Anda di halaman 1dari 11

DISKUSI TOPIK

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

Disusun oleh :
Ayu Devita Azhari
Doni Ananda K. A
Idham Andayana
Nabila Rahmawati

Pembimbing :
Dr. Isa M Noor, MSc, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT ISLAM JIWA KLENDER
NOVEMBER 2018
ILUSTRASI KASUS

Seorang anak laki laki berusia 9 tahun dibawa ke dokter karena kesulitan mengikuti
pelajaran di sekolah dan pertama kali mengalami masalah perilaku sejak prasekolah. Gurunya
khawatir ia memiliki perilaku agresif. Ibunya melaporkan bahwa dia selalu berlari-lari di dalam
rumah sepanjang hari, membutuhkan banyak permintaan untuk membereskan mainannya, dan
hanya bisa duduk diam selama beberapa detik sebelum ia merasa bosan. Seorang guru
menyatakan bahwa ia sering memotong antrian, mengalihkan perhatian teman – teman
sekelasnya, dan tidak mengerjakan PR dan tidak merasa bersalah, tetapi ia mampu
menyelesaikan PR ketika ia diberi pengawasan. Dia kehilangan beberapa peralatan sekolah dan
dia sering terlambat berangkat sekolah atau lama untuk mempersiapkan diri ke sekolah. Dia juga
kesulitan pada kelompok pertemanan dan dia sering terlibat pertengkaran dengan kelompok
bermainnya. Di ruang dokter dia melompat – lompat di kursi meskipun ibunya meminta untuk
duduk diam. Ibunya menyatakan bahwa saudara laki laki yang berusia 16 tahun juga hiperaktif
ketika dia masih kecil dan memiliki masalah akademik

DAFTAR MASALAH
• Kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah
• Perilaku agresif
• Berlari-lari di dalam rumah sepanjang hari
• Kesulitan pada kelompok pertemanan
• Sering terlibat pertengkaran dengan kelompok bermainnya
• Kehilangan beberapa peralatan sekolah
• Sering terlambat berangkat sekolah atau lama untuk mempersiapkan diri ke sekolah
• Hanya bisa duduk diam selama beberapa detik sebelum ia merasa bosan
• Melompat – lompat di kursi meskipun ibunya meminta untuk duduk diam
• Saudara laki laki yang berusia 16 tahun juga hiperaktif ketika dia masih kecil dan
memiliki masalah akademik

2
KRITERIA DIAGNOSIS
Berdasarkan DSM IV-TR
1. Salah satu (1) atau (2):
(1). Terdapat minimal enam (atau lebih) gejala gejala inatensi berikut yang menetap
dan telah berlangsung sekurang – kurangnya 6 (enam) bulan sampai ke tingkat yang
maldatif dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak :
A. Sering gagal untuk memberikan perhatian yang baik terhadap hal – hal yang rinci
atau sering melakukan kesalahan yang tidak seharusnya/ceroboh terhadap pekerjaan
sekolah, pekerjaan lain atau aktivitas – aktivitas lainya
B.Seringkali mengalami kesulitan untuk mempertahankan perhatian dalam
melakukan tugas tanggung jawabnya atau dalam kegiatan bermain
C. Seringkali tampak tidak mendengarkan (acuh) pada waktu diajak berbicara
D. Seringkali tidak mampu mengikuti aturan atau instruksi dan gagal dalam
menyelesaikan tugas - tugas sekolah, kegiatan sehari -hari atau pekerjaan di tempat
kerja
E. Seringkali mengalami kesulitan dalam mengorganisasikan tugas tanggung jawab
atau aktivitas – aktivitasnya
F. Seringkali menghindar, tidak suka atau menolak dalam kegiatan – kegiatan yang
memerlukan konsentrasi yang lama seperti dalam mengerjakan tugas – tugas sekolah
G. Seringkali kehilangan barang – barang yang perlu digunakan untuk kegiatan –
kegiatan atau aktivitasnya
H Mudah teralih perhatiannya oleh stimulus yang dating dari luar
I. Mudah lupa akan kegiatan yang dilakukan sehari – hari

3
(2) Terdapat minimal enam (atau lebih) gejala – gejala hiperaktivitas berikut yang menetap dan
telah berlangsung sekurang – kurangnya 6 (enam) bulan sampai ke tingkat yang maladatif dan
tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak :
Hiperakrivitas :
A. Seringkali tidak bisa duduk diam atau kaki – tanganya bergerak – gerak terus dan gelisah
B. Seringkali tidak mampu duduk diam di kursinya di dalam kelas atau pada situasi dimana
anak diharapkan duduk
C. Sering sekali berlari – lari atau memanjat secara berlebihan pada situasi – situasi yang
tidak sesuai atau pada situasi – situasi yang tak seharusnya
D. Seringkali mengalami kesulitan dalam bermain atau dalam kegiatan menyenagkan
bersama yang memerukan ketenangan
E. Seringkali “bergerak” atau sepertinya memerlukan ketenangan
F. Seringkali berbicara Berlebihan

Impulsivitas
A. Seringkali memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai diajukan
B. Seringkali mengalami kesulitan dalam menunggu giliran
C. Seringkali menginstrupsi orang lain

2. Beberapa gejala – gejala hiperaktif impulsive atau inatensi yang menyebabkan


gangguan ini sudah timbul sebelum anak berusia 7 tahun
3. Gejala – gejala yang menyebabkan gangguan ini terjadi minimal pada 2 (dua) situasi/
tempat yang berbeda (Misalnya di sekolah atau tempat kerja dan di rumah)
4. Ada bukti yang jelas bahwa gejala – gejala ini menimbulkan gangguan klinis yang
signifikan di bidang sosail, akademik dan fungsi pekerjaan lainnya
5. Gejala – gejala tidak timbul secara eksklusif selama perjalanan penyakit gangguan
perkembangan pervasive, skizofernia, atau gangguan psikotik lainnya dan tidak dapat
di jelaskan oleh gangguan mental lainnya (seperti gangguan mood, gangguan cemas,
gangguan disosiatif, atau gangguan kepribadian)

4
Diagnosis Multiaksial
Aksis I : F90.0 Gangguan Aktivitas dan Perhatian
Aksis II : Diagnosis kasus tertunda
Aksis III : Tidak Ada
Aksis IV : Tidak Ada
Aksis V : GAF: 70-61

5
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Attention Deficit Hyperactivity Disorder / ADHD atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas adalah kondisi neuropsikiatri yang mempengaruhi anak prasekolah, anak-anak,
remaja, dan dewasa di seluruh dunia. Ditandai dengan gangguan pemusatan perhatian dan
meningkatnya impulsitivitas atau hiperaktivitas.
Neurotransmitter Dopamin menjadi fokus utama penyebab terjadinya GPPH, korteks prefrontal
mempunyai utilisasi dopamin yang tinggi.

Epidemiologi
Prevalensi terkait setelah anak mulai sekolah karena mereka di tuntut untuk mampu mengontrol
perilaku dan mengikuti peraturan yang berlaku di sekolah. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Ira Savitri Tanjung, dkk pada sejumlah SD di wilayah Jakarta Pusat pada tahun
2000-2001 didapatkan 4.2 % dari sekitar 600 anak sekolah dasar kelas 1-3 yang mengalami
GPPH.

Pada tahun 2003 saja sebanyak 51 anak dari sekitar 215 anak sekolah dasar di diagnosis sebagai
GPPH di poli jiwa anak dan remaja Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo .
Angka kejadian GPPH pada anak remaja dan dewasa dikatakan lebih rendah jika dibandingkan
dengan anak usia sekolah dasar. Anak laki-laki memiliki insidensi yang lebih tinggi untuk
mengalami gangguan ini dibandingkan dengan anak perempuan dengan rasio 3-4 : 1

Etiologi
Sampai saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari GPPH. Dari beberapa penelitan
dikatakan adanya keterlibatan dari factor genetik, struktur anatomi,dan neurokimiawi otak dalam
terjadinya GPPH. GPPH disebutkan mempunyai komponen genetic karena gangguan ini
seingkali ditemukan bersamaan pada beberapa anggota keluarga yang sama. Dari beberapa
penelitian genetic dikatakan bahwa saudara kandung dari anak dengan GPPH mempunyai resiko
5-7 kali lebih besar untuk mengalami gangguan serupa jika dibandingkan dengan anak lain yang
tidak mempunyai saudara kandung dengan GPPH. Sedangkan orang tua yang mengalami GPPH
6
mempunyai kemungkinan sekitar 50% untuk menurunkan gangguan ini pada anak mereka.
Penelitian lain mengatakan bahwa 55-92% anak kembar identic akan menderita gangguan yang
sama jika salah satu anak tersebut menderita GPPH.

Berdasarkan penelitian didapatkan pengecilan lobus prefrontal anan,nucleus caudatus


kanan,globus palidus kanan serta vermis pada anak dengan GPPH jika dibandingkan dengan
anak tanpa GPPH,yang mana salah satu fungsi bagian otak tersebut adalah meregulasi fungsi
perhatian seseorang. Lobus prefrontal sebagai bagian otak yang terlibat dalam proses editing
perilaku,mengurangi distraktibilitas,membantu kesadaran diri dan waktu seseorang. Sedangkan
nucleus kaudatus dan globus palidus berperan dalam menghambat respons otomatik yang dating
pada bagian otak,sehingga koordinasi rangsangan tersebut tetap optimal.Sedangkan fungsi
serebelum adalah mengatur keseimbangan. Tetapi pengecilan lobus tersebut masih belum
diketahui.

Penelitian lain menyebutkan adanya peningkatan ambilan kembali dopamine ke dalam sel
neuron di daerah system limbic dan lobus prefrontal yang dikaitkan dengan terjadinya
polimorfisme pada dopamine transporter gene (DAT1). Polimorfisme DAT1 ini dikaitkan
dengan gangguan dalam fungsi neurotransmitter dopamine terutama di korteks dorsolateral
prefrontal yang terutama berkaitan dengan fungsieksekutif. Kondisi ini membuat anak dengan
GPPH mengalai kesulitan dalam control diri dan gngguan dalam menghibisi perilakunya.

Komplikasi perinatal juga dikaitkan dengan timbulnya GPPH pada seorang anak.
Komplikasi perinatal yang sering ditemukan adalah perdarahan antepartum, persalinan lama,
nilai APGR yang rendah. Selain itu penelitian Milberger dkk (1997) menyatakan bahwa ibu
perokok dalam masa kehamilan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk melahirkan anak
dengan GPPH. Bayi dengan BBLR yang disertai dengan kerusakan substansia alba mempunyai
resiko yang lebih tinggi untuk menderita GPPH dikemudian hari.

Beberapa kondisi seperti alergi,diet,dan pengaruh logam berat juga dikaitkan dengan
terjadinya GPPH namun masih kontroversi.

Penanganan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Hiperaktif.

7
Melihat penyebab ADHD yang belum pasti terungkap dan adanya beberapa teori penyebabnya,
maka tentunya banyak sekali terapi atau cara dalam penanganannya sesuai dengan landasan teori
penyebabnya. Ada satu hal yang perlu diketahui, bahwa tak ada penyembuhan ADH. Beberapa
terapi untuk anak hiperaktif :

1. Terapi Farmakologi

Adalah penanganan dengan menggunakan obat- obatan. Terapi ini hendaknya hanya sebagai
penunjang dan sebagai kontrol terhadap kemungkinan timbulnya impuls impils hiperaktif yang
tidak terkendali. Rencana pengobatan harus dibuat secara individual, tergantung gejala dan
efeknya terhadap kehidupan sehari-hari. Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa
kombinasi obat dan terapi lain memberi hasil paling baik.

Pengobatan diberikan bila gejala impulsivitas, agresivitas, dan hiperaktivitas cukup berat
sehingga menyebabkan gangguan di sekolah, di rumah, atau hubungan dengan teman.
Pengobatan bertujuan menghilangkan gejala dan sangat memudahkan terapi psikologis. Lamanya
pengobatan tergantung ada atau tidaknya gejala yang ingin dihilangkan.

Saat ini tersedia beragam tipe pengobatan yang dapat digunakan dalam menangani ADHD.

a. Stimulans.

Merupakan jenis obat yang paling sering digunakan dan sudah lebih 50 tahun dipakai dalam
menangani ADHD. Dosis yang diberikan pun bervariasi, ada yang setiap 4 jam adapula yang
lebih dari 12 jam . Sementara efek samping yang mungkin timbul, antara lain, nafsu makan
menurun, sakit perut, snewen dan insomnia.

b.NonStimulans

Mulai dianjurkan untuk menangani ADHD pada tahun 2003. Obat ini diketahui mempunyai efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan tipe stimulant, dan masa paruh pakainya lebih dari 24
jam.

c. Antidepressan.

Terkadang dijadikan salah satu opsi dalam menangani ADHD, tetapi pada tahun 2004 Food and
Drug Administration (FDA) mengeluarkan peringtan bahwa obat ini dapat memicu gejala aneh
yang meningkatkan risiko terjadinya bunuh diri di antara anak dan remaja yang
menggunakannya.

Jika anak kita diberi resep antidepresan, maka penting sekali untuk mendiskusikan risiko-risiko
diatas dengan dokter.

Sebagai catatan, efek yang diberikan dari obat-obatan di atas akan berbeda-beda pada setiap
anak. Efek samping seperti hilangnya selera makan, kesulitan tidur, atau mengantuk didalam

8
kelas kerap kali dapat dikendalikan melalui penyesuaian dosis obat-obatan. Dengan demikian,
untuk menemukan dosis yang paling tepat, dokter akan mencoba beragam jenis obat dan
dosisnya khusunya, bila menangani anak ADHD yang disertai dengan kelainan lainnya.

2. Terapi Bermain

Terapi bermain sangat penting untuk mengembangkan keterampilan, kemampuan gerak , minat
dan terbiasa dengan suasana kompetitif dan kooperatif dalam melakukan kegiatan kelompok.
Bermain juga dapat dipakai untuk sarana persiapan beraktivitas dan bekerja saat dewasa.

3. Terapi Perilaku

Terapi psikososial/perilaku, seperti pelatihan kemampuan sosial, dapat dianjurkan sebagai terapi
awal bila gejala ADHD cukup ringan, diagnosis ADHD belum pasti, atau keluarga memilih
terapi ini. Namun, untuk jangka panjangnya, terapi perilaku saja tidak cukup dalam menangani
ADHD.

Berikut beberapa contoh strategi-strategi perilaku yang dapat membantu anak dengan ADHD.

a. Menjadwal Rutinitas Harian.

Cobalah untuk megikuti “jadwal” kegiatan yang sama setiap hari dari bangun tidur sampai tidur
lagi. Taruh jadwal tersebut di tempat yang dapat dilihat dengan mudah sehingga anak pun tahu.

b. Keteraturan dan kerapian.

Taruh tas sekolah, pakaian dan mainan di tempat yang telah ditentukan. Dengan demikian,
risiko kehilangan benda-benda milik pribadi anak menjadi kecil.

c. Mengurangi Distraksi.

Matikan TV, radio dan game komputer khususnya pada saat anak sedang belajar atau
mengerjakan PR.

d. Batasi pilihan-pilihan.

Jika menawarkan sesuatu, batasi pilihan yang ditawarkan menjadi DUA pilihan saja. Misal, “
Dede mau es krim atau es cendol”. Kebiasaan di atas dapat mencegah anak dari kebingungan dan
overstimulasi.

e. Mengubah Gaya Interaksi dengan Anak.

Anak ADHD lebih mudah memahami perintah dan petunjuk yang ringkas, jelas, dan singkat
daripada perintah dan petunjuk yang banyak penjelasan dan bertele-tele.

f. Buat daftar Goals dan Rewards.

9
Buat daftar perilaku baik yang berhasil ditampilkan anak sesuai dengan permintaan kita,
kemudian beri imbalan yang pantas kepadanya.

Tetapi, pastikan goal yang kita inginkan itu realistis karena tidak ada yang namanya sukses
dalam semalam!

g. Menerapkan Disiplin yang efektif.

Daripada memarahi atau memukul, lebih baik gunakan mettode timeouts atau mengurangi
fasilitas-fasilitas yang biasa kita berikan pada anak sebagai konsekuensi untuk perilaku buruk
yang ditampilkan anak.

Untuk anak yang masih kecil, cukup kita alihkan perhatian atau tunggu saja, dia pun akan
normal kembali.

h. Bantu Anak Menemukan Bakatnya.

Semua anak perlu mendapat perasaan sukses agar dapat merasa baik terhadap diri mereka
sendiri. Temukan dan beri pujian pada setiap pencapaian yang berhasil ditampilkan anak, apakah
itu di bidang olahraga, musik, menggambar, mengarang dan lain-lain.

Tindakan seperti ini dapat memacu perkembangan keahlian sosial anak serta dapat
menumbuhkan rasa percaya diri anak.

Prognosis
Perjalanan ADHD bervariasi. Gejala telah terbukti bertahan hingga remaja dalam 60
hingga 85 persen kasus, dan dalam kehidupan dewasa di sekitar 60 persen kasus. Sisa 40 persen
kasus dapat diteruskan saat pubertas, atau di masa dewasa awal. Di beberapa kasus, hiperaktif
dapat menghilang, tetapi rentang perhatian menurun dan impuls masalah kontrol tetap ada.
Overactivity biasanya merupakan gejala pertama, dan distractibility adalah yang terakhir. ADHD
biasanya tidak parah selama masa kanak-kanak. Kegigihan diprediksi oleh riwayat keluarga,
peristiwa kehidupan negatif, dan komorbiditas dengan gejala perilaku, depresi, dan gangguan
kecemasan. Saat remisi terjadi, biasanya antara usia 12 dan 20. Remisi bisa disertai dengan masa
remaja dan dewasa yang produktif, hubungan interpersonal yang memuaskan, dan sedikit
sequelae yang signifikan. Kebanyakan pasien dengan gangguan ini, bagaimanapun, menjalani

10
parsial remisi dan rentan terhadap perilaku antisosial, gangguan penggunaan zat, dan gangguan
suasana hati. Masalah belajar sering berlanjut sepanjang hidup.

Pada sekitar 60 persen kasus, beberapa gejala bertahan hingga dewasa. Orang-orang yang
tetap dengan gangguan mungkin menunjukkan hiperaktif berkurang tetapi tetap impulsif dan
rawan kecelakaan. Meskipun pencapaian pendidikan orang dengan ADHD sebagai kelompok
lebih rendah daripada orang tanpa ADHD, riwayat pekerjaan awal tidak berbeda
dari orang-orang dengan pendidikan serupa.
Anak-anak dengan ADHD yang gejalanya menetap sampai usia remaja berisiko lebih tinggi
mengembangkan gangguan perilaku. Anak-anak dengan ADHD dan gangguan perilaku juga
berada di risiko untuk mengembangkan gangguan penggunaan zat. Pengembangan gangguan
penyalahgunaan zat di antara remaja ADHD pada masa remaja tampaknya lebih terkait dengan
kehadiran gangguan perilaku daripada ADHD.
Sebagian besar anak-anak dengan ADHD memiliki beberapa kesulitan sosial. Anak-anak
disfungsi sosial dengan ADHD memiliki tingkat gangguan kejiwaan komorbid yang lebih tinggi
secara signifikan, dan mengalami lebih banyak masalah dengan perilaku di sekolah serta dengan
teman sebaya dan anggota keluarga. Secara keseluruhan, hasil dari ADHD di masa kecil
tampaknya terkait dengan derajat psikopatologi komorbiditas persisten, terutama gangguan
perilaku, kecacatan sosial, dan faktor keluarga yang kacau. Hasil optimal dapat dipromosikan
dengan memperbaiki fungsi sosial anak-anak, mengurangi agresi, dan memperbaiki situasi
keluarga sedini mungkin.

11

Anda mungkin juga menyukai