Anda di halaman 1dari 12

TUGAS SOSIOLOGI KOMUNIKASI

“LITERASI MEDIA”

DISUSUN OLEH :
NAMA : ARDITIA JULIANSYAH
NIM : 2015-41-110

FAKULTAS KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, saya panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah Sosiologi Komunikasi mengenai “Literasi Media”.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan dalam makalah saya, baik itu dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar nantinya saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah Sosiologi Komunikasi mengenai
“Literasi Media” ini dapat bermanfaat serta memberikan informasi serta inspirasi
bagi pembacanya.

Jakarta, Juli 2017

Penulis
BAB 1

1.1 Latar Belakang Masalah

Literasi media merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari


informasi. Informasi adalah suatu hal tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia karena informasi manusia dapat melakukan berbagai
hal. Dari waktukewaktuinformasiterusmengalamiperkembangan yang diikuti
dengan perkembangan media elektronik atau digital dan telekomunikasi.
Informasi bukan hanya berbentuk tercetak lagi, tetapi sudah dapat diakses
dengan media digitalisasi. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan dapat
mengikuti perkembangan zaman agar tidak ketinggalan
informasi. Maka, untuk mengatasi masalah itu masyarakat harus memiliki
kemampuan yang dikenal dengan istilah literasi media.
Awalnya literasi media hanyalah kajian tulisan dan diskusi di kalangan para
pakar mkomunikasi, namun kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan
yang dilakukan para aktiivis dan organisasi literasi media guna secara nyata
memberikan pendidikan akan pentingnnya memiliki kemampuan literasi media
dalam menghadapi konten media.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :

1) Apakah yang dimaksud dengan literasi media?


2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan literasi media?
3) Apa contoh dari kasus dari literasi media tersebut?

1.3 Tujuan Masalah

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1) Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami mengenai literasi media


2) Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami faktor-faktor apa saja
yang menyebabkan terjadinya literasi media
3) Agar pembaca mengetahui dan memahami sebuah contoh kasus dari
literasi media
BAB 2

2.1 Definisi Literasi Media

Literasi media berasal dari bahasa inggris yaitu media literacy, terdiri dari
dua suku kata media berarti media tempat pertukapan pesan dan literacy berarti
melek, kemudian dikenal dalam istilah Literasi Media. Dalam hal ini literasi media
merujuk kemampuan khalayak yang melek terhadap media dan pesan media
massa dalam konteks komunikasi massa.

Literasi media adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan


berbagai media guna mengakses, analisis serta menghasilkan informasi untuk
berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari seseorang yang akan
dipengaruhi oleh media yang ada disekitar kita berupa televisi, film, radio, musik
terekam, surat kabar dan majalah. Dari media itu masih ditambah dengan dengan
internet bahkan kini pun melalui telepon seluler dapat diakses.

Literasi media adalah salah satu keterampilan yang harus dimiliki


seseorang dalam era globalisasi. Dikatakan demikian, karena dalam era tersebut
manusia akan semakin sering bersinggungan dengan media. Baik itu untuk
menambah wawasan atau pengetahuan maupun hanya untuk sekedar sebagai
sarana hiburan pelepas penat saja.
Ada berbagai hal yang disoroti dalam keterampilan literasi media ini, mulai dari
kesadaran individu atau masyarakat terhadap dampak media sampai dengan
bagaimana individu atau masyarakat memposisikan dan mengapresiasikan media
dalam kehidupannya sehari-hari.

Tujuan dasar literasi media ialah mengajar khalayak dan pengguna media
untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa,
mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan
media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang
diimplikasikan oleh pesan atau citra itu. Seseorang pengguna media yang
mempunyai literasi media atau melek media akan berupaya memberi reaksi dan
menilai sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media.


James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, dalam Kidia)
mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan
secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai
pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media
literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya,
baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur.

Untuk memahami literasi media, para pakar komunikasi telah menguraikan


definisi literasi media, diantaranya:
1) Paul Messaris mendefinisikan literasi media yaitu pengetahuan mengenai
berbagai media berfungsi dalam masyarakat. Sedangkan peneliti komunikasi
massa Justin Lewis dan Shut Shally mendefinisikan literasi media yaitu
memahami kemampuan budaya, ekonomi, politik, dan teknologi pembuatan,
produksi, dan penyiaran pesan.
2) Baran & Dennis (2010) memandang literasi media sebagi suatu rangkaian
gerakan melek media yaitu: gerakan melek media dirancang untuk
meningkatkan kontrol individu terhadap media yang mereka gunakan untuk
mengirim dan menerima pesan. Melek media dilihat dari keterampilan yang
dapat dikembangkan dan berada dalam sebuah rangkaian-kita tidak melek
media dalam semua situasi, setiap waktu dan terhadap semua media.
3) Tapio Varis mengartikan literasi media sebagai sarana demokratisasi. Dia
mengemukakan bahwa: literasi media adalah kemampuan itu untuk
komunikasikan dengan segenap kemampuan di dalam semua media, cetakan
dan elektronik, seperti juga untuk mengakses, meneliti dan mengevaluasi
gambaran-gambaran, kata-kata dan bunyi-bunyi yang membentuk kultur
media massa saat itu.

2.2 Faktor-Faktor dalam Literasi Media

Silverblatt menyatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki keterampilan


literasi media apabila dirinya memuat faktor-faktor sebagai berikut :
1) Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
2) Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa
3) Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan
membahas pesan-pesan media
4) Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan
dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri
5) Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.

Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003 dalam Kidia) memberikan
pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media
literacy, yaitu:
1) Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal (Media
Literacy is a continuum not a category
2) Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan
seseorang
3) Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada
proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain
estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan
mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang
mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah
pesan

4) Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk
menginterpretasi pesan. Tujuan dari melek media adalah untuk memberdayakan
individu-individu dalam mengontrol media pemrograman. Istilah pemrograman
dalam pengertian ini, tidak bermaksud program televisi atau media pesan.
Seorang individu oleh dirinya sendiri tidak akan punya banyak pengaruh
mengubah bagaimana massa kerajinan media pesan mereka. Seorang individu
akan pernah bisa menjalankan banyak kendali atas apa yang akan ditawarkan
kepada publik. Namun, seseorang bisa belajar untuk mengerahkan banyak kontrol
atas cara pikiran seseorang mendapat diprogram. Dengan demikian, tujuan media
keaksaraan adalah untuk menunjukkan orang-orang bagaimana untuk
mengalihkan kontrol dari media sendiri. Inilah yang saya maksud ketika saya
mengatakan bahwa tujuan melek media untuk membantu orang mengendalikan
program media.

2.3 Contoh Kasus

Fashion atau sebuah gaya busana baru dikatakan “ngetren” jika selebriti
atau kalangan yang diekspos media memakai gaya busana tersebut. Ternyata selama
ini tidak ada yang berhak menyandang gelar trendsetter karena kita hanya mencontoh
gaya busana yang terus menerus muncul di media, kemudian saling mengikuti satu sama
lain. Tren tersebut bersemi untuk sementara, sampai media mengekspos gaya busana
yang baru. Media lah yang menjadi komandan /what’s in and what’s out/. Benarkah media
berpengaruh sebegitu kuat? Taruhan, saat ini dijamin tidak ada mahasiswa (diasumsikan
mahasiswa melek fashion) yang berani ke kampus dengan gaya rambut mengembang,
sweater besar, romini, dan ikat kepala warna-warni, dimana saat ini media selalu
memunculkan remaja putri dengan rambut lurus berponi, kaus ketat, jeans /boot cut/, dan
sepatu hak tinggi.
Hegemoni media juga berhasil mengubah cara khalayaknya mengkonstruksikan
konsep, contoh mudahnya konsep ketampanan dan kecantikan. Beberapa tahun yang
lalu, ketika film Meteor Garden mengalami sukses besar, tampaknya para remaja putri
memiliki kesepakatan baru mengenai konsep “tampan”. Pada masa tersebut, pria yang
dikatakan tampan adalah pria berwajah oriental, dengan rambut semi gondrong berlayer.
Begitu juga ketika produsen sabun Lux secara bergantian menampilkan bintang-bintang
iklan yang cantik, berkulit putih, agak ke-/bule-bule/-an (kecuali Dian Sastro), tentunya
banyak pria bersepakat bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang berkulit putih,
berambut panjang, keturunan eropa atau amerika.
Contoh lain yang populer di Indonesia adalah ketika sinetron-sinetron remaja
berhasil menciptakan pergeseran nilai dalam kehidupan remaja di kota-kota besar. Saat
ini siapa yang mengajarkan orang tua untuk member izin anaknya yang masih duduk di
SMP untuk menyetir mobil sendiri ke sekolah, bahkan dengan ikhlas membuatkan SIM
tembak untuk anaknya? Siapa yang mengajarkan bahwa anak-anak usia sekolah saat ini
boleh-boleh saja keluar malam dan pulang pagi? Siapa lagi kalau bukan sinetron remaja
yang terus menerus berusaha menampilkan bahwa anak SMP yang menyetir mobil
sendiri dan pulang pagi adalah suatu kewajaran.

2.4 High Context Communication & Low Context Communication

Factor High-context culture Low-context culture


Pola Banyak menggunakan metafora Pesan yang disampaikan “to the
Komunikasi pesan-pesan yang implisit. point” tidak berputar-putar. Anggota
Tidak “to the point” Anggota dengan latar belakang reserse berbicara
berlatar belakang intelijen sangat dengan logat lugas dan “to the
kental dengan pola komunikasi yang point”. Hal ini cerminan dari kebiasaan
tidak “to the point” dengan kata-kata untuk memperoleh informasi secara
halus (sandi) dan cenderung langsung, sehingga orang harus
mengarah ke basa-basi dalam rangka berbicara apa adanya.
menjaga kerahasiaan dan perasaan
lawan bicara agar tidak mengetahui
latar belakang anggota tersebut.
Sikap diri Menerima/menyikapi kesalahan Menilai kesalahan terjadi karena
apabila yang terjadi sebagai kesalahan faktor eksternal/orang lain. Kebiasaan
terjadi pribadi, cenderung untuk anggota reserse dikenal dengan
kesalahan menginternalisasi banyak hal. kebiasaan tidak mau mengalah dan
Kebiasaan anggota intelijen indentik cenderung berargumentasi. Hal ini
dengan hal-hal yang lembut, dingin dikarenakan kebiasaannya melakukan
dan halus, kesannya cenderung investigasi dan mencari alibi.
mengalah agar tidak terbuka
kamuflasenya (penyamarannya)
Penggunaa Menggunakan komunikasi non- cenderung untuk menggunakan
n verbal dengan ekstensif. Kebiasaan komunikasi verbal daripada non-
komunikasi anggota intelijen relatif lebih verbal. Kebiasaan anggota reserse
non-verbal menggunakan komunikasi nonverbal cenderung berbicara secara tegas dan
(isyarat atau sandi). Seperti gerakan langsung pada pokok masalah
tangan,anggukan kepala dan diam. menjelaskan pentingnya penggunaan
komunikasi verbal.
ekspresi Reserved, mendem jero, ilmu padi ekspresif, kalau tidak suka/tidak
(semakin berisi semakin setujuterhadap sesuatu akan
merunduk-rendah hati). Kebiasaan disampaikan,tidak dipendam
anggota intelijen umumnya lebih Kebiasaan anggota reserse tidak lepas
senang memendam perasaan dan dari lingkungan pekerjaannya yaitu
secara emosional terlalu perasa dan terbuka dalam segala hal. Diam diartikan
terkesan agak penurut kepada orang menolak atau tidak setuju dalam
lain. Anggota Intelijen lebih banyak kebiasaan anggota reserse
diam dibandingkan mengungkapkan mencerminkan pentingnya ekpresi
secara verbal. Lebih kalem dan tidak mengenai persetujuan. Lebih ekspresif
banyak berbicara. Diam dalam dan argumentative serta investigative.
kebiasaan Intelijen diartikan sebagai
berfikir dan menganalisa.
Orientasi Pemisahan yang jelas Terbuka tidak terikat dalam satu
kepada antaraKelompok saya VS bukan kelompok, bisa berpindah-pindah
kelompok kelompok saya. Kebiasaan anggota sesuai kebutuhan. Kebiasaan anggota
reserse lebih memiliki orientasi pada intelijen cenderung luwes dalam melihat
kelompok lebih tinggi. Tercermin perbedaan dalam kelompoknya dan luar
dengan adanya unit (satgas-satgas kelompoknya dengan menjadikan
khusus) dalam kelompok kelompok lain sebagai referensi untuk
kekerabatan yang sangat dipegang menilai kelompoknya. Selain itu pola
teguh. Karena kekerabatan ini hubungan tetap terbangun diantara
dianggap penting menyangkut kelompoknya dan kelompok lain.
keselamatan dan saling melindungi.
Ikatan Memiliki ikatan kelompok yang Cenderung untuk tidak memiliki
kelompok sangat kuat, baik itu keluarga ikatan kelompok yang kuat- lebih
maupun kelompok masyarakat. individual. Kebiasaan anggota
Kebiasaan anggota reserse intelijen memiliki sifat pertalian yang kuat
mencerminkan kuatnya ikatan dalam masyarakat. Jalinan kekerabatan
kelompok dalam lingkungan dan silaturahmi yang selalu terjaga
pekerjaannya. menjadi modal anggota intelijen dalam
kehidupan bermasyarakat.
Komitmen Komitmen yang tinggi terhadap Komitmen yang rendah terhadap
terhadap hubungan jangka panjang- hubungan antar sesama- hubungan
hubungan hubungan baik lebih penting tugas/pekerjaan lebih penting dari
dengan daripada hubungan hubungan baik. Kebiasaan personil
sesama tugas/pekerjaan. Kebiasaan reserse lebih mengutamakan
anggota intelijen dikenal dengan tugas/pekerjaan. Dalam dunia reserse
sistem kekerabatannya yang kental. esprit de corp penyidik, sehingga
Sikap saling mengenal, saling bahu- anggota reserse memiliki sifat kompetitif
membahu (gotong-royong) menjadi dan daya saing yang tinggi. Dengan
ciri dari anggota intelijen. Dalam demikian anggota resersepun dinilai
memandang persepsi tugas dan lebih profesional
relasi, anggota intelijen cenderung
mengutamakan relasi sosial dan
menjadikannya sebagai media untuk
melaksanakan tugas secara
bersama-sama (gotong-royong)
Fleksibilitas Waktu bukanlah sebuah titik, Waktu adalah sebuah titik, jika tidak
terhadap melainkan sebuah garis-proses dimanfaatkan dengan baik akan
waktu lebih penting daripada hasil akhir. terbuang percuma-hasil akhir lebih
Kebiasaan anggota reserse lebih penting daripada proses. Kebiasaan
disiplin mengenai waktu, dikarenakan anggota intelijen dalam Konsep waktu
dikejar tengat waktu dalam proses cenderung fleksible dan bersifat luwes,
penyidikan maupun pengungkapan karena perlu kesabaran dalam proses
suatu perkara (kasus). penyelidikan.
BAB 3

3.1 Kesimpulan

Kehadiran ragam media yang mulai memadati segala bidang kehidupan


manusia ditanggapi positif oleh sebagian besar masyarakat. Walaupun begitu,
merekapun sadar bahwa kehadiran media juga tidak terlepas dari dampak
negatifnya. Mereka juga beranggapan, media memiliki peran strategis dalam
proses komunikasi khususnya komunikasi massa. Ditarik kesimpulan demikian,
karena hampir seluruh masyarakat menyatakan bahwa informasi yang terkandung
dalam media massa dapat membantu terjadinya komunikasi diantara masyarakat
dan media juga dapat membentuk suatu opini tertentu ditengah-tengah
masyarakat tentang berbagai hal. Seseorang yang memiliki keterampilan literasi
media tidak akan langsung mempercayai sebuah berita sebelum mengkrosceknya
dengan sumber lain. Yang biasa dilakukan adalah memilih media yang diakui
kredibilitasnya, mengkroscek keakuratan berita dengan sumber lain, dan akan
selalu mencari kelengkapan suatu berita yang didengarnya dari orang lain di
dalam suatu media massa. Bila dibandingkan dengan ketiga hal tersebut, hampir
setengah dari masyarakat tidak melakukan kroscek ulang terhadap berita yang
telah didapatnya.
3.2 Saran

Kekuatan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) belum bisa diandalkan secara


maksimal sampai saat ini. UU penyiaran pun masih banyak disalahgunakan oleh jagoan-
jagoan hukum kita. Alhasil, literasi media adalah suatu hal yang mutlak harus diketahui
dan dipahami oleh segenap masyarakat Indonesia. Dengan dipahaminya literasi media
ini, sedikit demi sedikit, setidaknya dampak-dampak negatif yang disiarkan oleh media
dapat diatasi dengan baik oleh masyarakat kita. Acara tentang kepentingan pemilik
modal, acara yang dibuat-buat (reality show) dan acara-acara tidak berpendidikan lainnya
satu persatu akan hilang berganti dengan acara yang lebih berpendidikan dan berbobot.
Ya, memang tidak berlebihan, seperti itulah kekuatan literasi media, jika bisa
dimanfaatkan dengan baik tentunya.
DAFTAR PUSTAKA

http://medialiterasi0715.blogspot.co.id

http://junitakhairanicaniago.weebly.com/uploads/1/8/4/6/18468290/makalah_liter
asi_media__digital.pdf

perpustakaanrinabudiarti.weebly.com/uploads/1/9/4/4/19448353/literasi.docx

http://ekosudarto.blogspot.co.id/2015/09/high-context-and-low-context.html

http://icanihsanuddin.blogspot.co.id/2012/03/literasi-media-sekedar-melek-
media.html

Anda mungkin juga menyukai