PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam pembahasan sebelumnya, sudah diterangkan mengenai perintah untuk
mentaati Allah dan rasulnya, menegakkan hukum sesuai perintah Allah, berlaku adil
terhadap seluruh manusia baik itu orang yang yang dikasihi maupun yang dibenci,
larangan berhukum dengan thaghut, serta perintah supaya memberikan amanat kepada
orang yang berkompeten.
Pada pembahasan kali ini, akan dibahas mengenai larangan melakukan pembelaan
terhadap orang yang salah dan berkhianat yang terdapat dalam surah an-nisa ayat 105,
107, dan 108, serta surah al-anfal ayat 58. Secara khusus, khianat yang dimaksud di sini
adalah pelanggaran terhadap kesepakatan dan perjanjian yang diadakan antara kaum
mu’minin dan kaum kafir.1
Oleh karena itu, kami tim pemakalah akan berusaha memaparkan penjelasan terkait
tafsir dari ayat-ayat tersebut.
B. Rumusan masalah
1. Apa redaksi dan terjemahan ayat yang menjadi dasar larangan melakukan
pembelaan terhadap orang-orang yang berkhianat?
2. Bagaimana asbabun nuzul ayat terkait larangan tersebut?
3. Bagaimana korelasi ayat tersebut dengan ayat lainnya?
4. Bagaimana penjelasan ayat tersebut?
5. Bagaimana relevansi ayat tersebut dengan konteks bangsa indonesia saat ini?
1
Imam al Jalil al Hafizh ibn Katsir, Tafsir al Quran al ‘Azhim, (Kairo: Maktabah Aulad asy Syaikh
Litturats, 2000), juz 7, hl 107
1
BAB II
PEMBAHASAN
2. Tafsir mufradat
بما أراك هللا: dengan apa-apa yang telah diajarkan dan diwahyukan oleh Allah kepadamu.2
للخائنين: yaitu orang-orang yang berkhianat terhadap orang lain maupun dirinya
sendiri, seperti melakukan pencurian, melemparkan kesalahan pada orang lain, dan lain
sebagainya.
خصيما: yaitu orang yang melakukan pembelaan terhadap orang yang salah, agar kesalahan
itu terhapus dari orang yang dibelanya.
و ال تجادل: dan janganlah kamu berdebat. Berasal dari kata الجدالyang berarti pembelaan
yang sungguh-sungguh, sehingga menimbulkan kontroversi.
2
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al Munir, (Damaskus: Dar al Fikr, 2009), juz 3, hl 265
2
يختانون انفسهم: yaitu mengkhianati diri sendiri dengan melakukan perbuatan maksiat.
Dikatakan mengkhianati diri sendiri karena akibat dari perbuatan itu kembali pada diri
mereka sendiri.
اثيما: sifat mubalaghah bagi orang yang berdosa. Artinya, orang yang sudah keterlaluan
dalam berbuat dosa.
يستخفون: mereka bersembunyi dari manusia dikarenakan perasaan malu dan takut. Yang
dimaksud di sini adalah Thu’mah dan kaumnya.
ما ال يرضى من القول: yaitu ketika mereka berencana untuk bersumpah bahwa bukan mereka
yang melakukan pencurian, dan melemparkan tuduhan kepada orang yahudi.
محيطا: yaitu Allah mengetahui segala sesuatu, dan ilmunya mencakup segala hal.3
3. Asbabun nuzul
Keseluruhan ayat di atas turun mengenai satu kisah, yaitu seorang lelaki anshar
yang bernama Thu’mah bin Ubairiq, yang mencuri baju perang milik tetangganya yang
bernama Qatadah bin Nu’man. Baju perang itu terletak di dalam karung dan bercampur
dengan tepung. Karung tersebut robek, dan tepung itu pun berceceran dari tempat karung
yang robek tadi, hingga ia sampai di rumahnya. Menyadari adanya ceceran tepung, ia
menyembunyikan baju perang tersebut di rumah seorang yahudi bernama Zaid bin
Samin.
Si pemilik baju pun mencari barangnya yang hilang dengan mengikuti jejak
ceceran tepung hingga ia sampai di rumah Thu’man. Sesampainya disana, mereka tidak
menemukan baju perang tersebut. Thu’man pun bersumpah dengan nama Allah bahwa ia
tidak mengambil barang tersebut dan tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Mereka pun
meninggalkan Thu’man dan mengikuti jejak tepung, lalu akhirnya sampai dirumah
seorang yahudi, yaitu Zaid bin Samin. Di sana, mereka mendapati baju perang yang
3
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al Munir, … hl 265
3
hilang, lalu mengambilnya. Zaid pun mengatakan bahwa baju tersebut adalah titipan dari
Thu’man, dan hal itu disaksikan oleh beberapa orang yahudi.4
Kemudian Banu Zhafar yang merupakan kaum dari Thu’man meminta orang-
orang yahudi itu untuk ikut mereka menghadap nabi. Mereka pun meminta nabi untuk
membela keluarga mereka yaitu Thu’man dan membersihkan nama baik keluarga
mereka, meskipun mereka tahu bahwa keluarga merekalah yang sebenarnya bersalah.
Lalu nabi berdiri dihadapan orang-orang untuk membebaskannya dan membersihkan
nama baiknya, dan hampir saja nabi menjatuhkan keputusan yang salah, maka Allah
menurunkan firmannya:
انا انزلنا اليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما اراك هللا و ال تكن للخائنين خصيما و استغفر هللا
ان هللا كان غفورا رحيما و ال تجادل عن الذين يختانون انفسهم ان هللا ال يحب من كان خوانا
اثيما يستخفون من الناس و ال يستخفون من هللا و هو معهم اذ يبيتون ما ال يرضى من القول و
كان هللا بما يعملون محيطا
“sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat. dan mohonlah ampun kepada Allah.
Sesungghunya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan janganlah kamu
berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.”
4
Imam Abi Hasan Ali, Asbab Nuzul Al quran, (Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyyah, 1991), hl 183
5
Imam al Jalil al Hafizh ibn Katsir, Tafsir al Quran al ‘Azhim, (Kairo: Maktabah Aulad asy Syaikh
Litturats, 2000), juz 4, hl 261
4
4. Munasabah ayat
Ayat ini mengandung perintah bagi orang mukmin agar senantiasa berhati-hati
terhadap orang-orang munafik, dan selalu bersiaga dalam memerangi mereka.
هأنتم هؤالء جادلتم عنهم فى الحياة الدنيا فمن يجادل هللا عنهم يوم القيامة ام من يكون عليهم وكيال
“beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela)
mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk
(membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka
(terhadap siksa Allah)?”
Ayat di atas mengingatkan bahwa kalaupun seandainya ada yang mampu
membela orang-orang yang berkhianat dalam kehidupan dunia ini, tetapi tidak akan ada
siapa pun yang mampu membelanya kelak di hari kemudian.
و من يكسب خطيئة او اثما ثم يرم به بريئا فقد احتمل بهتانا و اثما مبينا
“dan barangsiapa yang melakukan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya
kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu
kebohongan dan dosa yang nyata”
Kata خطيئةpada ayat di atas biasanya diartikan dengan kesalahan yang tidak
disengaja., tetapi karena redaksi ayat menggunakan kata يكسبyang berarti melakukan,
maka hal ini mengisyaratkan bahwa kesalahan itu dilakukan karena adanya kecerobohan
atau kurangnya perhatian dan tanggung jawab pelakunya.7
Selain itu makna umum surah An Nisa ini juga berkaitan dengan surah Al Anfal
ayat 27:
يايها الذين امنوا ال تخونوا هللا و الرسول و تخونوا اماناتكم و انتم تعلمون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
6
Zamakhsyari, Al Kasysyaf, (Riyadh: Maktabah al Abikan, 1998), juz 2, hl 148
7
Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol 2, hl 709
5
Larangan berkhianat ayat di atas mempunyai makna untuk tidak melanggar
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasulnya, serta menjaga amanat yang
diberikan oleh orang lain.8
5. Syarah ayat
Ayat ini kembali kepada persoalan semula yang berbicara tentang orang-orang
munafik, yang diselingi dengan berbagai persoalan yang berkaitan dengan mereka,
sampai pada uraian tentang kewajiban menindak tegas, bahkan memerangi mereka yang
terang-terangan keluar dari islam, hingga ancaman bagi mereka yang berdalih tertindas
karena enggan berhijrah dan berjihad.
Al Biqa’i juga menilai ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya sebagai awal dari satu
kelompok ayat dan kelanjutan dari uraian sebelumnya. Menurutnya, uraian kelompok
ayat ini adalah menggambarkan keanehan orang-orang yang telah diberi kitab suci, yang
sesat dan menyesatkan orang lain, keimanan mereka terhadap al jibt, setan, dan berhala,
dilanjutkan dengan uraian tentang sikap mereka yang mengaku percaya kepada kitab
yang diturunkan oleh Allah, tetapi mencari hakim selain-Nya.
Karena dalam benak nabi sempat terlintas niat untuk membela orang-orang yang
khianat, walaupun akibat ketidaktahuan dan sangka baik beliau kepada sesama muslim,
Allah menurunkan ayat yang memerintahkan nabi:9
8
Shiddiq bin Hasan, Fathul Bayan, (Beirut: Maktabah al Ashriyah, 1992), juz 5, hl 162
6
و استغفر هللا ان هللا كان غفورا رحيما
“dan mohon ampunlah kepada Allah, sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”
“dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka
kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”
2. Tafsir mufradat
و اما تخافن من قوم خيانة: jika dikhawatirkan suatu kaum akan melakukan pengkhianatan atau
kecurangan dalam perjanjian, dengan adanya tanda-tanda yang jelas. Yang dimaksud
dalam ayat adalah Bani Nadhir dan Bani Quraizhah.10
فانبذ اليهم: yaitu lemparkanlah perjanjian itu pada mereka, dan perangilah mereka
على سواء: yaitu agar kamu dan mereka sama-sama mengetahui, siapa yang telah
melanggar perjanjian, yaitu dengan cara memberitahukan kepada mereka tentang
pelanggaran tersebut, supaya mereka tidak menuduhmu berbuat khianat jika kamu
melakukan tindakan.11
3. Asbabun nuzul
Sa’id bin jubair berkata bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan enam kabilah
yahudi. Di antaranya ada yang bernama ibnu tabut. Sementara mujahid mengatakan
bahwa yang dimaksud dalam ayat adalah yahudi madinah yang dipimpin oleh Ka’ab bin
Asyraf. Kemudian Allah menurunkan perintah mengenai sikap yang harus dilakukan
9
Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, … hl 700
10
Shiddiq bin Hasan, Fathul Bayan, … hl 198
11
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al Munir, … hl 385
7
terhadap pengkhianatan yang mereka lakukan, dan mengatakan bahwa Rasulullah akan
selalu terpelihara dari segala tipu daya yang mereka rencanakan.12
Pada tahun pertama hijriah, Rasulullah telah membuat suatu perjanjian dengan
orang-orang yahudi di Madinah, yang terdiri dari Bani Quraizhah dan Bani Nadir.
Mereka lalu mengkhianati perjanjian itu dan kemudian memberi bantuan kepada kafir
quraisy dengan cara sembunyi-sembunyi untuk memerangi nabi Muhammad di waktu
terjadinya perang uhud.
Setelah selesainya peperangan, turunlah ayat فانبذ إليهم على سواءyang artinya,
lemparkanlah dan batalkanlah perjanjian yang telah dibuat dengan mereka itu dengan
cara terus terang, jujur, dengan cara yang sama seperti membuat perjanjian dahulu.
Tegasnya, janganlah mereka itu diperangi sebelum diberitahukan terlebih dahulu kepada
mereka mengenai pembatalan perjanjian tersebut., agar umat islam tidak dituduh
melanggar perjanjian.
4. Munasabah ayat
Setelah Allah menjelaskan tentang keadan kafir Quraisy yang memerangi nabi
dan kaum mu’minin di perang badar, selanjutnya Allah menyebutkan tentang keadaan
kelompok lain yang memerangi nabi, yaitu yahudi Hijaz.15
12
Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, (Kairo, Musthafa al Babi al Halabi, 1946) juz 10,
hl 19
13
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2011), hl 461
14
Shiddiq bin Hasan, Fathul Bayan, … hl 199
15
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al Munir, … hl 386
8
ان الشر الدواب عند هللا الذين كفروا فهم ال يؤمنون الذين عاهدت منهم ثم ينقضون عهدهم فى
كل مرة و هم ال يتقون فاما تثقفنهم فى الحرب فشرد بهم من خلفهم لعلهم يذكرون
“sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah adalah orang-orang
kafir, karena mereka itu tidak beriman (55). (yaitu) orang-orang yang kamu telah
mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janji itu pada
setiap kali, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya) (56). Jika kamu menemui mereka
dalam peperangan, maka cerai beraikanlah mereka dengan (menumpas) mereka, supaya
mereka mengambil pelajaran (57)”
Kelompok ayat tersebut, dan ayat-ayat sesudahnya berbicara tentang perjanjian.
Karena perjanjian pertama yang dilakukan oleh nabi adalah dengan non-muslim, yakni
ketika beliau tiba di Madinah, dan karena yang pertama serta paling sering mengkhianati
perjanjian adalah orang yahudi.
5. Syarah ayat
Setelah ayat sebelumnya memberikan petunjuk tentang bagaimana
memperlakukan siapa yang telah terbukti melanggar perjanjian, ayat ini memberi
petunjuk mengenai langkah yang harus diambil bila pengingkaran perjanjian itu belum
terbukti dengan jelas.
9
musuh sekalipun sama sekali tidak dibenarkan. Memang, semua mengetahui bahwa
peperangan itu adalah tipu daya, namun siasat dan tipu muslihat yang terjadi dalam
situasi perang tidak sama dengan khianat yang dilarang ini karena ketika itu masing-
masing pihak sudah mengetahui bahwa ciri peperangan adalah tipu muslihat.
Pengacara itu sendiri bukanlah sesuatu yang baru dalam islam. Hal ini dapat kita
lihat dengan adanya pembahasan mengenai kuasa hukum dalam peradilan islam dalam
kitab fiqh klasik, misalnya “bab tentang pengacara dan kewajiban mereka” dalam kitab
Raudhah al Qudhat wa Thariq an Najah karangan Abu al Qasim as Sumnani. Di sana juga
dikatakan bahwa seseorang tidk boleh menjadi kuasa hukum dari orang yang sudah jelas
diketahui kesalahannya.18
17
Quraish Shihab, Tafsir al Misbah ...hl 584-585
18
Abu Qasim as Sumnani, Raudhah al Qudhat wa Thariq an Najah, (Beirut: Muasasah ar Risalah,
1984), juz 1, hl 122
10
hukum. Hal tersebut tentu saja menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi rakyat
Indonesia.
Contoh lain juga dapat kita lihat dalam kasus-kasus lain, dimana pengadilan
cenderung memberikan putusan hukum yang tidak berimbang dan proporsional. Sehingga
wajar saja jika rakyat merasa bahwa hukum yang ada di Indonesia ini ”tumpul ke atas
dan tajam ke bawah.”
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tentang surah An Nisa ayat 105, 107, 108, dan surah Al Anfal
ayat 58 sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan:
B. Saran
Inilah makalah sederhana yang dapat pemakalah buat pada kesempatan kali ini.
Pemakalah mohon maaf atas kekurangan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini,
yang tidak lain berasal dari keterbatasan ilmu pemakalah. Dan semoga pembaca dapat
mengambil manfaat dari makalah ini.
Akhir kata perbanyak maaf, wabilllahi taufiq wal hidayah, wassalamu ’alaikum
warahmatullahi wabarakatuhu.
12
DAFTAR PUSTAKA
Imam Jalil Hafizh ibn Katsir, Tafsir al Quran al ‘Azhim, (Kairo: Maktabah Aulad asy
Syaikh Litturats, 2000)
Imam Abi Hasan Ali, Asbab Nuzul Al quran, (Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyyah, 1991)
Ahmad Musthafa Maraghi, Tafsir al Maraghi, (Kairo, Musthafa al Babi al Halabi, 1946)
13