Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

KEGAWAT DARURATAN ENDOKRIN

Dokter Pembimbing:
dr. Widi Budianto, Sp.PD

Disusun Oleh:
Nadhia Putri A 1102013095
Muti’ah Nabillah A 1102014175
Nesya Iryani 1102014191
Naufal Kamal Y 1102014189

Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
RS Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan
berkat dan kasih-Nya dalam kehidupan ini. Dengan penyertaan dan kasih setia-Nya
referat ini dapat selesai dikerjakan sebagai tugas kepaniteraan bagian Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi di RS Polri Raden Said Sukanto.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Widi
Budianto, Sp.PD yang selalu memberikan dorongan dan bimbingan hingga referat
ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis berharap semoga dengan penulisan referat
ini, pengetahuan penulis dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam dapat semakin
bertambah sebagai bekal dalam menjalankan profesi untuk menjadi dokter yang
berkompeten. Penulis juga berharap referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Dengan demikian penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk perbaikan dalam penulisan berikutnya.

Jakarta, 2 Januari 2018

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless)


yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah
untuk mempengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai "pembawa
pesan" dan dibawa oleh aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh, yang
selanjutnya akan menerjemahkan "pesan" tersebut menjadi suatu
tindakan.1Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ (kadang disebut
sebagai kelenjar sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah menghasilkan
dan melepaskan hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah. Jika
kelenjar endokrin mengalami kelainan fungsi, maka kadar hormon di dalam
darah bisa menjadi tinggi atau rendah, sehingga mengganggu fungsi tubuh
untuk mengendalikan fungsi endokrin, maka pelepasan setiap hormon harus
diatur dalam batas-batas yang tepat.2

Kegawatdaruratan endokrin adalah keadaan gawat darurat yang


diakibatkan gangguan dari sistem endokrin, sehingga terjadi kondisi
mengancam jiwa seseorang yang memerlukan pertolongan segera agar tidak
terjadi kematian.Kondisi Gawat Daruratan Endokrin Meliputi : Ketoasidosis
Daibetikum (KAD), HONK ,Krisis Adrenal , Hipoglikemi , Krisis Tiroid. 1,2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

KETOASIDOSIS DIABETIKUM
II.1.1 DEFINISI

Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolic


yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif.KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi
akut diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat
darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan
bahkan dapat sampai menyebabkan syok.

II.1.2 FAKTOR PENCETUS

Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat
dikenali adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui faktor
pencetusnya.

Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD. Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi
kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna.
Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark
jantung, trauma, pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang baru diketahui dan
diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat.

Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor
komorbid penderita.Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD adalah
trauma, kehamilan, pembedahan, danstres psikologis. Infeksi yang diketahui paling
sering mencetuskan KAD adalahinfeksi saluran kemih dan pneumonia.Pneumonia
atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagal
napas, sehingga harus selalu diperhatikan sebagai keadaan yang serius dan akan
menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik.Infeksi laindapat berupa
infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan yang

4
mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine,
dan obat simpatomimetik (seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan
KAD. Obat-obat lain yang diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta
bloker, obat antipsikotik, dan fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1,
masalah psikologis yang disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20%
KAD berulang.

Faktor yang memunculkan kelalaian penggunaan insulin pada pasien muda


diantaranya ketakutan untuk peningkatan berat badan dengan perbaikan kontrol
metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia, dan stres akibat penyakit
kronik.Namun demikian, seringkali faktor pencetus KAD tidak ditemukan dan ini
dapat mencapai 20 – 30% dari semua kasus KAD, akan tetapi hal ini tidak
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.

II. 1.3. PATOFISIOLOGI KAD

KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan


konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari
kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan
hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon).
Kedua hal tersebut mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan
meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi akibat
peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal (glukoneogenesis dan glikogenolisis)
dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.

Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat


nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan
dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat
karboksilase/PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase). Peningkatan
produksi glukosa hepar menunjukkanpatogenesis utama yang bertanggung jawab
terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.

Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan


diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan
glomerularfiltration rate. Keadaan yang terakhir akanmemperburuk hiperglikemia.
Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama

5
ini. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator
menyebabkan aktivasi hormon lipase yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan
aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free
fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk
glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang
berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.

Gambar 1. Bagan Patofisiologi KAD

6
II.1.4. GEJALA KLINIS

70-90% KAD telah diketahui menderita DM sebelumnya, Sesuai dengan


patofisiologi KAD, akan dijumpai pasien dalam keadaan ketoasidosis dengan
pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit
berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok.
Keluhan poliuria dan polidipsi seringkali mendahului KAD, serta didapatkan
riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi.

Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai. Pada KAD anak,


sering dijumpai gejala muntah-muntah massif. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang
menonjol dan hal ini dapat berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung.
Derajat kesadaran pasien bervariasi, mulai dari kompos mentis sampai koma. Bila
dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain
(misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol). Bau aseton dari hawa napas tidak
selalu mudah tercium.

II.1.5.DIAGNOSIS

Diagnosis pada pasien KAD terdiri dari

Anamnesis , Gejala klasik DM poliuri, polodifsi, polifagi, berat badan yang menurun
akibat ketonemia .

Pemeriksaan fisik meliputi jalan napas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular, dan status hidrasi, bahkan pasien sering datang dengan syok ataupun
koma.

Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang


harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya
penundaan.

Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa


hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka
waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau
berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda
KAD sebelumnya.

7
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia,
penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria,
dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi
Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari
25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi.

Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena


menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan abdominal
pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya,
khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak
membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolik.

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera


dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan
kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan
menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat,
dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat menilai
karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi kadar HCO3, anion gap, pH darah
dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan laktat serta 3HB.

Tabel 1. Kriteria diagnostik KAD menurut AmericanDiabetes Association

8
II. 1.6. Penatalaksanaan

Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:

1. Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi)


2. Penggantian cairan dan garam yang hilang
3. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan
pemberian insulin.
4. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD
5. Mencegah komplikasi dan mengembalikan keadaan fisiologis normal serta
menyadari pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan.

Berikut adalah beberapa tahapan tatalaksana KAD :

Penilaian Klinik Awal

Pemeriksaan fisik (termasuk berat badan), tekanan darah, tanda asidosis


(hiperventilasi), derajat kesadaran (GCS), dan derajat dehidrasi.

5% Turgor Kulit menurun, mukosa kering

10 % Capilary refill ≥ 3 detik, mata cowong

>10 % Shock, nadi lemah, hipotensi

Konfirmasi biokimia: darah lengkap (sering dijumpai gambaran lekositosis), kadar


glukosa darah, glukosuria, ketonuria, dan analisa gas darah.

Resusitasi

1. Pertahankan jalan napas.


2. Pada syok berat berikan oksigen 100% dengan masker.
3. Jika syok berikan larutan isotonik (normal salin 0,9%) 20 cc/KgBB bolus.
4. Bila terdapat penurunan kesadaran perlu pemasangan naso-gatrik tube untuk
menghindari aspirasi lambung.
Observasi Klinik

Pemeriksaan dan pencatatan harus dilakukan atas :

9
o Frekwensi nadi, frekwensi napas, dan tekanan darah setiap jam.
o Suhu badan dilakukan setiap 2-4 jam.
o Pengukuran balans cairan setiap jam.
o Kadar glukosa darah kapiler setiap jam.

 Tanda klinis dan neurologis atas edema serebri :


1. Pusing,
2. Penurunan Nadi / frekuensui denyut jantung
3. Perubahan status neurologis : gelisah, iritable drowsiness, kejang,
inkontenensia urine, reflek cahaya menurun, penurunan fungsi saraf kranial.
4. Peningkatan tekanan darah.
5. EKG : untuk menilai gelombang T, menentukan tanda hipo/hiperkalemia.
6. Keton urine sampai negatif, atau keton darah (bila terdapat fasilitas).
Interpretasi Kadar keton darah

* Normal : < 0,5 mmol/L.

* Hiperketonimia : > 1 mmol/L

Rehidrasi

Penurunan osmolalitas cairan intravaskular yang terlalu cepat dapat meningkatkan


resiko terjadinya edema serebri. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:

1. Tentukan derajat dehidrasi penderita.


2. Gunakan cairan normal salin 0,9%.
3. Total rehidrasi dilakukan 48 jam, bila terdapat hipernatremia (corrected Na)
rehidrasi dilakukan lebih perlahan bisa sampai 72 jam.
4. 50-60% cairan dapat diberikan dalam 12 jam pertama.
5. Sisa kebutuhan cairan diberikan dalam 36 jam berikutnya.

10
Penggantian Natrium

o Koreksi Natrium dilakukan tergantung pengukuran serum elektrolit.


o Monitoring serum elektrolit dapat dilakukan setiap 4-6 jam.
o Kadar Na yang terukur adalah lebih rendah, akibat efek dilusi hiperglikemia
yang terjadi.sesungguhnya terdapat peningkatan kadar Na sebesar 1,6 mmol/L
setiap peningkatan kadar glukosa sebesar 100 mg/dL di atas 100 mg/dL.
o Bila corrected Na > 150 mmol/L, rehidrasi dilakukan dalam > 48 jam.
o Bila corrected Na < 125 mmol/L atau cenderung menurun lakukan koreksi
dengan NaCl dan evaluasi kecepatan hidrasi.
o Kondisi hiponatremia mengindikasikan overhidrasi dan meningkatkan risiko
edema serebri.

Penggantian Kalium

Pada saat asidosis terjadi kehilangan Kalium dari dalam tubuh walaupun
konsentrasi di dalam serum masih normal atau meningkat akibat berpindahnya
Kalium intraseluler ke ekstraseluler. Konsentrasi Kalium serum akan segera turun
dengan pemberian insulin dan asidosis teratasi.

1 Pemberian Kalium dapat dimulai bila telah dilakukan pemberian cairan resusitasi,
dan pemberian insulin. Dosis yang diberikan adalah 5 mmol/kg BB/hari atau 40
mmol/L cairan.
2 Pada keadaan gagal ginjal atau anuria, pemberian Kalium harus ditunda, pemberian
kalium segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat.
Penggantian Bikarbonat

1. Bikarbonat sebaiknya tidak diberikan pada awal resusitasi.Pemberian


bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat.
2. Adapun alasan keberatan pemberian bikarbonat adalah:
a. Ø Menurunkan pH intraselular akibat difusi CO2 yang dilepas
bikarbonat.
b. Ø Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan
c. Ø Hipertonis dan kelebihan natrium
d. Ø Meningkatkan insidens hipokalemia
e. Ø Gangguan fungsi serebral

11
f. Ø Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton.
3. Terapi bikarbonat diindikasikan hanya pada asidossis berat (pH < 7,1 dengan
bikarbonat serum < 5 mmol/L) sesudah dilakukan rehidrasi awal, dan pada
syok yang persistent. walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan
hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.
4. Jika diperlukan dapat diberikan 1-2 mmol/kg BB dengan pengenceran dalam
waktu 1 jam, atau dengan rumus: 1/3 x (defisit basa x KgBB). Cukup
diberikan ¼ dari kebutuhan.

Pemberian Insulin

1. Insulin hanya dapat diberikan setelah syok teratasi dengan cairan resusitasi.
2. Insulin yang digunakan adalah jenis Short acting/Rapid Insulin (RI).
3. Dalam 60-90 menit awal hidrasi, dapat terjadi penurunan kadar gula darah
walaupun insulin belum diberikan.
4. Dosis yang digunakan adalah 0,1 unit/kg BB/jam atau 0,05 unit/kg BB/jam
pada anak < 2 tahun.
5. Pemberian insulin sebaiknya dalam syringe pump dengan pengenceran 0,1
unit/ml atau bila tidak ada syringe pump dapat dilakukan dengan microburet
(50 unit dalam 500 mL NS), terpisah dari cairan rumatan/hidrasi.
6. Penurunan kadar glukosa darah (KGD) yang diharapkan adalah 70-100
mg/dL/jam.
7. Bila KGD mencapai 200-300 mg/dL, ganti cairan rumatan dengan D5 ½ Salin.
8. Kadar glukosa darah yang diharapkan adalah 150-250 mg/dL (target).
9. Bila KGD < 150 mg/dL atau penurunannya terlalu cepat, ganti cairan dengan
D10 ½ Salin.
10. Bila KGD tetap dibawah target turunkan kecepatan insulin.
11. Jangan menghentikan insulin atau mengurangi sampai < 0,05 unit/kg BB/jam.
12. Pemberian insulin kontinyu dan pemberian glukosa tetap diperlukan untuk
menghentikan ketosis dan merangsang anabolisme.
13. Pada saat tidak terjadi perbaikan klinis/laboratoris, lakukan penilaian ulang
kondisi penderita, pemberian insulin, pertimbangkan penyebab kegagalan
respon pemberian insulin.

12
14. Pada kasus tidak didapatkan jalur IV, berikan insulin secara intramuskuler
atau subkutan. Perfusi jaringan yang jelek akan menghambat absorpsi insulin.

Tatalaksana Edema Serebri

Terapi harus segera diberikan sesegera mungkin saat diagnosis edema serebri
dibuat, meliputi:

1. Kurangi kecepatan infus.


2. Mannitol 0,25-1 g/kgBB diberikan intravena dalam 20 menit (keterlambatan
pemberian akan kurang efektif).
3. Ulangi 2 jam kemudian dengan dosis yang sama bila tidak ada respon.
4. Bila perlu dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator.
5. Pemeriksaan MRI atau CT-scan segera dilakukan bila kondisi stabil.

Fase Pemulihan

Setelah KAD teratasi, dalam fase pemulihan penderita dipersiapkan untuk: 1)


Memulai diet per-oral.2) Peralihan insulin drip menjadi subkutan.

o Memulai diet per-oral.


1. Diet per-oral dapat diberikan bila anak stabil secara metabolik (KGD < 250
mg/dL, pH > 7,3, bikarbonat > 15 mmol/L), sadar dan tidak mual/muntah.
2. Saat memulai snack, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2x sampai 30
menit sesudah snack berakhir.
3. Bila anak dapat menghabiskan snacknya, bisa dimulai makanan utama.
4. Saat memulai makanan, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2x sampai
60 menit sesudah makan utama berakhir.

o Menghentikan insulin intravena dan memulai subkutan.


1. Insulin iv bisa dihentikan bila keadaan umum anak baik, metabolisme stabil,
dan anak dapat menghabiskan makanan utama.
2. Insulin subkutan harus diberikan 30 menit sebelum makan utama dan insulin
iv diteruskan sampai total 90 menit sesudah insulin subkutan diberikan.
3. Diberikan short acting insulin setiap 6 jam, dengan dosis individual tergantung

13
kadar gula darah. Total dosis yang dibutuhkan kurang lebih 1 unit/kg BB/hari
atau disesuaikan dosis basal sebelumnya.
4. Dapat diawali dengan regimen 2/7 sebelum makan pagi, 2/7 sebelum makan
siang, 2/7 sebelum makan malam, dan 1/7 sebelum snack menjelang tidur.

14
TERAPI KAD

Prinsip terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia, dan


ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang
ada.Pengawasan ketat, KU jelek masuk HCU/ICU

Fase I/Gawat :

1. REHIDRASI, NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam pertama, lalu 80


tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)
2. INSULIN, 4-8 U/jam sampai GDR 250 mg/dl atau reduksi minimal
3. Infus K (TIDAK BOLEH BOLUS)
4. Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L
5. Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L
6. Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L
7. Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam
8. Infus Bicarbonat
a. Bila pH<7,0 atau bicarbonat < 12mEq/L
b. Berikan 44-132 mEq dalam 500cc NaCl 0.9%, 30-80 tpm
9. Pemberian Bicnat = [ 25 – HCO3 TERUKUR ] x BB x 0.4
10. Antibiotik dosis tinggi, Batas fase I dan fase II s ekitar GDR 250 mg/dl atau
reduksi

Fase II/maintenance:

1. Cairan maintenance

o Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian


o Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4U
2. Kalium

o Perenteral bila K+ <4mEq


o Peroral (air tomat/kaldu 1-2 gelas, 12 jam
3. Insulin reguler 4-6U/4-6jam sc

4. Makanan lunak karbohidrat komlek peras

Penanganan diabetic ketoacidosis secara rinci diperlihatkan pada dibawah ini,

15
yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan dan elektrolite pasien semakin
baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu dengan menggunakan pompa
otomatis, dan suplement potasium ditambahkan kedalam regimen cairan. Bentuk
penanganan yang baik atas seorang pasien penderita DKA (diabetic ketoacidosis)
adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat.

Kepentingan skema cairan yang baik, seperti halnya dalam gangguan


keseimbangan cairan dan elektrolit yang serius, tidak boleh terlalu diandalkan. Input
saline fisiologis awal yang tinggi yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan
dan elektrolite pasien semakin baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu
dengan menggunakan pompa otomatis, dan supplement potasium ditambahkan

16
kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien penderita
DKA (diabetic ketoacidosis) adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang
cermat.

Perbedaan antara KAD dan HONK


KAD HHNK
Gejala anoreksia , mual Bingung , lesu

Nyeri pada abdomen Lemah


Takikardi Terlihat kemerah-merahan pada kulit
Nafas berbau aseton Takikardi
Pernapasan cepat dan dalam Nafas cepat
Bingung, lesu, Merasa haus Napas berbau aseton

Nilai
laborato
rium
Glukosa Tinggi Tinggi > 1000 mg/dl
darah

Serum Tinggi Tetap


sodium

Serum Tetap Tetap


pottasiu
m

Serum Tinggi (tetapi < 330 mOsm/L) Tinggi sampai > 350 mOsm/L
osmolarit
y
AGD Asidosis metabolic àpenurunan pH dengan Normal à asidosis ringan
kompensasi alkalosis pernafasan

Keton Positive Negative


urin

Interven Insulin, cairan dan penggantian elektrolit Insulin, cairan dan penggantian elektrolit
si

17
Kesimpulan Terapi Ketoasidosis

Fase Gawat :

1. Rehidrasi : NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam pertama, lalu 80 tpm
selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)
2. Insulin: 4-8 U/jam sampai GDR 250 mg/dl atau reduksi minimal
3. Infus K (TIDAK BOLEH BOLUS): Bila K+ < 3mEq/L(beri 75mEq/L), Bila
K+ 3-3.5mEq/L(beri 50 mEq/L), Bila K+ 3.5 -4mEq/L(beri 25mEq/L),
Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam
4. Infus Bicarbonat. Bila pH<7,0 atau bicarbonat < 12mEq/L, Berikan 44-132 q
dalam 500cc NaCl 0.9%, 30-80 tpm, Pemberian Bicnat = [ 25 – HCO3
TERUKUR ] x BB x 0.4

18
HIPOGLIKEMIA

II.2.1 DEFINISI & ETIOLOGI HIPOGLIKEMIA

Hipoglikemia adalah keadaan di mana konsentrasi glukosa darah <60 mg/dl, atau 70
mg/dl disertai gejala klinis. Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien diabetes ataupun
non diabetes.

Hipoglikemia dilihat secara harfiah berarti kadar glukosa darah dibawah normal.
kadar glukosa darah < 70mg/dl dengan gejala klinis. Walaupun kadar glukosa plasma
puasa pada orang normal jarang melampaui 99 mg% (5,5 mmol/L), tetapi kadar < 108
mg% (6 mmol/L) masih dianggap normal. Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih
tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan karena eritrosit
mengandung kadar glukosa yang relative lebih rendah. Kadar glukosa arteri lebih
tinggi dibandingkan dengan vena, sedangkan kadar glukosa darah kapiler diantara
kadar arteri dan vena.8,9

Faktor yang merupakan Predisposisi atau Mempresipitasi Hipoglikemia

Berbagai factor yang merupakan predisposisi atau mempresipitasi hipoglikemia adalah :


1. Kadar insulin berlebihan
 Dosis berlebihan : kesalahan dokter, farmasi, pasien; ketidaksesuaian dengan kebutuhan pasien atau gaya hidup; deliberate
overdose (factitious hipoglicemia)
 Peningkatan bioavailibilitas insulin : absorbsi yang lebih cepat (aktifitas jasmani), suntik di perut, perubahan ke human insulin;
antibody insulin; gagal ginjal (clearance insulin berkurang); “honeymoon” periode
2. Peningkatan sensitifitas insulin
 Defisiensi hormone counter-regulatory : penyakit Addison; hipopituitarisme
 Penurunan berat badan
 Latihan jasmani, postpartum; variasi siklus menstruasi
3. Asupan karbohidrat kurang
 Makan tertunda atau lupa, porsi makan kurang
 Diet slimming, anorexia nervosa
 Muntah, gastroparesis
 Menyusui
4. Lain-lain
 Absorpsi yang cepat, pemulihan glikogen otot
 Alcohol, obat (salisilat, sulfonamide meningkatkan kerja sulfonylurea; penyekat β non-selektif; pentamidin)

Hipoglikemia spontan yang patologis mungkin terjadi pada tumor yang


mensekresi insulin atau insulin-like growth factor (IGF). Dalam hal ini diagnosis

19
hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa < 50 mg% atau bahkan 40 mg%.
Walaupun demikian berbagai studi fisiologis menunjukkan bahwa gangguan fungsi
otak sudah dapat terjadi pada kadar glukosa darah 55 mg% (3 mmol/L). lebih lanjut
diketahui bahwa kadar glukosa darah 55 mg% yang terjadi berulang kali merusak
mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat. Gejala
hipoglikemi dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai kejang.10

II.2.2 KLASIFIKASI

Hipoglikemia juga didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya.


Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dari Triad Whipple merupakan panduan
klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi :8,9
a. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah yang rendah.
b. Kadar glukosa darah yang rendah (< 3 mmol/L, hipoglikemia pada diabetes).
c. Hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.
Akan tetapi pada pasien diabetes dan insulinoma dapat kehilangan kemampuannya
untuk menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah
kriteria klinis pada pasien diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi
menjadi hipoglikemia ringan, sedang dan berat (tabel 1).8

20
Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut.

Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak


ada gangguan aktivitas sehari-hari yang
nyata.
Sedang
Simtomatik, dapat diatasi sendiri,
menimbulkan gangguan aktivitas sehari-
hari yang nyata.

Berat Sering (tidak selalu) tidak simtomatik,


karena ganguan kognitif pasien tidak
mampu mengatasi sendiri.

II.2.3 PATOFISIOLOGI
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh berlebihan.
Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang terjadi setelah
melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia juga dapat
disebabkan antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan tertundanya
pelepasan insulin dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat terjadi karena
malproduksi insulin dari pankreas ketika terdapat tumor pankreas. Setelah
hipoglikemia terjadi, efek yang paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu makan
dan stimulasi masif dari saraf simpatik yang menyebabkan takikardi, berkeringat,
dan tremor.10

Ketika terjadi hipoglikemia tubuh sebenarnya akan terjadi mekanisme


homeostasis dengan menstimulasi lepasnya hormon glukagon yang berfungsi
untuk menghambat penyerapan, penyimpanan, dan peningkatan glukosa yang ada
di dalam darah. Glukagon akan membuat glukosa tersedia bagi tubuh dan dapat
meningkatkan proses glikogen dan glukoneogenesis. Akan tetapi, glukagon tidak
memengaruhi penyerapan dan metabolisme glukosa di dalam sel.11,12,13

21
Gambar 1. Mekanisme regulasi glukosa pada tubuh manusia (Cryer,
2011).

Selain itu, mekanisme tubuh untuk mengompensasi adalah dengan


meningkatkan epinefrin, sehingga prekursor glukoneogenik dapat dimobilisasi dari
sel otot dan sel lemak untuk produksi glukosa tambahan. Tubuh melakukan
pertahanan terhadap turunnya glukosa darah dengan menaikkan asupan karbohidrat
secara besar-besaran. Mekanisme pertahanan ini akan menimbukan gejala
neurogenik seperti palpitasi, termor, adrenergik, kolinergik, dan berkeringat.
Ketika hipoglikemia menjadi semakin parah maka mungkin juga dapat terjadi
kebingungan, kejang, dan hilang kesadaran.12

Hipoglikemia berat didefinisikan sebagai hipoglikemia yang tidak dapat


di tangani oleh mekanisme homeostasis tubuh. Pada kondisi ini orang yang terkena
hipoglikemia berat dapat kehilangan kesadaran atau merasa kebingungan.
Walaupun penderita hipoglikemia berat akan terlihat sadar, tapi penderita akan
terlihat lethargik (kelelahan) dan emosional. Hal ini disebabkan karena glukagon
tidak dapat mengompensasi adanya insulin yang berlebihan. Sehingga terkadang
ketika seseorang mengalami hipoglikemia berat dibutuhkan penyuntikkan
glukagon. Penyuntikkan glukagon ini dapat diberikan dengan orang terdekat yang
dilatih atau tenaga medis terlatih.12

22
II.2.4 PEMERIKSAAN & DIAGNOSIS

o Manifestasi klinis
Gejala dari hipoglikemia bisa dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
neuroglycopenic dan neurogenic (autonomic) responses. Gejala Neuroglikopenik
merupakan hasil langsung dari berkurangnya glukosa di susunan system saraf
pusat. Gejalanya meliputi perubahan tingkah laku, bingung, fatigue, seizure,
kehilangan kesadaran, dan apabila hipoglikemia terjadi lebih lanjut dan lebih
lama, akan menimbulkan kematian. Hipoglikemia yang mengaktivasi respon
otonom meliputi gejala-gejala adrenergic seperti palpitasi, tremor, ketakutan,
rasa lapar, mual, berkeringat, dan parestesi. Gejala-gejala adrenergik ini di
mediasi oleh pelepasan norepinefrin dari saraf postganglion simpatis dan
pelepasan epinefrin dari medula adrenal. Peningkatan keringat di mediasi oleh
saraf simpatis kolinergik.8,12

23
Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologis terhadap
penurunan glukosa darah tidak hanya membatasi makin parahnya perubahan
metabolisme glukosa, tetapi juga menghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang
khas. Petugas kesehatan, pasien dan keluarganya belajar mengenal keluhan dan
gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan dapat segera melakukan
tindakan-tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau bentuk
karbohidrat oral “refined” yang lain. Kemampuan mengenal gejala awal sangat
penting bagi pasien diabetes yang mendapat terapi insulin yang ingin mencapai
dan mempertahankan kadar glukosa darah normal atau mendekati normal.
Terdapat keragaman keluhan yang menonjol diantara pasien maupun pada
pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda. Walaupun demikian pada umumnya
keluhan biasanya timbul dalam pola tertentu, sesuai dengan komponen fisiologis
dan respon fisiologis yang berbeda.8

KELUHAN DAN GEJALA HIPOGLIKEMIA AKUT YANG SERING DIJUMPAI PADA


PASIEN DIABETES

Otonomik Neuroglikopenik Malaise

Berkeringat Bingung (confusion) Mual


Jantung berdebar Mengantuk Sakit kepala
Tremor Sulit berbicara
Lapar Inkoordinasi
Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
Parestesi

Pada pasien diabetes yang masih relatif baru, keluhan dan gejala yang
terkait dengan gangguan sisitim saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau
berkeringat lebih menonjol dan biasanya mendahului keluhan dan gejala

24
disfungsi serebral yang disebabkan oleh neuroglikopeni, seperti gangguan
konsentrasi atau koma. Sakit kepala dan mual mungkin bukan merupakan
keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan
otonomik cenderung berkurang atau menghilang. Hal tersebut dapat
menunjukkan kegagalan yang progresif aktivasi sistem saraf otonomik.8

o Diagnosis
Pada pasien DM yang mendapat insulin atau sulfonilurea diagnosis
hipoglikemia ditegakkan bila didapatkan gejala-gejala yang disebut diatas.
Keadaan tersebut dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. Bila
gejalanya meragukan sebaiknya diambil dulu darah untuk pemeriksaan
glukosanya. Bila dengan pemberian suntikkan bolus dekstrosa pasien yang
semula tidak sadar kemudian menjadi sadar, maka dapat dipastikan koma
hipoglikemia. Sebagai dasar diagnosis dapat digunakan Trias Whipple :

1) Hipoglikemia dengan gejala-gejala saraf pusat, psikiatrik atau vasomotorik


2) Kadar glukosa darah kurang dari 50 mg%
3) Gejala akan menghilang dengan pemberian gula.8

II.2.5 TATALAKSANA

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006)


pedoman tatalaksana hipoglikemia adalah sebagai berikut:

o Non Medika Mentosa


a. Glukosa diarahkan pada kadar glukosa puasa yaitu 120 mg/dl.

b. Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (Intravena) bisa diberikan


satu flakon (25 cc) dextrosa 40% (10 gr dextrosa) untuk meningkatkan
kadar glukosa kurang lebih 25-50 mg/dL.

Manajemen hipoglikemia menurut Soemadji (2009)11 tergantung pada


derajat hipoglikemia, yaitu :

a. Hipoglikemia ringan

1. Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10 butir
permen atau 2-3 sendok teh sirup atau madu.

25
2. Bila tidak membaik dalam 15 menit, ulangi pemberian.

3. Tidak dianjurkan untuk memberikan makanan tinggi kalori seperti


coklat, kue, ice cream, cake dan lain-lain.

b. Hipoglikemia berat

1. Tergantung pada tingkat kesadaran pasien.

2. Bila pasien dalam keadaan tidak sadar, jangan memberi makanan atau
minuman karena bisa berpotensi terjadi aspirasi.

o Medika Mentosa
Adapun terapi medika mentosa hipoglikemia yang dapat diberikan adalah:

a. Glukosa Oral.

b. Glukosa Intravena.

c. Glukagon (SC/IM).

d. Thiamine 100 mg (SC/IM) pada pasien alkoholisme

e. Monitoring

Kadar Glukosa (mg/dL) Terapi Hipoglikemia

< 30 mg/dl Injeksi IV dextrose 40 % (25 cc) bolus


3 flakon

30-60 mg/dl Injeksi IV dextrosa 40 % (25 cc) bolus


2 flakon

60-100 mg/dl Injeksi IV dextrosa 40 % (25 cc) bolus


1 flakon

Follow up :

1. Periksa kadar gula darah 30 menit setelah injeksi.

2. Setelah 30 menit pemberian bolus 3 atau 2 atau 1 flakon dapat


diberikan 1 flakon lagi sampai 2-3 kali untuk mencapai kadar
glukosa darah 120 mg/dl.

26
KRISIS ADRENAL

II.3.1DEFINISI

Krisis adrenal adalah suatu kondisi yang terjadi akibat kegagalan kelenjar adrenal
memproduksi hormone glukokortikoid dan atau mineralokortikoid secara normal dan
bersifat akut. Krisis adrenal akut merupakan suatu keadaan yang mengancam jika
yang disebabkan oleh kadar kortisol yang tidak mencukupi, yang merupakan hormon
yang diproduksi dan dilepaskan oleh kelenjar adrenal. Keadaan ini dapat terjadi pada
pasien dengan insufisiensi adrenal yang lebih dikenal dengan Insufisien Adrenal
Akut, atau pada penyakit Addison dengan sebutan krisis Addison (Loechler, 2014).

II.3. 2 ETIOLOGI
Krisis adrenal pada dasarnya merupakan akibat dari eksaserbasi akut insufisiensi
adrenal kronis, yang biasanya disebabkan oleh sepsis atau stres saat bedah.Insufisiensi
adrenal akut juga bisa disebabkan oleh perdarahan adrenal misalnya, septicemia dan
komplikasi antikoagulasi.Penyebab dari insufisiensi terbagi dua secara garis besar
yakni insufisiensi adrenal primer dan insufisiensi adrenal sekunder dengan masing-
masing dibedakan atas kelainan kongenital serta kelainan yang didapat.

Pada keadaan insufisensi adrenal primer terjadi kerusakan secara lambat dari
kelenjar adrenal, dengan defisiensi kortisol, aldosterone, dan adrenal androgen dan
kelebihan dari ACTH dan CRH yang berhubungan dengan hilangnya feedback
negatif. Sedangkan pada insufisensi kelenjar adrenal sekunder terjadi penurunan
kadar kortisol yang berlebihan, yang berhubungan dengan kehilangan fungsi secara
lambat dari hypothalamus dan pituitari. Kadar kortisol dan ACTH keduanya menurun,
tetapi kadar aldosteron dan adrenal androgen biasanya normal karena keduanya
diregulasi diluar jalur hipotalamus hipofisis (Wisse,2013).

27
ETIOLOGI

Insufisiensi Adrenal Primer

Kongenital
Hiperplasia Adrenal Kongenital
Syndrome Resistensi ACTH
Penyakit Metabolik sepetti penyakit Wilson

Dapatan
Perdarahan atau infark adrenal (trauma, gangguan koagulasi)
Obat-obatan (Ketokonazol, phenytoin, barbiturate, progesterone)
Infeksi (Viral, Fungal, Amoeba)
Infiltratif (keganasan)

Insufisiensi Adrenal Sekunder

Kongenital
Defisiensi CRH

Dapatan
Penghentian steroid
Penyakit inflmasi
Tumor
Trauma
Radiasi

II.3.3.PATOFISIOLOGI
Kortek adrenal memproduksi hormon steroid yaitu hormon glukokortikoid
(kortisol), mineralokortikoid (aldosteron, 11-deoxycoticosterone) dan androgen
(dehydroepiandrosterone).Hormon utama yang penting dalam kejadian suatu krisis
adrenal adalah produksi dari kortisol dan adrenal aldolteron yang sangat sedikit.
Kortisol meningkatkan glukoneogenesis dan menyediakan zat-zat melalui proteolisis,
penghambat sintesis protein, mobilisasi asam lemak,dan meningkatkan pengambilan
asam amino di hati. Kortisol secara tidak langsung meningkatkan sekresi insulin
untuk mengimbangi hperglikemi tetapi juga menurunkan sensitibitas dari insulin.
Kortisol juga mempunyai efek anti inflamasi untuk mestabilkan lisosom, menurunkan
respon leukositik dan menghambat produksi sitokin. Akti;itas fagositik dipertahankan
tetapi sel mediated imunity hilang pada keadaan kekurangan kortisol dan mensupresi
sintesis adrenokortikotropik hormon (ACTH).Aldosteron di keluarkan sebagai respon
terhadap stimulasi dari angiotensin II melalui system renin angiotensin, hiperkalemi,
hiponatremi dan antagonis dopamin. Efek nya pada target organ primer.Ginjal
meningkatkan reabsorpsi dari natrium dan sekresi dari kalium dan hidrogen.

28
5ekanismenya masih belum jelas, peningkatan dari natrium dan kalium mengaktivasi
enzim adenosine triphosphatase (Na/K ATPase) yang bertangung jawab untuk
trasportasi natrium dan juga meningkatkan aktivitas dari carbonic anhidrase, efek nya
adalah meningkatkan volume intravaskuler. system renin angiotensin-aldosteron tidak
dipengaruhi oleh glukokortikoid eksogen dan kekurangan ACTH mempuyai efek
yang sangat kecil untuk kadar aldosteron kekurangan hormon adrenokortikal
menyebabkan efek yang berlawanan dengan hormon ini dan menyebabkan gejala
klinis yang dapat ditemukan pada krisis adrenal (Kirkland, 2014).

II.3.4 MANIFESTASI KLINIS


Dalam defisiensi funsgsi adrenal primer, defisiensi kortisol terjadi bersamaan
dengan defisiensi mineralokortikoid yang menyebabkan hiperkalemia dan
hiponatremia, asidosis dan dehidrasi.Gambaran krisis adrenal terutama disebabkan
defisiensi dari mineralokortikoid, sehingga presentasi klinis didominasi oleh hipotensi
atau syok.Kegawatan ini terutama disebabkan oleh natrium dan deplesi volume
plasma, tetapi terkait dengan sekresi prostaglandin yang meningkat (prostasiklin) dan
penurunan respons terhadap norepinefrin dan angiotensin II dapat memperburuk
gangguan peredaran darah. Gejala klinis yang mendukung suatu diagnosis krisis
adrenal adalah sebagai berikut :
- Syok yang sulit dijelaskan etiologinya biasanya tidak ada pengaruh dengan
pemberian resusitasi cairan atau ;asopresor.
- Hipotermia atau hipertermia, hiperkalemia
- Yang berhubungan dengan kekurangan kortisol yaitu cepat lelah, lemah badan,
anoreksia, mual mual dan muntah , diare, hipoglikemi, hipotensi, hiponatremi.
- Yang berhubungan dengan kekurangan hormon aldosteron yaitu hiperkalemia
dan hipotensi berat yang menetap.
- Lain-lain tergantung dari penyebab, mungkin didapatkan panas badan, nyeri
abdomen dan pinggang yang berhubungan dengan perdarahan kelenjar adrenal
(Wisse, 2013)
II.3.5.DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang terjadi pada
pasien.selain itu untuk lebih jelasnya dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium, radiologi, EKG, dan histologis. Data laboratorium

29
memperlihatkan kadar glukosa darah yang rendah. Biasanya kadar natrium plasma
juga rendah tetapi jarang dibawah 120 meq/L dan kadar kalium darah meningkat,
tetapi jarang diatas 7 meq/L. Penderita biasanya mengalami asidosis dengan kadar
bikarbonat plasma antara 15-20 meq/L. Kadar ureum juga meningkat. Kemungkinan
diagnosa juga dapat di lihat dari adanya eosinofilia dan limpositosis pada SADT, dan
adanya gangguan kadar serum tiroid. Diagnosa paling spesifik yaitu dengan
memeriksa kadar ACTH dan kortisol, jika terdapat banyak waktu. serum kotisol
biasanya kadarnya kurang dari 20 mcg/dl tetapi kita dapat menunggu untuk
melakukan pemeriksaan ini bila pasien sudah dapat distabilkan. Pada foto thorax
harus dicari tanda tanda tuberculosis, histoplasmosis, keganasan, sarkoid dan
lymphoma. Pada pemeriksaan CT scan abdomen menggambarkan kelenjar adrenal
mengalami perdarahan, atropi, gangguan infiltrasi, penyakit metabolik. Perdarahan
adrenal terlihat sebagai bayangan hiperdens, dan terdapat pembesaran kelenjar
adrenal yang bilateral. Pada pemeriksaan EKG mempelihatkan adanya pemanjangan
dari interval QT yang dapat mengakibatkan ventikular aritmia, gelombang t inverted
yang dalam dapat terjadi pada akut adrenal krisis. Pemeriksaan histologis tergantung
dari penyebab kegagalan adrenal.Pada kegagalan adrenokotikal yang primer, terlihat
gambaran infeksi dan penyakit infiltratif.Pada kegagalan adrenokotikal yang sekunder
dapat menyebabkan atrofi kelenjar adrenal. Gambaran dari perdarahan adrenal
bilateral mungkin hanya data ditemukan gambaran dará baja (White,2010).

II.3.6 TATALAKSANA
FARMOKOLOGI

Pada keadaan gawat darurat (penanganan krisis adrenal) yang disertai dengan syok
atau dehidrasi berat, dengan mempertahankan jalan napas, dan sirkulasi.diberikan
cairan kristaloid isotonis sampai sirkulasi teratasi. Untuk 24 jam berikutnya cairan
rumatan yang diberikan adalah garam fisiologis dalam dektrosa 5%. Jika terdapat
dehidrasi ringan atau tanpa dehirasi cairan yang diberikan dalam 24 jam adalah 1,5
kali kebutuhan rumatan (Nurharjanti dan Tridjaja, 2007). Pada krisis adrenal, terapi
substitusi glukokortikoid dan atau mineralokortikoid sangat penting. Hormon
glukokortikoid dan mineralokortikoid akan menekan sekresi CRH dan ACTH yang
berlebihan, serta kadar renin basal (istirahat). Manajemen krisis adrenal akut terdiri

30
dari pemberian intravena langsung dari 100 mg hidrokortison, diikuti oleh 100 sampai
200 mg hidrokortison setiap 24 jam dan infus kontinu volume yang lebih besar dari
larutan garam fisiologis misalnya 1 liter per jam di bawah pengawasan jantung terus
menerus. tepat waktu diagnosis dan manajemen klinis kondisi ini sangat penting, dan
dokter di semua bidang kedokteran harus menyadari penyebab, tanda- tanda, dan
gejala yang penyerta insufisiensi adrenal.

Pada keadaan krisis adrenal setelah keadaan akut teratasi maka dilakukan tindakan
berikut :

- Tentukan penyebab dari insufisiensi adrenal yang menyebabkan keadaan krisis


adrenal

- Turunkan dosis glukokortikoid sampai dosis pemeliharaan dan dapat diberikan oral
fludrocortisone (0,1 mg sekali sehari) saat terjadi defisiensi mineralokortikoid

- Pada saat pulang penderita diberikan penyuluhan mengenai penggunaan steroid


intramuskular saat terjadi keadaan krisis adrenal

- Berikan penyuluhan kepada pasien agar menggunakan tanda pengenal yang


menunjukkan penderita insufisiensi adrenal. (Bornstein, 2009)

II.3.7. PROGNOSIS
Pada dasarnya krisis adrenal adalah keadaan dengan mortalitas yang tinggi apabila
tidak ditanganin dengan cepat ddan adekuat. Pada keadaan tidak didapatkan
perdarahan adrenal bilateral, kemungkinan hidup dari penderita dengan krisis adrenal
akut yang didiagnosa secara cepat dan ditangani secara baik, mendekati penderita
tanpa krisis adrenal dengan tingkat keparahan yang sama. (Kirkland,2014)

31
KRISIS TIROID

II. 4.1 DEFINISI


Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan
ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan
sistem saluran cerna16. Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan
gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa
kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi
kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid merupakan
keadaan dimana terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut.
Tipikalnya terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak
tuntas terobati yang dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma. Hampir
semua kasus disertai oleh faktor pencetus. Hingga kini patogenesis krisis tiroid belum
jelas : free-hormon meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 pasca
transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran.16

II.4.2 ETIOLOGI

Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik, nodul
toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid folikular
metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan
krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik), krisis tiroid juga dapat
merupakan komplikasi dari operasi tiroid. Kondisi ini diakibatkan oleh manipulasi
kelenjar tiroid selama operasi pada pasien hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi
sebelum, selama, atau sesudah operasi. Operasi umumnya hanya direkomendasikan
ketika pasien mengalami penyakit Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau
ketika dicurigai adanya kanker tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus seperti
ini dapat menyebabkan kematian.17

II. 4.3 PATOFISIOLOGI

Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH)


yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating
hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon
tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang
mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu

32
triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak
terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding
globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan
gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika
keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.18

Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini


melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari
kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH.
Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit
ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH
dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid.
Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1.
Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh
3,’5′-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga
merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.18,19

Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon
tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem
organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis
berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring
meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau
meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon
sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan
menyebabkan kematian.2 Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan
kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan
reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun
norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.18,19

Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah
diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar
hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa
komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor
adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar
tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan

33
hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah
efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan
munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin,
mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma
dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan
mengapa beta-blockers- gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada
tirotoksikosis.19,20

Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik
dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca
operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas.
Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi
selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah
terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk
perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin
yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid
sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.19,20

II.4.4 DIAGNOSIS

Tabel Kriteria Diagnostik Burch & Watorfsky untuk Krisis Tiroid


1. Thermoregulatory Dysfunction 2. Cardiovascular Dysfunction
Temperature a. Tachycardia

37,2-37,7oC 5 99-109 5
37,8-38,3oC 10 110-119 10
38,4-38,8oC 15 120-129 15
38,9-39,4oC 20 130-139 20
39,5-39,9oC 25 ≥140 25
≥ 40oC 30
b. Congestive Heart failure
Absent 0
Mild 5
( Pedal edema )
Moderate ( bibasiler rales ) 10
Severe ( pulmonary edema ) 15
c. Atrial Fibrilasi
AF present 10
Absent 0

34
3. Central Nervouse System Effects 4. Gastrointestinal Hepatic Dysfunction

Absent 0 Absent 0
Mild Moderate 10
 Agitation 10  Diarrhea
Moderate  Nausea/Vomiting
 Delirium  Abdominal pain
 Psychosis 20 Severe 20
 Extreme lethargy  Unexplained Jaundice
Severe Negatif 0
 Seizure Positif 10
 Coma

30

Apabila setelah dijumlah didapatkan skor :


≥ 45 : sangat mungkin krisis tiroid
25-44: sangat mungkin impending krisis tiroid
≤25 : tidak ada krisis tiroid
Diagnosis krisis tiroid dapat ditunjang dengan hasil pemeriksaan fungsi tiroid
yaitu kadar TSH (Thyrois Stimulating Hormone) tidak terdeteksi (<0,001 mU/L) dan
peningkatan kadar T3 lebih menonjol daripada T4 karena terjadi bersamaan dengan
peningkatan konversi hormon tiroid perifer T4 ke T317,18,19,20,.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan ultratiroid scan.
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan keadaan dari hipertiroidisme yang ditunjukkan
dengan gambaran khas dari basedow’s disease atau nodular goiter dengan
karakteristik warna-pola Doppler dari hiperaktivitas kelenjar tiroid.19,20

II.4.5 TATALAKSANA
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme
(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat
konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),
normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan
mengatasi faktor pemicu.
Pada kasus krisis tiroid, hyperpyrexia harus segera diatasi secara cepat. Dalam
hal ini pemberian obat jenis asetaminopen lebih dipilih dibandingkan aspirin yang
dapat meningkatkan kadar konsentrasi T3 dan T4 bebas dalam serum.17

35
Pemberian beta-bloker merupakan terapi utama penting dalam pengobatan
kebanyakan pasien dengan hipertiroid. Propanolol merupakan obat pilihan pertama
yang digunakan sebagai inisial yang bisa diberikan secara intravena. Dosis yang
diberikan adalah 1mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan
tercapai atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 60-80mg/4jam secara oral atau
melalui nasogastric tube (NGT). 16,19,20
Pemberian tionamide seperti methimazole atau PTU untuk memblok sintesis
hormon. Pemberian PTU 500-1000 mg loading dose, dilanjutkan 250mg/4jam atau
methimazole 60-80mg/ hari. Tionamide memblok sintesis hormon tiroid dalam 1-2
jam setelah konsumsi. Namun, tionamid tidak memiliki efek terhadap hormon tiroid
yang telah disintesis. Beberapa menggunakan PTU dibanding tionamide sebagai
pilihan pada krisis tiroid karena PTU dapat memblok konversi T4 menjadi T3
ditingkat perifer. 16,19,20
Walaupun begitu, banyak menggunakan methimazole (tionamide) selama obat
lain (contohnya iopanoic acid) dimasukkan bersamaan untuk memblok konversi T4
menjadi T3. Methimazole memiliki waktu durasi yang lebih lama dibandingkan PTU
sehingga lebih efektif. Keduanya bisa dilarutkan untuk digunakan secara rectal dan
PTU dapat diberikan secara intravena dengan diencerkan oleh saline isotonis dibuat
alkali (pH 9,25) dengan sodium hidroksida. 16,19,20
Larutan iodine memblok pelepasan T4 dan T3 dari kelenjar tiroid. Laruton
lugol’s 5 tetes/6jam secara oral satu jam setelah pemberian obat anti tiroid. Larutan
iodine ini juga dapat diberikan secara rectal. 16,19,20
Pemberian glucocorticoid juga menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan
memiliki efek langsung dalam proses autoimun jika krisis tiroid berasal dari penyakit
graves. Dosis yang digunakan adalah 100mg/8jam secara intravena pada kasus krisis
tiroid. Penggunaan litium juga dapat memblok pelepasan hormone tiroid, namun
toksisitasnya yang tinggi pada ginjal membatasi penggunaannya. 16,19,20

36
BAB III

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1.Savage M.W, Mah.P. M. Weetman. A.P. Newell-Price. J. Endocrine


Emergency.2004. Postgrad Med J : 2004;80:506–515
2.S
3.Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th
ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006. p.1874-7.
4.Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA Fam
Prac 2008;50:39-49.
5.Masharani U. Diabetic Ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA,
editors. Lange current medical diagnosis and treatment. 49thed. New
York: Lange; 2010.p.1111-5.
6.Chiasson JL. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis and The
Hyperglycemic HyperosmolarState. Canadian Medical Association
Journal 2003;168(7): p.859-66.
7.Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and Management of Diabetic
Ketoacidosis in Adults. Hospital Physician 2008. p. 21-35.
8.Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum
2013;15(1):28-35.
9.American Diabetes Association. Hyperglycemic Crisis in Diabetes.
Diabetes Care 2004;27(1):94- 102.

37
10. Wahono Soemadji, Djoko. Hipoglikemia Iatrogenik. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Ed IV. Jakarta, Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2006. p: 1892-95.
11. Harrison`s. Principles of Internal Medicine. 17thEdition. United State of
America. 2008
12. Silbernagl Stefan, Lang Florian. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta : EGC. 2006
13. Soemadji, Djoko Wahono. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing.
14. Cryer, Philip E. 2011. Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Tersedia di
<http://diabetesmanager.pbworks.com/w/page/17680209/Hypoglycemia%20D
uring%20Therapy%20of%20Diabetes%20> diakses pada Kamis 27 Desember
2018 21.22.
15. Carrol, Robert G. 2007. Elsevier’s Integrated Physiology. Philadelphia:
Mosby Elsevier.
16. Chiha M, Samarasinghe S, Kabaker AS. Thyroid storm: an updated review. J
Intensive Care Med. 2015 Mar;30(3):131–40. [PubMed]
17. Akamizu T. Thyroid Storm: A Japanese Perspective. Thyroid. 2018.
Jan;28(1):32–40. [PMC free article] [PubMed]
18. Akamizu T1, Satoh T, Isozaki O, Suzuki A, Wakino S, Iburi T, Tsuboi K,
Monden T, Kouki T, Otani H, Teramukai S, Uehara R, Nakamura Y, Nagai
M, Mori M Diagnostic criteria, clinical features, and incidence of thyroid
storm based on nationwide surveys. Thyroid. 2012 Jul;22(7):661-79. [PMC
free article] [PubMed]
19. Scharaga. E.D. Hyperthyroidism, Thyroid Storm, and Graves Disease
Treatment & Management. 2018
https://emedicine.medscape.com/article/767130-treatment
20. Misra M. Thyroid Storm, 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/925147-overview

38
39

Anda mungkin juga menyukai