Referat Anafilaksis
Referat Anafilaksis
Referat Anafilaksis
REAKSI ANAFILAKSIS/ANAFILAKTOID
BATASAN
Sampai saat ini belum ada definisi klinis anafilaksis yang diterima di seluruh
dunia.
Definisi anafilaksis terbaru dibuat oleh World Allergy Organization (WAO) yang
pada tahun 2004 mendefinisikan anafilaksis sebagai suatu reaksi hipersensitifitas yang
berat dan mengancam jiwa.
Terminologi anafilaksis alergi digunakan apabila reaksi tersebut diperantarai oleh
mekanisme imunologis, yaitu IgE, IgG dan kompleks imun-komplemen. Reaksi
anafilaksis yang diperantarai oleh antibodi IgE, disebut anafilaksis alergi IgE-
mediated.
Reaksi anafilaksis non alergi, sebelumnya disebut reaksi anafilaktoid atau reaksi
pseudo alergi, adalah jika anafilaksis disebabkan oleh penyebab non imunologis. 8
Definisi ini cukup membantu para klinisi, tenaga medis emergensi dan tenaga
kesehatan lainnya yang sering menghadapi pasien yang menunjukkan salah satu
gejala dari pola tanda dan gejala anafilaksis, mendiagnosanya, dan kemudian
memberikan terapi.6
EPIDEMIOLOGI : Nomenklatur Anafilaksis (Revisi)
Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar disebabkan
oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang fatal relatif
Anafilaksis
jarang, pada individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir 1% terjadi
kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi anafilaksis di
Amerika Serikat per tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun (81.000
Anafilaksis Anafilaksis
kasus per tahun). Suatu survey
alergi di Australia menyebutkan 0,59% dari anak-anak
non-alergi
berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis.1
Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih sering
terjadi pada komunitas
IgE daripada di pusat kesehatan. Angka kejadiannya meningkat
Non-IgE
pada individu dengan
mediated status sosioekonomi
mediatedbaik. Insiden tertinggi terjadi pada anak-
anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun, predileksinya adalah pada laki-laki, namun
setelah usia 15 tahun, predileksinya pada dan
Anafilaksis alergi wanita. Terdapat
non alergi 8 kecenderungan perbedaan
faktor pencetus pada kelompok usia yang berbeda-beda, sebagai contoh, anafilaksis
fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya terjadi pada remaja dan dewasa muda,
sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh sengatan serangga, zat-zat yang
digunakan untuk diagnostik, dan obat-obatan terjadi terutama pada usia pertengahan
dan dewasa lanjut.1
ETIOLOGI
Etiologi tersering dari reaksi anafilaksis yaitu alergi makanan, obat-obatan,
sengatan lebah (Hymenoptera) dan lateks. Anafilaksis yang terjadi pada pasien rawat
inap terutama karena reaksi alergi terhadap pengobatan dan lateks, sedangkan
anafilaksis yang terjadi di luar rumah sakit paling banyak disebabkan oleh alergi
makanan.
Anafilaktik (IgE dependent)
Antibiotik: Ekstrak alergen:
Penisilin dan derivatnya Rumput-rumputan atau jamur
Basitrasin Serum (ATS, ADS, Anti bisa ular)
Neomisin Darah
Tetrasiklin Lengkap
Streptomisin, dll Produk
Bahan yang sering dipergunakan untuk Gamaglobulin
Ukas Cukasah, dr., Sp.A(K). 2
Mayoritas kasus reaksi anafilaksis tidak bersifat fatal. Diperkirakan 1-2% kejadian
yang disebabkan penisilin diperberat dengan reaksi sistemik namun hanya 10% yang
bersifat fatal. Di Amerika Serikat sekitar 400-800 orang meninggal per tahunnya
karena anafilaksis akibat penisilin dengan gambaran yang serupa dengan media
kontras. Tujuh puluh persen kematian disebabkan oleh komplikasi pernafasan yaitu
edema laring dan atau bronkospasme dan 25% oleh karena disfungsi kardiovaskular.9
PATOGENESIS
Seperti dibahas diatas anafliaksis alergi selain berdasarkan mekanisme imunologik
juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem saraf otonom. Sistem
parasimpatik (kholinergik) dan sistem simpatik (adrenergik) mempunyai efek yang
berlawanan terhadap organ sasarannya, sehingga keadaan inipun akan mempengaruhi
terhadap keseimbangan antara sel mediator dan sel sasarananya (otot polos).
Reaksi alergi dimulai ketika alergen melewati barier epitel dan atau endotel dan
kemudian berinteraksi dengan 2 molekul antibodi IgE sitotropik yang berikatan
dengan sel (cell bound IgE antibodies) sehingga menimbulkan rangkaian peristiwa
biokimia. Kekuatan barier alami seperti kulit atau saluran cerna harus dapat ditembus,
dan alergen ini harus mencapai sel yang tersensitisasi di jaringan (sel mast) atau darah
(basofil).6
Peristiwa tersebut termasuk aktivasi proesterase (E) menjadi esterse aktif (Ē) yang
menyebabkan agregarsi mikrotubuli dalam sitoplasma mastosit. Mikrotubuli angat
diperlukan untuk pergerakan butir-butir yang mengandung beberapa mediator tertentu
Ukas Cukasah, dr., Sp.A(K). 3
ke arah tepi sel sehingga dapat dilepaskan ke luar sel, yaitu histamin, SRS-A dan
ECF-A. Sebaliknya pembentukan mikrotubuli akan dihambat oleh pembentukan
cAMP dari ATP oleh adenilsiklase karena mikrotubuli akan bercerai-berai. Lagi pula
cAMP dalam sito plasma dalam keadaan seimbang dengan konsentrasi cGMP.
Dengan demikian degranulasi tersebut tergantung dari konsentrasi cAMP dan cGMP.
Maka apapun yang menyebabkan kenaikan kadar cGMP atau penurunan cAMP
akan menimbulkan degranulasi. Perangsangan saraf parasimpatis (misalnya N. Vagus)
akan mendorong produksi asetilkolin yang akan mengubah enzim guanilatsiklase
menjadi aktif. Enzim aktif ini akan mengubah GTP menjadi cGMP. Sedangkan efek
perangsangan parasimpatis ini akan dihambat oleh antagonisnya yaitu atropin.
Dengan mekanisme yang sama perangsangan saraf simpatis akan mempengaruhi
konsentrasi cAMP. Perangsangan saraf simpatis sendiri akan mengakibatkan 2 jenis
efek karena adanya 2 jenis reseptor yang berbeda. Perangsangan melalui reseptor α-
adrenergik akan menghasilkan penurunan cAMP dalam sel mastosit, sedangkan
perangsangan melalui β-adrenergik akan meningkatkan konsentrasi cAMP yaitu
melalui pengaktifan enzim adenilatsiklase sehingga ATP akan diubah menjadi cAMP.
Dengan demikian jelaslah bahwa sistem saraf otonom dapat mempengaruhi
degranulasi mastosit melalui pengaturan cGMP dan cAMP. Namun sebaliknya juga
dapat diatur oleh adanya aktifitas enzim fosfodiesterase yang akan menghancurkan
keduanya cAMP dan cGMP.
Reseptor untuk adrenergik α dan β dapat dirangsang oleh molekul yang sama
dengan efek berbeda. Norepinefrin yang dihasilkan oleh ujung saraf noradrenergik
misalnya akan mempengaruhi reseptor dengan efek yang berbeda. Perangsangan
reseptor α akan lebih besar efeknya dari pada perangsangan reseptor β. Sebaliknya
epinefrin yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal akan memberi efek lebih besar apabila
merangsang reseptor β. Belakangan ditemukan adanya 2 jenis reseptor adrenergik β 1
dan β2 yang penyebarannya pada sel-sel jaringan tidak merata. Misalnya reseptor β2
lebih banyak terdapat pada jaringan paru-paru. Keadaan ini dimanfaatkan untuk
pengobatan asma bronkhiale dengan salbutamol yang merupakan agonis untuk
reseptor β2.
Oleh karena keseimbangan siklik nukleotida juga mempengaruhi keadaan sel
sasaran, maka dasar pengobatan alergi juga memperhatikan keadaan fisiologik sel
sasarannya. Apabila sel sasarannya otot polos terjadi peningkatan kadar cAMP maka
otot polos tersebut ada dalam keadaan relaksasi. Keadaan tersebut juga terjadi pada
sel sasaran lainnya, misalnya sel kelenjar sehingga akan terjadi pengecilan pembuluh
darah dan pengurangan sekresi kelenjar. Keadaan tersebut dapat mengrangi gejala
alergi.
Mekanisme kerja obat yang sering digunakan dalam mengatasi renjatan
anafilaktik diantaranya:
1. Adrenalin.
Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan konsentrasi
cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain itu adrenalin
mempunyai khasiat terhadap sel sasaran, yaitu:
(1). Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan terhadap
kelenjar liur. (2). Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot
rangka. (3). Perangsanga jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan
kontraksinya dan tekanan darah. (4). Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak,
misalnya pernafasan. Kesemuanya ini kalau disimpulkan akan mengurangi gejala-
gejala renjatan anafilaktik.
2. Antihistamin.
Ukas Cukasah, dr., Sp.A(K). 4
Batuk
Itching Dispnea Mual Pusing
Flaushing Suara serak Muntah Hipotensi Nyeri kepala
Hives Stridor Diare Syok
Angioedema Mengi Nyeri perut Incontinensia
MANIFESTASI KLINIS :
Pelepasan mediator seluler kemudian menimbulkan respon pada organ seperti
kulit, saluran nafas, sistem kardiovaskular, dan susunan saraf 6
Tanda dan gejala klinis anafilaksis
Kutan / subkutan / jaringan mukosa
Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliform
Pruritus pada bibir, lidah, palatum; edema pada bibir, lidah dan uvula
Pruritus periorbita, eritema dan edema, eritema konjungtiva
Saluran pernafasan
Laring: pruritus dan nyeri tenggorokan, disfagia, disfoni, suara serak, pruritus di
kanalis aurikularis eksterna
Paru-paru: nafas pendek, dispnea, rasa berat di dada, batuk, mengi / bronkospasme
(penurunan PEF)
Hidung: Pruritus, hidung tersumbat, hidung berair, bersin
Kardiovaskular
Hipotensi
Near syncope, pingsan, penurunan kesadaran
Nyeri dada, disritmia
Gastrointestinal
Mual, nyeri atau kram perut, muntah, diare
Lain-lain
Kontraksi uterus pada wanita
Gambaran klinis dari anafilaksis dapat bervariasi, namun kompensasi dari
sistem pernafasan dan kolapsnya kardiovaskular menjadi hal yang penting karena
kelainan yang mengenai kedua sistem organ ini paling sering berakibat fatal.4
Gambaran patologis dari anafilaksis meliputi urtikaria dan angioedema, serta
yang bersifat fatal meliputi hiperinflasi paru akut, edema dan perdarahan
intraalveolar, kongesti visera dan edema laring. Hipotensi akut diakibatkan oleh
dilatasi vasomotor dan atau disritmia jantung.1
Onset dari gejalanya bergantung dari penyebab reaksi, yaitu reaksi dari alergen
yang ditelan (makanan, obat-obatan) mengalami onset yang lambat (bermenit-menit
sampai 2 jam) dibandingkan dengan alergen yang disuntikkan (sengatan serangga,
obat-obatan) dan cenderung lebih banyak mengalami gejala gastrointestinal. Waktu
rata-rata sampai terjadinya henti nafas atau henti jantung pada alergi makanan sekitar
30 menit, pada sengatan serangga sekitar 15 menit, dan pada obat-obatan seperti
media kontras mencapai 5 menit.6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ukas Cukasah, dr., Sp.A(K). 7
Pemeriksaan darah
Uji Coomb untuk penderita anemia
Antibodi IgE total serum
Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent test)
Antibodi IgM dan IgG spesifik
Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh obat-
obatan
Uji kulit
o Uji tusuk (Prick test/Scratch test)
o Uji tempel (Patch test)
Uji provokasi
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis, meskipun
penderita memiliki riwayat anafilaksis sebelumnya.2
Salah satu diagnosa banding yang penting adalah reaksi vasodepres/vasovagal. Pada
reaksi ini ditemukan hipotensi, pucat, lemah, mual, muntah, dan berkeringat. Yang
dapat membedakannya dengan reaksi anafilaksis yaitu tidak adanya manifestasi kulit
(urtikaria, angioedema, kemerahan, dan pruritus) dan adanya bradikardia pada reaksi
vasodepres, sementara pada anafilaksis lebih sering terjadi takikardia.
Kejadian kemerahan pada kulit (flushing) juga dapat menyerupai anafilaksis. Obat-
obatan seperti niasin, nikotin, katekolamin, penghambat ACE, alkohol, tumor tiroid
atau saluran cerna, feokromasitoma, hiperglikemi dapat menyebabkan terjadinya
flushing.
KRITERIA DIAGNOSIS
TERAPI
Tindakan harus segera
Resusitasi kardiopulmonal
Trakeostomi sesuai indikasi
Adrenalin (epinefrin) 0,01 ml/kgBB s.k./i.m. (larutan 1:1000), bila perlu
ulangi dengan interval 15-30 menit
Bila syok/kolaps vaskular 0,01-0,05 ml/kgBB, i.v. (larutan 1:10.000),
suntikan perlahan-lahan (1-2 menit)
Bila penyebabnya suntikan adrenalin 0,1–0,2 ml (larutan 1:1000) s.k.
pada daerah suntikan, untuk mengurangi absorpsi antigen
Tourniquet (proksimal dari tempat gigitan)
Bila penyebabnya sengatan/gigitan hewan berbisa atau obat yang
disuntikkan pada ekstremitas
Longgarkan tourniquet tiap 10 menit selama 1-2 menit
O2 : Bila sianosis, dispnea atau mengi
Dosis 5-10 L/menit, melalui masker/kateter hidung
Ukas Cukasah, dr., Sp.A(K). 9
Respons
klinis
baik
Pertimbangkan
konsultasi
dengan ahli Tidak
alergi-imunologi
Henti kardiopulmonal selama anafilaksis
Tatalaksana/alat CPR & ACLS
Perpanjangan upaya resusitasi ditingkatkan
Pertimbangkan :
Epinefrin dosis tinggi
Eksposisi volume cepat
Atropin atau transcutaneous pacing bila
pada EKG :
Asistol atau nadi tak teraba
Transport ke UDM atau ICU
PENCEGAHAN
Merupakan aspek yang terpenting dalam penatalaksanaan
Anamnesis teliti mengenai alergi obat
Penderita menunggu 30 menit sesudah pemberian obat
Penggunaan antibiotik atau obat lain harus atas indikasi, kalau mungkin
berikanlah p.o. daripada suntikan
Bacalah label obat dengan teliti
Kalau diperlukan anti serum, pergunakanlah preparat serum manumur
Lakukanlah tes kulit atau tes konjungtiva
Bila alergi terhadap obat, harus mempunyai catatan mengenai macam/jenis
obat tersebu
Ukas Cukasah, dr., Sp.A(K). 11
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampson HA, Leung DY. Anaphylaxis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-18. Philadelphia:
WB Saunders Co; 2004. h. 983-5.
2. Lieberman P, et al. The diagnosis and management of anaphylaxis: An updated
practice parameter. J Allergy Clin Immunol. 2005;115:S483-523
3. Anaphylaxis (diakses: 14 Maret 2008). Tersedia dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Anaphylaxis
4. Simons FE. Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol. 2008;121:S402-527
5. Simons FE. Anaphylaxis, killer allergy: Long-term management in the
community. J Allergy Clin Immunol. 2006;117:367-77
6. Sampson et al. Symposium on the definition and management of anaphylaxis:
Summary report. J Allergy Clin Immunol. 2005;115:584-91
7. Kemp SF, Lockey RF. Anaphylaxis: A review of causes and mechanisms. J
Allergy Clin Immunol. 2002;110:341-8
Ukas Cukasah, dr., Sp.A(K). 12
8. Johansson et al. Revised nomenclature for allergy for global use: Report of the
Nomenclature Review Committee of the World Allergy Organization, October
2003. J Allergy Clin Immunol. 2004;113:832-6
9. Anaphylaxis (diakses: 14 Maret 2008). Tersedia dari:
http://www.emedicine.com/EMERG/topic25.htm
10. Finkelman FD, et al. Molecular mechanism of anaphylaxis: Lessons from studies
with murine models. J Allergy Clin Immunol. 2005;115:449-57.
11. Roit I, Brostoff J, Male D. Immunology. Edisi ke-6. England: Harcourt Publisher
Limited; 2001.
12. Subowo, Imunologi Klinik , Ed. 1, Angkasa Bandung 1993. h. 9-36
13. Simons FE, et al. Risk assessment in anaphylaxis: Current and future approaches.
J Allergy Clin Immunol. 2007;120:S2-24