net/publication/322675438
CITATIONS READS
0 407
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Suhu, Klorofil-a, nutrient di Selat Bali saat muson tenggara View project
All content following this page was uploaded by Wingking Era Rintaka on 24 January 2018.
Wingking E. Rintaka
Balai Penelitian dan Observasi Laut, Balitbang KP, Kementerian Kelautan dan Perikanan
e-mail: era09.bpol@gmail.com
Abstrak
Perairan utara Papua dan Maluku merupakan wilayah yang berhubungan langsung dengan
Samudra Pasifik, 70% jumlah tangkapan Skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) di wilayah
perairan Samudera Pasifik. Distribusi Skipjack tuna sangat dipengaruhi kondisi suhu dan
klorofil-a yang merupakan indikator utama terjadinya upwelling. Penelitian ini bertujuan
mengetahui variasi seasonal suhu permukaan laut (SPL), front suhu (thermal front) dan
kelimpahan klorofil-a terhadap jumlah tangkapan Skipjack tuna di perairan utara Maluku–
Papua. Analisis seasonal SPL, thermal front dan kelimpahan klorofil-a dari citra satelit MODIS.
Data koordinat tangkapan Skipjack tuna di perairan utara Maluku–Papua diperoleh dari
Pelabuhan Perikanan Bitung, Ambon dan Ternate. Data koordinat tangkapan bulanan dioverlay
dengan SPL, thermal front dan klorofil-a untuk mengetahui pengaruh parameter tersebut
terhadap koordinat daerah tangkapan Skipjack tuna. Pada saat terjadinya upwelling terlihat
adanya thermal front dan penurunan SPL bulan Juli–Agustus, diikuti peningkatan konsentrasi
klorofil bulan September–Oktober, serta peningkatan jumlah tangkapan Skipjack tuna bulan
Februari–Maret yaitu di daerah sekitar Laut Maluku dan Halmahera dengan koordinat antara
125°BT–128,5°BT; 2°LU–2,5°LS. Berdasarkan analisis seasonal thermal front tersebut
disimpulkan pada saat terjadi upwelling tidak langsung diikuti peningkatan jumlah tangkapan
Skipjack tuna tetapi terdapat jeda waktu (time lag) ± 5–6 bulan.
Pengantar
Perairan Indonesia timur merupakan wilayah yang berhubungan langsung dengan Samudera
Pasifik yang merupakan 70% hasil tangkapan daerah tangkapan terbesar Skipjack tuna (K.
pelamis). Penyebaran Skipjack tuna di perairan Indonesia timur lebih banyak terkonsentrasi
pada perairan Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Flores, Laut Sawu, Laut
Timor, Laut Arafura dengan batas antara 5°LS–10°LS dan perairan utara Papua dengan batas
antara 5°LU–1°LS dan 131°BT–146°BT (Bunyamin, 1981). Daerah potensial penyebaran
Skipjack tuna di perairan utara Papua tersebar antara 1°LS–4°LU, tetapi lebih terkonsentrasi
pada daerah antar 0–2°LU (Waas, 2004). Penyebaran secara vertikal Skipjack tuna dapat
tertangkap di kedalaman 0–40 meter, penyebarannya di perairan tropis sangat dipengaruhi oleh
lapisan termoklin. Skipjack tuna umumnya ditemukan di atas lapisan termoklin (Laevastu &
Hela, 1970). Faktor utama yang mempengaruhi distribusi vertikal dari Skipjack tuna di perairan
adalah parameter suhu, sedangkan klorofil adalah salah satu parameter utama penentu
upwelling. Suhu yang ideal untuk Skipjack tuna antara 26°C–32°C, dan suhu yang ideal untuk
melakukan pemijahan 28°C–29°C dengan salinitas 33% (Gunarso, 1985).
Distribusi Skipjack tuna sangat dipengaruhi kondisi suhu dan klorofil-a yang merupakan
indikator upwelling. Upwelling adalah proses penaikan massa air dari bawah ke permukaan
yang biasanya membawa nutrien. Kemunculan upwelling berasosiasi dengan terjadinya front
dan kelimpahan klorofil-a, dimana lokasi front yang diikuti kelimpahan klorofil-a dapat mengarah
terjadinya upwelling. Penggunaan dua parameter ini yaitu termal front dan kelimpahan klorofil-a
merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Podesta (1993) menemukan adanya hubungan
antara keberadaan front dengan kelimpahan ikan. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh
Worm (2005) bahwa penyebaran ikan predator berkorelasi dengan front. Front merupakan
salah satu proses oseanografi yang berpengaruh terhadap kondisi fisika dan biologi suatu
perairan. Sedangkan pengaruh kelimpahan klorofil-a menurut Lalli & Parson (1994) pada suatu
perairan merupakan indikator dari kesuburan perairan dan produktifitas primer.
SIED (Single Image Edge Detection) merupakan salah satu metode otomatis identifikasi
thermal front yang dikembangkan oleh Cayulla & Cornillon (1992). Dalam penginderaan jauh
metode ini termasuk dalam deteksi tepi. Deteksi tepi (Edge Detection) adalah pemrosesan citra
yang menghasilkan tepi-tepi dari obyek-obyek citra, tujuannya adalah untuk memperjelas
bagian yang ingin didetailkan dalam citra atau untuk memperbaiki detail citra yang kabur akibat
error dari proses akuisisi citra. Biasanya metode ini digunakan untuk memisahkan dua populasi
atau lebih yang mempunyai perbedaan nilai yang ekstrim. Kahru et al. (1995) sukses
menerapkan metode ini untuk mengetahui distribusi front suhu permukaan laut di Laut Baltic,
selain itu Podesta et al. (1993) juga menerapkan metode ini di Barat Laut Atlantik. Selama ini
belum ada penelitian yang mengidentifikasi dan melihat variabilitas thermal front di Perairan
Indonesia. Metode SIED ini diharapkan dapat diterapkan untuk mendeteksi thermal front di
perairan utara Papua-Maluku dimana lokasi terdapat arus eddy yang downwelling yang
seharusnya membuat perairan tidak subur. Akan tetapi, arus dari pantai utara papua yang
mengarah ke Morotai membawa banyak kandungan nutrien sehingga perairan ini menjadi
subur.
Salah satu bentuk front di wilayah perairan utara Maluku yaitu Halmahera Eddy (HE) yang
terbentuk akibat tubrukan antara dua arus berlawanan arah yaitu Arus Mindanao dari bumi
belahan utara dan Arus Pantai Utara Papua (New Guinea Coastal Current dan New Guinea
Coastal Under Current) dari bumi belahan selatan. HE juga sebagai pembentuk sumber massa
air Arlindo (Indonesia Through Flow) di gerbang timur yang merupakan bagian dari sirkulasi
arus termohaline global. Terbentuknya HE akan menjadi sumber utama variabilitas dalam
proses biologi dan biogeokimia di perairan ini. HE diidentifikasi berdasarkan rona klorofil-a
permukaan tinggi yang membentuk jejak pada sirkulasi pusaran arus HE. Hasil penelitian
Gentio (2014) menyatakan bahwa Produktivitas cakalang di wilayah ini mempunyai korelasi
kuat terhadap pergeseran meridional HE dibandingkan dengan pergeseran zonalnya. Demikian
pula halnya dengan produksi cakalang yang didaratkan (landing fishing) di pelabuhan sekitar
pantai Morotai menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dengan pergeseran meridional HE.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh variasi seasonal suhu permukaan
laut (SPL), front suhu (thermal front) dan kelimpahan klorofil-a yang merupakan indikator
upwelling terhadap jumlah tangkapan Skipjack tuna di perairan utara Maluku–Papua. Dengan
diketahui pengaruh variasi seasonal suhu permukaan laut (SPL), front suhu (thermal front) dan
kelimpahan klorofil-a terhadap jumlah tangkapan Skipjack tuna diharapkan dapat memberikan
informasi berupa prediksi secara spasial maupun temporal daerah dan waktu tangkapan
Skipjack tuna dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang menganut prinsip
kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan khususnya Skipjack tuna di perairan utara
Maluku–Papua.
Penelitian dilakukan di perairan utara Maluku-Papua pada posisi koordinat 07°LU–06°LS dan
120°BT–140°BT seperti terlihat pada Gambar 1. Data yang digunakan meliputi Suhu
Permukaan Laut (SPL), Sea Surface Chlorophyl (SSC) komposit bulanan 2013 dan data
koordianat tangkapan Skipjack tuna yang diperoleh Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon
2013, Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung 2013–2014 dan Pelabuhan Perikanan Nasional
Ternate 2011–2014.
Data satelit yang digunakan adalah suhu permukaan laut (SPL) resolusi 4 km dari Citra Satelit
Aqua MODIS harian level 3 harian kemudian dibuat komposit bulanan selama satu tahun, yaitu
Januari–Desember 2013 untuk mengidentifikasi area thermal front dari Januari–Desember
2013. Data satelit Aqua MODIS diunduh dari website NASA www.oceancolor.gsfc.nasa.gov/.
Data citra yang diunduh dari website tersebut berformat hdf (hierarchical data format) dengan
tipe data floating. Untuk dapat diaplikasikan pada toolbox SIED di ArcGIS maka tipe data akan
dirubah dari floating menjadi integer dengan truncation. Untuk dapat merepresentasikan beda
suhu harian di utara Maluku dan Papua, maka dibuat histogram window sampel dari masing-
masing bulan untuk dihitung dan nantinya akan digunakan sebagai nilai Threshold dengan
melihat hasil analisis histrogram. Piksel yang diambil sebagai perhitungan dalam sampel adalah
piksel yang secara interpretasi visual diperkiraan sebagai front. Cayula dan Cornillon (1995)
menjabarkan algoritma Single Image Edge Detection (SIED) yang dioperasikan menjadi 3 level:
1) Picture level dimana pada level ini statistik lebih dominan, yaitu menentukan probabilitas area
yang tersegmentasi terutama yang dipengaruhi oleh keberadaan awan, ini dilakukan dengan
komputasi seluruh citra; 2) Window level, pada level ini adalah mencari statistik dari
kemungkinan suhu permukaan laut front pada seluruh window; 3) Local level, menentukan
statistik pada piksel dengan mempertimbangkan piksel tetangga. Pada level inilah terdapat
kemungkinan edge piksel.
Citra yang digunakan oleh Cayulla dan Cornillon adalah NOAA-7 dengan resolusi spasial 1 km.
Pada dasarnya, metode SIED menggunakan histogram window size ukuran 32 x 32 piksel
dengan median filter 3, serta menentukan nilai histogram window stride. Hasil proses filtering
dan moving window ini akan berpengaruh pada nilai kohesi populasi. Perlu diperhatikan bahwa
eksperimen yang dilakukan Cayula dan Cornillon ini di Cape Hatteras, Gulf Stream, yang beda
suhu antara dua massa airnya cukup ekstrim dan tidak seperti di Indonesia. Selain itu juga
resolusi spasial dari data citra yang digunakan juga sangat berbeda. Hal inilah yang
kemungkinan akan membedakan ukuran threshold yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Tool SIED ini dibuat oleh Jason Roberts, dengan menggunakan pengaturan nilai yang sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Cayula dan Cornillon. Dalam penelitian ini akan
dilakukan pengaturan nilai yang disesuaikan dengan wilayah dan data, terutama pada nilai
threshold yang digunakan. Front yang berulang pada lokasi yang sama merupakan thermal
front yang dianggap tetap (persistent thermal front). Dalam Pembuatan Peta Prakiraan Daerah
Penangkapan Skipjack tuna, data suhu permukaan laut diinterpretasi secara visual untuk
menentukan daerah thermal front. Jika pada daerah thermal front diikuti oleh kelimpahan
klorofil-a maka daerah tersebut dianggap sebagai daerah potensi ikan. Metode SIED yang lebih
obyektif dapat membantu interpreter pada penentuan daerah potensi ikan. Identifikasi front
suhu yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan mengoverlay data koordinat tangkapan
Skipjack tuna sehingga dapat dilihat rentang suhu ikan banyak ditangkap. Data koordinat
tangkapan Skipjack tuna ini merupakan data koordinat tangkapan yang dicatat dan didaratkan
di Pelabuhan Perikanan Ambon, Bitung dan Ternate tahun 2011–2014.
Analisis seasonal kordinat tangkapan Skipjack tuna di utara Maluku–Papua dilakukan dengan
mengeplotkan koordinat tangkapan tiap bulan dari Januari–Desember, kemudian dianalisis
seasonal terhadap jumlah tangkapan Skipjack tuna. Berdasarkan data landing Skipjack tuna
dari 3 pelabuhan perikanan yaitu: Ambon tahun 2013, Bitung 2013–2014 dan Ternate 2011–
2014 tersebut menunjukkan penangkapan Skipjack tuna di perairan utara Maluku–Papua terjadi
sepanjang tahun Januari–Desember. Musim penangkapan Skipjack tuna maksimum terjadi
pada musim peralihan 1 bulan Februari–April (Gambar 2.a-c).
a.
b.
c.
Gambar 2. Jumlah tangkapan Skipjack tuna di pelabuhan perikanan (a) Ambon, (b) Bitung, (c)
Ternate
Jumlah tangkapan maksimum Skipjack tuna yang daratkan di pelabuhan perikanan Ambon
2013 terjadi pada Februari–Maret berkisar 19.300–19.500 ekor. Tangkapan maksimum Skipjack
tuna yang daratkan di pelabuhan perikanan Bitung 2013–2014 terjadi pada Februari–April
berkisar 3.363–4.472 ton. Tangkapan maksimum Skipjack tuna yang daratkan di pelabuhan
perikanan Ternate 2011–2014 terjadi pada Februari–April berkisar 100,41–216,96 ton.
Berdasarkan dari data pendaratan Skipjack tuna di tiga pelabuhan perikanan Ambon, Bitung
dan Ternate menunjukkan bahwa musim penangkapan maksimum di perairan utara Maluku–
Papua terjadi pada akhir musim barat sampai dengan awal musim peralihan I sekitar Februari–
Mei. Hasil penelitian Suprianto dkk. (2012) menyatakan bahwa musim penangkapan ikan terjadi
pada bulan April untuk fase pertama, kemudian pada bulan Juli sampai bulan September untuk
fase kedua. Hasil plotting data tangkapan Skipjack tuna rata-rata bulanan tahun 2011–2014
perairan utara Maluku dan Papua (5°LU–5°LS, 120°BT–138°BT) yang di daratkan di PPS
Ambon, PPS Bitung dan PPN Ternate seperti terlihat pada Gambar 3, ditemukan koordinat
tangkapan terbanyak di perairan Laut Maluku, Laut Halmera, terutama memasuki bulan
Februari–Maret.
Area thermal front dengan metode SIED pada data SPL dan dioverlay dengan koordinat
tangkapan Skipjack Tuna di utara Papua-Maluku seperti terlihat pada Gambar 4. Berdasarkan
analisa data satellite parameter SPL, SSC, thermal front menyatakan bahwa SPL minimum
terlihat dari front suhu permukaan yang merupakan indikasi terjadinya upwelling pada bulan
Juli–Agustus, selang waktu 1 bulan terjadi peningkatan konsentrasi klorofil pada bulan
September–Oktober dan selang waktu (time lag) 5–6 bulan terjadi peningkatan jumlah
tangkapan Skipjack tuna di perairan Laut Halmerara, Laut Maluku. Berdasarkan penelitian
Mardlijah (2008) melalui analisis bedah lambung Skipjack tuna yang didaratkan di PPS Bitung
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi makanan ke-2 jenis ikan pelagis besar tersebut
berubah-ubah dan memiliki kemiripan terhadap 1 jenis makanan yaitu ikan malalugis
(Decapterus macarellus)/ikan layang yang merupakan makanan utama ikan cakalang (K.
pelamis). Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, sangatlah masuk akal apabila terjadi time lag
kurang lebih 5–6 bulan antara terjadi upwelling, yang diikuti peningkatan jumlah klorofil dan
peningkatan jumlah tangkapan Skipjack tuna, karena makanan utama Skipjack tuna adalah
ikan layang (D. macarellus) yang mempunyai makanan utama zooplankton. Dari penelitian lain
di perairan Selat Bali terjadi time lag kurang lebih 3 bulan antara terjadinya upwelling dengan
jumlah tangkapan Lemuru (Sardenella sp), dimana ikan lemuru mempunyai kesamaan makan
dengan ikan layang (D. macarellus) yaitu zooplankton. Semakin tinggi tropic level ikan akan
semakin lama waktu antara terjadinya upwelling dengan jumlah tangkapan maksimum ikan
tersebut dimana dari hasil penelitian ini time lag upwelling dengan tangkapan maksimum
Skipjack tuna di perairan utara Maluku–Papua kurang lebih 5–6 bulan, sedangkan penelitian
sebelumnya untuk jenis ikan yang berbeda yaitu lemuru (Bali Sardenella) time lag terjadi kurang
lebih 3 bulan.
Suhu permukaan laut (SPL) di utara Maluku–Papua sangat berpengaruh pada distribusi
Skipjack tuna di perairan utara Maluku–Papua, dimana umumnya perairan disini sangat hangat
yang mencerminkan karakteristik perairan di western Pasifik terutama di wilayah perairan
oseaniknya dengan kisaran antara 27,5°C–30°C. Selama bulan Juli–Agustus 2013 perairan di
Laut Banda hingga Laut Maluku terlihat mengalami penurunan SPL. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh pengaruh angin musiman yang kuat seperti diungkap oleh Wyrtki (1961) dan
Birowo & Ilahude (1987) yang menyatakan bahwa selama musim tenggara, Laut Banda dan
sekitarnya mengalami upwelling yang cukup intensif ditandai dengan penurunan SPL di wilayah
tersebut. Sedangkan selama periode musim barat laut, SPL mengalami penghangatan dan
terjadi pendalaman lapisan termoklin (downwelling).
Konsentrasi klorofil tinggi terjadi pada bulan September–Oktober di sekitar perairan Laut
Halmahera, Laut Maluku dan di sekitar pusaran arus Halmahera dimana klorofil-a tinggi
membentuk pita sabuk. Konsentrasi klorofil-a permukaan di wilayah pantai ini berkisar antara
0.15–0.56 mg/m3 Konsentrasi klorofil tinggi terlihat berasal dari wilayah perairan sekitar utara
Papua, Laut Halmahera dan Laut Maluku. Jejak klorofil ini terlihat mirip dengan sirkulasi Arus
Pantai Papua (New Guinea Coastal Current) seperti yang telah didiskripsikan oleh Lukas et al.
(1991), Fine et al. (1994) dan Kashino et al. (2013), dimana Arus Pantai Papua mengalir ke
barat dan barat laut disepanjang pantai utara Papua kemudian berbelok (retrofleksi) ke timur
untuk bergabung bersama Arus Mindanao membentuk ASKU (North Equatorial Counter
Current/NECC). Menurut Sprintal and Tomczak (1992), sifat miskin klorofil pada lapisan
permukaan di wilayah oseanik perairan ini dikarenakan terhambatnya intrusi massa air kaya
nutrien dari lapisan dibawahnya (pertengahan) untuk naik ke permukaan akibat tertahan lapisan
gendala (barrier layer) yang terbentuk akibat kuatnya gradient salinitas (haloklin) yang berada
diatas lapisan termoklin. Sementara Veron et al. (2009) menyebut perairan Raja Ampat dan
perairan utara Papua merupakan gugus kepulauan yang menjadi jantung dari segitiga terumbu
karang dunia. Disebutkan mereka, perairan ini memiliki ekosistim terumbu paling beragam di
dunia, dimana hampir sekitar 75% spesies terumbu karang di seluruh dunia ada di perairan ini.
Demikian halnya dengan interaksi internal tide dengan ambang laut (sill) di Laut Halmahera
juga merupakan salah satu alasan tingginya konsentrasi klorofil di perairan ini. Pada Gambar 4
diperlihatkan sebaran koordinat tangkapan skipjack tuna yang menggunakan kapal purse-seine
di utara Maluku-Papua yang merupakan wilayah pengelolaan Pasifik barat dan tengah.
Berdasarkan gambar tersebut ditunjukkan bahwa lokasi-lokasi dimana kapal purse-seine
melakukan penangkapan berada (terkonsentrasi) di sabuk klorofil-a permukaan tinggi. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh sifat biologi Skipjack tuna yang merupakan tuna permukaan
yang menyukai air hangat. Pertemuan antara massa air hangat yang dibawa oleh Arus Pantai
Utara Papua (NGCC/NGCUC) dengan massa air yang lebih rendah suhunya dari perairan
dalam sekitar Indonesia menyebabkan konsentrasi cakalang cenderung di sekitar utara kepala
burung Papua dan timur laut Halmahera. Namun demikian, konsentrasi kapa-kapal purse-seine
yang beroperasi di wilayah ini sangat tergantung adanya rumpon (Fish Aggregation
Device/FAD). Sehingga posisi purse-seine yang di plot dalam peta tersebut kemungkinan juga
merupakan posisi purse-seine saat menangkap ikan di rumpon.
Gambar 4. Area thermal front dengan metode SIED pada data suhu permukaan laut dan
dioverlay dengan koordinat tangkapan Skipjack Tuna di utara Papua–Maluku
Kesimpulan
Berdasarkan analisis seasonal thermal front, upwelling terjadi pada bulan Juli–Agustus yang
ditandai nilai Suhu Permukaan Laut (SPL) rendah kemudian diikuti peningkatan konsentrasi
Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya diperlukan analisis seasonal dengan time series data yang
lebih panjang lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, baik itu data satelit maupun data
tangkapannya. Data tangkapan yang digunakan akan lebih akurat apabila menggunakan data
observer di kapal bukan data landing di pelabuhan seperti dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
Birowo, S. & Ilahude A. G. 1987. Oceanographic features of the Indonesian waters. Center for
Oceanological Research and Development-LIPI.Jakarta
Bunyamin, E. K. 1981. Suatu studi tentang Skipjack dan penyebarannya di perairan Sorong dan
sekitarnya (Tidak Dipublikas Skipjack tuna). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Bogor. 108 hal.
Cayula, J. F., & P. Cornillon. 1992. Edge detection algorithm for sst images. Journal of
Atmospheric and Oceanic Technology 9(1):67-80.
Cayula, J. F., & P. Cornillon. 1995. Multi image edge detection for sst image, Journal of
Atmospheric and Oceanic Technology 12:821-829.
Fine, R. A., Lukas R., Bingham F., Warnar M. & R. Gammon. 1994. The western equatorial
pacific: a water mass crossroads. J. Geophys. Res., 90: 25063-25080
Gunarso, W. 1985. Tingkah laku skipjack tuna dalam hubungannya dengan alat, metode dan
taktik penangkapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 149
hal.
Harsono, G. 2014. Kajian arus pusar halmahera menggunakan data satelite multisensor dan
hidrografi serta kaitannya dengan produktivitas cakalang. Disertasi Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 132 hal.
Jones, S. & E. G. Silas. 1963. Synopsis of biological data on skipjack Katsuwonus pelamis
(linnaeus) 1758 indian ocean. FAO Fish. Rep., 6 (2): 663-694
Kahru, M., Hakansson B. & Rud O. 1995. Distributions of the sea surface temperature fronts in
the baltic sea as derived from satellite imagery. Continental Shelf Research 15(6) :663-
679
Kashino, Y., Atmadipoera A. S., Kuroda Y. & Lukijanto. 2013. Observed feature of the
Halmahera and Mindanao eddies. J. Geo. Ress. Ocean, 118: 6543-6560,
doi:101002/2013 JC009207
Laevastu, T. & I. Hela. 1970. Fisheries oceanography and ecology. London: Fishing News
Books Ltd. 199 pp
Lehodey, P., M. Bertignac, J. Hampton, A. Lewis & J. Picaut. 1997. El Nino spithern oscillation
and tuna in Western Pacific. Nature 389: 715-718
Lehodey, P., F. Chai & J. Hampton. 2003. Modelling climate-related variability of tuna
populations from a coupled ocean biogeochemical-population dynamics model. Fish
Oceanogr., 12:483-494.
Lukas, R., Firing E., Hacker P., Richardson P.L., Collins C.A., Fine R. & Gammon R. 1991,
Observations of Mindanao current during the western equatorial pacific ocean circulation
study, J. Geol. Res., 96(C4): 7089-7104
Mardlijah, S. 2008 Analisis isi lambung ikan cakalang (katsuwonus pelamis) dan ikan
madidihang (thunnus albacares) yang di daratkan di bitung, sulawesi utara: Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia, Badan Riset Kelautan Perikanan 2: 227-235
Podesta, G. P., & J. A. Browder. 1993. Exploring the association between swordfish catch rates
and thermal fronts on U.S. longline grounds in the western North Atlantic. Continental
Shelf Research 13: 253-277.
Sprintall, J. & Tomczak M. 1992. Evidence of the barrier layer in the surface layer of the tropics.
J. Geophys. Res, 97(C5): 7305-7316
Suprianto, D., Reppie E. & Budiman J. 2012. Daerah penangkapan ikan dari kapal Huhate yang
berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Pantai Belang. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Perikanan Tangkap 1 (2): 57-62 Desember 2012
Veron, J., De Vantier L., Turak E., Green A., Kininmonth A., Stafford-Smith M. & Petersen N,
2009. Delineating the coral triangle. Galexea, J. Coral Reef Stu., 11: 91-100.
Wyrtki, K., 1998, Some Thoughts about the West Pacific Warm Pool. Western Pacific
International Meeting and Workshop On Toga Coare. Proceeding. Ed. Joel Picaut, Roger
Lukas, Thierry Delcroix. Institut Francais De Recherche Scientifique Pour Le Develop-
pement En Cooperation.
Worm, B., Sandow M., Oschlies A., Lotze H. K. & Myers R. A. 2005. Global patterns of predator
diversity in the open oceans, Science 309: 1365-1369.
Tanya jawab