioma merupakan tumor grade II WHO yang
berkaitan dengan hilangnya heterozigositas di lengan panjang kromosom
19 dan lengan pendek kromosom 1. Secara mikroskopis terdapat sel
infiltratif dengan nukleus bulat seragam sering dikelilingi oleh halo jernih
perinukleus. Sel neoplastik cenderung berkumpul disekitar neuron asli,
suatu fenomena yang sering disebut sebagai satelitosis.
Mayoritas oligodendroglioma timbul pada orang dewasa, dengan
insiden puncak antara 40 dan 45 tahun. Oligodendroglioma jarang terjadi
pada anak-anak. Hanya 1,1% dari seluruh otak tumor pada pasien lebih
muda dari 14 tahun. Pria sedikit lebih sering daripada perempuan dengan
rasio.
Oligodendroglioma muncul terutama di korteks hemisfer otak.
Sekitar 50-65% dari pasien menderita oligodendroglioma di lobus frontal,
diikuti dengan penurunan frekuensi oleh lobus temporal, parietal dan
22

oksipital. Keterlibatan lebih dari satu lobus otak atau tumor bilateral
umum terjadi. Ada pula pasien yang dilaporkan menderita
oligodendroglioma dalam fossa posterior, ganglia basal, batang otak atau
sumsum tulang belakang.
Terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (misal,
nyeri kepala). Selain itu bisa juga terdapat kelainan fokal yang berkaitan
dengan lokasinya (misal, kejang).
2. Pemeriksaan Fisis
Sebuah pemeriksaan neurologis rinci diperlukan untuk evaluasi yang
tepat dari setiap pasien dengan astrositoma. Karena tumor ini dapat
mempengaruhi setiap bagian dari SSP, termasuk sumsum tulang belakang,
dan dapat menyebar ke daerah-daerah yang jauh dari SSP, pemeriksaan fisik
secara menyeluruh merujuk ke seluruh neuroaxis diperlukan untuk
menentukan lokasi dan luasnya penyakit.[1]
Periksa apakah ada tanda-tanda lateralisasi, kelumpuhan saraf cranial,
hemiparesis, tingkat sensorik, perubahan refleks tendon, dan adanya refleks
patologis.[1]
3. Gambaran Radiologi
Pemeriksaan computed tomography imaging (CT scan) dan magnetic
resonance imaging (MRI) di daerah kepala dengan dan tanpa kontras, sangat
membantu dalam diagnosa, penentuan grading, dan evaluasi patofisiologi
tumor ini. MRI dapat memberikan gambaran yang lebih baik dari pada CT
scan. Pada pemeriksaan CT scan, gambaran low grade astrocytoma akan
terlihat sebagai lesi dengan batas tidak jelas, homogen, hipodens tanpa
penyangatan kontras (Lihat Gambar 2). Kadang-kadang dapat ditemukan
kalsifikasi, perubahan kistik dan sedikit penyangatan kontras.[6]
23

Gambar 2. CT Scan low grade astrocytoma[6]


Pada astrocytoma anaplastic akan terlihat massa yang tidak homogen,
sebagian dengan gambaran lesi hipodens dan sebagian lagi hiperdens.
Umumnya disertai dengan penyangatan contrast. Pada glioblastoma
multiforme akan tampak gambaran yang tidak homogen, sebagian massa
hipodens, sebagian hiperdens dan terdapat gambaran nekrosis sentral.
Tampak penyangatan pada tepi lesi sehingga memberikan gambaran seperti
cincin dengan dinding yang tidak teratur. Secara umum, astrositoma akan
memberikan gambaran isointens pada T1 dan hiperintens pada T2. (Lihat
Gambar 3).[6]

Gambar 3. MRI. Coronal (left), Axial (right) [6]

G. DIAGNOSA BANDING
Hasil CT maupun MRI memiliki tingkat kepercayaan yang relatif
tinggi untuk diagnosis Low Grade Astrocytoma (LGA). Meskipun demikian,
gambaran radiologis LGA pada pencitraan CT-Scan dapat mirip dengan
astrocytoma anaplastik, ischemia, cerebritis dan oligodendroglioma.[2]
24

H. PENATALAKSANAAN
Pada saat menentukan jenis pengobatan bagi penderita astrositoma,
perlu dinilai manfaat yang akan diperolehnya. Manfaat tersebut diukur
berdasarkan lamanya kelangsungan hidup penderita dibandingkan lamanya
pemberian pengobatan. Dan yang paling penting adalah kualitas hidup
penderita setelah pengobatan. Pengobatan utama yang dilakukan saat in
mencakup : a) pembedahan, b) radioterapi, dan c) kemoterapi.[2]
Pembedahan dilakukan berdasarkan besarnya tumor di dalam otak dan
status fungsional penderita. Penderita yang mengalami tumor yang berlokasi
di pusat vital dengan hemiparesis, disfasia/afasia, penderita usia lanjut bukan
merupakan indikasi untuk operasi. Diagnostik dikonfirmasi melalui biopsi
dan dilanjutkan dengan pemberian radioterapi. Penderita lainnya dapat
dilakukan pembedahan, seperti open craniotomy dan stereotactic biopsy.
Biopsi secara stereotaktik merupakan tindakan minimal invasive terutama
terhadap tumor yang letaknya dalam dan di tempat yang sulit dicapai. Jika
disertai dengan hidrosefalus, dapat dilakukan VP Shunt atau External
Ventricular Drainage (EVD). Peranan pembedahan bagi penderita antara lain
untuk: (i) melakukan dekompresi terhadap massa tumor, (ii) mengambil
jaringan untuk pemeriksaan histopatologi, sehingga dapat direncanakan
pengobatan adjuvans dan memperkirakan prognosis.[2]
Radioterapi sudah berhasil memperpanjang kelangsungan hidup
penderita terutama dengan grade tumor yang tinggi. Pemberian radioterapi
pada penderita astrositoma mampu memperkecil massa tumor dan
memperbaiki gejala-gejala neurologis sebesar 50 - 75% kasus.[2]
Pada saat ini, kemoterapi bukanlah pilihan utama untuk pengobatan
astrositoma. Bila tumor menjadi ganas, pembedahan, radioterapi dan
pemberian kemoterapi dapat dilakukan. Astrositoma yang ganas bersifat
incurable, dan tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki gangguan
neurologis (seperti fungsi kognitif) dan memperpanjang kelangsungan hidup
penderita. Pengobatan simtomatis, rehabilitasi dan dukungan psikologis
sangat penting. Pemberian steroid umumnya akan memberikan hasil yang
25

membaik karena pengurangan efek massa tumor yang disertai edema sekitar
tumor. Pemberian steroid harus segera dihentikan setelah dilakukan tindakan
pembedahan. Obat ini dapat menimbulkan efek samping dan mengganggu
pemberian kemoterapi. Median dari kelangsungan hidup penderita
astrositoma adalah 5-8 tahun.[2]
Mekanisme kerja kortikosteroid belum diketahui secara jelas.
Beberapa hipotesis yang dikemukakan: meningkatkan transportasi dan
resorbsi cairan serta memperbaiki permeabilitas pembuluh darah. Perbaikan
sudah ada dalam 24-48 jam. Jenis kortikosteroid yang dipilih yaitu
glukokortikoid; yang paling banyak dipakai ialah deksametason, selain itu
dapat diberikan prednison atau prednisolon. Dosis deksametason biasa
diberikan 4-20 mg intravena setiap 6 jam untuk mengatasi edema vasogenik
(akibat tumor) yang menyebabkan tekanan tinggi intrakranial (Greenberg et
al., 1999). Selanjutnya yang ideal adalah bila tumor itu dapat diangkat secara
menyeluruh. Bila hal ini tidak mungkin maka sebanyak mungkin tumor
diangkat. Bila tumor itu tidak dapat diangkat maka akan dilakukan
dekompresi. Untuk mengurangi tekanan intrakranial dapat pula dipasang
suatu “ventrikulocaval shunt”. Suatu pembedahan kemudian disusul dengan
suatu terapi sinar atau kimia. Penatalaksanaan tumor otak sementara yang
dapat dilakukan adalah terapi suportif, yaitu IVFD RL XX tetes/menit
(makro), ceftriaxon vial 1 gram/12 jam, ranitidin ampul 1 gram/12 jam,
dexamethason 1 ampul/6 jam.[2]
I. PROGNOSIS
Prognosis penderita astrositoma tergantung dari tiga faktor : i) usia,
ii)status fungsional, dan iii) grade histologis. Penderita usia ˂45 tahun
mempunyai kelangsungan hidup empat kali lebih besar dibandingkan
penderita berusia ˂65 tahun. Pada low grade astrocytoma, prognosis akan
lebih buruk jika disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial, gangguan
kesadaran, perubahan perilaku, defisit nerologis yang bermakna, dan adanya
penyangatan kontras pada pemeriksaan radiologi.[2]
26

BAB III
RESUME DAN ANALISIS KASUS
A. Resume
Pasien datang ke IGD Bahteramas dengan keluhan muntah-muntah sejak 2
hari SMRS. Awalnya pasien di rawat oleh dokter interna, namun 1 hari
kemudian pasien tersebut dikonsul kebagian neuro dengan keluhan lemah
pada separuh badan kiri. Keluhan lain yang dirasakan, yaitu mual (+), muntah
(+), sulit menelan (+), sakit kepala (+), pusing (+), bicara cadel (+). Riwayat
HT (-), riwayat DM tidak diketahui.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan TD: 150/90, N: 80x/menit, S: 36,5oC,
P: 20x/menit. Lidah pasien dan mulut pasien deviasi kearah kiri.
Pada pemeriksaan hematologi leukosit dan eritrosit di atas nilai rujukan,
pemeriksaan elektrolit dalam batas normal, kimia darah cholesterol total dan
LDL diatas nilai rujukan. Pada foto CT-Scan kepala, suspek Astrocytoma
daerah temporoparietal kanan.
Pasien kemudian didiagnosis Astrocytoma setelah melakukan CT-Scan,
kemudian diberikan terapi, non medikamentosa dan medikamentosa, serta
dirujuk ke Makassar untuk penatalaksanaan selanjutnya.
B. Analisis Kasus
Pasien merupakan seorang pria usia 70 tahun. Dari anamnesis ditemukan
gejala-gejala yang mendukung didiagnosisnya suatu Astrocytoma yaitu
keluhan sakit kepala lama dan muntah-muntah. Penemuan dari pemeriksaan
fisis yaitu lidah deviasi ke kiri dan mulut deviasi ke kiri.
Pada pemeriksaan Ct-Scan tampak isodens densitas 32 HU pada daerah
temporomental kanan disertai perifocaledema luas, daerah
frontotemporoparietal kanan yang menyempitkan ventrikel lateral kanan dan
menyebabkan shift midline ke kiri, Sulcy and gyri frontotemporoparietal
kanan obliterasi, sistem ventrikel lainnya dan subarachnoid dalam batas
normal, kalsifikasi pada plexus choroideus dan pineal body. Pons, Cerebellum
dan cerebellopontin angle dalam batas normal. Opasitas densitas 10-45 HU
pada sinus maxillaris dan frontalis kanan. Sinus paranasalis lainnya dan aircell
27

mastoid yang terscan dalam batas normal. Tampak pneumotisasi concha nasi
bilateral dan deviasi septi nasi ke kanan. Cavum orbita dan orbita dalam batas
normal, Tulang-tulang intak. Kesimpulan: Massa isodens daerah
temporoparietal kanan disertai perifocal edema luas suspek Astrocytoma,
Sinusitis maxillaries dan frontalis kanan. Concha bullosa bilateral dan deviasi
septi nasi ke kanan.
28

DAFTAR PUSTAKA

1. Kennedy B, et al. Astrocytoma. Medscape: 2016.


2. Japardi I. Astrocytoma: insidens dan pengobatan. Jurnal kedokteran
Trisakti. Vol.22 No.3. Medan: Bagian bedah saraf FK Universitas Sumatra
Utara. 2003. Hal: 1-6.
3. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi Duus: anatomi,
fisiologi, tanda, dan gejala. Ed. 4. Jakarta: EGC. 2010.
4. Jallo GI, et al. Low Grade Astrocytoma. Medscape: 2014. Hal: 1-2
5. American Brain Tumor Association (ABTA). Glioblatoma & Malignant
Astrocytoma. America: 2016
6. Fertikh D, et al. Brain Imaging in Astrocytoma. Medscape: 2015. Hal: 1-3.

Anda mungkin juga menyukai