Anda di halaman 1dari 22

11

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. Pengadaan

Pengadaan barang/jasa di Indonesia dilaksanakan dengan pedoman Keppres

RI No.80 Tahun 2003 beserta perubahannya. Dalam pelaksanaannya, proses

pemilihan penyedia jasa dilakukan dengan menggunakan beberapa metode

pemilihan/seleksi antara lain : (1) Pelelangan/seleksi umum yaitu suatu metoda

pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman

secara luas melalui media massa, (2) Pelelangan/seleksi terbatas yaitu suatu metode

pemilihan penyedia barang/jasa terbatas dalam hal jumlah penyedia jasa yang

mampu melaksanakan di yakini terbatas, (3) Pelelangan/seleksi langsung adalah

metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan membandingkan sekurang-

kurangnnya 3 (tiga) penawaran, (4) Penunjukkan langsung adalah metode pemilihan

penyedia jasa untuk pekerjaan yang memenuhi kriteria keadaan tertentu dan keadaan

khusus, dengan cara penunjukkan langsung terhadap 1 (satu) penyedia jasa.

2.2. E-procurement

Berikut adalah definisi, tujuan serta manfaat dari e-procurement:

2.2.1. Definisi, Tujuan dan Manfaat E-procurement

E-procurement merupakan suatu proses pengadaan yang mengacu pada

penggunaan internet sebagai sarana informasi dan komunikasi (Brandon-Jones, et al.,

2005). Proses pengadaan barang dan jasa dengan sistem e-procurement

memanfaatkan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi yang digunakan untuk


12

mendukung proses pelelangan umum secara elektronik. Pada tahun tahun 2010

terdapat 48 (empat puluh delapan) departemen atau instansi

pemerintah di Indonesia baik di pusat maupun di daerah yang sudah menerapkan

sistem e-procurement (LKPP, 2009). Aplikasi e-procurement diharapkan mampu

membawa manfaat bagi para penggunanya seperti adanya standardisasi proses

pengadaan, terwujudnya transparansi dan efisiensi pengadaan yang lebih baik,

tersedianya informasi harga satuan khusus di kalangan internal serta mendukung

pertanggung-jawaban proses pengadaan.

Dari penerapan e-procurement telah diperoleh beberapa manfaat seperti yang

dijelaskan oleh (Teo et al., 2009) membagi keuntungan dari e-procurement menjadi 2

yaitu keuntungan langsung (meningkatkan akurasi data, meningkatkan efisiensi

dalam operasi, proses aplikasi yang lebih cepat, mengurangi biaya administrasi dan

mengurangi biaya operasi) dan keuntungan tidak langsung (e-procurement membuat

pengadaan lebih kompetitif, meningkatkan customer services, dan meningkatkan

hubungan dengan mitra kerja). Selain itu (Panayitou et al., 2004) juga menambahkan

yaitu e-procurement dapat mengurangi supply cost (rata-rata sebesar 1 %),

mengurangi Cost per tender (rata-rata 20% cost per tender); e-procurement

memungkinkan konsolidasi sumber sehingga dengan adanya jaringan elektronik

antar-organisasi diyakini dapat meningkatkan koordinasi antara perusahaan dengan

mengurangi biaya dalam mencari barang dan jasa yang sesuai. Perusahaan-

perusahaan berskala besar dengan anggaran TI yang besar lebih mungkin untuk dapat

membangun sistem e-procurement yang sesuai dari e-marketplace. Pengadaan adalah

kegiatan biaya tinggi dengan dokumen-dokumen yang tidak perlu, biaya bahan, dan

kesalahan, biasanya biaya per transaksi menggunakan e-procurement berkurang

sebesar 65% dari transaksi pengadaan. Memang, tujuan e-procurement tidak untuk
13

menurunkan harga pemasok atau biaya margin tetapi untuk mencapai penghematan

dalam pengadaan dan administrasi. E-procurement juga memberikan lead time

savings (untuk open tender rata-rata 6,8 bulan - 4,1 bulan dan untuk tender terbatas

rata-rata 11,8 bulan-7,7 bulan), peningkatan proses (pemesanan yang simpel,

mengurangi pekerjaan kertas, mengurangi pemborosan, mempersingkat birokrasi,

standarisasi proses dan dokumentasi).

2.2.2. Proses E-procurement

Menurut Marry (2005, p.95) mengemukakan bahwa proses pengadaan

barang, meliputi proses:

 Menentukan persyaratan: menentukan kebutuhan, berdasarkan titik re-order,

pengecekkan rutin saham, dan ramalan berdasarkan pemakaian


 Menentukan sumber daya: mengidentifikasi potensi sumber pasokan
 Pemilihan supplier: membandingkan alternatif pilihan supplier
 Proses order pembelian: menggunakan informasi dari permintaan pembelian

untuk membuat order pembelian


 Menindaklanjuti order pembelian: menegaskan penerimaan order barang
 Menerima barang dan manajemen persediaan verifikasi faktur: apakah faktur

sesuai dengan barang yang telah diterima

Menurut (Darudiato & Wijaya, 2009, p. 38) mengemukakan bahwa pada

umumnya, siklus sistem procurement dimulai dari aktifitas pembuatan permintaan

pembelian (purchase requisition) dari departemen yang membutuhkan berdasarkan

pertimbangan, seperti: saldo persediaan ayng telah mendekati saldo minimum,

kebutuhan bahan baku yang telah diperhitungkan dari rencana kebutuhan bahan baku

untuk pemenuhan order penjualan yang akan dilakukan proses produksi.

Sistem e-procurement memungkinkan untuk melakukan automatisasi

beberapa proses pembelian dan penjualan dimana keikutsertaan perusahaan

diharapkan dapat mengkontrol proses procurement agar lebih efektif, mengurangi

biaya agensi dan meningkatkan produktifitas. Terdapat perbedaan klasifikasi


14

terhadap e-procurement system berdasarkan standar yang berbeda, sebagai contoh

berdasarkan kepada siapa e-procurement di fokuskan. Sistem e-procurement dapat

dikategorikan sebagai buyer centric, supplier centric dan e-marketplace. Hal-hal yang

menjadi dasar pada proses automatisasi e-procurement adalah:

 Tampilan antarmuka web browser.


 Utilisasi dari standard komunikasi internet dan protokol keamanan.
 Software supporting dari proses rekuisisi termasuk persetujuan (approval),

alur kerja dan pemeliharaan katalog produk.

Gambar 2.1 Arsitektur Konseptual E-procurement


Conceptual architecture dapat dilihat pada Gambar 2.1, dimana pembeli

memiliki sistem elektronik didalam melakukan tugasnya. Komunikasi dari

internal customer dan external supplier, datang melalui internet access system,

dimana pembeli dapat memilih barang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan

produksi melalui katalog produk. Persetujuan diselesaikan secara online, yang secara

signifikan dapat mengurangi waktu dan alur kerja melalui jaringan. Proses pembelian

juga dilakukan secara otomatis dan langsung dikirimkan kedalam Enterprise

Resource Planning (ERP) system untuk disimpan, mempermudah proses

pembayaran, dan proses rekonsiliasi jika diperlukan dikemudian hari. Pelayanan

finansial (untuk pembayaran secara kredit) dan pelayanan logistik (untuk pooled

shipments dan cross docking) telah dapat diakses secara online untuk mempercepat

proses-proses tersebut. Keuntungan primer dari arsitektur yang baru adalah


15

peningkatan terhadap penyesuaian dan harga yang terbaik untuk pembelian dari

brand dan jasa secara tidak langsung. Penghematan akan terbagi pada tiga hal

(Poirer, et al., 2003) yaitu:


 Informasi pembelian yang lebih baik untuk meningkatkan kontrak

negosiasi dan manajemen akan menghasilkan penghematan biaya 7% sampai

dengan 27%.
 Peningkatan terhadap penanganan transaksi yang menghasilkan pengurangan

biaya lebih besar dari $100 per transaksi sampai dengan $4 per transaksi.
 Cycle time untuk menyelesaikan transaksi dapat dikurangi dari 30% sampai

dengan 50%, dari saat keluarnya order sampai pengiriman.

2.2.3. Tujuh Tipe E-procurement

Mengacu pada wikipedia, dikatakan bahwa terdapat tujuh tipe utama e-

procurement , yaitu:
1. Web based ERP (Electronic Resource Planning): membuat dan menyetujui

rekuisisi pembelian, penempatan order pembelian dan menerima produk dan jasa

dengan menggunakan sistem piranti lunak berbasis internet.


2. E-MRO (Maintenance, Repair, and Overhaul): sama dengan poin nomor satu

dengan pengecualian bahwa produk dan jasa yang diadakan berkaitan dengan

pemeliharaan, perbaikan, dan pengecekan berkala.


3. E-sourcing: mengidentifikasikan leveransir baru untuk kategori produk yang

spesifik untuk pembelian kebutuhan yang menggunakan teknologi internet.


4. E-tendering: melakukan permintaan untuk informasi produk dan harga kepada

leveransir dengan menggunakan teknologi internet.


5. E-reverse auctioning: menggunakan teknologi internet untuk membeli produk dan

jasa dari sejumlah leveransir yang diketahui maupun yang belum diketahui.
6. E-informing: mengumpulkan dan mendistribusikan informasi pembelian produk

dan jasa dari dan ke kelompok internal dan eksternal dengan menggunakan teknologi

internet.
7. E-marketsites: perluasan dari web based ERP untuk membuka lebih luas rantai

nilai. Komunitas pembeli dapat mengakses penyedia barang dan jasa yang dipilih,
16

memasukkannya ke kerangjang belanja, membuat rekuisisi, mencari persetujuan,

menerima PO (purchase orders) dan proses faktur elektronik dengan integrasi ke

rantai persedian penyedia dan sistem keuangan pembeli.


2.2.4. Perkembangan E-procurement di Indonesia

Tonggak pengembangan e-procurement di Indonesia dimulai tahun 2003

dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Keppres ini, pengadaan

mulai dimungkinkan diproses dengan memanfaatkan sarana elektronik. Walaupun

sudah dimungkinkan dari segi regulasi pengadaan, perkembangan penggunaan e-

procurement di instansi pemerintah belum menunjukkan kemajuan yang berarti.

Hanya di beberapa BUMN yang mulai menerapkan kebijakan e-procurement.

Selain permasalahan rendahnya pelayanan publik pada instansi pemerintahan,

kegiatan pengadaan barang dan jasa pada sektor publik masih mempunyai banyak

masalah baik itu prosedur maupun hasilnya. Prinsip dasar pengadaan barang dan jasa

yang sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

tahun 2003 yaitu efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil, dan

akuntabel, masih menyisakan berbagai kasus korupsi yang banyak ditemukan

(KPKGov, 2009), dan e-Procurement bisa menjadi salah satu solusinya.

2.2.5. E-procurement dan hubungannya dengan organisasi

Dalam penggunaan e-procurement di Indonesia saat ini, ada beberapa faktor

yang mempengaruhi penerapan e-procurement dalam organisasi atau perusahaan di

Indonesia. Berikut adalah lima faktor utama yang mempengaruhi penerapan e-

procurement, yaitu (Harland, et al., 2008, pp. 51-62):

1. Faktor Organisasional
Yang muncul pertama dalam mempengaruhi penerapan e-procurement adalah

ukuran dan jenis kegiatan. Sistem e-procurement lebih bagus digunakan dalam
17

organisasi yang besar ketimbang organisasi kecil. Small to Medium Enterprises

(SMEs) sering mengalami keterlambatan atau lag ketimbang penerapan pada

perusahaan yang
besar (ISM-Information System Management/Forrester research, 2003).

Keterlambatan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: sikap pemilik

perusahaan yang tidak mendukung teknologi, miskin sumber daya, infrastruktur IT

yang kurang memadai dan mahal, keterbatasan pengetahuan, minimnya keahlian

dalam sistem informasi. Walaupun begitu, penerapan e-procurement tetap dapat

berjalan dalam SMEs dengan berbasis situs perusahaan korporasi (Weber & Berlak,

2007). Beberapa tipe operasi organisasional terlihat menjanjikan dengan

menggunakan e-procurement. Penggunaan e-procurement seringkali digunakan

untuk transaksi pengadaan secara berulang dari penyedia barang/jasa, tanpa

intervensi manusia dan kertas kerja dan seringkali menghasilkan peningkatan

efesiensi performa untuk pembeli dan penyedia barang/jasa (Melville, et al., 2004, p.

283). Rutinitas dan pengulanan dalam sistem pengadaan akan mengingkatkan

efesiensi dalam proses ini dan menghasilkan level yang lebih tinggi dalam integrasi

elektronik anatara pembeli dan penyedia barang/jasa (Choudhury, 2008).


2. Faktor Kesiapan
Kesiapan organisasi dan tekanan eksternal organisasi sangat mempengaruhi strategi

e-bisnis. Banyak perusahaan mengalami beberapa masalah dalam

mengimplementasikan proyek e-bisnis yang berkaitan dengan keputusan yang

tergesa-gesa, piranti lunak yang tidak jelas, dan seringkali tidak ada dasar secara

teoritis yang mendeterminasikan aplikasi apa yang paling tepat. Untuk mendapatkan

keuntungan yang maksimal, pembelian harus dievaluasi dan ditingkatkan sebelum

diadaptasikan dengan aplikasi e-procurement.


3. Faktor Persediaan
E-procurement lebih dapat dikatakan memberikan keuntungan dalam penyebaran

rantai persediaan menjadi lebih terintegrasi. Beda pemain dalam rantai persediaan
18

berarti beda kekuatan, legitimasi, dan kebutuhan dalam penggunaan e-procurement,

dan e-procurement dapat memberikan efek pada kepercayaan hubungan rantai

persediaan. Kurangnya bantuan dan kelembaman struktural dari organisasi besar

dalam rantai persediaan dapat mengurangi rangsangan implementasi e-bisnis.

Keuntungan terbaik dari e-bisnis terletak jika aplikasi terintegrasi secara penuh

sepanjang supply chain. E-procurement lebih baik digunakan jika dirasa penyedia

barang/jasa
memiliki kemampuan untuk berurusan dengan sistem ini; Hal ini dikarenakan ada

beberapa kesulitan dalam mengintegrasikan sistem informasi melewati batasan-

batasan perusahaan dalam rantai persediaan jika penyedia tidak memiliki

kemampuan yang mendukung (Bagchi & Skjott-Larsen, 2003).


4. Faktor Strategik
Perusahaan memungkinkan untuk menggunakan teknologi elektroniik sebagai bagian

untuk melengkapi strategi bisnisnya, mendukung untuk meningkatkan performa

perusahaan dan meningkatkan keunggulan kompetitif. Penggunaan e-bisnis dalam

strategi telah dipertimbangkan dalam beberapa pembelajaran, dana bagaimana

strategi e-bisnis diselaraskan dengan keseluruhan strategi perusahaan. Internet hanya

akan menjadi sumber daya yang sangat baik dalam keunggulan kompetitif jika

diintegrasikan dengan strategi perusahaan (Porter, 2001). E-bisnis strategi harus

dispesifikasikan dengan tujuan, dan konteks dari aplikasi (Soliman dan Youseff,

2001). Pilihan ini harus sejalan dengan puluhan organisasi dan manajerial, dan

diintegrasikan dengan proses organisasi (Graham dan Gardaker, 2000).

Kesimpulannya, jika organisasi secara strategis menggunakan e-procurement,

mereka seharusnya memiliki spesifik strategi dalam e-procurement, dan semua ini

akan sejalan dengan strategi organisasional yang lebih luas.


5. Faktor Kebijakan Hukum
Procurement publik dapat digunakan untuk mendukung kebijakan pemerintah yang

lebih luas, baik penggunaan procurement secara tradisional dan menggunakan


19

elektronik. E-procurement dalam ruang lingkup publik dapat dilihat dari alat

kebijakan untuk mendukung penyampaian kebijakan procurement publik,

meningkatkan transparansi, dan efesiensi. E-procurement dapat membantu

pemerintah untuk menjalankan bisinisnya (dalam BUMN) dengan mengurangi biaya

transaksi, membuat keputusan lebih baik, dan lebih bernilai. Jika dilihat kebijakan

procurement publik saat ini, kebijakan tersebut dapat digunakan untuk membantu

perbaikan bermasyarakat. Arrowsmith (1995) membuktikan dalam penelitiannya

yang menggambarkan bahwa pengeluaran pemerintah yang merupakan instrumen

dari kebijakan sosial dan industri menggunakan procurement dengan penempatan

kontrak untuk membantu tujuan pembangunan regional, atau meningkatkan

kompetitif industri untuk memproduksi suatu produk dan jasa yang berkualitas

dengan harga yang kompetitif.


2.2.6. Kelebihan dan Kekurangan E-procurement

Adapun kelebihan e-procurement seperti yang dikutip dari (Satyawira, 2009) adalah:

1. Pengurangan harga pembelian barang (5%-20%)

- Lebih banyak sumber pasokan yang dapat diakses, pemasok baru lebih mudah

diperoleh, mendapatkan harga yang lebih kompetitif, meluaskan jangkauan

geografis.

2. Pengurangan waktu proses pembelian (25%-30%)

- Mempercepat mencari sumber pembelian, mempercepat waktu permintaan

penawaran, mempercepat waktu pengiriman penawaran, mempercepat waktu

evaluasi penawaran, mempercepat waktu pengeluaran pesanan, mempercepat waktu

penindak lanjutan, mempermudah pelacakan pesanan.

3. Pengurangan waktu proses penagihan dan pembayaran


20

- Akibatnya adalah berpotensi mendapatkan tambahan potongan harga, mengurangi

kesalahan atau ketidak cocokan antara surat pesanan, dokumen penerimaan dan

tagihan.

4. Pengurangan biaya administrasi

- Mengurangi/menghilangkan pekerjaan manual dan pekerjaan kertas, meningkatkan

produktivitas pembeli.

5. Peningkatan kemampuan untuk menciptakan/mengelola basis pasokan secara

optimal

- Memperbaiki data pasar, dan memperkecil pengaruh pemuncakan kebutuhan.

6. Memperlancar komunikasi pembeli-penjual

- Lebih cepat dan akurat, persoalan yang mungkin timbul dapat cepat dideteksi dan

diatasi.

7. Menunjang pelaksanaan pembelian tepat waktu (just-in-time purchasing)

- Komunikasi kebutuhan harian, komunikasi pengiriman harian, serta meminimalkan

persediaan.

8. Menunjang pelaksanaan manajemen rantai pasokan (supply chain management)

- Komunikasi informasi antar mata rantai secara transparan (real time), komunikasi

tagihan dan pembayaran secara sinkron dan otomatis.

9. Menunjang pelaksanaan kemitraan pembeli-penjual

- Menunjang komunikasi yang rutin, cepat, akurat, serta menunjang transparansi

antara mitra.

2.2.7. Manfaat E-procurement

Menurut Kalakota (Kalakota & Robinson, 2005, pp. 135-326), manfaat e-

procurement terbagi ke dalam dua kategori utama antara lain:


21

 Manfaat E-procurement bersifat efisiensi, meliputi biaya pengadaan yang

lebih rendah, waktu siklus yang lebih cepat, mengurangi pembeli yang tidak

sah, informasi pelaporan yang terorganisasi dengan baik, dan integrasi yang

lebih dari fungsi pengadaan dengan sistem kontrol dengan perusahaan


 Manfaat E-procurement bersifat efektivitas, meliputi peningkatan kontrol

terhadap rantai pasokan, adanya manajemen data, dan keputusan pembelian

yang berkualitas dalam organisasi yang lebih tinggi.

Sedangkan menurut (Pujawan & Goyal, 2005, p. 165), terdapat banyak

manfaat yang bisa direalisasikan dengan mengimplikasi e-procurement dalam proses

pengadaan. Beberapa keuntungan tersebut antara lain:

 Proses-proses administratif dapat berlangsung lebih cepat, akurat, dan murah,

mengundang supplier untuk memasukkan proposal atau penawaran tidak lagi

dilakukan lewat surat atau fax, tetapi dapat dilakukan dengan fasilitas yang

ada di web. Calon-calon supplier dapat mendapatkan pesan-pesan tersebut

dengan cepat dan akurat dimanapun para supplier berada dan kapan saja,

asalkan tersambung dengan jaringan internet.


 Perusahaan yang menggunakan sistem lelang bisa mendapatkan keuntungan

berupa harga yang jauh lebih murah karena supplier akan sedapat mungkin

menurunkan harga penawaran agar dapat menjadi pemasok perusahaan

(pemenang).
 Perusahaan dapat memperoleh calon-calon supplier yang lebih banyak dari

berbagai tempat sehingga berpeluang untuk melakukan transaksi dengan

supplier yang lebih berkompeten.


 Perusahaan maupun supplier dapat menyelidiki transaksi maupun proses-

proses fisik seperti pengiriman barang, sehingga kedua belah pihak lebih

cepat mengetahui jika munculnya masalah yang membutuhkan penanganan

lebih lanjut.
22

2.2.8. Infrastruktur E-procurement

Menurut (Kalakota & Robinson, 2005), mengemukakan bahwa proses sistem

e-procurement dibedakan menjadi tiga alur kerja yakni alur kerja pemesanan, alur

kerja pemenuhan barang, dan alur kerja pembayaran. Berikut ini adalah penjelasan

dari tiga alur kerja e-procurement, meliputi:

1. Pemesanan / ordering

Pada proses procurement tradisional, seorang admin harus memesan dengan

telepon untuk konfirmasi terlebih dahulu, lalu membuat surat pemesanan

yang akan dikirimkan ke supplier, lalu selanjutnya menunggu konfirmasi dari

supplier untuk dikirimkan, dan kemudian menunggu barang pemesanan

dikirimkan ke perusahaan. Pada proses e-procurement, proses pemesanan

dilakukan secara otomatis menggunakan software procurement dengan

aplikasi berbasis website. Proses pemesanan kepada supplier hanya

menggunakan proses klik pada website, dengan mencari dan memilih barang

yang akan dipesan, kemudian mengirimkan surat pemesanan melalui website

tersebut, lalu menunggu untuk dikonfirmasi mengenai status barang pesanan

tersebut.

2. Pemenuhan / Fulfillment
Manajemen pesanan dibedakan menjadi satu pesanan pembelian pemasok

dan dikirim ke setiap pemasok melalui berbagai cara yang disesuaikan

dengan supplier, pemasok mengirim kembali status pemesanan, dan

pemberitahuan pengiriman ke sistem penjualan untuk pelaporan dan

pelacakan melalui email status pemesanan apakah pesanan telah disetujui

oleh pemasok, dan status pengiriman order, dengan kebanyakan aplikasi


23

pengadaan berbasis web, requstioners juga dapat mengakses informasi status

online order untuk meninjau pesanan rinci dan status item, setelah itu,

perusahaan mengecek apakah barang dikirimkan dari pemasok sesuai dengan

pemesanan.
3. Pembayaran / Payment
Pengolahan pembayaran adalah komponen utama proses pengadaan sukses,

software pembayaran harus mendukung pemrosesan persyaratan perdagangan

yang berlaku, pelporan informasi adalah kunci untuk proses optimasi dan

pengurangan biaya. Sistem pengadaan yang baik harus melacak apa yang

dibeli, oleh siapa, dari siapa, pada apa harga, dan berapa lama waktu yang

dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap langkah dari siklus.


Berikut ini adalah penjelasan mengintegrasikan sistem e-procurement,

antara lain:

 Sistem kontrol stock, dirancang untuk menfasilitasi pengadaan produksi

terkait. Sebagai contoh, sistem ini memberitahukan manajer pembelian saat

jumlah stock telah jatuh dibawah tingkat tertentu dan barang-barang harus

diorder kembali.
 Katalog cd/web, menyajikan penggantian katalog berbasis kertas dengan

fungsi pencarian untuk memudahkan menemukan item tertentu.


 Sistem integrasi berbasis email atau database dengan urutan organisasi,

dengan persetujuan dari pihak manajer dan penempatan order oleh pembeli,

melalui penggunaan sistem ini, maka pesanan dapat dengan cepat diterima

dari satu orang ke orang lain tanpa kehilangan informasi.


 Order entry di situs web, yang memungkinkan para penggunanya untuk

membeli barang-barang langsung di website penjual. Namun, karena tidak

adanya integrasi dengan sistem akuntansi internal, maka proses data

pembelian perlu diolah.


 Sistem akuntansi, yang memungkinkan departemen pembelian untuk

memesan dan sekaligus untuk menyampaikan informasi yang akan digunakan


24

proses akuntansi internal untuk membuat pembayaran setelah menerima

tagihan.
 Integrated e-procurement sistem mengintegrasikan semua fungsi dengan para

pemasok.

2.2.9. LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) di Indonesia

Seperti yang terdapat didalam website LKPP atau Lembaga Kebijakan

Pengadaan barang Pemerintah (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa

Pemerintah, 2009), Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) merupakan unit

kerja penyelenggara sistem elektronik pengadaan barang/jasa yang di dirikan oleh

Kementerian/Lembaga/Perguruan Tinggi/BUMN dan Pemerintah Daerah untuk

memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa

pemerintah secara elektronik.

Terhadap ULP/Pejabat Pengadaan pada Kementerian/Lembaga/Perguruan

Tinggi/BUMN dan Pemerintah Daerah yang tidak membentuk LPSE,dapat

melaksanakan pengadaan secara elektronik dengan menjadi pengguna dari LPSE

terdekat. Selain sebagai unit kerja sebagaimana tersebut diatas LPSE wajib

memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan pasal 15, 16 dan 109 ayat (7) Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008, dan atas pemenuhan hal tersebut LKPP akan

melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaannya.

2.2.9.1. Organisasi dan Fungsi LPSE


Organisasi LPSE sekurang-kurangnya meliputi:
 administrator sistem elektronik;
 unit registrasi dan verifikasi pengguna; dan
 unit layanan pengguna.
Sedangkan LPSE akan menjalankan fungsi sebagai berikut :
 Mengelola Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE);
 Menyediakan pelatihan kepada PPK/Panitia dan Penyedia barang/jasa;
 Menyediakan sarana akses internet bagi PPK/Panitia dan Penyedia

barang/jasa;
25

 Menyediakan bantuan teknis untuk mengoperasikan SPSE kepada

PPK/Panitia dan Penyedia barang/jasa;


 Melakukan pendaftaran dan verifikasi terhadap PPK/Panitia dan Penyedia

barang/jasa.

2.3. Partisipasi E-marketplace

Teknologi baru ini memungkinkan produsen untuk menghubungi pengguna

akhir secara langsung dan membantu penyedia layanan perantara elektronik, untuk

mengeksploitasi IT dengan menghubungkan penjual dan pembeli. Internet

memungkinkan proses bisnis agar sesuai dengan permintaan untuk meningkatkan

kecepatan dan efisiensi pada biaya yang lebih rendah. E-marketplace dapat dianggap

sebagai platform organisasi yang memungkinkan peserta pengadaan untuk bertukar

informasi tentang harga dan penawaran. Berdasarkan konsep e-hub, Albrecht et al.

menyatakan bahwa B2B e-marketplace dapat dilihat sebagai ruang di mana pembeli

dapat menemukan produk dan jasa baru dimana penjual dapat mengidentifikasi

peluang pasar baru dan mencari pelanggan baru, sehingga menurunkan biaya

transaksi untuk kedua. Peran e-marketplace adalah lebih kepada pencocokan pembeli

dan penjual. Beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi e-marketplace adalah:

1. Efisiensi dalam penghematan biaya dan waktu. E-marketplace dapat

memberikan akses pemasok ke tingkat yang lebih tinggi dari otoritas

pengambilan keputusan dalam membeli organisasi.


2. Legitimasi karena organisasi harus membenarkan tindakan mereka dan

melakukan sesuai dengan norma-norma sosial dan harapan kelembagaan.


3. Kemampuan IT diperlukan, perusahaan membutuhkan infrastruktur yang baik

untuk mendapatkan manfaat dari partisipasi pasar. Membangun keunggulan

kompetitif yang berkelanjutan sekaligus meningkatkan partisipasi perusahaan


26

e-market tidak mudah atau murah. Namun, kurangnya partisipasi dapat

mengakibatkan sebuah perusahaan menjadi terisolasi.

2.4. Kepercayaan (sebagai variabel moderator)

(Quigley, et al., 2007, pp. 71-88) mendefinisikan kepercayaan sebagai

keyakinan bahwa sebuah perusahaan atau institusi membuat upaya untuk memenuhi

komitmen, jujur, dan tidak berusaha untuk mengambil keuntungan yang tidak adil

dari peluang. (Richard, et al., 2007, pp. 927-945) menunjukkan bahwa kepercayaan

telah dikonseptualisasikan sebagai kesediaan untuk mengandalkan mitra pertukaran

diantaranya seseorang yang memiliki keyakinan dalam keandalan dan integritas. Son

et al. menunjukkan bahwa keandalan dan integritas dari mitra yang dapat dipercaya

sering dikaitkan dengan kompetensi, tolong-menolong, kebajikan, keadilan,

tanggung jawab, konsistensi, dan kejujuran. Kepercayaan tidak hanya memfasilitasi

loyalitas melalui pengurangan persepsi resiko, tetapi juga melalui peningkatan yang

akan dirasakan pelanggan dalam nilai hubungan yang dibangun melalui komunikasi

dua arah yang positif dan intens.

Kepercayaan memiliki efek moderat pada proses dan perilaku (McKnight &

Chervany, 2005, pp. 874-888). Ini memfasilitasi transaksi bisnis antara dua pihak

dalam lingkungan ekonomi impersonal di mana pihak yang kurang berpengalaman

sebelumnya agar dapat saling percaya. Penyedia B2B e-marketplace secara tidak

langsung juga harus membangun kepercayaan, mereka akan gagal jika peserta tidak

mempercayai mereka. McKnight dan Chervany mengusulkan empat komponen

kepercayaan dalam hubungan B2B: kompetensi, kebajikan, integritas, dan

prediktabilitas, dengan mengadopsi empat dimensi yang sama, kemampuan,

keramahan, keamanan dan prediktabilitas, penjelasannya adalah sebagai berikut:


27

1. Kemampuan: kompetensi e-marketplace, keahlian teknis, pengetahuan, dan

kemampuan untuk menjalankan perannya.


2. Keramahan: perilaku kebajikan terjadi ketika peserta percaya bahwa e-

marketplace ramah dan peduli tentang mereka dan bahwa para pihak tidak

akan mengambil keuntungan dari mereka (McKnight & Chervany, 2005). Ini

tidak berarti perilaku sepihak oleh penyedia terhadap semua peserta,

melainkan adalah perilaku bilateral antar semua.


3. Keamanan: menyiratkan keadilan, integritas, tanggung jawab, dan komitmen

bahwa peserta merasakan kehandalan dan keamanan ketika mereka

melanjutkan dengan transaksi. Selain itu, peserta juga harus merasa aman,

dapat diterima, dan akan menindaklanjuti janji-janji dan kewajiban etis.

Dengan demikian, keselamatan melibatkan karakter penyedia e-marketplace

daripada hubungan pembeli-pemasok.


4. Prediktabilitas: keyakinan bahwa e-marketplace akan memberikan

pengetahuan yang cukup dan informasi yang akurat kepada para peserta agar

mereka dapat membuat prediksi dan penilaian.

2.5. Kinerja
Pada dasarnya, sebuah perusahaan atau lembaga tentu membutuhkan

karyawan sebagai tenaga kerja yang meningkatkan produk dan layanan yang

berkualitas. Mengingat karyawan dianggap merupakan bagian asset perusahaan yang

penting dalam memberikan kontribusi kepada perusahaan untuk memperoleh kinerja

yang baik serta mampu berkompetisi. Menurut Wibowo (2007:7) kinerja merupakan

hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi,

kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Menurut Ratundo &

Sackett (2010:76) mendefinisikan kinerja adalah kegiatan yang mencakup semua

tindakan atau perilaku yang dikontrol oleh individu dan memberi kontribusi pada

pencapaian tujuan-tujuan perusahaan. Haryanja (2005) yang dimaksud dengan


28

kinerja adalah hasil kerja yang dihasilkan oleh pegawai atau perilaku nyata yang

ditampilkan sesuai dengan perannya dalam organisasi. Mangkunegara (2002)

mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang

dicapai oleh pegawai oleh dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung

jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Mathis (2006:113) kinerja adalah apa

yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Dari teori-teori diatas dapat

disimpulkan bahwa kinerja adalah proses pencapaian tujuan organisasi dan hasil dari

usaha sumber daya manusia itu sendiri dalam sebuah organisasi.

2.5.1. Pengukuran Kinerja


Menurut Robertson (2002) menyatakan pengukuran kinerja merupakan

sebuah proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran

yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya

dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas, perbandingan hasil kinerja dengan

target dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Pengukuran kinerja

merupakan sesuatu yang kompleks dan merupakan tantangan besar bagi para peneliti

(Beal,2000) karena sebuah konstruk kinerja yang bersifat multidimensional dan oleh

karena itu pengukuran kinerja dengan dimensi pengukuran tunggal tidak mampu

memberikan pemahaman yang komprehensif (Bhargava et al,1994). Sehingga

pengukuran kinerja hendaknya menggunakan atau mengintegrasikan pengukuran

yang beragam (multiple measures) (Bhargava et al,1994; Venkatraman &

Ramunajam,1986). Beal (2000) mengemukakan bahwa belum ada konsensus

tentang ukuran kinerja yang paling layak dalam sebuah penelitian dan ukuran-ukuran

obyektif kinerja yang selama ini dipakai dalam banyak penelitian masih banyak

kekurangan. Untuk menngantisipasi tidak tersedianya data-data kinerja obyektif

dalam sebuah penelitian, maka dimungkinkan untuk menggunakan ukuran subyektif,


29

yang mendasarkan pada persepsi manajer (Beal,2000). Zahra and Das (1993)

membuktikan bahwa ukuran kinerja subyektif memiliki tingkat reliabilitas dan

validitas yang tinggi. Disamping itu penelitian Voss & Voss (2000) menunjukkan

adanya korelasi yang erat antara ukuran kinerja subyektif dan ukuran kinerja

obyektif.

2.5.2. Tujuan Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja merupakan bagian terpenting dari proses pengendalian

manajemen baik organisasi publik, instansi pemerintah, maupun swasta, tujuan

dilakukan pengukuran kinerja adalah:

- Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi


- Menyediakan sarana pembelajaran pegawai
- Memperbaiki kinerja periode berikutnya
- Memberikan pertimbangan yang sistematis dalam pengambilan keputusan

pemberian reward dan punishment


- Memotivasi karyawan

2.6. Kerangka

Berpikir
30

Tender Pengadaan

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir

Sumber: Peneliti (2013)

 Implementasi E-procurement: penerapan teknologi yang dirancang untuk

mencari, mengutip, dan memperoleh barang atau sumber daya oleh perusahaan

melalui website.
 Partisipasi E-marketplace: perusahaan berperan dalam sebuah platform yang

memungkinkan pembeli bisnis dan pemasok untuk saling memenuhi, berdagang,

bertukar informasi dan berkolaborasi secara elektronik.


 Kepercayaan: memainkan peranan penting bagi perusahaan yang berencana

untuk mengadopsi e-procurement dan berpartisipasi dalam e-market. Ini

merupakan faktor moderat dalam penelitian, sebagaimana ini merubah hubungan

antara implementasi e-procurement dan partisipasi e-marketplace. Kepercayaan


31

diukur dengan tingkat kemampuan untuk menanamkan kepercayaan, keramahan,

keamanan, dan prediktabilitas.


 Kinerja perusahaan: melibatkan efisiensi, kinerja penjualan, dan kepuasan

pelanggan dan pengembangan hubungan. Kinerja penjualan diukur dengan

menilai peningkatan pangsa pasar, volume penjualan, akuisisi pelanggan, dan

kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan diukur dengan menilai perubahan

dalam kepuasan secara keseluruhan dari pelanggan, kata pelanggan dari mulut ke

mulut, dan peralihan pelanggan. Pengembangan hubungan diukur dengan menilai

perbaikan dalam kekuatan dan jangka waktu hubungan mitra dengan pemasok.

2.7. Hipotesis

 Hipotesis I

H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan implementasi e-procurement terhadap

partisipasi e-marketplace pada LPSE Pemda Kabupaten Bekasi.

Ha: Ada pengaruh yang signifikan implementasi e-procurement terhadap partisipasi

e-marketplace pada LPSE Pemda Kabupaten Bekasi.

 Hipotesis II

H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan kepercayaan sebagai variabel moderator

terhadap implementasi e-procurement dan partisipasi e-marketplace pada LPSE

Pemda Kabupaten Bekasi.

Ha: Ada pengaruh yang signifikan kepercayaan sebagai variabel moderator terhadap

implementasi e-procurement dan partisipasi e-marketplace pada LPSE Pemda

Kabupaten Bekasi.

 Hipotesis III

H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan partisipasi e-marketplace terhadap kinerja

pengadaan pada LPSE Pemda Kabupaten Bekasi.


32

Ha: Ada pengaruh yang signifikan partisipasi e-marketplace terhadap kinerja

pengadaan pada LPSE Pemda Kabupaten Bekasi.

Anda mungkin juga menyukai