Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

PEMFIGUS VULGARIS

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan kepaniteraan


klinik Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Salatiga

Disusun oleh :
Muhammad Fikri Husein
NIM : 2009 031 0057

Diajukan Kepada :
dr. LUCKY H., Sp.KK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2014

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan laporan kasus dengan judul


PEMFIGUS VULGARIS

HARI/TANGGAL

………….. / Mei 2015

Menyetujui
Dokter pembimbing/Penguji

dr.Lucky H., Sp.KK

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. Ss
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Bringin, Salatiga
Tanggal Pemeriksaan : 18 April 2015
No RM : 293721

B. Anamnesis
Keluhan Utama
Kulit terkelupas diseluruh tubuh
Perjalanan penyakit
Pasien datang rawat inap di Rumah Sakit Salatiga dengan keluhan
kulit melepuh dan mengkelupas diseluruh tubuh sejak 2 bulan yang lalu. Lepuhan
awalnya muncul pada daerah dada kemudian makin lama semakin banyak dan
menyebar kepunggung dan keseluruh tubuh. Lepuhan tidak terlalu gatal tetapi
perih, demam (-). Terdapat benjolan seperti ada air sekitar lepuhan terasa panas,
nyeri dan gatal..
Riwayat pengobatan
Pasien sudah berobat ke dokter kulit tetapi akhir-akhir ini berobat ke
pengobatan alternatif
Riwayat alergi
Alergi obat dan makanan disangkal oleh pasien, Asma (-), Sering gatal-gatal
dan bersin-bersin (-)
Riwayat penyakit terdahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya. Riwayat
penyakit kulit yang lain disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit dalam keluarga

3
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama, riwayat alergi
dalam keluarga juga disangkal
Riwayat sosial
Pasien mandi 2x sehari kadang 1x sehari.

C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
KU : Tampak kesakitan
TD: 110/80, N: 78x/m, RR: 22x/m, S: 36,5c
Status General
Kepala : Dalam batas normal
Thoraks : I: Tampak kulit erosi
Abdomen : I: Tampak kulit erosi
Ekstremitas : Akral hangat +/+, Edema -/-
Status Dermatologis
Lokasi : Dada dan Punggung
Eff. : Tampak eritema, erosi luas di dada, perut, punggung dan
bokong. Tampak Krusta di sekitar dada berwarna coklat.
Tampak bula kendur di atas dasar eritema, d=>1cm, multiple.
Bula mudah pecah. Tampak krusta disudut mulut kanan.

4
Gambar . Foto erosi pada dada

5
D. Pemeriksaan Penunjang
Tanda Nikolsky positif.
Test Tzack : Tidak dilakukan
Pemeriksaan imunofluoresensi : Tidak dilakukan

E. Diagnosis Banding
1. Pemfigus Vulgaris
2. Dermatitis Herpetiformis
3. Pemfigus Bulosa

F. Diagnosis Kerja
Pemfigus Vulgaris

G. Penatalaksanaan
- Pengobatan medikamentosa
Sistemik:
Inj. Ceftriaaxone 2x1
Inj. Metilprednisolon 2x1
Inj. Ketorolac 2x1
Cetirizine 1x1
Omeprazole 2x1
Fuson Cream 2xue
Inerson Cream 2xue
Kenalog 2xue
Sibro
Kompres NaCL
Surfaktan
Diet TD II
KIE
1. Memberi penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya, dari
jenis penyakit, penyebab, pencetus sampai prognosisnya.
2. Menjaga kondisi tubuh agar tetap dalam keadaan bersih serta sehat dan
mengurangi stres.
3. Pengunaan obat topikal yang dianjurkan untuk mencegah komplikasi

6
H. Prognosis
Dubia ad malam

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Pemphigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang bersifat kronis,

disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula pada epidermis.(1,2,3) Kata

pemphigus diambil dari bahasa Yunani pemphix yang artinya gelembung atau lepuh.

Pemfigus dikelompokkan dalam penyakit bulosa kronis, yang pertama kali diidentifikasi oleh

Wichman pada tahun 1971.(1,2)Istilah pemfigus berarti kelompok penyakit bula autoimun

pada kulit dan membran mukosa dengan karakteristik secara histologis berupa adanya bula

intraepidermal disebabkan oleh akantolisis (terpisahnya ikatan antara sel epidermis) dan

secara imunopatologis adanya IgG in vivo maupun sirkulasi yang secara langsung melawan

permukaan sel-sel keratinosit.(1,2)

Pemfigus dulunya digunakan untuk menyebut semua jenis penyakit erupsi bula di

kulit, tetapi dengan berkembangnya tes diagnostic, penyakit bulosa pun diklasifikasikan

dengan lebih tepat.(1,2,3) Pada tahun 1964, penelitian menunjukkan adanya anti-skin

antibodies yang ditemukan pada pasien-pasien pemfigus yang diketahui dari pengecatan

imunofloresensi tak langsung. Sejak itu, dengan adanya perkembangan teknik

imunofloresensi imunologis, antigen yang menyebabkan penyakit ini pun berhasil

diidentifikasi. Perkembangan medis ini tidak hanya memberikan pengetahuan baru dalam

memahami patogenesis pemfigus tetapi juga mengarahkan pada perkembangan protein

rekombinan , yang diperlukan dalam tes ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

untuk diagnosis pemphigus.(4,5)

8
B. EPIDEMIOLOGI

1. Insidensi

Secara global, insidensi pemfigus vulgaris tercatat sebanyak 0.5-3.2 kasus per

100.000 populasi. Kejadian pemfigus vulgaris mewakili 70% dari seluruh kasus pemfigus

dan merupakan penyakit bula autoimun yang tersering di negara-negara timur, seperti India,

Malaysia, China, dan Timur Tengah.(2,4) Insidensi PV meningkat pada populasi keturunan

Yahudi Ashkenazi dan Mediterania, kecenderungan familial ini merupakan faktor

predisposisi genetik pada kejadian pemfigus vulgaris. Predominansi etnis ini tidak ada dalam

kasus pemfigus foliaseus (PF). Karena itu, di area dimana terdapat dominasi kelompok

keturunan Yahudi, Timur Tengah, dan Mediterania, rasio PV : PF cenderung lebih tinggi.

Sebagai contoh, di New York, Los Angeles, dan Kroasia, rasio PV : PF sebesar 5 : 1, di Iran

12:1, sedangkan di Finlandia hanya 0.5 : 0.1, dan di Singapura 2:1. Insidensi pemfigus

vulgaris bervariasi berdasarkan lokasi. Di Jerussalem, insidensi PV diperkirakan 1,6 kasus

per 100.000 populasi per tahun dan di Iran 10 kasus per 100.000 populasi, Finlandia jauh

lebih rendah 0,76 kasus per per juta populasi. Di Prancis dan Jerman, 1 kasus per juta

populasi per tahun.(5)

2.2.2 Mortalitas dan Morbidias

Pemfigus vulgarisadalah penyakit mukokutaneus autoimun yang berpotensi

mengancam jiwa dengan mortalitas sebesar 5-15%. Mortalitas pasien pemfigus vulgaris tiga

kali lebih tinggi daripada populasi pada umumnya, Komplikasi sekunder terkait dengan

penggunaan kortikosteroid dosis tinggi. Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luas lesi,

dosis maksimum steroid sistemik yang diperlukan untuk induksi remisi, dan adaya penyakit

penyerta. Prognosis semakin buruk pada pasien dengan pemfigus vulgaris ekstensif dan

pasien usia tua. Pemfigus vulgaris melibatkan lesi pada jaringan mukosa pada 50-70% pasien.

9
Hal ini menyebabkan terbatasnya asupan nutrisi karena disfagia. Bula dan erosi akibat bula

yang pecah bersifat nyeri sehingga membatasi aktivitas penderita.(6)

C. ETIOLOGI

Pemfigus vulgaris mengenai semua ras dan jenis kelamin dengan perbandingan yang

sama. Penyakit ini banyak terjadi pada usia paruh baya dan jarang terjadi pada anak-anak.

Tetapi di India, pasien pemfigus vulgaris lebih banyak terjadi pada usia muda. Ras Yahudi,

terutama Yahudi Ashkenazi memiliki kerentanan terhadap pemfigus vulgaris. Di Afrika

Selatan, pemfigus vulgaris lebih banyak terjadi pada populasi India daripada warga kulit

hitam dan kaukasia. Kasus pemfigus lebih jarang ditemukan di negara-negara barat.(2,5)

Predisposisi pemfigus terkait dengan faktor genetik. Anggota keluarga generasi

pertama dari penderita pemfigus lebih rentan terhadap penyakit ini daripada kelompok

kontrol dan memiliki antibodi antidesmoglein sirkulasi yang lebih tinggi. Genotip MHC kelas

II tertentu sering ditemukan pada pasien pemfigus vulgaris dari semua ras. Alela subtype

HLA-DRB1 0402 dan DRB1 0503 memberi risiko terjadinya pemfigus dan menyebabkan

adanya perubahan struktural pada ikatan peptide, berpengaruh pada presentasi antigen dan

pengenalan oleh sel T. Di Inggris dan India, pasien dengan haplotip desmoglein tertentu juga

memiliki risiko pemfigus vulgaris dan hal ini tampaknya menambah efek yang diakibatkan

oleh HLA-DR. Kerentanan juga dapat disebabkan pengkodean immunoglobulin oleh gen atau

oleh gen dalam pemrosesan pada antigen HLA kelas I.(6,7)

Terdapat beberapa klasifikasi pemfigus yang dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

Gambar 2.1 Klasifikasi Pemfigus(7)

10
Identifikasi target antigen spesifik untuk autoantibodi pada penyakit bula autoimun

melibatkan penelitian mengenai berbagai komponen desmosome dan kompleks adhesi yang

menghubungkan dermis-epidermis. Pemfigus dapat terjadi pada pasien yang memiliki

berbagai jenis gangguan lainnya yang dikarakteristikkan dengan gangguan iminologis

tertentu. Timoma atau miastenia gravis dilaporkan terdapat pada beberapa pasien pemfigus.

Pemfigus juga dapat terjadi pada pasien lupus eritematosus. Pemfigus dilaporkan terjadi pada

pasien dengan penyakit limfoproliferatif seperti tumor Castleman. DNA virus terdeteksi pada

beberapa biopsy kulit atau sel mononuclear dari sampel darah perifer pasien pemfigus dan

dapat muncul bersamaan dengan infeksi HIV. Penelitian epidemiologis pada pasien pemfigus

vulgaris di Iran menunjukkan adanya korelasi positif dengan penggunaan kontrasepsi oral

dan paparan pestisida serta kemungkinan efek protektif dari kebiasaan merokok terhadap

kejadian pemfigus vulgaris.(8)

11
D. PATOFISIOLOGI

Pada penyakit ini, autoantibodi yang menyerang desmoglein pada permukaan

keratinosit membuktikan bahwa autoantibodi ini bersifat patogenik. Antigen PV yang

dikenali sebagai desmoglein 3, merupakan desmosomal kaderin yang terlibat dalam

perlekatan interseluler pada epidermis. Antibodi yang berikatan pada domain ekstraseluler

region terminal amino pada desmoglein 3 ini mempunyai efek langsung terhadap fungsi

kaderin. Desmoglein 3 dapat ditemukan pada desmosom dan pada membran sel keratinosit.

Dapat dideteksi pada setiap deferensiasi keratinosit terutamanya pada epidermis bawah dan

lebih padat pada mukosa bucal dan kulit kepala berbanding di badan. Hal ini berbeda dengan

antigen Pemfigus Foliaseus, desmoglein 1, yang dapat ditemukan pada epidermis, dan lebih

padat pada epidermis atas. Pengaruh dari faktor lingkungan dan cara hidup individu belum

dapat dibuktikan berpengaruh terhadap PV, namun penyakit ini dapat dikaitkan dengan

genetik pada kebanyakan kasus. (1,6,7,8)

Tanda utama pada PV adalah dengan mencari autoantibodi IgG pada permukaan

keratinosit. Hal ini merupakan fungsi patogenik primer dalam mengurangi perlekatan antara

sel-sel keratinosit yang menyebabkan terbentuknyabula-bula, erosi dan ulser yang merupakan

gambaran pada penyakit PV. Padaperwarnaan imunofloresensi direk dan indirek, kita dapat

membedakan antara Pemfigus Paraneoplastik dari bentuk klasik suatu Pemfigus. Pada kulit

perilesi, imunofloresensi direk menunjukkan penimbunan IgG dan komplemen C3 pada

permukaan sel epidermal dan juga di sepanjang basal membrane zone. Berbeda dengan

Pemfigus Klasik, autoantibodi hanya berikatan dengan epitel bertanduk, sama seperti yang

dideteksi pada imunofloresensi indirek.(1,4,7)

Autoantibodi patologik yang menyebabkan terjadinya PV adalah autoantibodi yang

melawan desmoglein 1 dan desmoglein 3, yang mana hal ini yang menyebabkan terjadinya

pembentukan bula. Pemeriksaan mikroskopi imunoelektron dapat menentukan lokasi antigen

12
pada desmosom untuk kedua PV dan Pemfigus Foliaseus, yang lebih sering pada perlekatan

sel-sel pada epitel bertanduk.(1,6,7)

Gamb

ar 2.2:

Komp

ensasi

desm

oglein

; pada

awal pemfigus vulgaris, antibodi hanya menyerang desmoglein 3, dan menghasilkan bulla pada lapisan

mukosa dalam tanpa kompensasidari desmoglein 1. Pada pemphigus mukokutaneus, antibodi menyerang kedua

desmoglein 1 dan desmoglein 3, menyebabkan bulla terhasil pada kedua membran mukosa dan kulit.(7)

Klasifikasi penyakit imonobulosa intraepidermal secara imunopatologis dan

imunogenetik dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 2.1 Klasifikasi Pemfigus Berdasarkan Target Antigen(3)

13
E. GAMBARAN KLINIS

PV ditandai oleh adanya bulla berdinding tipis, relatif flaksid, dan mudah pecah yang

timbul pada kulit atau membran mukosa normal maupun di atas dasar eritematous. Cairan

bula pada awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik bahkan seropurulen.

Bula-bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan ruptur sehingga terbentuk erosi. Erosi ini

sering berukuran besar dan dapat menjadi generalisata. Kemudian erosi akan tertutup krusta

yang hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki kecenderungan untuk sembuh. Tetapi bila lesi

ini sembuh sering berupa hiperpigmentasi tanpa pembentukan jaringan parut.(4,9)

PV biasanya timbul pertama kali di mulut kemudian di sela paha, kulit kepala, wajah,

leher, aksila, dan genital. Pada awalnya hanya dijumpai sedikit bula, tetapi kemudian akan

meluas dalam beberapa minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau beberapa lokasi

selama beberapa bulan.(9)

14
Tanda Nikolsky positifkarena hilangnya kohesi antar sel di epidermis sehingga lapisan

atas dapat dengan mudah digeser ke lateral dengan tekanan ringan. Kulit tanpa lapisan

mukosa sangat jarang ditemukan pada PV. Pada suatu penelitian hanya 11% dari kasus

PV.(7,9)

Lesi di mulut muncul pertama kali dalam 60% kasus. Bula akan dengan mudah pecah

dan mengakibatkan erosi mukosa yang terasa nyeri. Lesi ini akan meluas ke bibir dan

membentuk krusta. Keterlibatan tenggorokan akan mengakibatkan timbulnya suara serak dan

kesulitan menelan. Esofagus dapat terlibat dan telah dilaporkan suatu esophagitis dissecans

superficialis sebagai akibatnya. Konjungtiva, mukosa nasal, vagina, penis, dan anus dapat

juga terlibat.(9)

Gambar 2.3. Pemfigus vulgaris. A. Bula flaksid B. Lesi oral(7)

15
Gambar 2.4. Pemfigus vulgaris. Erosi luas akibat lepuh pada kulit(7)

DIAGNOSA

Untuk dapat mendiagnosis PV diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

lengkap. Lepuh dapat dijumpai pada berbagai penyakit sehingga dapat mempersulit dalam

penegakkan diagnosis. Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :

1. Tidak adanya adhesi pada epidermis, dengan :

a. Nikolsky Sign : penekanan atau penggosokan pada lesi menyebabkan terbentuknya lesi,

epidermis terlepas, dan tampak seperti kertas basah.

b. Bullae spread phenomenon : bula ditekan  isinya tampak menjauhi tekanan

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti tzanck test untuk menemukan sel

akantolitik, pemeriksaan histopatologi terdapat akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu

dengan yang lain, dan pemeriksaan imunofloresensi untuk mendapatkan antibodi interselular.

16
F. DIAGNOSA BANDING

1. Pemfigus Bulosa

Gejala klinis pada Pemfigus Bulosa adalah terbentuknya bula yang besar dengan

tekanan meningkat pada kulit normal atau dengan basal eritematous. Bula-bula ini sering

timbul pada daerah andomen bagian bawah, bagian paha depan atau paha atas, dan fleksor

lengan atas, walaupun ia bisa timbul dimana-mana bagian tubuh. Bula yang terbentuk

biasanya terisi dengan cairan bening dan bisa juga terdapat perdarahan. Kulit yang lepas

apabila bula-bula itu pecah biasanya mempunyai potensi reepitelisasi, tidak seperti PV, erosi

yang terjadi tidak menyebar ke perifer. Lesi pada Pemfigus Bulosa tidak mengakibatkan

pembentukan jaringan parut dan jarang sekali disertai oleh gatal.(1,4,11,12)

Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk menentukan Pemfigus Bulosa adalah biopsi

yang memberikan gambaran bula subepidermal tanpa nekrosis pada epidermal dengan

infiltrat limfosit, histiosit dan eosinofil pada permukaan dermal.(1,4,7)

Gambar 2.7. Pemfigus Bulosa pada dada(7)

17
Gambar 2.8: Imunofluoresensi pada pemfigus bullosa(7)

2. Dermatitis Herpetiformis

Gejala klinis primer pada Dermatitis Herpetiformis adalah papul eritematous, plak

yang menyerupai urtika atau yang paling biasa ditemukan adalah vesikel. Bula yang besar

sangat jarang muncul pada penyakit ini. Akibat dari hilang timbulnya gejala klinis pada

Dermatitis Herpetiformis bisa menyebabkan terjadinya hipopigmentasi atau hiperpigmentasi.

Gejala yang timbul pada pasien bisa hanya krusta dan gejala klinis primer yang lain tidak

ditemukan. Gejala klinis ini biasanya timbul secara simetris pada siku, lutut, bahu dan daerah

sakral. Lokasi seperti kulit kepala, muka dan garis anak rambut.(1,7,12)

Pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosa Dermatitis

Herpetiformis adalah pemeriksaan serum di mana ditemukan antibodi IgA yang berikatan

dengan substansi intermiofibril pada otot polos. Terdapat juga pemeriksaan

imunogenetik.(1,12)

Gambar 2.9: Dermatitis herpatiformis(7)

18
Gambar 2.10: Imunofloresensi pada dermatitis herpetiformis menunjukkan depositIgA secara granular(7)

19
Tabel 2. Diagnosis Banding Pamfigus Vulgaris(7)

20
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Tzanck test

Bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa  tampak sel akantolitik atau sel

Tzanck.

2. Biopsi Kulit dan Patologi Anatomi

Pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari kulit yang berlepuh dan diperiksa di

bawah mikroskop. Pasien yang akan dibiopsi sebaiknya pada pinggir lesi yang masih baru

dan dekat dari kulit yang normal. Gambaran histopatologi utama adalah adanya

akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu dengan yang lain.(7,9,11)

A B

Gambar 2.5. Gambaran hitopatologi pemfigus. (A). Pemfigus vulgaris (B). Pemfigus foliaseus (C).

Pemfigus paraneoplastik.(9)

21
3.Imunofluoresensi

Imunofluoresensi langsung

Sampelyang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan fluoresens. Pemeriksaan ini

dinamakan direct immunofluorescence (DIF). DIF menunjukan deposit antibodi dan

imunoreaktan lainnya secara in vivo, misalnya komplemen. DIF biasanya menunjukkan

IgG yang menempel pada permukaan keratinosit yang di dalam maupun sekitar lesi.(3,7)

Imunofluoresensi tidak langsung

Antibodi terhadap keratinosit dideteksi melalui serum pasien. Pemeriksaan ini ditegakkan

jika pemeriksaan imunofluoresensi langsung dinyatakan positif. Serum penderita

mengandung autoantibodi IgG yang menempel pada epidermis dapat dideteksi dengan

pemeriksaaan ini. Sekitar 80-90% hasil pemeriksaan ini dinyatakan sebagai penderita

PV.(7)

(A) (B)

Gambar 2.6. Imunofluoresensi pada pemfigus. (A). Imunofluoresensi langsung. (B). Imunofluoresensi

tidak langsung.(7)

G. KOMPLIKASI(3,10)

1. Infeksi sekunder, baik sistemik atau lokal pada kulit, dapat terjadi karena penggunaan

imunosupresan dan adanya erosi. Penyembuhan luka pada infeksi kutaneous tertunda

dan meningkatkan risiko timbulnya jaringan parut.

22
2. Terapi imunosupresan jangka panjang dapat mengakibatkan infeksi dan malignansi

yang sekunder (misalnya, Sarkoma Kaposi), karena sistemimunitas yang terganggu.

3. Retardasi pada pertumbuhan telah dilaporkan pada anak yang memakai kortikosteroid

sistemik danimunosupresan.

4. Penekanan pada sumsum tulang telah dilaporkan pada pasien yang menerima

imunosupresan. Peningkatan insiden leukemia dan limfoma dilaporkan pada pasien

yang menerima imunosupresi yang berkepanjangan.

5. Gangguan respon kekebalan yang disebabkan oleh kortikosteroid dan obat

imunosupresif lainnya dapat menyebabkan penyebaran infeksi yang cepat.

Kortikosteroid menekan tanda-tanda klinis infeksi dan memungkinkan penyakit

seperti septikemia atau TB untuk mencapai stadium lanjut sebelum diagnosis.

6. Osteoporosis dapat terjadi setelah penggunaan kortikosteroid sistemik.

7. Insufisiensi adrenal telah dilaporkan setelah penggunaan jangka panjang

glukokortikoid.

H. PENATALAKSANAAN(13,14,15)

1. Medikamentosa

 Glukokortiroid, 2-3 mg/KgBB prednison sampai penghentian pembentukan

lepuhan baru dan hilangnya tanda Nikolsky. Kemudian pengurangan dengan

cepat untuk sekitar setengah dosis awal sampai pasien hampir bersih, diikuti

dengan tappering dosis dengan sangat lambat untuk meminimalkan

keefektifitasan dari dosis.

 Terapi imunosupresif yang bersamaan.Agen imunosupresif diberikan

bersamaan untuk mengurangi efek glukokortikoid.

23
 Azathioprine, 2-3 mg/KgBB sampai pembersihan lengkap. Tapering dosis

hingga 1mg/KgBB. Pemberian dengan hanya azathioprinedilanjutkan bahkan

setelah penghentian pengobatan glukokortikoid dan mungkin harus

dilanjutkan selama berbulan-bulan.

 Methotrexate, Baik secara oral (PO) atau IM dengan dosis 25–35 mg/minggu.

Dosis penyesuaian dibuat seperti azathioprine.

 Cyclophosphamide, 100-200 mg/sehari, dengan pengurangan dosis 50–100

mg/sehari. Atau terapi cyclophosphamide "bolus" dengan 1000 mg IV

seminggu sekali atau setiap 2 minggu di tahap awal, sebagai perbaikan

diikuti oleh 50-100 mg/d PO.

 Plasmapheresis, dalam hubungannya dengan glukokortikoid dan agen

imunosupresif pada pasien kurang terkontrol, pada tahap awal pengobatann

untuk mengurangi titer antibodi.Plasmaphresis dengan iklosporin atau

siklosposfamid dan fotoforesis ekstrakorporal terkadang juga telah

diteliti dapat berguna.

 Gold therapy, untuk kasus-kasus ringan. Setelah pengujian awal dosis 10

mg IM, 25 sampai 50 mg gold natrium thiomalate diberikan IM , interval per

minggu dengan dosis kumulatif maksimum 1 gr.

 Dosis tinggi imunoglobulin intravena (HIVIg) (2 g/KgBB setiap 3- 4

minggu)telah dilaporkan memiliki efek sparing glukokortikoid.

2. Non Medikamentosa

Pada pemberian terapi dengan dosis optimal, tetapi pasien masih merasakan

gejala-gejala ringan dari penyakit ini. Maka perawatan luka yang baik adalah sangat

penting karena ia dapat memicu penyembuhan bula dan erosi. Pasien disarankan

mengurangi aktivitas agar resiko cedera pada kulit dan lapisan mukosa pada fase aktif

24
penyakit ini dapat berkurang. Aktivitas-aktivitas yang patut dikurangi adalah olahraga

dan makan atau minum yang dapat mengiritasi rongga mulut (makanan pedas, asam,

keras, dan renyah).(4)

2.11 PROGNOSIS(1,7)

Sebelum adanya terapi glukokortikoid, PV hampir selalu berakibat fatal, dan

Pemfigus Foliaseus berakibat fatal pada 60% pasien. Pemfigus Foliaseus hampir selalu

berakibat fatal pada pasien usia lanjut dengan sejumlah permasalahan dalam pengobatan.

Penambahan glukokortikoid sistemik dan penggunaan terapi imunosupresif telah

meningkatkan prognosis pasien dengan PV. Namun demikian, PV tetap merupakan penyakit

yang dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Infeksi sering menjadi

penyebab kematian, dan dengan meningkatnya kebutuhan akan imunosupresan pada penyakit

yang aktif, terapi seringkali menjadi faktor yang berperan dalam menyebabkan kematian.

Dengan terapi glukokortikoid dan imunosupresan, mortalitas (baik dari penyakit maupun

terapi) pasien dengan PV yang diikuti dalam 4 sampai 10 tahun adalah 10% atau kurang,

dimana pada Pemfigus Foliaseus angka ini cenderung lebih kecil.Aktivitas penyakit

umumnya berkurang dengan waktu dan relaps paling banyak terjadi di 2 pertamasetelah

diagnosis.Keadaan ini lebih buruk pada pasien yang lebih tua.

25
BAB III

KESIMPULAN

Pemphigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang bersifat kronis,

disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula pada epidermis.Pemfigus

termasuk kelompok penyakit bula autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan

karakteristik secara histologis berupa adanya bula intraepidermal disebabkan oleh akantolisis.

Karakteristik efloresensi pada pemfigus vulgaris adalah timbulnya bula lembek,

berdinding tipis, mudah pecah, timbul pada kulit dan mukosa yang tampaknya normal atau

eritematosa. Isi bula mula-mula cairan jernih, dapat menjadi hemoragik atau seropurulen. Bula

yang pecah menimbulkan erosi yang eksudatif, mudah berdarah, dan sukar menyembuh. Bila

sembuh meninggalkan bekas hiperpigmentasi. Penatalaksanaan pada fase akut adalah koreksi

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, kemudian diberikan obat kortikosteroid dan

imunosupresan untuk mengontrol timbulnya lesi pada kulit. Antibiotik diperlukan jika terjadi

infeksi sekunder.

Komplikasi dapat timbul karena penyakit sendiri yang mengakibatkan penderita

rentan terhadap infeksi sekunder maupun efek samping dari obat kortikosteroid serta

imunosupresif. Prognosis pemvigus vulgaris lebih buruk pada penderita berusia lanjut.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Wojnarowska F et al. Immunobullous disease. Burns T et al, ed. Rook’s textbook of


dermatology. 7th edition. Australia: Blackwell publication; 2004;2033-91.
2. Djuanda, adhi Prof.Dr.dr.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Edisi Kelima.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.2007;204-08.
3. Zeina B, Sakka N. Pemphigus vulgaris, (online). 2010. Available from
www.emedicine.medscape.com. Accessed on February 25th 2014.
4. Amagai M. Pemfigus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds). Dermatology.
Spain: Elsevier. 2008; 5;417-29.
5. Siregar,Prof.Dr.R.S.SpKK(K).Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit,Edisi 2.Penerbit
Buku Kedokteran EGC.Jakarta.2004;186-88.
6. Hertl M, ed. Autoimmune disease of the skin: pathogenesis, diagnosis,
management.2nd revised edition. Austria: Springer-Verlag Wien; 2005;60-79.
7. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ (eds). Fitzpatrick's dermatology in general medicine (two vol. set). 7th ed.
New York: McGraw-Hill; 2008: 459-74.
8. Hall JC, ed. Sauer's Manual of Skin Diseases. 8th edition. Lippincott Williams &
Wilkins. 2000;232-36
9. James WD, Berger TG, Elston DM,eds. Andrews Disease of the Skin Clinical
Symptoms. 10th ed. Philadelphia. Saunders Elsevier;2006;581-93
10. Brown,Robin Graham,Tony Burns.Dermatologi Lectures Notes.Edisi
Kedelapan.Erlangga Medical Series.2002;144-46.
11. Beers, Mark H.MD.The Merck Manual.Eighteenth Edition.Volume I.Merck Research
Laboratories.2006;950-52.
12. Habif TP, ed. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th
edition. Mosby.2003;547-86.
13. Wolff K et al. Fitzpatrick's color atlas and synopsis of clinical dermatology .5th
edition. New York: McGraw-Hill;2007
14. Scully Crispian and Stephen J Challacombe. PEMPHIGUS VULGARIS: UPDATE
ON ETIOPATHOGENESIS,ORAL MANIFESTATIONS, AND MANAGEMENT.

27
Department of Oral Medicine, Eastman Dental Institute for Oral Health Care
Sciences. London.2002. 13(5):397-408.
15. Ahmed, Razzaque et al, Treatment of Pemphigus Vulgaris with Rituximab and
Intravenous Immune Globulin.TheNew England Journal Of Medicine.
English.2006;355:1772-9.

28

Anda mungkin juga menyukai