Metabolism and Suppresses Catabolism According to Indirect
Calorimetry Performed Under General Anesthesia
Shinichiro Yoshimura ∙ Yoshihito Fujita ∙ Hiroyuki Hirate ∙ Nobuyoshi Kusama ∙ Takafumi Azami ∙
Kazuya Sobue
PENDAHULUAN
operasi merekomendasikan periode puasa yang lebih pendek (antara 68 jam) sebelum induksi
anestesi operasi elektif. Dipertimbangkan hal ini karena untuk memfasilitasi pemulihan yang
lebih awal dengan cara menghindari katabolisme. Kalorimetri indirek (KI) adalah metode
monitoring metabolism yang digunakan untuk mengevaluasi status nutrisi. KI menyediakan data
mengenai volume konsumsi oksigen (VO2) dan volume emisi karbon dioksida (VCO2), dan laju
anabolisme dan katabolisme bisa dinilai dengan menghitung RQ (respiratori quotient) dari VO 2
dan VCO2.1,2,3
METODE
Walaupun demikian, beberapa laporan yang mengggunakan IC untuk menilai parameter
metabolic dari pasien yang akan dioperasi. Tujuan dari studi ini adalah untuk menilai apakah
periode singkat dari puasa sebelum operasi lebih efektif dalam menekankan katabolisme
menggunakan data yang diperoleh KI saat anestesi umum. Penelitian prospektif observasional
kohort ini dilaksanakan di Nagoya University Hospital dari May 2012 sampai Agustus 2012 dan
telah disetujui oleh komite etika penelitian di Universitas Nagoya.4
Subjek penelitian ini adalah pasien yang akan melakukan operasi elektif. Di rumah sakit
ini, periode puasa sebelum operasi bervariasi karena pasien dapat mengambil keputusan tepat
ketika mereka akan memulai puasa sebelum operasi. Biasanya, sehari sebelum operasi. Pihak
rumah sakit akan menyediakan pasien dengan diet normal yang mengandung 3540 kkal/kg/hari.
Selain itu, pihak rumah sakit juga menyediakan sarapan pre operasi yang termasuk teh atau air
putih dan 1 roti. Periode operasi ditetapkan saat pasien mengonsumsi makanan terakhir di ruang
operasi.
Pasien dibagi menjadi 2 grup, mereka yang puasa kurang dari 8 jam (grup S) dan mereka
yang puasa >10 jam (grup L). Kriteria eksklusi termasuk pasien yang berumur <20 tahun,
obesitas (BMI>30), atau memiliki penyakit hati kronis atau penyakit ginjal kronis, PPOK, dan
diabetes. Dengan tambahan, pasien yang memiliki data KI yang tidak stabil karena tandatanda
vitalnya berubahubah juga dieksklusi.
Data preoperative yang dikumpulkan dari masingmasing rekam medis pasien dan
informasi lain termasuk data demografis dan informasi mengenai kondisi pre operatif dan pukul
berapa pasien terakhir makan. Data dikumpulkan pada setiap kondisi pre operatif pasien
diantaranya adalah jenis kelamin, umur, BMI, BEE (Basal Energy Expenditure), temperature
tubuh, laju nadi, tekanan darah. Data yang dikumpulkan saat periode anestesi termasuk laju nadi,
utnuk menghitung REE (Resting energy expenditure) dan RQ.
Ketika pasien tiba di ruang operasi, monitoring standar dari tandatanda vital dan index
Bispectral (BIS) juga dinilai. Tekanan darah dan laju nadi dievaluasi dengan mesin penghitung
tekanan darah otomatis tiap 150 detik dari dimulainya anestesi umum pada saat awal operasi.
Pasien diberikan oksigen 100% lewat face mask selama 3 menit. Anestesi umum diinduksi lewat
jalur intravena menggunakan propofol dengan konsentrasi 34 μg/ml digabung dengan fentanyl
24 μg/ml, remifentanil 0,250,3 μg/mkg/menit dan 0.9 mg/kg rocuronium. Yang dimasukkan
lewat intubasi trakea.
Setelah inisiasi anestesi, pasien diberikan oksigen 40% dan tekanan karbon dioksida tidal
Volume tidal dijaga pada 810 ml/kg dan PEEP diatur pada angka 0. Agen anestesi yang
dimasukkan diatur untuk menghasilkan angka BIS antara 4060. Cairan ekstraseluler yang tidak
mengandung glukosa atau asam amino dimasukkan sebekum operasi.
Sejak April 2012, telah digunakan KI untuk mengevaluasi kondisi metabolic dari pasien
di ICU atau ruang operasi. Sebelum pengukuran dimulai, pasien dikondisikan dalam keadaan
ventilasi selama >15 menit setelah intubasi trakea pada posisi supinasi. Kemudian diapsan sensor
KI diantara filter anestesi dan sirkuit pernapasan pada mesin anestesi untuk mengukur VO 2 dan
VCO2 selama 15 menit sebelum operasi dimulai.
FORMULA
RQ dan REE dihitung dengan rumus sebagai berikut.
RQ = VCO2/VO2REE (kcal/day) = (3.94 × VO2 + 1.11 × VCO2) × 1.44 .
Pada studi ini, BEE dihitung dengan menggunakan rumus HarrisBenedict yang sering
digunakan dalam praktek klinis.
Lakilaki : BEE (kcal/hari) = 66.47 + 13.75W + 5.0H − 6.76A
Perempuan : BEE (kcal/hari) = 655.1 + 9.56W + 1.85H − 4.68A
(tahun)
DESAIN DAN HASIL PENELITIAN
Hasil yang diukur adalah perbedaan RQ antara 2 grup. SPSS versi 19 digunakan untuk
analisis statistik. Data yang dipresentasikan adalah ratarata (mean) atau nilai tengah (median).
Data numerik termasuk RQ, EE, VO2, VCO2 digunakan dan dibandingkan antara grup
menggunakan t test atau MannWhitney U test. Data kategoris yang dianalisakan menggunakan
tes chi square. Korelasi antara REE dan BEE dianalisa menggunakan koefisien korelasi
Spearman. Untuk semua analisis, nilai P <0.05 adalah signifikan.
26 pasien yang menjalankan operasi elektif dimasukkan dalam studi ini. 4 pasien
dieksklusikan karena data KI tidak lengkap karena tidak stabilnya tandatanda vital pada
pengukuran KI. Durasi median dari periode operasi adalah 6.5 (6.37.0) jam pada grup L dan
18.0 (13.519.8) jam pada grup S. Tidak ada perbedaan signifikan dalam grup pada karakteristik
tandatanda vital pasien (termasuk MAP, laju nadi, tekanan darah pada pengukuran KI)
RQ dan VCO2 dari grup L secara signifikan lebih rendah dari grup S ((P = 0.016 and P =
0.023, Tabel 1), tetapi VO2 tidak berbeda signifikan antar grup (p=0.544). Ratarata nilai REE
untuk semua pasien adalah 18.7 ± 2.4 kcal/kg/hari. Namun REE pada grup L lebih rendah
signifikan dari grup S ((17.7 ± 2.3 vs 19.7 ± 2.3 kcal/kg/day, P = 0.036, Tabel 1). Korelasi antara
REE dan BEE ditunjukkan pada grafik 1. Hubungan antara REE dan BEE lebih lemah di grup L
2 2
(r = 0.708, r = 0.501) dibandingkan grup S (r = 0.865, r = 0.749). Dan slope BEE dan REE
grup L (REE = 0.419BEE + 509.477) lebih tidak tajam dibandingkan grup S (REE = 1.113BEE
− 376.111). Dalam studi ini, diinvestigasikan efek durasi periode puasa pada metabolism saat
anestesi. Menggunakan data KI yang didapatkan pada anestesi umum, dapat ditunjukkan bahwa
VCO2, RQ, REE dari grup periode operasi jangka panjang secara signifikan lebih rendah
dibandingkan grup periode operasi jangka pendek.
Tabel 1. Karakteristik studi populasi dan data kalorimetri indirek.
Beberapa studi sebelumnya telah melaporkan data REE untuk pasien kritis dalam sedasi.
Terao et al menunjukkan bahwa ratarata REE dan nilai REE/BEE pada pasien dengan ratarata
865 kkal/hari/m2 dan 1.13 pada pasien dengan sedasi berat. Miles melaporkan nilai mean
REE/BEE adalah 1.13. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan yang didapat pada grup S 738
kkal/hari/m2 dan 0.84; Sementara pada grup L 680 kkal/hari/m2 dan 0.79). Salah satu penjelasan
yang mungkin pada pada perbedaan ini adalah pasien yang dilibatkan pada studi diatas menerima
terapi konvensional intensif dan terapi invasive yang menekankan EE (energy ekspenditur),
sebagai hasilnya menghasilkam stimulasi dari sistim saraf simpatis dan melepaskan hormone
stress dan sitokin.5,6
Grafik 1. Hubungan antara REE dan BEE kuat pada grup S (r=0.85) dan lumayan kuat
pada grup L (r=0.708). REE diukur dengan KI. BEE dihitung dengan rumus Harris
Benedict
Di lain pihak, pasien yang merupakan subjek penelitian ini mendapatkan anestesi umum
sebelum operasi, EE mereka akan berkurang, Secara umum, pasien akan semakin lapar. Proses
gluconeogenesis akan dimulai di hepar (produksi glukosa dari glikogen). Setelah puasa selama
kurang lebih 20 jam, katabolisme dari lemak dan protein dapar memproduksi energy dimulai
sebelum produksi glikogen berkurang, Katabolisme lemak terjadi lebih cepat dibanding
katabolisme protein. Dengan tambahan, produksi CO2 berkurang dengan pembakaran lemak
yang menghasilkan pengurangan dari VCO2 dan RQ.7,8
Walaupun REE dari grup S lebih tinggi dan hubungan antara REE dan BEE lebih kuat
dibandingkan pada grup L, beberapa studi menunjukkan bahwa hubungan antara puasa dan
perubahan EE setelah 2 hari kelaparan. Pada studi terkini, REE dari grup S dapat meningkat
dengan peningkatan aksi dinamik spesifik (jumlah energy yang digunakan untuk memproses dan
memecah makanan).
LIMITASI DAN KESIMPULAN
Studi ini memiliki beberapa keterbatasan / limitasi. Pertama adalah jumlah makanan dan
minuman yang dikonsumsi dan tipe operasi yang dilakukan tidak terstandarisasi diantara pasien.
Maka jumlah substrat energy yang tersedia pada tiap pasien dan tipe invasive dari operasi 1
dengan yang lain dapat berbeda, Kedua, hanya VO 2 dan VCO2 yang digunakan untuk
mengevaluasi metabolism, tidak ada tes darah atau tes urin yang dilakukan. Untuk
mengkonfirmasi hasil yang diddapatkan pada KI di studi ini, marker dari katabolisme lemak dan
protein harus dinilai. Ketiga waktu puasa dari grup S harusnya sekitar 8 jam untuk mengeksklusi
kemungkinan SDA (aksi spesifik dinamik).
Kesimpulannya pada penemuan ini, dapat disimpulkan periode jangka pendek puasa
sebelum operasi lebih kuat pada penekanan katabolisme dengan cara melakukan KI.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson M, Comrie R. Adopting preoperative fasting guide lines. AORN J. 2009;90:73–80.
2. Smith I, Kranke P, Murat I. Perioperative fasting in adults and children. 2011;28:556–69.
3. Fearon KC, Ljungqvist O, Von Meyenfeldt M, Revhaug A, Dejong CH, Lassen K, Nygren J,
Hausel J, Soop M, Andersen J, Kehlet H. Enhanced recovery after surgery: a consensus review
of clinical care for patients undergoing colon ic resection. Clin Nutr. 2005;24:466–77.
4. Haugen HA, Chan LN, Li F. Indirect calorimetry: a practical guide for clinicians. Nutr Clin
Pract. 2007;22:377–88.
5. Terao Y, Miura K, Saito M, Sekino M, Fukusaki M, Sumikawa K. Quantitative analysis of the
relationship between sedation and resting energy expenditure in postoperative patients. Crit Care
Med. 2003;31:830–3.
6. Miles JM. Energy expenditure in hospitalized patients: implica tions for nutritional support.
Mayo Clin Proc. 2006;81:809–16.7. Nair KS, Woolf PD, Welle SL, Matthews DE. Leucine,
glucose,
and energy metabolism after 3 days of fasting in healthy human
Ratheiser K,
Kramer L, Roth E, Schneider B, Lenz K. Resting energy expendi ture in shortterm starvation is
increased as a result of an increase in serum norepinephrine. Am J Clin Nutr. 2000;71:1511–5.