Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP

SNAKE BITE

Di Susun Oleh:

dr. Johannes T.S Manullang

Pembimbing: dr.Ajiwijaya

RSUD dr. H. ANDI ABDURRAHMAN NOOR

KALIMANTAN SELATAN

2018
BAB I
LAPORAN KASUS

ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTABARU

Nama : dr. Johannes T.S Manullang Tanda tangan:

Dokter Pembimbing :dr. Ajiwijaya

I. IDENTITAS PASIEN

• Nama : Bayi ny. LK

• Umur : 1 hari

• JK : laki-laki

• TTL : Tanah Bumbu, 19- 10- 2018

• Agama : Islam

• Suku : Banjar

Alamat : Manunggal Dusun II, Kec, Kurang Bintang, Kab Tanah Bumbu

• Tanggal masuk RS : 19- 10- 2018

Orang tua/wali

Ayah

• Nama : Tn S

• Agama : Islam

• Suku : Banjar

• Pekerjaan : Wiraswasta
• Alamat Pekerjaan :-

• Penghasilan : ±Rp.6.000.000/bulan

Ibu

• Nama : Ny. LK

• Agama : Islam

• Suku : Banjar

• Pekerjaan : IRT

• Alamat Pekerjaan :-

• Penghasilan :-

II. ANAMNESIS

Berdasarkan rekam medis pasien

a. Keluhan Utama:

Tergigit ular

b. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien tergigit ular pada saat mau memasukkan sepeda motor ke dalam rumah , pasien
tidak ingat bentuk ular dan warna ular karena , kemudian pasien langsung dibawak
kepuskesmas terdekat untuk dilakukan cross insisi, demam (-), mual dan muntah (-) , nyeri
kepala (-)
c. Pemeriksaan Fisik

GCS : E4 V5 M6

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : compos Mentis

kepala : anemis (-), ikterik (-)

thoraks : pulmo : rh(-), wh (-)

kardio : S1S2 reguler

abdomen : BU(+), supel

ekstremitas : - akral hangat

- terdapat vulnus laceratum akibat cross insisi

III. PEMERIKSAAN FISIK

 dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2018

 Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Somnolen

Tanda Vital

Nadi : 137 x/menit

Suhu : 35 oC

Pernafasan : 47 x / menit

 Pemeriksaan Sistematis

Kepala
Bentuk dan ukuran :Simetris, bulat

Rambut &kulit kepala :Warna hitam, tebal biasa, pertumbuhan rambut


merata, lanugo (+)

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera ikterik.

Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)

Telinga : Dalam Batas normal

Bibir : Lembab, sianosis oral (-)

Mulut : Bentuk simetris

Leher : Trakea di tengah.

Thoraks

 Paru-paru

Inspeksi : Gerak napas kedua hemithoraks simetris,

Retraksi sela iga (-), areola & papilla mammae (+).

Palpasi : Vocal fremitus tidak dilakukan

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : Suara Pernafasa :Vesikular

Suara Tambahan : -

 Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Tidak dilakukan

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : S1-S2 regular, murmur (-), gallop (-).


Abdomen

Inspeksi : Buncit.

Palpasi : Supel, hepar dan lien teraba tidak membesar

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Anus dan rektum : Dalam batas normal

Genitalia : Laki-laki, skrotum yang kecil dengan daerah permukaan


rugae yang kecil, testis sudah turun.

Anggota gerak : Akral hangat, capillary refill time < 2 detik.

Terdapat luka akibat cross insisi

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai normal

19 Oktober 2018 GDS 39 50 – 140 mg/dl

15.50 WITA

DL

Hemoglobin 16.7 12-24gr/dL

Hematokrit 51 40-48%

Eritrosit 4.69 4.50 – 5.50 mg/dl

MCV 109 82.0-92.0

MCH 35 27.0- 31.0

MCHC 32 31.0- 36.0


Leukosit 20220 9.000-30000

Hitung Jenis

- Basofil 0 0-1 %

- Eosinofil 1 1-8 %

- Batang 2 3-5 %

- Segmen 59 35-70 %

- limfosit 34 20- 40 %

- Monosit 4 2-10 %

Trombosit 215 150-400

Gol. Darah O A/B/AB/O

V. DIAGNOSA KERJA
BBLCB + SMK + SPT + BK + Hipoglikemi

VI. RESUME
Pasien lahir pada tanggal 19 Oktober 2018 pukul 11.50 WIB dengan
persalinan normal. Berat lahir pasien 4700 gram dengan panjang badan 54 cm.
Pasien tidak memiliki kelainan bawaan, anus (+). APGAR Score 2/3/4. Sewaktu
lahir, pasien tidak langsung menangis, merintih, sesak (+) dan terdapat retraksi
minimal. Sianosis (-), pasien kejang (-) ikterik (-), muntah (-), demam (-). Refleks
hisap tidak baik, tonus otot tidak baik, BAB dan BAK normal. Riwayat penyakit
keluarga (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang,
somnolen , gerakan bayi aktif, sianosis oral (-), retraksi sela iga (+), akral dingin,
sianosis anggota gerak (-) dan tanda prematuritas seperti lanugo (+), daun telinga
dalam batas normal, puting susu datar, skrotum yang kecil dengan daerah
permukaan rugae yang kecil, testis normal.
VII. MASALAH
1. Asfiksia Berta
2. Hipoglikemi
3. Makrosomnia

ANALISA MASALAH

1. Asfiksia

Dari status pasien didapatkan penghitungan apgar scor pasien 2/3/4.


asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada udara
respirasi, yang ditandai dengan Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetep 0-3.

2. Hipoglikemi
Dari status pasien didapatkan nilai gula darah sewaktu adalah 39 mg/dl, dimana
Bayi normal (tepat lahir/aterm) dapat mempertahankan kadar gula darah sekitar
50-60 mg/dl selama 72 jam pertama, sedangkan bayi berat lahir rendah (BBLR)
dalam kadar 45 mg/dl. Bila kurang dari 45 mg/dl, maka bayi berada dalam
kategori hipoglikemia neonatal atau hipoglikemia pada bayi baru lahir karena
kondisi kadar gula darahnya di bawah normal

3. Makrosomnia
berat badan bayi yang lahir lebih dari 4000 gram dan dari status pasien
didapatkan berat badan lahir pasien 4700 gram, dimana berat badan lahir normal
antara 2500 gram – 4000 gram.
FOLLOW UP HARI 1

Nama Pasien : Bayi Ny. LK

Tanggal Umur : 1 hari

Jam SOAP No. RM : 174388

Nama Tanggal Masuk: 19 Oktober


2018

19/10/ S : pasien rujukan puskesmas Batulicin, Lahir spontan tidak segera


2018 menangis A/S 2/3/4

19.45 O : napas spontan dengan bantuan O2 NCPAP sesak (+), takipnue (+),
retraksi dinding dada minimal, menangis kuat (+), gerak aktif (+), warna
kulit kemerahan (+), puasa (+), residu (-), tangan kiri gerak kurang aktif (+),
BAB (-), BAK (-)

Incubator (+), infus (+), Injeksi (+), CPAP (+), monitor (+)

A : BBLB +SMK SPT+ BK + Hipoglikemia

Pola nafas tidak efektif


Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh

P:

Medikamentosa

- Pasang CPAP PEEP > FIO2 35%


- Pasang OGT nomor 5
- Infus D10% 15 tp + Ca. Gluconas ( 6,5ml) + Nacl 3% (2mcg) 25 ml
- Viccilin 2 x 86 mg (IV)
- Gentamycin 8,5 mg/ 36 jam (IV)
- Aminofilin LD 10 mg/ 12 jam kemudian 2x4 mg
- Nistatin 4x 1 ml
- Periksa DL dan GDS

FOLLOW UP HARI 2

Nama Pasien : Bayi Ny. LK

Tanggal Umur : 1 hari

Jam SOAP No. RM : 174388

Nama Tanggal Masuk: 19 Oktober


2018

20/10/ S : pasien rujukan puskesmas Batulicin, Lahir spontan tidak segera


2018 menangis A/S 2/3/4

09.30 O : napas spontan dengan bantuan O2 NCPAP sesak (+), takipnue (+),
retraksi dinding dada minimal, menangis kuat (+), gerak aktif (+), warna
kulit kemerahan (+), puasa (+), residu (-), tangan kiri gerak kurang aktif (+),
BAB (-), BAK (-)

Incubator (+), infus (+), Injeksi (+), CPAP (+), monitor (+)

A : BBLB +SMK SPT+ BK + Hipoglikemia

Pola nafas tidak efektif


Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh

P:

Medikamentosa
- Pasang CPAP PEEP > FIO2 35%
- Pasang OGT nomor 5
- Infus D10% 15 tp + Ca. Gluconas ( 6,5ml) + Nacl 3% (2mcg) 25 ml
- Viccilin 2 x 86 mg (IV)
- Gentamycin 8,5 mg/ 36 jam (IV)
- Aminofilin LD 10 mg/ 12 jam kemudian 2x4 mg
- Nistatin 4x 1 ml
- Periksa DL dan GDS

FOLLOW UP HARI 3

Nama Pasien : Bayi Ny. NJ


Tanggal
Umur : 3 hari
Jam SOAP
No. RM : 083425
Nama
Tanggal Masuk: 15 Mei 2018

21/10/ S : pasien rujukan puskesmas Batulicin, Lahir spontan tidak segera


2018 menangis A/S 2/3/4

O : napas spontan dengan bantuan O2 NCPAP sesak (+), takipnue (+),


retraksi dinding dada minimal, menangis kuat (+), gerak aktif (+), warna
kulit kemerahan (+), puasa (+), residu (-), tangan kiri gerak kurang aktif (+),
BAB (-), BAK (-)
Incubator (+), infus (+), Injeksi (+), CPAP (+), monitor (+)

A : BBLB +SMK SPT+ BK + Hipoglikemia

Pola nafas tidak efektif


Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh

P:

Medikamentosa

- Pasang CPAP PEEP > FIO2 35%


- Pasang OGT nomor 5
- Infus D10% 15 tp + Ca. Gluconas ( 6,5ml) + Nacl 3% (2mcg) 25 ml
- Viccilin 2 x 86 mg (IV)
- Gentamycin 8,5 mg/ 36 jam (IV)
- Aminofilin LD 10 mg/ 12 jam kemudian 2x4 mg
- Nistatin 4x 1 ml
- Periksa DL dan GDS

FOLLOW UP HARI 4

Nama Pasien : Bayi Ny. NJ


Tanggal
Umur : 4 hari
Jam SOAP
No. RM : 083425
Nama
Tanggal Masuk: 15 Mei 2018

22/10/ S : pasien rujukan puskesmas Batulicin, Lahir spontan tidak segera


2018 menangis A/S 2/3/4

O : napas spontan dengan bantuan O2 NCPAP sesak (+), takipnue (+),


retraksi dinding dada minimal, menangis kuat (+), gerak aktif (+), warna
kulit kemerahan (+), puasa (+), residu (-), tangan kiri gerak kurang aktif (+),
BAB (-), BAK (-)
Incubator (+), infus (+), Injeksi (+), CPAP (+), monitor (+)

A : BBLB +SMK SPT+ BK + Hipoglikemia

Pola nafas tidak efektif


Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh

P:

Medikamentosa

- Pasang CPAP PEEP > FIO2 35%


- Pasang OGT nomor 5
- Infus D10% 15 tp + Ca. Gluconas ( 6,5ml) + Nacl 3% (2mcg) 25 ml
- Viccilin 2 x 86 mg (IV)
- Gentamycin 8,5 mg/ 36 jam (IV)
- Aminofilin LD 10 mg/ 12 jam kemudian 2x4 mg
- Nistatin 4x 1 ml
- Periksa DL dan GDS
BAB I

PENDAHULUAN

Sejak zaman neurologi klasik, telah dikenal 3 sindrom, kelumpuhan akibat lesi di
plexus brachialis. Yang pertama adalah kelumpuhan akibat lesi di bagian atas plexus brachialis,
yang menghasilkan sindrom kelumpuhan Erb Ducenne dan yang kedua adalah kelumpuhan
yang disebabkan lesi di bagian tengah dan yang terakhir lesi di bagian bawah plexus brachialis,
yang di dalam klinis disebut Sindrom Kelumpuhan Klumpkey.

Paralisis Plexus Brachialis pada neonatus pertama kali dideskripsikan pada tahun 1779
saat Smellie melaporkan kasus kelemahan pada kedua lengan bayi yang terjadi secara spontan
setelah beberapa hari kelahiran.pada tahun 1870, penemuan terbaru traksi pada trunkus atas
erb’s palsy atau erb’s duchenne palsy.

Paralisis Erb Palsy adalah paralisis pada lengan yang disebabkan oleh kerusakan plexus
brachialis pada C5 – C6 yang mempersarafi lengan dan tangan. Kebanyakan penderita dengan
paralisis Erb-Duchenne adalah bayi. Dalam hal ini lesinya disebabkan karena penarikan kepala
bayi saat dilahirkan, dimana salah satu lengannya tidak dapat dikeluarkan. Pada kasus dewasa
dan anak-anak, biasanya ditemukan dengan riwayat trauma atau kecelakaan dengan jatuh pada
bahu dengan kepala yang terlalu menekuk ke samping, sehingga menyebabkan penarikan yang
hebat pada plexus brachialis terutama bagian atas. Kelumpuhan mengenai beberapa otot lengan
dan tangan. Oleh karena itu, lengan bergantung lemas dengan posisi endorotasi pada sendi bahu
dengan siku lurus dan lengan bawah sikap pronasi. Pada umumnya gerakan tangan pada
persendian pergelangan tangan masih dapat digerakkan dan gerakan jari-jari tidak ada yang
terganggu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Paralisis Erb palsy adalah paralisis pada ekstremitas atas yang disebabkan oleh
kerusakan plexus brachialis C5 – C6 yang mempersarafi lengan dan tangan. Kelainan ini paling
sering ditemukan pada bayi atau anak-anak karena distosia bahu pada kelahiran. Ataupun dapat
pula ditemukan pada dewasa dengan riwayat trauma bahu.

Pada kelainan ini ditemukan lesi plexus atas (radiks C5 , C6 / trunkus superior)pada
pleksopati supraklavikular. Sering timbul sendirian, tetapi dapat juga berkaitan dengan plexus
tengah atau kombinasi dengan lesi plexus tengah dan bawah (lesi pan-plexus supraklavikular).
Umumnya terjadi akibat trauma, terutama traksi tertutup yang menyebabkan pelebaran secara
paksa sudut sudut bahu-leher, kecelakaan sepeda motor, jatuh yang mengenai bahu, dan
pukulan pada bahu (misalnya oleh beda yang jatuh). Sedangkan penyebab lainnya adalah
iatrogenik (paralisis akibat tindakan).

Pertama kali ditemukan oleh seorang kandungan dokter dari Inggris, William Smellie
pada tahun 1768 saat melaporkan kasus transient paralisis ekstremitas atas bilateral setelah
persalinan yang sulit. Pada tahun 1861, Guillaume Benjamin Amand Duchenne melaporkan
kelumpuhan plexus brachialis setelah menganalisa 4 infant dengan paralisis yang identik
dengan otot lengan dan bahu. Pada tahun 1874, William Heinrich Erb menyimpulkan tesisnya
mengenai kerusakan plexus brachialis yang berhubungan deltoid, biceps, subscapularis yang
berasal karena lesi di radiks C5 – C6 pada orang dewasa.

2.2. INSIDEN dan EPIDEMIOLOGI


Erb palsy memiliki angka insiden 0,5 – 4,4 kasus / 1000 kelahiran bayi cukup bulan di
Amerika. Di Perancis dan Arab Saudi dilaporkan 1,09 – 1,19 kasus / 1000 bayi kelahiran hidup.
Insiden terjadinnya kelumpuhan permanen 3 – 25% dari kasus yang ditemukan. Belum
ditemukan adanya hubungan antara ras dengan penyakit ini. Rasio jenis kelamin laki-laki
berbanding wanita yang terkena adalah 49% : 51% dari 191 infant. Faktor usia tidak
mempengaruhi namun biasa ditemukan kelainan sejak lahir.

2.3. ETIOLOGI

Penyebab Erb palsy yang paling sering ditemukan adalah distosia, dimana letak janin
abnormal sehingga menimbulkan kesulitan saat persalinan. Sebagai contoh, dapat terjadi pada
persalinan dengan kepala bayi dan leher yang ditarik ke samping, dimana pada saat yang
bersamaan bahu melewati jalan lahir. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh penarikan yang
berlebihan pada pundak pada saat presentasi vertex, atau dengan tekanan pada lengan karena
letak sungsang atau bayi besar (> 4kg) sehingga menyulitkan persalinan sehingga memerlukan
vacuum atau forceps. Erb palsy juga dapat disebabkan oleh fraktur klavikula yang tidak terkait
distosia. Pada infant yang lehir dengan paralisis plexus brachialis maka gejala akan muncul
sejak lahir.

Cedera yang sama juga dapat ditemukan pada setiap usia termasuk orang dewasa, akibat
trauma atau jatuh yang mengenai sisi kepala dan bahu terlebih dahulu, dimana saraf plexus
akan meregang karena plexus ekstremitas atas mengalami cedera yang hebat dan selanjutkan
menyebabkan kelumpuhan yang terbatas di otot-otot yang dipersarafi oleh saraf C5-C6 yaitu
m. deltoid, m. biceps brachii (m. brachialis dan m. coracobrachialis), m. infraspinatus, m.
supraspinatus dan m. brachioradialis. Pleksus brachialis juga dapat cedera oleh kekerasan
langsung atau luka tembak, dengan traksi pada lengan. Jumlah kelumpuhan tergantung pada
jumlah cedera saraf yang terkena.
2.4. PATOFISIOLOGI

Sama dengan semua cedera saraf perifer lainnya, pleksus dapat cedera dengan berbagai
proses. Akibat cedera, pada serabut bermielin akan terjadi demielinisasi dan dan cedera akson
(hilangnya akson).

a. Demielinisasi

Cedera saraf yang dapat menyebabkan abnormalitas motorik dan sensorik dimana
terjadi kerusakan dari myelin tapi akson tetap intak.

Gambar. Demielinisasi A. Saraf normal. B. Kerusakan mielin pada bagian yang cedera

Hal ini akibat dari tekanan yang menyebabkan suatu episode iskemik sementara atau edema
dan neuropati perifer. Perbaikan dapat terjadi :

 Self limited; iskemik sementara dapat dengan terapi tetapi edema memerlukan waktu
beberapa minggu
Remielinisasi : Ini adalah suatu proses perbaikan dimana bagian yang mengalami
demielinisasimembentuk mielin baru oleh sel-sel Schwann. Mielin baru ini lebih tipis dengan
jarak internodal yang lebih pendek menyebabkan kecepatan konduksi lebih lambat dari normal.

b. Cedera Akson

Cedera pada akson dapat terjadi satu dari dua bentuk tipe yaitu degenerasi aksonal
ataudegenerasi Wallerian. Keduanya dapat mengenai badan sel dan menyebabkan
khromatolisissentral.

Degenerasi aksonal merupakan cedera saraf yang memperlihatkan suatu bentuk


kematian saraf yang mulai dari distal dan naik ke proksimal.

Degenerasi Wallerian merupakan cedera saraf yang memperlihatkan kerusakan saraf


fokal atau multifokal setelah 4 – 5 hari. Ini terjadi secara lengkap untuk saraf motorik dalam 7
hari atau 11 hari untuk saraf sensorik. Degenerasi aksonal bagian distal dari lokasi cedera dan
bagian proksimal intak.
A

Gambar. Remielinisasi dan Anatomi Saraf Perifer Normal dan Respon Terhadap Cedera
. A. Pemendekan Mielin dan Proliferasi Sel Schwann. B. Mielin Menghilang. C. Komplet
Remielinisasi.

Penyebabnya dapat terjadi dari kerusakan fokal, regangan, transeksi atau neuropati perifer.
Perbaikan secara collateral sprouting (proses perbaikan dimana suatu neurit akson mulai
tumbuh dari unit motorik intak dan mempersarafi serabut otot denervasi pada unitmotorik yang
cedera) dan pertumbuhan kembali aksonal (suatu proses perbaikan dimana aksonakan tumbuh
kembali sesuai alurnya menuju serabut saraf, memerlukan kira-kira 1 mm/hariatau 1 inci/bulan
jika jaringan ikat penyokong tetap intak dan bila tidak intak akan terbentuk neuroma.
Gambar. Degenerasi Wallerian. a) Saraf Normal. b) Degenerasi Wallerian. c) Regenerasi
(Seckel, 1984)

c. Derajat Cedera Serabut Saraf

Klasifikasi cedera fokal saraf perifer yang dikemukakan oleh Seddon (1943) danSunderland
(1951) juga diaplikasikan untuk pleksopati.

Klasifikasi menurut Seddon terdapat 3 derajat dari cedera saraf (Gambar 6) yaitu :

1. Neuropraksia : suatu hambatan konduksi lokal yang berhubungan dengan demielinisasi


sementara (terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak). Pada tipe cedera seperti
ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat
dan merupakan derajat kerusakan paling ringan. Biasanya akibat dari penekanan
dansembuh karena perbaikan oleh sel Schwann, dimana memerlukan waktu beberapa
minggu sampai bulan.
2. Aksonotmesis : suatu cedera yang lebih berat dari neuropraksia dan menyebabkan
degenerasi Wallerian. Terjadi kerusakan akson tetapi selubung endoneural tetap intak.
Biasanya akibat dari traksi atau kompresi saraf yang berat. Regenerasi saraf
tergantungdari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi (perbaikan lebih baik
pada jarak lesi yang pendek dan letaknya lebih ke distal. Pemulihan fungsi sensorik
lebih baik daripada motorik, karena reseptor sensorik lebih lama bertahan dari
denervasidibandingkan motor end plate (kira-kira 18 bulan).
3. Neurotmesis : kerusakan saraf yang komplet dan paling berat, dimana proses pemulihan
sangat sulit kecuali dilakukan neurorrhaphy. Penyembuhan yang terjadi sering
menyebabkan reinervasi yang tidak lengkap atau salah sambung dari serabut saraf.

Klasifikasi Sunderland berdasarkan pada derajat perineural yang terkena yaitu :

1. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)


2. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)
3. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan
epineural masih intak
4. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural
masih intak
5. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural
(neurotmesis)

Paralisis Erb Palsy, paralisis otot-otot :

 N. musculocutaneus: m. biceps brachii, m. coracobrachialis, m. brachialis.


 N. axillaris: m.deltoideus, m.teres minor.
 N. thorachalis longus: m.serratus anterior.
 N. radialis sebagian kecil: m.brachioradialis , m. supinator
 N. suprascapularis: m.supraspinatus, m.infraspinatus
 N. subscapularis: m.subsscapularis
 N. pectoralis lateralis: m.pectoralis major
2.5. GEJALA
Gejala yang timbul pada Erb Palsy sesuai dengan kelemahan otot-otot yang dipersarafi
C5-C6. Kelumpuhan dapat sebagian atau lengkap, kerusakan pada masing-masing saraf dapat
berupa memar atau robeknya saraf tersebut. Paralisis Erb Palsy merupakan sindrom motor
neuron yang terkait dengan gangguan sensibilitas dan motorik. Sehingga menimbulkan gejala
seperti gangguan sensorik pada lateral deltoid, sisi lateral lengan atas dan lengan bawah hingga
ibu jari tangan. Gangguan pada perkembangan otot apabila berkurangnya aktivitas kontraksi
otot atrofi otot dan kontraktur siku. Refleks biceps dan brachioradialis menurun atau hilang.
Gangguan pada sistem sirkulasi menyebabkan gangguan pengaturan suhu, dan
ketidakmampuan kulit untuk menyembuhkan diri sehingga mudah terinfeksi, selain itu karena
tidak ada/kurangnya rangsang sensoris pada daerah antara bahu dan lengan bawah yang
dihantarkan ke otak, sehingga mudah terjadi trauma dan melukai diri sendiri. Tidak jarang
ditemukan bekas luka di daerah lengan.

Pada gangguan motorik,ekstremitas atau menggantung lemah di sisi badan, aduksi dan
endorotasi sehingga telapak tangan bawah pronasi (waiter’s, bellhop’s, atau policeman’s tip
position). Kerusakan pada otot deltoid menimbulkan posisi adduksi bahu dan medial rotasi,
sehingga dapat ditemukan Putti sign diman apabila dilakukan abduksi bahu maka ujung medial
skapula akan terlihat menonjol diatas garis bahu. Paralisis m. serratus anterior akan
memberikan gambaran “Winged scapula”. Pasien tidak bisa melakukan posisi fleksi lengan
atas, fleksi lengan bawah, supinasi lengan bawah, abduksi dan eksorotasi lengan atas. Pasien
kurang bisa memegang bahu sisi lain karena lesi N. pectoralis lateralis.

2.6. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan diri dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan khusus serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat ditemukan trauma
saat persalinan, trauma karena terjatuh dengan posisi bahu terlebih dahulu ataupun luka tembak
di bahu dan lengan. Dari pemeriksaan fisik ditemukannnya gangguan motorik dan sensorik
pada tungkai atas.

Pemeriksaan khusus : Active Movement Scale

Skala gerakan aktif diciptakan oleh rumah sakit untuk anak-anak di Toronto. Skala ini
digunakan untuk menilai fungsi motorik pada bayi dengan cedera pleksus brachialis. Seorang
bayi yang dinilai dengan 15 gerakan yang berdasarkan analisis observasional. Nilai otot dari 0
(tidak ada kontraksi) sampai 7 (gerakan penuh) yang ditetapkan berdasarkan gerakan yang
ditimbulkan. Lima belas gerakan dievaluasi dari bahu yang terkena untuk tangan : bahu
abduksi, adduksi, rotasi eksternal, fleksi dan rotasi internal; siku fleksi dan ekstensi, lengan
bawah pronasi supinasi dan pergelangan tangan fleksi dan ekstensi, ekstensi dan fleksi ibu jari
dan jari-jari.

Gilbert shoulder classification

 Grade O is a complete flail shoulder


 Grade 1 (sangat buruk) : abduksi 45 derajat, dengan tanpa rotasi eksternal aktif
 Grade 2 (buruk) : abduksi kurang dari 90 derajat, dengan tanpa rotasi eksterna
 Grade 3 (cukup) : abduksi 90 derajat dengan rotasi eksternal lemah
 Grade 4 (baik) : abduksi kurang dari 120 derajat dengan rotasi eksterna inkomlit
 Grade 5 (sangat baik) : abduksi lebih dari 120 derajat, dengan rotasi eksterna aktif

Laboratorium tidak memberikan makna diagnostic pada paralisis Erb Palsy.

Imaging studies memberikaan magna diagnostic untuk mengetahui letaknya seperti :

 Computed tomography (CT) myelography adalah metode standar untuk mengevaluasi


integritas Pleksus brachialis, radiografi paling sensitif untuk mendeteksi cedera akar
saraf dengan menggunakan kontras. Kekurangan utama untuk prosedur ini adalah
paparan radiasi, kebutuhan untuk sedasi, tingkat false positif yang signifikan dan
kurangnya informasi tentang pleksus brachialis distal.
 MRI adalah studi pencitraan terbaik yang tersedia untuk mengevaluasi pleksus
brachialis cerebral neonatal. MRI tidak memerlukan paparan radiasi, tidak invasif, dan
menyediakan lebih rinci daripada CT myelography. Tes ini sangat berguna sebelum
operasi untuk menunjukkan tingkat trauma, termasuk pseudomeningocele, dan adanya
akar di foramen saraf.
 Radiografi polos dapat membantu dalam menegakkan diagnosis kelumpuhan
hemidiafragma dari keterlibatan saraf frenikus dan patah tulang klavikula di atas
humerus. Radiografi aksila juga harus dilakukan pada anak yang menunjukkan
hilangnya progresifisitas rotasi eksternal, untuk menyingkirkan dislokasi bahu
posterior.

Electromiogram digunakan sebagai pemeriksaan fisik yang dapat memberikan data


tingkat keparahan dan waktu cedera. Penelitian awal biasanya dilakukan 2 – 3 minggu setelah
cedera, ketika tanda-tanda denervasi terlihat pada anak dengan cedera sedang atau berat.
Pemeriksaan ini biasanya meliputi sendi tentang aksila saraf muskulokutaneus. Pada cedera
yang lengkap, motor dan studi konduksi saraf sensorik (NCS) dari medianus, ulnaris dan
radialis. NCS sensoris berguna dalam membedakan cedera avulsi, jika potensi saraf sensorik
masih utuh sedangkan secara klinis lengan mati rasa. Jika gangguan pernapasan tercatat pada
kelahiran, konduksi saraf frenikus ipsilateral juga diuji. EMG jarum dilakukan pada yang
dipersarafi oleh saraf yang terkena. Pada Erb palsy, otot-otot yang diperiksa termasuk
supraspinatus, deltoid, infraspinatus, triceps, dan biceps.

2.6. KOMPLIKASI

Anak-anak dengan Erb Palsy memiliki risiko gangguan perkembangan, seperti


kontraktur yang progresif, deformitas tulang, skoliosis, dislokasi bahu posterior, infeksi
cutaneus dan agnosia dari anggota badan yang terkena.

2.7. PENATALAKSANAAN

Pada beberapa bayi terjadi perbaikan sendiri, beberapa perlu penanganan dari spesialis.
Bedah saraf neonatal/pediatric kadang melakukan perbaikan fraktur avulse, sehingga terjadi
penyembuhan lesi dan fungsi kembali normal. Fisioterapi diperlukan untuk mendapatkan
kembali fungsi seperti normal. Range of motion dapat kembali normal pada anak kurang dari
satu tahun, apabila setelah satu tahun tidak ada perbaikan fungsi sepenuhnya, harus diwaspadai
timbulnya arthritis.

Pada beberapa kasus yang berat, terutama yang berkaitan dengan trauma dimana terjadi
avulse saraf, intervensi tindakan operatif dilakukan dalam beberapa hari setelah cedar untuk
perbaikan primer, atau setelah beberapa minggu sampai bulan untuk perbaikan sekunder, dapat
meningkatkan fungsi (Spinner dan Klinc, 2000). Perbaikan primer yang segera biasanya
direkomendasikan bila laserasi saraf bersih dari benda tajam. Perbaikan operatif sekunder
setelah 2 – 4 minggu secara umum direkomendasikan untuk cedera tumpul atau cedera dengan
kerusakan jaringan lunak yang luas dimana cedera saraf terjadi komplit atau sangat berat.

Fisioterapi

Sebuah program terapi yang komprehensif harus terdiri dari latihan ROM, fasilitasi
gerakan aktif, pengautan, promosi kesadaran sensorik, dan penyediaan instruksi untuk kegiatan
rumah. Secara keseluruhan tujuan harus focus pada meminimalkan deformitas tulang dan
kontraktur sendi, sekaligus mengoptimalkan hasil fungsional. Kontraktur berat harus dihindari
denga latihan terapi yang konsisten, termasuk peregangan pasif dan aktif, fleksibilitas kegiatan,
teknik rilis myofacial dan mobilisasi sendi. Awal dan konsisten pereganagn rotator internal
harus meminimalkan risiko masalah ini. Rotasi eksternal, dilakukan dengan adduksi bahu
samping dada dan dengan siku tertekuk sampai 90 derajat, memberikan peregangan maksimum
rotator internal (khususnya subskapularis) dan kapsul bahu anterior. Skapula harus stabil saat
peregangan otot. Bahu korset untuk mempertahankan mobilitas dan melestrarikan beberapa
ritme scapulohumeral. Awal perkembangan kontraktur fleksi sendi di siku adalah umum dan
dapat diperburuk oleh dislokasi kaput yang disebabkan oleh supinasi paksa. Supinasi lengan
bersifat agresif, oleh karena itu harus dihindari.

Mobilitas dan penguatan aktif awalnya difasilitasi melalui kegiatan yang sesuai usia
perkembangan. Dengan bertambahnya usia anak,latihan penguatan standar yang digunakan
dan ketrampilan fungsional spesifik harus diperkenalkan. Kelompok otot tertentu dapat
ditargetkan untuk memperkuat melalui gerakan fungsional. Kompensasi dan gerakan pengganti
harus dihindari, karena dapat mengakibatkan otot menjadi lemah dan deformitas.

Teknik rekaman dapat digunakan oleh terapis untuk mengendalikan ketidakstabilan


scapula. Kegiatan kesadaran sensorik yang berguna untuk meningkatkan kerja motor aktif,
serta untuk meminimalkan kelalaian dari anggota badan yang terkena. Penggunaan pjat bayi
dan menarik perhatian visual untuk lengan yang terkena dapat dimasukkan dengan mudah ke
dalam kegiatan bermain dan sehari-hari. Kegiatan menahan beban dengan lengan terpengaruh
di semua posisi tidak hanya memberikan masukan proprioseptif yang diperlukan terapi tetapi
juga dapat berkontribusi untuk pertumbuhan tulang.
Sebuah program yang komprehensif yang mencakup latihan peregangan, penanganan
yang aman dan teknik posisi awal, kegiatan pembangunan dan penguatan, dan kesadaran
sensorik harus dikembangkan dan diperbarui jika diperlukan. Pada anak yang lebih tua dengan
kecacatan persisten, fokus pada belajar mandiri untuk peregangan dan ketrampilan hidup
tertentu.

Rangsangan Listrik Neuromuskuler

Stimulasi listrik neuromuskuler (NMES) digunakan secara luas untuk anak-anak


dengan paralisis plexus brachialis termasuk Erb Palsy. NMES adalah modalitas diaman otot-
otot yang dirangsang oleh arus yang terus menerus. Bentuk utama yang digunakan adalah batas
dan stimulasi listrik fungsional (FES). Yang pertama dapat dimulai ketika pasien masih muda,
itu melibatkan aplikasi dari arus frekuensi rendah pada otot. Teknik ini telah dilaporkan untuk
meningkatkan aliran darah dan mungkin sebagian otot tapi belum diteliti lebih lanjut. FES
melibatkan stimulasi dengan arus yang lebih tinggi frekuensinya, sehingga menyebabkan otot
berkontraksi dan lengan bergerak.

Stimulator harus dititrasi dengan bantuan dari anak untuk memungkinan kon traksi otot
yang cukup dan menghindari rasa sakit.

Terapi Toksin Botulinum A

Terapi botulinum toxin A sedang digunakan oleh beberapa fasilitas untuk


meningkatkan fleksibilitas dari bahu rotator internal. Hal ini juga digunakan dalam pengobatan
co-kontraksi, dengan memberikan racun yang akan membuat kelumpuhan sementara pada otot
yang lemah sehingga menjadi kuat. Kegunaan intervensi ini masih dipelajari.

Operatif

Tindakan operatif meliputi internal neurolysis, reseski, dan reanastomosis, atau reseksi
dan grafting. Pada kasus tersebut dimana cedera saraf sangat berat dan perbaikan primer atau
grafting tidak memungkinkan, neurotization dengan anastomosis satu saraf dengan yang lain
dapat menjadi pilihan lainnya. Jadi, bila prosedur di atas gagal dan tidak ada inervasi yang
terjadi atau setelah beberapa tahun sejak cedera, bentuk terapi sekunder lain dapat dicoba,
meliputi transfer tendon dan stabilisasi sendi.

Penyembuhan Erb palsy dengan cara pembedahan yang paling sering dilakukan, ada 3
cara yaitu transplantasi saraf, rilis subscapularis dan transfer tendon latissimus dorsi.

1. Transplantasi saraf biasanya dilakukan pada bayi dibawah usia 9 bulan, karena
perkembangan bayi yang lebih cepat sehingga meningkatkan efektifitas prosedur.
Biasanya tidak dilakukan pada pasien yang lebih tua daripada ini karena ketika prosedur
ini dilakukan pada bayi yang lebih tua, lebih berbahaya daripada tidak dilakukan dam
dapat mengakibatkan kerusakan saraf di daerah dimana saraf diambil. Jaringan parut
dapat bervariasi dari luka samar sepanjang garis leher untuk penuh “T” bentuk di
seluruh bahu tergantung pada pelatihan dokter bedah dan sifat dari transplantasi.
2. Rilis subscapularis, tidak memiliki waktu yang terbatas karena hanya memotong bentuk
“Z” ke dalam otot subskapularis untuk memberikan peregangan dalam lengan, dapat
dilakukan di hamper usia berapa pun dan dapat dilakukan berulang-ulang pada lengan
yang sama, namun hal ini akan membahayakan integritas otot.
3. Latissimus dorsi transfer tendon yaitu memotong latissiumus dorsi setengah horizontal
dan memasangnya di sekitar otot bagian luar biceps. Dengan cara ini memberikan rotasi
eksternal dengan berbagai tingkat keberhasilan.

2.8. PROGNOSIS

Untuk cedera avulse dan pecah, tidak ada potensi untuk pemulihan kecuali rekoneksi
bedah dibuat pada waktu yang tepat. Potensi untuk pemulihan bervariasi untuk neuroma dan
neuropraxia. Kebanyakan pasien dengan cedera neuropraxia pulih secara spontan dengan 90 –
100% pengembalian fungsi. Untuk pemulihan yang baik dari fungsi lengan fisioterapi 50 – 80
%.
BAB III

KESIMPULAN
Erb Palsy merupakan penyakit kelumpuhan ekstremitas atas dikarenakan lesi pada
pleksus brachialis bagian atas yang mengenai radiks C5-C6. Biasanya penderita adalah bayi
yang lahir dengan distosia bahu atau dapat pula terjadi pada anak-anak dan dewasa dengan
trauma di bahu.

Secara klinis pasien Erb Palsy memiliki gambaran kelumpuhan otot yang
dipersarafinya, yaitu posisi lengan atas adduksi dan endorotasi dan lengan bawah posisi pronasi
yang dikenal Waiter’s tip position.

Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


CT-Scan atau MRI dan EMG. Penanganan pasien dengan Erb Palsy harus dilakukan secara
multidisiplin, diagnosis yang sesegera mungkin, dan fisioterapi yang tepat dapat memulihkan
50 – 80% fungsi yang ada, tergantung keparahan lesi tersebut. Lesi yang berat yang
menyebabkan putusnya semua akson hanya dapat dilakukan terapi pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono, Mahar, Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta.
2. Twee Do, 2009, Muscular Dystrophy, www.e-medicine.com
3. Wedantho Sigit. Kelumpuhan Plexus Brachialis : Divisi Orthopedi & Traumatologi,
2007, FKUI
4. http ://www.erbpalsynetwork.com/aboutinjury.htm,accesed on September 26, 2013.
5. http : //emedicine.medscape.com/article/317057,accesed on September 26, 2013
6. Warwick, R, & Williams, P.L. (1973) Erb-Duchenne and Dejerine-Klumpke Palsies
Information page : National Institute of Neurological Disoders and Stroke (NINDS).
Pp1046

Anda mungkin juga menyukai