Anda di halaman 1dari 22

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat yang khas ditandai oleh
adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada
dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf
sensoris dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela
zoster endogen yang menetap dalam fase laten di ganglia sensoris.2,8

3.2 Epidemiologi
Angka kejadian herpes zoster tergantung pada prevalensi varisela dan belum
ada bukti yang menyebutkan bahwa herpes zoster dapat ditularkan dengan kontak
langsung dengan orang yang menderita varisela atau herpes zoster. Insiden herpes
zoster ditentukan oleh faktor yang mempengaruhi hubungan antara host dan virus.
(Straus et al, 2008)
Di dunia, insiden herpes zoster tidak banyak diteliti, diperkirakan 2-3 kasus
tiap 1000 penduduk tiap tahun (rata-rata 750.000 kasus tiap tahun). Insiden yang
sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi, karena banyak kasus ringan yang tidak
mendapat perhatian bagi pelayan kesehatan dan tetap tidak terdiagnosis.
Insidennya meningkat terutama pada individu dengan penurunan sistem kekebalan
tubuh atau pada orang tua, insidennya mencapai 50%.3
Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur
dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia
yaitu sejak lahir – 9 tahun: 0,74 / 1000; usia 10 – 19 tahun: 1,38 / 1000; usia 20-29
tahun: 2,58 / 1000. Lebih dari 66% mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari
10% mengenai usia dibawah 20 tahun dan 5% mengenai usia kurang dari 15
tahun.9
Hampir 50% individu dengan usia di atas 80 tahun diperkirakan pernah
3
mengalami herpes zoster. Faktor resiko lainnya adalah disfungsi imun seluler.
Pasien yang mengalami penekanan sistem imun memiliki resiko 20-100 kali lebih
besar dibandingkan pasien dengan imuno kompeten dengan umur yang sama.
Kondisi imuno supresi yang berhubungan dengan tingginya resiko herpes zoster
adalah infeksi human immunodeficiency virus (HIV), transplantasi sumsum
tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi, dan penggunaan
kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi oportunistik pada orang yang
terinfeksi HIV, dan pada individu lain, herpes zoster merupakan pertanda awal
adanya defisiensi imun. (Straus et al, 2008)
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh
musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedan angka kesakitan
antara laki-laki dan perempuan, angka kesakitan meningkat seiring dengan
peningkatan usia.2 Ras kulit hitam dikatakan mempunyai resiko lebih rendah
dalam mengalami penyakit ini bila dibandingkan dengan ras kulit putih.3

3.3 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh VZV (Varicella Zoster Virus) dan tergolong
virus DNA. Virus ini berukuran 150-200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes
viridae. Virus ini mempunyai sifat khas yang menyebabkan infeksi primer pada
sel epitel, setelah infeksi primer biasanya virus menetap dalam bentuk laten di
dalam ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan
kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran
penjamu yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta
mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA
polymerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang disintesis di
dalam sel yang terinfeksi.10
Varicella zoster virus (VZV) adalah anggota keluarga virus herpes. Virus lain
yang patogenik pada manusia adalah herpes simplex virus-1(HSV-1) dan HSV-
2,cytomegalovirus, Eipstein-Barr virus, human herpes virus-6 (HHV-6) dan HHV-
7, yang menyebabkan roseola. Dan Sarkoma Kaposi yang berhubungan dengan
virus herpes dikenal sebagai HHV-8.Gen VZV mengkode sekitar 70 gen yang
kebanyakan memiliki rangkaian DNA dan memiliki fungsi yang homolog dengan
gen pada virus herpes lainnya. Secara cepat produk gen meregulasi replikasi VZV.
Produk gen seperti virus-specific thymidine kinase dan polimerase DNA virus
mendukung replikasi virus. (Johnson et al, 2009)
Gambar 2. Varicella zoster virus ( Burns, 2004)

3.4 Patogenesis
Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varisela dan herpes zoster.
Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varisela, oleh karena itu
varisela dikatakan infeksi akut primer sedangkan bila penderita varisela sembuh
atau dalam benuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan
muncul adalah herpes zoster.2
Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini
virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia yang
sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam
sistem retikuloendotelial, selanjutnya mengadakan replikasi kedua yang sifat
viremianya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan
mukosa.2 Sebagian virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris dan
ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion
sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus
tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai
kemampuan berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi
virus tersebut dapat diakibatkan oleh keadaan yang menurunkan imunitas seluler
seperti pada penderita karsinoma, penderita yang mendapat pengobatan
imunosupresif termasuk kortikosteroid dan pada orang yang menerima
transplantasi. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan kembali bermultiplikasi
sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion sensoris. Kemudian virus
akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak dan melalui saraf sensoris
akan sampai ke kulit yang kemudiaan dapat menyebabkan timbulnya gejala
klinis.10 Jadi, selama antibodi yang beredar di dalam darah masih tinggi, reaktivasi
dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana
antibodi tersebut turun dibawah level kritis, maka terjadilah reaktivasi virus
sehingga terjadi herpes zoster.2
Secara ringkas, pathogenesis penyakit herpes zoster dapat digambarkan
sebagai berikut: Varisela: virus  mukosa saluran nafas atas  multiplikasi 
pembuluh darah dan limfe  kulit  lesi primer  saraf perifer  ganglion
dorsalis  infeksi laten.
Herpes zoster  virus teraktifasi  saraf perifer  kulit  lesi.
Varisela terjadi di semua belahan dunia dan ditularkan melalui infeksi
droplet dari nasofaring. Pasien berada dalam fase infeksius pada hari ke-2 atau
sebelum hari ke-5 setelah timbulnya ruam. Cairan vesikel mengandung banyak
virus dan perannya dalam transmisi tidak diketahui. Lesi yang kering tidak
bersifat infeksius.(James et al, 2006)
Zoster umumnya bermanifestasi pada satu atau lebih ganglion spinalis
posterior atau ganglion saraf kranial, hal ini agaknya terjadi karena partikel virus
bersembunyi di dalam ganglia dalam fase dorman sejak episode awal varisela. Hal
ini menyebabkan timbulnya nyeri di sepanjang dermatom sensoris yang
berhubungan dengan ganglion tersebut. (Straus et al, 2008)
Herpes zoster terjadi paling sering di dermatom yang memiliki densitas
tertinggi untuk dicapai oleh varisela yaitu saraf trigeminal dan ganglia spinalis
sensoris dari T1-L2. Reaktivasi VZV berhubungan dengan keadaan imuno
supresi, stres emosional, tumor yang menyerang ganglion dorsal, trauma lokal
atau manipulasi pada pembedahan spinal dan sinusitis frontal. (Johnson et al,
2009)
Cidera pada saraf perifer dan ganglion saraf memicu sinyal nyeri afferent,
begitu pula inflamasi pada kulit memicu pengeluaran sinyal nosireseptor yang
selanjutnya memperberat nyeri pada kulit. Pengeluaran asam amino eksitatori dan
neuropeptida yang terjadi secara berlebihan dicetuskan oleh impuls afferent
selama fase prodormal dan akut pada herpes zoster menyebabkan rusak dan
hilangnya interneuron inhibitor pada ganglion spinalis. Rusaknya saraf pada
ganglion dan saraf perifer sangat penting dalam patogenesis dari neuralgia
pascaherpetik. Kerusakan saraf afferent primer dapat menyebabkan saraf ini
hipersensitivitas dan aktif secara spontan terhadap rangsangan perifer. Dimana
secara klinis mekanisme ini berakhir pada allodynia (Nyeri ataupun sensasi yang
tidak menyenagkan yang terjadi oleh rangasangan normal yang tidak
menyakitkan).(Straus et al, 2008)
Fungsi normal sensoris tubuh mengalami perubahan pada pasien dengan
neuralgia pascaherpetik. Dalam salah satu studi dikatakan hampir semua pasien
memiliki daerah bekas luka yang insensitive untuk nyeri, dengan sensasi yang
abnormal terhadap sentuhan ringan ataupun perubahan suhu pada dermatom yang
terkena. Nyeri umumnya dipengaruhi oleh gerakan (allodynia mekanis) atau
perubahan suhu (allodynia hangat ataupun dingin). (Kost et al, 1996)
Rasa nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia
pascaherpetik bersifat neuropatik dan merupakan hasil dari cedera yang terjadi
pada susunan saraf tepi dan perubahan pada penghantaran sinyal pada sistem saraf
pusat. Akibat cidera yang terjadi, sususan saraf yang terkena dapat teraktivasi
secara spontan, serta memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah dan
memberikan tanggapan yang berlebihan terhadap suatu rangsangan. Peubahan-
perubahan yang terjadi ini begitu rumit sehingga tidak ada pendekatan terapi
tunggal untuk menagani kelainan ini.(Kost et al, 1996)

3.5 Manifestasi Klinis


Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi
pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang
timbulnya erupsi dan bervariasi mulai dari perasaan kesemutan, sensasi seperti
terbakar hingga perasaan sakit seperti tertusuk. Nyeri ini dapat menetap atau
bersifat hilang timbul dan biasanya diikuti oleh adanya nyeri tekan dan hiperestesi
kulit pada dermatom yang terkena. Nyeri ini menyerupai nyeri yang terjadi pada
peradangan pleura, infak miokard, ulkus duodenum, kolesistitis, kolik bilier atau
kolik renal, apendiksitis, prolaps diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan
terjadinya suatu kesalahan diagnosis dan penanganan.2 Gejala prodromal sistemik
(demam, pusing, malaise), maupun gejala prodromal lokal (mialgia, pegal, dan
sebagainya) dapat terjadi biasanya 1-3 minggu sebelum timbul ruam di kulit.5,10
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata
dan unilateral, jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi
terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensoris.
Lokasi yang sering dijumpai yaitu pada dermatom T3 hingga L2 dan nervus
kranialis V serta nervus VII.2,10
Lesi awal berupa makula dan papula yang eritematosa, kemudian dalam
waktu 12 – 24 jam akan berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi
pustul pada hari ke 3 – 4 dan akhirnya pada hari ke 7 – 10 akan terbentuk krusta
dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali terjadi infeksi sekunder bakterial. Pada
pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah, dapat terjadi herpes zoster
diseminata dan dapat mengenai alat visceral seperti paru, hati, otak, dan DIC
(disseminated intravascular coagulation) sehingga dapat berakibat fatal. Lesi
pada kulit biasanya sembuh lebih lama dan dapat mengalami nekrosis,
hemorhagik, dan dapat terbentuk parut.5,10
Masa tunasnya 7 – 12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru
yang tetap timbul berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi
berlangsung kira-kira 1 – 2 minggu. Disamping gejala kulit, dapat juga dijumpai
pembesaran kelenjar getah bening regional. Pada susunan saraf tepi jarang timbul
kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat, kelainan motorik lebih sering
terjadi. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas.5
Periode inkubasi virus varisela zoster adalah selama 14 hari (rata-rata 10-23 hari).
1. Gejala prodromal
Gejala prodromal yang timbul antara lain: demam, anoreksia, dan
kelesuan, meskipun gejalanya biasanya ringan dan bisa saja tidak berhubungan
dengan gejala klasik pada zoster. Zoster dapat muncul dengan respon sistemik,
misalnya Gejalanya meliputi fenomena sensoris yang menyerang 1 atau lebih
dermatom kulit pada hari 1-10, yang biasanya berupa nyeri atau parestesi
meskipun jarang terjadi. Nyeri prodormal dapat menstimulasi timbulnya sakit
kepala, iritis, neuritis brakhialis, nyeri kardiak, apendisitis atau penyakit
intraabdomen lainnya yang dapat menyulitkan diagnosis. Setelah timbulnya onset
gejala prodormal, gejala dan tanda yang akan terjadi selanjutnya meliputi:
 Patch eritem yang disertai indurasi, yang mengenai area dermatom yang
terlibat.
 Limfadenopati regional bisa terjadi pada stadium ini atau sesudahnya.
 Lesi yang timbul pada kulit biasanya bersifat unilateral dan alasannya
belum diketahui. (Straus, 2008)
Area yang diinervasi oleh saraf trigeminal, khususnya divisi optalmik dan
trunkus dari T3-L2 adalah area yang paling sering terkena, lesi jarang terjadi pada
area distal dari siku dan lutut. Meskipun lesi individual antara varisela dengan
herpes zoster sulit dibedakan, dimana herpes zoster cenderung berkembang lebih
lambat dan biasanya terdiri dari vesikel dengan dasar eritem. Lesi herpes zoster
diawali dengan makula dan papul eritem yang pertama kali muncul di cabang
supervisial dari saraf sensoris yang terkena. Vesikel terbentuk dalam 12-24 jam
dan berubah menjadi pustul setelah 3 hari. Dan kemudian mengering dan menjadi
krusta dalam 7-10 hari. Krusta biasanya bertahan selama 2-3 minggu. Pada
individu normal, lesi baru akan muncul dalam 1-4 hari. Ruam akan lebih parah
pada orang berusia tua dan timbul dalam durasi yang singkat pada anak-anak.
(Johnson et al, 2009)
Zoster juga dapat melibatkan sistem motorik. Hal ini terjadi pada 5% kasus
dan umumnya terjadi pada pasien berusia tua dan menderita suatu penyakit
keganasan, dan pada pasien dengan penekanan kranial yang melibatkan saraf
spinal. Kelemahan motorik biasanya diikuti dengan nyeri dan erupsi, mulai dari
beberapa hari sampai dengan beberapa minggu. Penyembuhan secara sempurna
diperkirakan sebesar 55% dan dan akan mengalami peningkatan di masa yang
akan datang sebesar 30%. Hernia abdominalis pada terjadi pada zoster yang
melibatkan area motorik T10-T11. Zoster pada area anogenital berhubungan
dengan gangguan defekasi dan urinasi.(James et al, 2006)

Berdasarkan lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:


1. Herpes zoster ophtalmikus
Herpes zoster ophtalmikus merupkan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang
ophtalmikus saraf trigeminus, ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai
gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsung 1
– 4 hari sebelum kelainan kulit timbul, fotofobia, banyak keluar air mata,
kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

Gambar 1. Herpes zoster opthalmikus sinistra

2. Herpes zoster fasialis


Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai
erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra

3. Herpes zoster brakialis


Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra
4. Herpes zoster torakalis
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra


5. Herpes zoster lumbalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
6. Herpes zoster sakralis
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 5. Herpes zoster sakralis dekstra

3.6 Diagnosis
Diagnosis herpes zoster didasarkan pada anamnesis didapatkan keluhan
berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya
lesi. Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit, didahului oleh gejala prodromal
seperti demam, pusing, dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa
eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikel yang dengan cepat
membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih,
setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika
absorpsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta. Pada stadium pra erupsi,
penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya
pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya.
Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari
erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan
dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.2,3,5
Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu
menegakkan diagnosis dengan menemukan sel dantia berinti banyak. Demikian
pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron,
serta tes serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel
limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel
pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi ganglion. Partikel virus dapat
dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat
secara imunofluoresensi.2,8
Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis.
Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang
antara lain: isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan
mikroskop elektron, pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen, tes serologi
dengan mengukur imunoglobulin spesifik.2

3.6.1 Pemeriksaan Laboratorik


Pemeriksaan laboratorik yang dibutuhkan pada kasus herpes zoster antara
lain:
1. Preparat Tzank: Apusan dasar vesikel atau cairan vesikel menunjuukkan
sel yang besar dengan nukleus yang banyak pada sel epidermal.
2. Kultur virus: dengan mengisolasi virus varisela zoster
3. Direct fluorescence antibody test (DFA), dan atau biopsi kulit dapat
membantu menegakkan diagnosis pada kasus yang atipikal. Tes DFA lebih
sensitif dibandingkan kultur virus konvensional karena labilitas VZV.
Zoster memiliki kecenderungan 7 kali lebih besar pada pasien yang
terinfeksi HIV. Jadi, jika ada indikasi klinis HIV pada pasien, lakukan tes
HIV. Penelitian pada populasi rumah sakit menunjukkan adanya
peningkatan insiden zoster pada pasien dengan kanker, khususnya yang
menyerang sistem limforetikuler. Meskipun demikian, studi prospektif
pada pasien yang tidak dirawat di RS tidak menunjukkan perbedaan dalam
insiden antara pasien dengan keganasan dengan pasien tanpa menderita
penyakit keganasan. (Straus et al, 2008)
3.6.2 Pemeriksaan Histologi
Diagnosis klinis hampir selalu dapat ditegakkan. Biopsi diindikasikan
untuk kasus yang sulit untuk didiagnosis. Pada kesempatan yang jarang dimana
biopsi dibutuhkan, gambaran histologi yang ditemukan mirip dengan herpes
simplek dan varisela (chickenpox). Degenerasi yang menggelembung (menyerupai
balon) dan akantolisis dari keratinosit menghasilkan timbulnya vesikel
intraepidermal. Multinucleated gient cell dengan materi nuklear pada perifer
adalah ciri khasnya. Dengan vaskulitis leukositoklastik yang mendasari dapat
membantu dalam membedakan zoster dari infeksi herpetik lainnya. (Straus et
al, 2008)
Pada herpes zoster stadium akut, terjadi inflamsi pada kulit
serta serabut saraf ganglion dorsal. Inflamasi pada serabut saraf
perifer terjadi selama seminggu sampai sebulan dan biasanya
menyebabkan demielinisasi, degenerasi wallerian , dan sclerosis.
Pada akhirnya mungkin menyebabkan parut pada kulit, saraf
perifer, dan serabut saraf ganglion dorsal. Perubahan patologis
juga terlihat pada system saraf pusat, yaitu degenerasi akut
pada dorsal-horn tulang belakang, unilateral dan segmental
myelitis leptomeningitis, dan keterlibatan segmen tulang
belakang pada tingkat berdekatan dengan lesi kulit yang terkena.
Pada pasien yang telah terkena herpes zoster, atropi dorsal-horn
biasanya ditemukan pada autopsi pasien yang mengalami
neuralgia pascaherpetik.(Kost et al, 1996).
2.7 Diagnosis Banding
1. Herpes Simplek
Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang bergerombol, di
atas dasar kulit yang eritema. Sebelum timbul vesikel, biasanya didahului oleh
rasa gatal atau seperti terbakar yang terlokalisasi, dan kemerahan pada daerah
kulit. Herpes simplek terdiri atas 2 tipe yaitu herpes simplek tipe 1 dan tipe 2.
Lesi yang disebabkan oleh herpes simplek tipe 1 biasanya ditemukan pada
bibir, rongga mulut, tenggorokan, dan jari tangan. Lokalisasi penyakit yang
disebabkan oleh herpes simplek tipe 2 umumnya adalah di bawah pusat,
terutama di sekitar alat genitalia eksterna. Biasanya penyakit ini cenderung
residif di tempat yang sama.5
2. Varisela
Herpes zoster diseminata mungkin dapat dikelirukan dengan varisela ketika
terjadi diseminasi atau penyebaran yang luas dari virus herpes zoster dari area
yang sempit dan tidak terlalu nyeri atau dari ganglion sensoris yang terkena
tetapi tidak menimbulkan erupsi kulit.2
3 Pada nyeri yang merupakan gejala prodromal lokal sering salah diagnosis
dengan penyakit rematik maupun dengan angina pectoris, jika terdapat di
daerah setinggi jantung.5
Diagnosis banding pada herpes zoster dapat dibagi berdasarkan 2 gejala klinis :
1. Stadium prodormal/nyeri lokal: Nyeri prodormal herpes zoster dapat mirip
seperti gejala migren, penyakit kardiak atau paru, abdomen akut, atau
penyakit yang menyerang vertebra.
2. Erupsi dermatom: infeksi zoster bentuk lain seperti herpes zoster, alergi
tumbuh-tumbuhan, dermatitis kontak, impetigo bulosa, erisipelas.(Hefta et
al, 1997)

3.8 Komplikasi
Penyakit herpes zoster dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Secara
garis besar, komplikasi herpes zoster antara lain komplikasi neurologis, kutaneus,
okuler, dan visceral. Kebanyakan komplikasi herpes zoster dikaitkan dengan
penyebaran virus herpes zoster dari ganglion sensoris, saraf, atau kulit baik
melalui aliran darah atau dengan penyebaran neural langsung.2,5
Neuralgia paska herpetik
Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai
beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun,
persentasenya 10 – 15% dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur
penderita maka semakin tinggi persentasenya.2,5
Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.
Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau
berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan
jaringan nekrotik.5
Kelainan pada mata
Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis
paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, dan neuritis optik.5
Sindrom Ramsay Hunt
Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus,
sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit
yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,
nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.2
Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1 - 5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan
virus secara kontinutatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan.
Paralisis ini biasanya muncul dalam dua minggu sejak munculnya lesi. Berbagai
paralisis dapat terjadi di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika
urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.5

3.9 Pengobatan
Penatalaksaan herpes zoster secara garis besarnya bertujuan untuk mengatasi
infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster,
mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.2
Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan
kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan
defisiensi imun.Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan
pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan
badan.2
Pengobatan Khusus
I. Sistemik
1. Obat antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya
valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan per oral ataupun
intravena. Asiklovir hendaknya diberikan pada tiga hari pertama sejak lesi
muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari
selama tujuh hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan
pada pasien yang imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum
obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah
valasiklovir. Valasiklovvir diberikan 3x1000 mg per hari selama tujuh hari,
karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat
dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase.
Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama tujuh hari.2,5
Untuk individu yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya reaktivasi
infeksi VZV, acyclovir oral dapat menurunkan insiden herpes zoster. Untuk
vesikel yang masih aktif, diberikan pengobatan antiviral yang dimulai
kurang dari 72 jam yang akan mempercepat penyembuhan lesi kulit,
mengurangi durasi nyeri akut dan mengurangi frekuensi PHN. (Hefta et al,
1997)
 Pada infeksi primer: Acyclovir topikal-obat yang menghambat
polimerase DNA virus herpes efektif hanya pada durasi singkat dari
penyakit, obat ini harus diberikan sesegera mungkin pada pasien yang
mulai menunjukkan gejala. Steroid (prednisolon 40-60 mg/hari)
diberikan selama stadium akut dari herpes zoster dan mengurangi nyeri
dan postherapetic neuralgia.
 Pada infeksi sekunder: diberikan 1/1000 potassium permanganate atau
topikal atau antibiotik sistemik.( Buxton et al, 2003)
2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh
virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat.
Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak tiga kali,
atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul. Untuk neuralgia
paska herpetik belum ada obat pilihan, dapat dicoba dengan akupungtur.
Obat yang direkomendasikan diantaranya gabapentin dosisnya 1800 mg –
2400 mg sehari. Mula-mula dosis rendah kemudian dinaikkan secara
bertahap untuk menghindari efek samping berupa nyeri kepala dan rasa
melayang. Hari pertama dosisnya 300 mg/hari diberikan sebelum tidur,
setiap tiga hari dosis dinaikkan 300 mg sehari sehingga mencapai dosis
1800 mg/hari.5
3. Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk sindrom ramsay hunt.
Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis.
Yang biasa diberikan ialah prednisone dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah
seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednisone
setinggi itu, imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan
obatt antivirus.5

II. Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel
diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel
agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka.
Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salap antibiotik.5

3.10 Pencegahan
Pencegahan meliputi mencegah infeksi primer (varisela) dengan
memberikan vaksin varisela kepada anak-anak atau dewasa yang rentan terinfeksi
virus ini. Seseorang dengan usia ≥ 60 tahun hendaknya mendapat vaksin zoster
dosis tunggal (sediaan vaksin varisela yang poten), tanpa memperhatikan apakah
sebelumnya seseorang sudah pernah menderita zoster atau belum. Pemberian
vaksin dikatakan dapat menurunkan insiden zoster.8

3.11 Prognosis
Umumnya prognosis baik, walaupun kemungkinan terjadi neuralgia post
herpetik dapat membuat pasien tidak nyaman dan mengurangi kualitas hidup
penderita. Pada herpes zoster ophtalmikus, prognosis bergantung pada tindakan
perawatan secara dini.3,5

3.12 Neuralgia Pasca Herpetika


Neuralgia pascaherpetik adalah komplikasi paling umum dan menakutkan
pada herpes zoster, serta merupakan penyakit neurologis yang paling umum di
Amerika Serikat. Data dari Varicella Zoster Virus Research Foundation di New
York menunjukkan bahwa herpes zoster terjadi pada 850.000 orang di Amerika
setiap tahunnya. Neuralgia pascaherpetik didefinisikan sebagai nyeri persisten
yang terjadi satu bulan setelah penyembuhan ruam hepatic, yang terjadi pada
sekitar sepuluh persen pasien dengan herpes zoster (Watson, 2000)
Neuralgia pascaherpetik ditandai dengan nyeri yang terjadi secara spontan,
dimana nyeri diprovokasi oleh rangsangan yang ringan, dan nyeri ini terjadi lama
setelah penyembuhan ruam herpetik. Banyak pendekatan telah diusulkan untuk
mengobati rasa sakit pada masa akut penyakit ini untuk menghindari
berkembangnya nyeri menjadi neuralgia pascaherpetik dan untuk meringankan
gejala pada neuralgia ini. Namun hanya sedikit dari pendekatan ini yang terbukti
bermanfaat, dan neuralgia pascaherpetik pun masih menjadi sumber frustasi bagi
pasien ataupun klinisi. Pada penulisan refrat kali ini, akan dijelaskan mengenai
patogenesis neuralgia pascaherpetik serta perkembangan dalam pengobatannya
(Kost et al, 1996)
Epidemiologi
Resiko terkena neuralgia pascaherpetik meningkat sesuai dengan
meningkatnya umur. Sedikit sekali anak-anak yang terkena neuralgia
pascaherpetik, sedangkan berturut-turut 27, 47, dan 73 persen peningkatan angka
kejadian neuralgia pascaherpetik pada orang dewasa diatas 55, 60, dan 70 tahun.
Begitu pula dengan lamanya nyeri yang terjadi pada pasien neuralgia
pascaherpetic terjadi peningkatan sesuai dengan peningkatan umur. Nyeri yang
berlangsung lebih dari satu tahun dilaporkan terjadi 4 persen pada penderita usia
diatas 20 tahun, 22 persen pada penderita diatas 22 tahun, dan 48 persen pada usia
diatas 70 tahun. Angka kejadian neuralgia pasca hepertik juga meningkat pada
pasien dengan optalmik zoster dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
laki-laki.(Watson et al, 2000)
Patogenesa
Rusaknya saraf pada ganglion dan saraf perifer sangat penting dalam patogenesis
dari neuralgia pascaherpetik. Kerusakan saraf afferent primer dapat menyebabkan
saraf ini hipersensitivitas dan aktif secara spontan terhadap rangsangan perifer.
Dimana secara klinis mekanisme ini berakhir pada allodynia (Nyeri ataupun
sensasi yang tidak menyenagkan yang terjadi oleh rangasangan normal yang tidak
menyakitkan).(Straus et al, 2008)
Fungsi normal sensoris tubuh mengalami perubahan pada pasien dengan
neuralgia pascaherpetik. Dalam salah satu studi dikatakan hampir semua pasien
memiliki daerah bekas luka yang insensitive untuk nyeri, dengan sensasi yang
abnormal terhadap sentuhan ringan ataupun perubahan suhu pada dermatom yang
terkena. Nyeri umumnya dipengaruhi oleh gerakan (allodynia mekanis) atau
perubahan suhu (allodynia hangat ataupun dingin). (Kost et al, 1996)
Rasa nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia
pascaherpetik bersifat neuropatik dan merupakan hasil dari cedera yang terjadi
pada susunan saraf tepi dan perubahan pada penghantaran sinyal pada sistem saraf
pusat. Akibat cidera yang terjadi, sususan saraf yang terkena dapat teraktivasi
secara spontan, serta memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah dan
memberikan tanggapan yang berlebihan terhadap suatu rangsangan. Peubahan-
perubahan yang terjadi ini begitu rumit sehingga tidak ada pendekatan terapi
tunggal untuk menagani kelainan ini.(Kost et al, 1996)
E. Gejala Klinis
Kelanjutan dari zoster yang paling sering adalah post-herpetic neuralgia
(PHN) secara umum didefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang
selama lebih dari 1 bulan setelah onset zoster. Ini jarang terjadi pada anak-anak
dan insidennya meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini terjadi pada sekitar
30% pasien yang usianya di atas 40 tahun dan lebih sering terjadi dengan
keterlibatan saraf trigeminal. Nyeri tersebut memiliki 2 bentuk, yaitu nyeri seperti
terbakar yang terus menerus disertai hiperestesi dan tipe spasmodik yang timbul
tiba-tiba. Allodinia, nyeri yang secara normal disebabkan oleh stimulus nyeri
sering merupakan gejala tambahan yang terjadi pada 90% orang dengan PHN.
(James et al, 2006)
Diagnosis
Untuk menegakkan neuralgia pascaherpetik bila didapatkan sebagai nyeri
yang menetap atau berulang selama lebih dari 1 bulan setelah onset zoster. (James
et al, 2006)
Penatalaksanaan
Saat pertama kasi didiagnosis, neuralgia pascaherpetik sulit untuk diobati.
Untungnya, penyakit ini dapat sembuh sendiri pada beberapa pasien, walaupun
penyembuhan terjadi setelah beberapa bulan.
A. Pengobatan Topikal
Topikal anestesi menggunakan lidocaine 5% secara signifikan
menunjukkan pengurangan rasa nyeri pada neuralgia pascaherpetik pada suatu uji
klinis terkontrol. Dengan menggunakan koyo berukuran 10cm x 14cm yang
mengandung lidocaine 5% sebagai bahan dasar, perekat ,dan bahan-bahan polister
sebagai tambahan sehingga mudah digunakan dan tidak mengakibatkan efek
samping dari lidocaine. Koyo ini dapat digunakan sampai tiga lembaran koyo
untuk menutupi daerah yang terasa nyeri selama 12 jam perhari. Kerugian
penggunaan koyo ini terdapat pada daerah yang ditutupi, seperti kemerahan
ataupun ruam pada kulit, serta membutuhkan biaya yang besar. (Straus et al,
2008)
Capsaicin dalam dosis tinggi dapat menghilangkan zat P, yaitu suatu
neurotransmitter yang berfungsi sebagai kemomediator antara impuls dari
nosireseptor di perifer ke sistem saraf pusat. Pada suatu uji klinis penggunaan
capsaicin topical dalamwaktu 4 minggu menunjukkan efek yang signifikan dalam
meredakan nyeri pada pasien neuralgia pascaherpetik, dimana 75 persen patien
menunjukkan penyembuhan rasa nyeri. Sayangnya obat salep ini banyak
menyebabkan luka bakar pada banyak pasien. (Kost et al, 1996)
B. Pengobatan Sistemik
Gabapentin menunjukkan angka yang signifikan dalam menurunkan gejala
nyeri pada neuralgia pascaherpetik, yaitu menghilangkan gejala pada 41-43 persen
pasien dengan neuralgia pascaherpetic berbanding 12 – 23 persen pasien yang
menggunakan placebo. Efek samping yang paling sering pada Gabapentin yaitu
somnolen, pusing, dan edema perifer.
Pregabalin menunjukkan dapat menghilangkan gejala pada 50 persen
pasien yang menggunakannya berbanding dengan 20 persen pada placebo. Pusing,
somnolen, dan edema perifer merupakan efek samping utama penggunaan obat
ini, namun pregabalin memiliki komplikasi yang lebih minimal dan onset kerja
yang lebih cepat dibandingkan dengan gabapentin. (Straus et al, 2008)
Tricyclic antidepressant merupakan komponen penting dalam pengobatan
neuralgia pascaherpetik. Karena kemampuanya menghambat pengambilan
kembali norepinephrine dan serotonin, obat ini menurunkan nyeri dengan
meningkatkan penghambatan pada serabut saraf spinal pada persepsi rasa nyeri.
Pada lima uji klini penggunaan tricycclic antidepressant untuk pengobatan
neuralgia pascaherpetik dilaporkan menurunkan sampai menghilangkan rasa nyeri
pada 47 sampai 67 persen pasien dengan neuralgia pascaherpetik. Nortripytyline
dan desipramine adalah obet alternative untuk amitriptyline karena memiliki efek
samping yang lebih minimal.(Kost et al,1996)
Dalam suatu uji klinis, desipramine yang merupakan selective inhibitor of
norepinephrine reuptake juga dilaporkan secara signifikan mengurangi rasa sakit
pada pasien neuralgia pasca herpetic pada pemberian selama tiga sampai enam
minggu. Namun obat ini belum dibandingkan dengan amitriptyline.(Kost et
al,1996)
Obat-obat antikonvulsan dapat menurunkan nyeri pedih pada komponen
nyeri neuropatik. Dalam sebuah studi terkontrol, sebagian besar pasien yang
diobati dengan fenitoin dan natrium valproat melaporkan penurunan gejala nyeri
neuralgia pascaherpetik. Dalam studi double-blind terkontrol, karbamazepin
dilaporkan dapat mengurangi nyeri pedih tetapi tidak efektif untuk sakit yang
terus menerus.(Kost et al,1996)
3. Intervensi Nonpharmacologi
Prosedur pembedahan saraf merupakan jalan terakhir yang dapat diambil
dalam pengobatan neuralgia pascaherpetik dengan nyeri yang tidak tertahankan.
Dalam suatu penelitian kecil dinyatakan pemberian stimulasi listrik pada
cordotomy thalamus dan anterolateral yang dimaksudkan untuk mengganggu jalur
spinotalamikus dapat menurunkan nyeri pada pasien dengan neuralgia
pascaherpetik.
Elektrokoagulasi pada cabang saraf dorsal pada daerah yang terkena
pernah dilakukan, namun teknik ini memiliki resiko besar karena dapat
menyebabkan hemiparese berkepanjangan dan defisit sensorik sehingga
konsensus baru-baru ini tidak menganjurkan penggunaan teknik ini.
Data dari sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa etil klorida semprot
yang dengan cepat dapat menguap dan menyebabkan sensasi beku serta
memberikan stimulasi listrik pada saraf dikatakan dapat menghilangkan rasa sakit
pada beberapa pasien neuralgia pascaherpetik. (Kost et al, 1996)
Pada suatu penelitian uji klinis terkontrol penggunaan intratektal
methylprednisolone-lidokain dilaporkan memberikan efek yang sangat baik dalam
menurunkan rasa nyeri pada neuralgia pascaherperik yaitu sebesar 90 persen
pasien, hal ini berbading dengan 6 persen pada pasien yang hanya mendapatkan
lidokain intratektal. Pada kelompok yang mendapatkan metilprednisolon-lidokain
intratektal jugamenunjukkan perbaikan akan allodynia yang dialaminya yaitu
sebesar 70 persen, berbanding dengan 25 persen pada pasien yang hanya
mendapatkan lidokain intratektal. Dasar dari penelitian ini didasarkan pada proses
inflamasi yang terjadi pada pasien neuralgia pascaherpetik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Davis, C. Shingles [homepage on internet]. c2011 [cited 2011 July 11].


Available from http://www.emedicinehealth.com/shingles/article_em.htm.
Accessed August 22, 2011
2. Straus S, et all. Varicella and Herpes Zoster. In: Freedberg I, Eisen A,
Wolff K, Austen F, Goldsmith L, Katz S (eds). Fitzpatrick’s Dermatology
In General Medicine. 6th ed New York: McGraw-Hill Professional; 2003.
p. 221
3. Eastern J. Herpes Zoster [homepage on internet]. c2011 [cited 2011 May
11]. Available from http://emedicine.medscape.com/article/1132465-
overview#a0199. Accessed August 22, 2011
4. Centers for Diseases Control and Prevention. Shingles (Herpes Zoster)
[homepage on internet]. No date [cited 2011 January 10]. Available from
http://www.cdc.gov/shingles/about/overview.html. Accessed August 22,
2011
5. Handoko P. Penyakit Virus. Dalam: Djuanda A, hamzah M, Aisah S
(editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hal.110-112
6. Tseng H, et all. Herpes Zoster Vaccine in Older Adults and the Risk of
Subsequent Herpes Zoster Disease. JAMA. 2011; 305(2): 160-166
7. Oxman MN: Imunization to reduce the frequency and severity of herpes
zoster and its complications. Neurology. 1995. 45: 541
8. Kaye K. Herpes Zoster [homepage on internet]. No date [cited 2009
December]. Available from
http://www.merckmanuals.com/professional/sec15/ch200/ ch200e.htm
Accessed August 22, 2011
9. Lubis R. Varicella dan Herpes Zoster. Medan: Fakultas Kedokteran
Sumatera Utara; 2008. Hal. 1-13
10. Brooks G, Butel J, Morse S. Herpesvirus. 22 nd ed New York: McGraw-
Hill; 2001. p. 81-111
11. Burns,Tony. 2004. Rook’s textbook of Dermatology, 7 th edition. Chapter
25. USA:25.25
12. Buxton, Paul K. . ABC of Dermatology, 4 th edition. London:
92.
13. Hefta, Joseph& Robert Laffler. 1997. Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology, 3th edition . United State of America:1616.
14. James WD, Berger TG, Elston DM. 2006. Andrew’s Diseases of Skin, 10 th
edition. Chapter 19.Canada: 379.
15. Johnson RA, Klaus W. 2009. Fitzpatrick In colour atlas and synopsis of
clinical dermatology, 6th ed. New York (NY): McGraw-Hill Companies:
837–45.
16. Kotani N, Kushikata T, Hashimoto H, Kimura F, Muraoka M, Yadono M,
et al. 2000. Intrathecal Methylprednisolone for intractable postherpetic
neuralgia. The New England Journal of Medicine.
17. Kost RG, Straus SE. 1996. Postherpetic Neuralgia Pathogenesis,
Treatment, and Prevention. The New England Journal of Medicine.
18. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. 2008. Varicella and
Herpes Zoster. Didalam Fitzpatrick Dermatology in General
Medicine, 7th edition. Chapter 194.USA:1885
19. Taylor & Francis. 2006. Atlas of Women’s Dermatology, 1 st edition. United
Kingom:166.
20. Watson CPN. 2000. A New Treatment for Postherpetic Neuralgia. The
New England Journal of Medicine.

Anda mungkin juga menyukai