Dokter Pembimbing:
dr. Widi Budianto, Sp.PD
Disusun Oleh:
Nadhia Putri A 1102013095
Muti’ah Nabillah A 1102014175
Nesya Iryani 1102014191
Naufal Kamal Y 1102014189
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan
berkat dan kasih-Nya dalam kehidupan ini. Dengan penyertaan dan kasih setia-Nya
referat ini dapat selesai dikerjakan sebagai tugas kepaniteraan bagian Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi di RS Polri Raden Said Sukanto.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Widi
Budianto, Sp.PD yang selalu memberikan dorongan dan bimbingan hingga referat
ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis berharap semoga dengan penulisan referat
ini, pengetahuan penulis dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam dapat semakin
bertambah sebagai bekal dalam menjalankan profesi untuk menjadi dokter yang
berkompeten. Penulis juga berharap referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Dengan demikian penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk perbaikan dalam penulisan berikutnya.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
II.1.1 DEFINISI
Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat
dikenali adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui faktor
pencetusnya.
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD. Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi
kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna.
Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark
jantung, trauma, pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang baru diketahui dan
diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat.
Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor
komorbid penderita.Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD adalah
trauma, kehamilan, pembedahan, danstres psikologis. Infeksi yang diketahui paling
sering mencetuskan KAD adalahinfeksi saluran kemih dan pneumonia.Pneumonia
atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagal
napas, sehingga harus selalu diperhatikan sebagai keadaan yang serius dan akan
menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik.Infeksi laindapat berupa
infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan yang
4
mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine,
dan obat simpatomimetik (seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan
KAD. Obat-obat lain yang diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta
bloker, obat antipsikotik, dan fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1,
masalah psikologis yang disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20%
KAD berulang.
5
ini. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator
menyebabkan aktivasi hormon lipase yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan
aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free
fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk
glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang
berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.
6
II.1.4. GEJALA KLINIS
II.1.5.DIAGNOSIS
Anamnesis , Gejala klasik DM poliuri, polodifsi, polifagi, berat badan yang menurun
akibat ketonemia .
Pemeriksaan fisik meliputi jalan napas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular, dan status hidrasi, bahkan pasien sering datang dengan syok ataupun
koma.
7
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia,
penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria,
dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi
Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari
25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi.
8
II. 1.6. Penatalaksanaan
Resusitasi
9
o Frekwensi nadi, frekwensi napas, dan tekanan darah setiap jam.
o Suhu badan dilakukan setiap 2-4 jam.
o Pengukuran balans cairan setiap jam.
o Kadar glukosa darah kapiler setiap jam.
Rehidrasi
10
Penggantian Natrium
Penggantian Kalium
Pada saat asidosis terjadi kehilangan Kalium dari dalam tubuh walaupun
konsentrasi di dalam serum masih normal atau meningkat akibat berpindahnya
Kalium intraseluler ke ekstraseluler. Konsentrasi Kalium serum akan segera turun
dengan pemberian insulin dan asidosis teratasi.
1 Pemberian Kalium dapat dimulai bila telah dilakukan pemberian cairan resusitasi,
dan pemberian insulin. Dosis yang diberikan adalah 5 mmol/kg BB/hari atau 40
mmol/L cairan.
2 Pada keadaan gagal ginjal atau anuria, pemberian Kalium harus ditunda, pemberian
kalium segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat.
Penggantian Bikarbonat
11
f. Ø Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton.
3. Terapi bikarbonat diindikasikan hanya pada asidossis berat (pH < 7,1 dengan
bikarbonat serum < 5 mmol/L) sesudah dilakukan rehidrasi awal, dan pada
syok yang persistent. walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan
hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.
4. Jika diperlukan dapat diberikan 1-2 mmol/kg BB dengan pengenceran dalam
waktu 1 jam, atau dengan rumus: 1/3 x (defisit basa x KgBB). Cukup
diberikan ¼ dari kebutuhan.
Pemberian Insulin
1. Insulin hanya dapat diberikan setelah syok teratasi dengan cairan resusitasi.
2. Insulin yang digunakan adalah jenis Short acting/Rapid Insulin (RI).
3. Dalam 60-90 menit awal hidrasi, dapat terjadi penurunan kadar gula darah
walaupun insulin belum diberikan.
4. Dosis yang digunakan adalah 0,1 unit/kg BB/jam atau 0,05 unit/kg BB/jam
pada anak < 2 tahun.
5. Pemberian insulin sebaiknya dalam syringe pump dengan pengenceran 0,1
unit/ml atau bila tidak ada syringe pump dapat dilakukan dengan microburet
(50 unit dalam 500 mL NS), terpisah dari cairan rumatan/hidrasi.
6. Penurunan kadar glukosa darah (KGD) yang diharapkan adalah 70-100
mg/dL/jam.
7. Bila KGD mencapai 200-300 mg/dL, ganti cairan rumatan dengan D5 ½ Salin.
8. Kadar glukosa darah yang diharapkan adalah 150-250 mg/dL (target).
9. Bila KGD < 150 mg/dL atau penurunannya terlalu cepat, ganti cairan dengan
D10 ½ Salin.
10. Bila KGD tetap dibawah target turunkan kecepatan insulin.
11. Jangan menghentikan insulin atau mengurangi sampai < 0,05 unit/kg BB/jam.
12. Pemberian insulin kontinyu dan pemberian glukosa tetap diperlukan untuk
menghentikan ketosis dan merangsang anabolisme.
13. Pada saat tidak terjadi perbaikan klinis/laboratoris, lakukan penilaian ulang
kondisi penderita, pemberian insulin, pertimbangkan penyebab kegagalan
respon pemberian insulin.
12
14. Pada kasus tidak didapatkan jalur IV, berikan insulin secara intramuskuler
atau subkutan. Perfusi jaringan yang jelek akan menghambat absorpsi insulin.
Terapi harus segera diberikan sesegera mungkin saat diagnosis edema serebri
dibuat, meliputi:
Fase Pemulihan
13
kadar gula darah. Total dosis yang dibutuhkan kurang lebih 1 unit/kg BB/hari
atau disesuaikan dosis basal sebelumnya.
4. Dapat diawali dengan regimen 2/7 sebelum makan pagi, 2/7 sebelum makan
siang, 2/7 sebelum makan malam, dan 1/7 sebelum snack menjelang tidur.
14
TERAPI KAD
Fase I/Gawat :
Fase II/maintenance:
1. Cairan maintenance
15
yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan dan elektrolite pasien semakin
baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu dengan menggunakan pompa
otomatis, dan suplement potasium ditambahkan kedalam regimen cairan. Bentuk
penanganan yang baik atas seorang pasien penderita DKA (diabetic ketoacidosis)
adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat.
16
kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien penderita
DKA (diabetic ketoacidosis) adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang
cermat.
Nilai
laborato
rium
Glukosa Tinggi Tinggi > 1000 mg/dl
darah
Serum Tinggi (tetapi < 330 mOsm/L) Tinggi sampai > 350 mOsm/L
osmolarit
y
AGD Asidosis metabolic àpenurunan pH dengan Normal à asidosis ringan
kompensasi alkalosis pernafasan
Interven Insulin, cairan dan penggantian elektrolit Insulin, cairan dan penggantian elektrolit
si
17
Kesimpulan Terapi Ketoasidosis
Fase Gawat :
1. Rehidrasi : NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam pertama, lalu 80 tpm
selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)
2. Insulin: 4-8 U/jam sampai GDR 250 mg/dl atau reduksi minimal
3. Infus K (TIDAK BOLEH BOLUS): Bila K+ < 3mEq/L(beri 75mEq/L), Bila
K+ 3-3.5mEq/L(beri 50 mEq/L), Bila K+ 3.5 -4mEq/L(beri 25mEq/L),
Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam
4. Infus Bicarbonat. Bila pH<7,0 atau bicarbonat < 12mEq/L, Berikan 44-132 q
dalam 500cc NaCl 0.9%, 30-80 tpm, Pemberian Bicnat = [ 25 – HCO3
TERUKUR ] x BB x 0.4
18
HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia adalah keadaan di mana konsentrasi glukosa darah <60 mg/dl, atau 70
mg/dl disertai gejala klinis. Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien diabetes ataupun
non diabetes.
Hipoglikemia dilihat secara harfiah berarti kadar glukosa darah dibawah normal.
kadar glukosa darah < 70mg/dl dengan gejala klinis. Walaupun kadar glukosa plasma
puasa pada orang normal jarang melampaui 99 mg% (5,5 mmol/L), tetapi kadar < 108
mg% (6 mmol/L) masih dianggap normal. Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih
tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan karena eritrosit
mengandung kadar glukosa yang relative lebih rendah. Kadar glukosa arteri lebih
tinggi dibandingkan dengan vena, sedangkan kadar glukosa darah kapiler diantara
kadar arteri dan vena.8,9
19
hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa < 50 mg% atau bahkan 40 mg%.
Walaupun demikian berbagai studi fisiologis menunjukkan bahwa gangguan fungsi
otak sudah dapat terjadi pada kadar glukosa darah 55 mg% (3 mmol/L). lebih lanjut
diketahui bahwa kadar glukosa darah 55 mg% yang terjadi berulang kali merusak
mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat. Gejala
hipoglikemi dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai kejang.10
II.2.2 KLASIFIKASI
20
Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut.
II.2.3 PATOFISIOLOGI
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh berlebihan.
Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang terjadi setelah
melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia juga dapat
disebabkan antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan tertundanya
pelepasan insulin dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat terjadi karena
malproduksi insulin dari pankreas ketika terdapat tumor pankreas. Setelah
hipoglikemia terjadi, efek yang paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu makan
dan stimulasi masif dari saraf simpatik yang menyebabkan takikardi, berkeringat,
dan tremor.10
21
Gambar 1. Mekanisme regulasi glukosa pada tubuh manusia (Cryer,
2011).
22
II.2.4 PEMERIKSAAN & DIAGNOSIS
o Manifestasi klinis
Gejala dari hipoglikemia bisa dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
neuroglycopenic dan neurogenic (autonomic) responses. Gejala Neuroglikopenik
merupakan hasil langsung dari berkurangnya glukosa di susunan system saraf
pusat. Gejalanya meliputi perubahan tingkah laku, bingung, fatigue, seizure,
kehilangan kesadaran, dan apabila hipoglikemia terjadi lebih lanjut dan lebih
lama, akan menimbulkan kematian. Hipoglikemia yang mengaktivasi respon
otonom meliputi gejala-gejala adrenergic seperti palpitasi, tremor, ketakutan,
rasa lapar, mual, berkeringat, dan parestesi. Gejala-gejala adrenergik ini di
mediasi oleh pelepasan norepinefrin dari saraf postganglion simpatis dan
pelepasan epinefrin dari medula adrenal. Peningkatan keringat di mediasi oleh
saraf simpatis kolinergik.8,12
23
Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologis terhadap
penurunan glukosa darah tidak hanya membatasi makin parahnya perubahan
metabolisme glukosa, tetapi juga menghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang
khas. Petugas kesehatan, pasien dan keluarganya belajar mengenal keluhan dan
gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan dapat segera melakukan
tindakan-tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau bentuk
karbohidrat oral “refined” yang lain. Kemampuan mengenal gejala awal sangat
penting bagi pasien diabetes yang mendapat terapi insulin yang ingin mencapai
dan mempertahankan kadar glukosa darah normal atau mendekati normal.
Terdapat keragaman keluhan yang menonjol diantara pasien maupun pada
pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda. Walaupun demikian pada umumnya
keluhan biasanya timbul dalam pola tertentu, sesuai dengan komponen fisiologis
dan respon fisiologis yang berbeda.8
Pada pasien diabetes yang masih relatif baru, keluhan dan gejala yang
terkait dengan gangguan sisitim saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau
berkeringat lebih menonjol dan biasanya mendahului keluhan dan gejala
24
disfungsi serebral yang disebabkan oleh neuroglikopeni, seperti gangguan
konsentrasi atau koma. Sakit kepala dan mual mungkin bukan merupakan
keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan
otonomik cenderung berkurang atau menghilang. Hal tersebut dapat
menunjukkan kegagalan yang progresif aktivasi sistem saraf otonomik.8
o Diagnosis
Pada pasien DM yang mendapat insulin atau sulfonilurea diagnosis
hipoglikemia ditegakkan bila didapatkan gejala-gejala yang disebut diatas.
Keadaan tersebut dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. Bila
gejalanya meragukan sebaiknya diambil dulu darah untuk pemeriksaan
glukosanya. Bila dengan pemberian suntikkan bolus dekstrosa pasien yang
semula tidak sadar kemudian menjadi sadar, maka dapat dipastikan koma
hipoglikemia. Sebagai dasar diagnosis dapat digunakan Trias Whipple :
II.2.5 TATALAKSANA
a. Hipoglikemia ringan
1. Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10 butir
permen atau 2-3 sendok teh sirup atau madu.
25
2. Bila tidak membaik dalam 15 menit, ulangi pemberian.
b. Hipoglikemia berat
2. Bila pasien dalam keadaan tidak sadar, jangan memberi makanan atau
minuman karena bisa berpotensi terjadi aspirasi.
o Medika Mentosa
Adapun terapi medika mentosa hipoglikemia yang dapat diberikan adalah:
a. Glukosa Oral.
b. Glukosa Intravena.
c. Glukagon (SC/IM).
e. Monitoring
Follow up :
26
KRISIS ADRENAL
II.3.1DEFINISI
Krisis adrenal adalah suatu kondisi yang terjadi akibat kegagalan kelenjar adrenal
memproduksi hormone glukokortikoid dan atau mineralokortikoid secara normal dan
bersifat akut. Krisis adrenal akut merupakan suatu keadaan yang mengancam jika
yang disebabkan oleh kadar kortisol yang tidak mencukupi, yang merupakan hormon
yang diproduksi dan dilepaskan oleh kelenjar adrenal. Keadaan ini dapat terjadi pada
pasien dengan insufisiensi adrenal yang lebih dikenal dengan Insufisien Adrenal
Akut, atau pada penyakit Addison dengan sebutan krisis Addison (Loechler, 2014).
II.3. 2 ETIOLOGI
Krisis adrenal pada dasarnya merupakan akibat dari eksaserbasi akut insufisiensi
adrenal kronis, yang biasanya disebabkan oleh sepsis atau stres saat bedah.Insufisiensi
adrenal akut juga bisa disebabkan oleh perdarahan adrenal misalnya, septicemia dan
komplikasi antikoagulasi.Penyebab dari insufisiensi terbagi dua secara garis besar
yakni insufisiensi adrenal primer dan insufisiensi adrenal sekunder dengan masing-
masing dibedakan atas kelainan kongenital serta kelainan yang didapat.
Pada keadaan insufisensi adrenal primer terjadi kerusakan secara lambat dari
kelenjar adrenal, dengan defisiensi kortisol, aldosterone, dan adrenal androgen dan
kelebihan dari ACTH dan CRH yang berhubungan dengan hilangnya feedback
negatif. Sedangkan pada insufisensi kelenjar adrenal sekunder terjadi penurunan
kadar kortisol yang berlebihan, yang berhubungan dengan kehilangan fungsi secara
lambat dari hypothalamus dan pituitari. Kadar kortisol dan ACTH keduanya menurun,
tetapi kadar aldosteron dan adrenal androgen biasanya normal karena keduanya
diregulasi diluar jalur hipotalamus hipofisis (Wisse,2013).
27
ETIOLOGI
Kongenital
Hiperplasia Adrenal Kongenital
Syndrome Resistensi ACTH
Penyakit Metabolik sepetti penyakit Wilson
Dapatan
Perdarahan atau infark adrenal (trauma, gangguan koagulasi)
Obat-obatan (Ketokonazol, phenytoin, barbiturate, progesterone)
Infeksi (Viral, Fungal, Amoeba)
Infiltratif (keganasan)
Kongenital
Defisiensi CRH
Dapatan
Penghentian steroid
Penyakit inflmasi
Tumor
Trauma
Radiasi
II.3.3.PATOFISIOLOGI
Kortek adrenal memproduksi hormon steroid yaitu hormon glukokortikoid
(kortisol), mineralokortikoid (aldosteron, 11-deoxycoticosterone) dan androgen
(dehydroepiandrosterone).Hormon utama yang penting dalam kejadian suatu krisis
adrenal adalah produksi dari kortisol dan adrenal aldolteron yang sangat sedikit.
Kortisol meningkatkan glukoneogenesis dan menyediakan zat-zat melalui proteolisis,
penghambat sintesis protein, mobilisasi asam lemak,dan meningkatkan pengambilan
asam amino di hati. Kortisol secara tidak langsung meningkatkan sekresi insulin
untuk mengimbangi hperglikemi tetapi juga menurunkan sensitibitas dari insulin.
Kortisol juga mempunyai efek anti inflamasi untuk mestabilkan lisosom, menurunkan
respon leukositik dan menghambat produksi sitokin. Akti;itas fagositik dipertahankan
tetapi sel mediated imunity hilang pada keadaan kekurangan kortisol dan mensupresi
sintesis adrenokortikotropik hormon (ACTH).Aldosteron di keluarkan sebagai respon
terhadap stimulasi dari angiotensin II melalui system renin angiotensin, hiperkalemi,
hiponatremi dan antagonis dopamin. Efek nya pada target organ primer.Ginjal
meningkatkan reabsorpsi dari natrium dan sekresi dari kalium dan hidrogen.
28
5ekanismenya masih belum jelas, peningkatan dari natrium dan kalium mengaktivasi
enzim adenosine triphosphatase (Na/K ATPase) yang bertangung jawab untuk
trasportasi natrium dan juga meningkatkan aktivitas dari carbonic anhidrase, efek nya
adalah meningkatkan volume intravaskuler. system renin angiotensin-aldosteron tidak
dipengaruhi oleh glukokortikoid eksogen dan kekurangan ACTH mempuyai efek
yang sangat kecil untuk kadar aldosteron kekurangan hormon adrenokortikal
menyebabkan efek yang berlawanan dengan hormon ini dan menyebabkan gejala
klinis yang dapat ditemukan pada krisis adrenal (Kirkland, 2014).
29
memperlihatkan kadar glukosa darah yang rendah. Biasanya kadar natrium plasma
juga rendah tetapi jarang dibawah 120 meq/L dan kadar kalium darah meningkat,
tetapi jarang diatas 7 meq/L. Penderita biasanya mengalami asidosis dengan kadar
bikarbonat plasma antara 15-20 meq/L. Kadar ureum juga meningkat. Kemungkinan
diagnosa juga dapat di lihat dari adanya eosinofilia dan limpositosis pada SADT, dan
adanya gangguan kadar serum tiroid. Diagnosa paling spesifik yaitu dengan
memeriksa kadar ACTH dan kortisol, jika terdapat banyak waktu. serum kotisol
biasanya kadarnya kurang dari 20 mcg/dl tetapi kita dapat menunggu untuk
melakukan pemeriksaan ini bila pasien sudah dapat distabilkan. Pada foto thorax
harus dicari tanda tanda tuberculosis, histoplasmosis, keganasan, sarkoid dan
lymphoma. Pada pemeriksaan CT scan abdomen menggambarkan kelenjar adrenal
mengalami perdarahan, atropi, gangguan infiltrasi, penyakit metabolik. Perdarahan
adrenal terlihat sebagai bayangan hiperdens, dan terdapat pembesaran kelenjar
adrenal yang bilateral. Pada pemeriksaan EKG mempelihatkan adanya pemanjangan
dari interval QT yang dapat mengakibatkan ventikular aritmia, gelombang t inverted
yang dalam dapat terjadi pada akut adrenal krisis. Pemeriksaan histologis tergantung
dari penyebab kegagalan adrenal.Pada kegagalan adrenokotikal yang primer, terlihat
gambaran infeksi dan penyakit infiltratif.Pada kegagalan adrenokotikal yang sekunder
dapat menyebabkan atrofi kelenjar adrenal. Gambaran dari perdarahan adrenal
bilateral mungkin hanya data ditemukan gambaran dará baja (White,2010).
II.3.6 TATALAKSANA
FARMOKOLOGI
Pada keadaan gawat darurat (penanganan krisis adrenal) yang disertai dengan syok
atau dehidrasi berat, dengan mempertahankan jalan napas, dan sirkulasi.diberikan
cairan kristaloid isotonis sampai sirkulasi teratasi. Untuk 24 jam berikutnya cairan
rumatan yang diberikan adalah garam fisiologis dalam dektrosa 5%. Jika terdapat
dehidrasi ringan atau tanpa dehirasi cairan yang diberikan dalam 24 jam adalah 1,5
kali kebutuhan rumatan (Nurharjanti dan Tridjaja, 2007). Pada krisis adrenal, terapi
substitusi glukokortikoid dan atau mineralokortikoid sangat penting. Hormon
glukokortikoid dan mineralokortikoid akan menekan sekresi CRH dan ACTH yang
berlebihan, serta kadar renin basal (istirahat). Manajemen krisis adrenal akut terdiri
30
dari pemberian intravena langsung dari 100 mg hidrokortison, diikuti oleh 100 sampai
200 mg hidrokortison setiap 24 jam dan infus kontinu volume yang lebih besar dari
larutan garam fisiologis misalnya 1 liter per jam di bawah pengawasan jantung terus
menerus. tepat waktu diagnosis dan manajemen klinis kondisi ini sangat penting, dan
dokter di semua bidang kedokteran harus menyadari penyebab, tanda- tanda, dan
gejala yang penyerta insufisiensi adrenal.
Pada keadaan krisis adrenal setelah keadaan akut teratasi maka dilakukan tindakan
berikut :
- Turunkan dosis glukokortikoid sampai dosis pemeliharaan dan dapat diberikan oral
fludrocortisone (0,1 mg sekali sehari) saat terjadi defisiensi mineralokortikoid
II.3.7. PROGNOSIS
Pada dasarnya krisis adrenal adalah keadaan dengan mortalitas yang tinggi apabila
tidak ditanganin dengan cepat ddan adekuat. Pada keadaan tidak didapatkan
perdarahan adrenal bilateral, kemungkinan hidup dari penderita dengan krisis adrenal
akut yang didiagnosa secara cepat dan ditangani secara baik, mendekati penderita
tanpa krisis adrenal dengan tingkat keparahan yang sama. (Kirkland,2014)
31
KRISIS TIROID
II.4.2 ETIOLOGI
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik, nodul
toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid folikular
metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan
krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik), krisis tiroid juga dapat
merupakan komplikasi dari operasi tiroid. Kondisi ini diakibatkan oleh manipulasi
kelenjar tiroid selama operasi pada pasien hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi
sebelum, selama, atau sesudah operasi. Operasi umumnya hanya direkomendasikan
ketika pasien mengalami penyakit Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau
ketika dicurigai adanya kanker tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus seperti
ini dapat menyebabkan kematian.17
32
triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak
terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding
globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan
gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika
keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.18
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon
tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem
organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis
berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring
meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau
meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon
sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan
menyebabkan kematian.2 Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan
kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan
reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun
norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.18,19
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah
diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar
hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa
komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor
adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar
tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan
33
hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah
efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan
munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin,
mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma
dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan
mengapa beta-blockers- gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada
tirotoksikosis.19,20
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik
dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca
operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas.
Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi
selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah
terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk
perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin
yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid
sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.19,20
II.4.4 DIAGNOSIS
37,2-37,7oC 5 99-109 5
37,8-38,3oC 10 110-119 10
38,4-38,8oC 15 120-129 15
38,9-39,4oC 20 130-139 20
39,5-39,9oC 25 ≥140 25
≥ 40oC 30
b. Congestive Heart failure
Absent 0
Mild 5
( Pedal edema )
Moderate ( bibasiler rales ) 10
Severe ( pulmonary edema ) 15
c. Atrial Fibrilasi
AF present 10
Absent 0
34
3. Central Nervouse System Effects 4. Gastrointestinal Hepatic Dysfunction
Absent 0 Absent 0
Mild Moderate 10
Agitation 10 Diarrhea
Moderate Nausea/Vomiting
Delirium Abdominal pain
Psychosis 20 Severe 20
Extreme lethargy Unexplained Jaundice
Severe Negatif 0
Seizure Positif 10
Coma
30
II.4.5 TATALAKSANA
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme
(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat
konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),
normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan
mengatasi faktor pemicu.
Pada kasus krisis tiroid, hyperpyrexia harus segera diatasi secara cepat. Dalam
hal ini pemberian obat jenis asetaminopen lebih dipilih dibandingkan aspirin yang
dapat meningkatkan kadar konsentrasi T3 dan T4 bebas dalam serum.17
35
Pemberian beta-bloker merupakan terapi utama penting dalam pengobatan
kebanyakan pasien dengan hipertiroid. Propanolol merupakan obat pilihan pertama
yang digunakan sebagai inisial yang bisa diberikan secara intravena. Dosis yang
diberikan adalah 1mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan
tercapai atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 60-80mg/4jam secara oral atau
melalui nasogastric tube (NGT). 16,19,20
Pemberian tionamide seperti methimazole atau PTU untuk memblok sintesis
hormon. Pemberian PTU 500-1000 mg loading dose, dilanjutkan 250mg/4jam atau
methimazole 60-80mg/ hari. Tionamide memblok sintesis hormon tiroid dalam 1-2
jam setelah konsumsi. Namun, tionamid tidak memiliki efek terhadap hormon tiroid
yang telah disintesis. Beberapa menggunakan PTU dibanding tionamide sebagai
pilihan pada krisis tiroid karena PTU dapat memblok konversi T4 menjadi T3
ditingkat perifer. 16,19,20
Walaupun begitu, banyak menggunakan methimazole (tionamide) selama obat
lain (contohnya iopanoic acid) dimasukkan bersamaan untuk memblok konversi T4
menjadi T3. Methimazole memiliki waktu durasi yang lebih lama dibandingkan PTU
sehingga lebih efektif. Keduanya bisa dilarutkan untuk digunakan secara rectal dan
PTU dapat diberikan secara intravena dengan diencerkan oleh saline isotonis dibuat
alkali (pH 9,25) dengan sodium hidroksida. 16,19,20
Larutan iodine memblok pelepasan T4 dan T3 dari kelenjar tiroid. Laruton
lugol’s 5 tetes/6jam secara oral satu jam setelah pemberian obat anti tiroid. Larutan
iodine ini juga dapat diberikan secara rectal. 16,19,20
Pemberian glucocorticoid juga menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan
memiliki efek langsung dalam proses autoimun jika krisis tiroid berasal dari penyakit
graves. Dosis yang digunakan adalah 100mg/8jam secara intravena pada kasus krisis
tiroid. Penggunaan litium juga dapat memblok pelepasan hormone tiroid, namun
toksisitasnya yang tinggi pada ginjal membatasi penggunaannya. 16,19,20
36
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
37
10. Wahono Soemadji, Djoko. Hipoglikemia Iatrogenik. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Ed IV. Jakarta, Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2006. p: 1892-95.
11. Harrison`s. Principles of Internal Medicine. 17thEdition. United State of
America. 2008
12. Silbernagl Stefan, Lang Florian. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta : EGC. 2006
13. Soemadji, Djoko Wahono. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing.
14. Cryer, Philip E. 2011. Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Tersedia di
<http://diabetesmanager.pbworks.com/w/page/17680209/Hypoglycemia%20D
uring%20Therapy%20of%20Diabetes%20> diakses pada Kamis 27 Desember
2018 21.22.
15. Carrol, Robert G. 2007. Elsevier’s Integrated Physiology. Philadelphia:
Mosby Elsevier.
16. Chiha M, Samarasinghe S, Kabaker AS. Thyroid storm: an updated review. J
Intensive Care Med. 2015 Mar;30(3):131–40. [PubMed]
17. Akamizu T. Thyroid Storm: A Japanese Perspective. Thyroid. 2018.
Jan;28(1):32–40. [PMC free article] [PubMed]
18. Akamizu T1, Satoh T, Isozaki O, Suzuki A, Wakino S, Iburi T, Tsuboi K,
Monden T, Kouki T, Otani H, Teramukai S, Uehara R, Nakamura Y, Nagai
M, Mori M Diagnostic criteria, clinical features, and incidence of thyroid
storm based on nationwide surveys. Thyroid. 2012 Jul;22(7):661-79. [PMC
free article] [PubMed]
19. Scharaga. E.D. Hyperthyroidism, Thyroid Storm, and Graves Disease
Treatment & Management. 2018
https://emedicine.medscape.com/article/767130-treatment
20. Misra M. Thyroid Storm, 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/925147-overview
38
39