Anda di halaman 1dari 18

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Derajat kesehatan masyarakat mencerminkan tingkat kesehatan suatu

Negara. Morbiditas penyakit menular seperti Malaria, TB paru, HIV/AIDS,

ISPA, Kusta, Filariasis, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I),

dan banyak penyakit lainnya yang jumlah penderitanya masih tinggi. Penyakit

Kusta termasuk penyakit tertua, yang telah ada sejak 1400 tahun

sebelum Masehi. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronis dan

penyebabnya adalah mycobacterium leprae.

Penyakit Kusta merupakan salah satu di antara penyakit menular

yang masih menimbulkan masalah cukup komplek baik dari segi medis, sosial

maupun ekonomi. Penyakit Kusta juga dapat menyebabkan kecacatan fisik yang

dapat memberikan pengaruh terhadap timbulnya stigma sosial di masyarakat

bagi penderita dan pada para petugas kesehatan sendiri. Umumnya Kusta terdapat

di Negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan

Negara tersebut dalam memberikan pelayanan kesehatan. Pada masa sekarang

dengan kemajuan teknologi dibidang promotif, pencegahan, pengobatan serta

pemulihan kesehatan di bidang penyakit Kusta, maka penyakit Kusta sudah dapat

diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan (Kemenkes, 2012).

WHO (2013) melaporkan bahwa jumlah kasus baru Kusta di dunia dari

tahun 2005 sampai 2012 mencapai 2.004.590 kasus. Kasus Kusta yang terdaftar

1
2

pada akhir trimester pertama tahun 2013 adalah 189.018 kasus dengan prevalensi

sebesar 0,33. Wilayah endemis utama penyakit Kusta adalah Afrika, Amerika,

Asia Tenggara, Mediterania Timur dan Pasifik Barat. India merupakan negara

dengan jumlah penderita terbesar, diikuti Brasil dan Indonesia. Di Indonesia,

Ditjen PP dan PL melaporkan bahwa insiden Kusta mengalami penurunan dalam

periode 2009 sampai 2013. Angka tersebut secara rinci dapat dilihat pada Gambar

1.1 berikut:

Gambar 1.1 Tren Kasus Baru Kusta di Indonesia (Kemenkes, 2014)

Gambar 1.1 menunjukkan tren kasus baru Kusta yang secara umum

mengalami penurunan dari tahun 2009-2013. Kasus baru pada tahun 2009

berjumlah 21.026 kasus, kemudian menurun pada tahun 2010 dengan 19.741.

Peningkatan terjadi pada tahun 2011 dengan jumlah 23.169 kasus, namun pada

tahun 2012 terjadi penurunan hingga mencapai 16.123 kasus, dan kembali terjadi

peningkatan pada tahun 2013 dengan jumlah kasus sebesar 16.856.

Adanya peningkatan dalam penemuan kasus baru dipengaruhi oleh

petugas kesehatan dalam menemukan kasus baru secara aktif. Adanya penurunan
3

kasus yang ditemukan pada tahun 2012 diperkirakan efek dari program

kemoprofilaksis yang mulai diterapkan di beberapa daerah, termasuk Kabupaten

Sampang. Selama kurun waktu tersebut secara umum tren jumlah kasus baru

masih belum menunjukkan penurunan yang berarti terkait situasi penyakit Kusta

di Indonesia.

Berdasarkan buku pedoman nasional pengendalian penyakit Kusta

tahun 2012 tentang target pencapaian kinerja pengendalian Kusta dengan target

prevalensi <1/10.000 penduduk, Jawa Timur merupakan daerah yang sebagian

besar wilayahnya tidak mencapai target yang ditetapkan. Selama periode 2013 –

2015 di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Sampang merupakan salah satu

Kabupaten memiliki tingkat prevalensi yang tinggi dan masih jauh dari standar

nasional yang ditetapkan. Secara jelas urutan tingkat prevalensi penyakit Kusta di

Jawa Timur dapat ditunjukkan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Rerata Prevalensi Penyakit Kusta Kabupaten/Kota di Jawa Timur


2013 – 2015

Prevalensi
No Kabupaten/Kota Rerata
2013 2014 2015
1 Sampang 4,2 5,1 5,6 5,0
2 Sumenep 3,9 4,2 3,8 4,0
5 Pamekasan 2,6 3,1 3,8 3,2
3 Bangkalan 3,8 2,6 2,5 3,0
4 Situbondo 2,6 2,4 2,8 2,6
7 Probolinggo 2,0 1,5 2,1 1,9
8 Lumajang 1,7 1,4 1,7 1,6
9 Lamongan 2,4 0,1 1,4 1,3
12 Probolinggo 1,3 1 1,6 1,3
10 Jember 1,2 1,4 1,3 1,3
11 Pasuruan 1,3 1,3 1,2 1,3
Dilanjutkan dihalaman berikut…
4

Lanjutan tabel 1.1


Prevalensi
No Kabupaten/Kota Rerata
2013 2014 2015
13 Gresik 0,8 1,1 1,2 1,0
14 Mojokerto 0,7 0,6 1,5 0,9
15 Jombang 0,9 0,8 0,9 0,9
16 Pasuruan 0,6 0,8 0,9 0,8
17 Nganjuk 0,7 0,5 0,9 0,7
18 Bojonegoro 0,8 0,5 0,6 0,6
19 Ponorogo 0,6 0,6 0,6 0,6
20 Bondowoso 0,7 0,5 0,5 0,6
21 Surabaya 0,5 0,6 0,5 0,5
22 Ngawi 0,5 0,7 0,4 0,5
23 Magetan 0,6 0,5 0,5 0,5
24 Madiun 0,5 0,4 0,4 0,4
25 Blitar 0,7 0,1 0,1 0,3
26 Banyuwangi 0,2 0,3 0,3 0,3
27 Madiun 0,4 0,2 0,2 0,3
28 Mojokerto 0,3 0,4 0,1 0,3
29 Sidoarjo 0,2 0,2 0,3 0,2
30 Pacitan 0,2 0,2 0,2 0,2
31 Blitar 0,2 0,2 0,1 0,2
32 Malang 0,1 0,2 0,2 0,2
33 Kediri 0,1 0,2 0,2 0,2
34 Malang 0,2 0,1 0,1 0,1
35 Tulungagung 0 0,1 0,2 0,1
36 Trenggalek 0 0,1 0,1 0,1
37 Kediri 0,1 0 0 0,0
38 Batu 0 0 0,1 0,0
Sumber: Laporan Program P2 Kusta Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur,
2015

Tabel 1.1 menunjukkan tingkat prevalensi tertiggi hingga terendah di

Provinsi Jawa Timur. Terlihat bahwa Kabupaten Sampang merupakan Kabupaten

dengan rerata prevalensi tertinggi dari 38 Kabupaten di Jawa Timur. Kabupaten

Sampang sebagai high endemic Kusta dengan rerata prevalensi tertinggi yaitu
5

5,0/10.000 penduduk dan Kota Batu merupakan daerah dengan prevalensi

terendah di Jawa Timur dengan angka prevalensi 0,0/10.000 penduduk.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan prevalensi di Kabupaten Sampang

relatif tinggi. Lingkungan eksternal organisasi pemberi pelayanan kesehatan

merupakan salah satu kemungkinan kurang maksimalnya penyebab kinerja

pemberantasan dan pengendalian Kusta. Di sisi lain, organizational climate di

organisasi pemberi pelayanan itu sendiri dapat menjadi penyebab tidak

berhasilnya capaian pemberantasan dan pengendalian Kusta.

Efektivitas organisasi tidak terlepas dari dukungan manajemen, serta

karyawan yang merupakan aset bagi organisasi. Kemampuan organisasi untuk

mencapai tujuan dapat dipengaruhi sejumlah faktor, baik yang bersifat eksternal

maupun internal organisasi. Faktor yang berasal dari segi eksternal dapat

dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dari organisasi dan dari segi internal

organisasi dapat dipengaruhi oleh climate yang ada di organisasi tersebut.

Setiap organisasi pada umumnya menginginkan karyawannya dapat

bekerja maksimal dengan penuh semangat serta berdedikasi tinggi pada

pekerjaannya. Semuanya dapat tercapai dengan baik asalkan ditunjang oleh

suasana kerja yang baik atau dengan kata lain disebut dengan organzational

climate. Gibson (1985) mengemukakan bahwa organizational climate merupakan

serangkaian sifat lingkungan kerja yang dinilai langsung atau tidak langsung oleh

karyawan, yang dianggap menjadi kekuatan utama dalam mempengaruhi perilaku

karyawan.
6

Organizational climate yang baik di suatu organisasi akan berdampak

pada pada tingginya job involvement pada organisasi tersebut. Job involvement

dalam suatu organisasi menjelaskan kekuatan relatif dari sebuah identifikasi

individu, yang meliputi suatu hubungan yang aktif dengan organisasi dimana

individu bersedia memberikan sesuatu dari diri mereka untuk membantu

keberhasilan organisasi (Steers, 2005). Lebih lanjut Ekmekcci (2011) job

involvement dapat dianggap sebagai salah satu faktor penting yang memiliki peran

penting atas efektivitas organisasi.

Kabupaten Sampang sebagai salah satu wilayah high endemic Kusta di

Provinsi Jawa Timur dengan indikator utama kinerja pencapaian pengendalian

dan pemberantasan Kusta masih jauh dari standar nasional. Penetapan capaian

dalam P2 Kusta sesuai dengan target yang ditentukan dalam buku pedoman Kusta

tahun 2012 dapat terlihat seperti Tabel 1.2 berikut.

Tabel 1.2 Indikator Kinerja Pencapaian Target Pengendalian Penyakit


Kusta di Kabupaten Sampang 2013 - 2015
Cakupan Penyakit
No Indikator Target Kusta Rerata
2013 2014 2015
Angka
penemuan
1 <20/100.000 44,9 54,6 39,1 51,0/100.000
kasus baru
(CDR)
Angka
2 prevalensi <1/10.000 4,2 5,1 5,6 5,0/10.000
(PR)
Proporsi cacat
3 < 5% 9,4 14,9 23,7 16,1%
tingkat 2
Sumber: Laporan Program P2 Kusta Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang,
2015
7

Berdasarkan Tabel 1.2 menunjukkan kinerja program P2 Kusta di

Kabupaten Sampang masih di bawah target, yang memiliki rerata pencapaian

CDR sebesar 51,0/100.000 penduduk, PR mencapai rerata 5,0/10.000 penduduk,

dan cacat tingkat 2 masih mencapai 16,1%. Berdasarkan indikator kinerja

pencapaian target pengendalian Kusta yang secara keseluruhan belum memenuhi

standar nasional yaitu CDR <20/100.000 penduduk, PR <1/10.000 penduduk,

Proporsi cacat tingkat 2 <5%. Berdasarkan data tersebut diatas, maka masalah

pada penelitian ini adalah tidak tercapainya target kinerja Program

Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit Kusta di Kabupaten Sampang pada

tahun 2013-2015 (CDR 51,0/100.000 , PR 5,0/10.000 dan Cacat TK 2 16,1%)


8

1.2 Kajian Masalah

Memperhatikan paparan latar belakang serta tidak tercapainya program

pemberantasan dan pengendalian Kusta di Kabupaten Sampang pada tahun 2013-

2015, kemungkinan dapat disebabkan oleh beberapa faktor meliputi: 1) faktor

organisasi, 2) faktor masyarakat dan 3) faktor lingkungan. seperti yang disajikan

pada Gambar 1.2.

INPUT

A. FAKTOR ORGANISASI
1. Rotasi Pekerjaan
2. Kebijakan Program Kusta
3. Kerjasama Lintas Sektor
4. Kepemimpinan
5. Organizational Climate
6. Job Involvment
7. Sarana dan Prasarana
a. Peralatan dan obat-
obatan
b. Keterjangkauan OUTPUT
8. Sumberdaya Manus PROSES
a. Masa Kerja Tidak Tercapainya
b. Beban Kerja 1. Perencanaan Target Kinerja
c. Persepsi Dukungan 2. Penggerakan Program
Organisasi dan Pemberantasan dan
d. Persepsi Petugas Pelaksanaan Pengendalian
Terhadap Kusta Penyakit Kusta di
3. Pengawasan,
Kabupaten Sampang
B. FAKTOR MASYARAKAT Pengendalian, Pada Tahun 2013-
1. Sosial Ekonomi dan Penilaian 2015 (CDR
2. Persepsi Masyarakat 51,0/100.000 , PR
Tentang Kusta 5,0/10.000 dan Cacat
3. Perilaku Hidup Bersih dan TK II 16,1%)
Sehat
4. Keterlibatan Tokoh
Masyarakat

C. FAKTOR LINGKUNGAN
1. Geografis
2. Kesehatan Lingkungan

Gambar1.2 Kajian Masalah Yang Memungkinkan Menjadi Penyebab Tidak Tercapainya


Kinerja Program Pemberantasan dan Pengendalian Kusta
9

1. Input

Faktor input yang memungkinan menjadi penyebab terjadinya masalah

terdiri dari 1) faktor organisasi, 2) faktor masyarakat dan 3) faktor lingkungan.

a. Faktor Organisasi

Faktor organisasi yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya

masalah terdiri dari: 1) rotasi pekerjaan, 2) kebijakan tentang Kusta, 3) kerja sama

lintas sektor, 4) kepemimpinan, 5) organizational climate,6) job involvement, 7)

sarana dan prasarana, 8) sumberdaya manusia

1) Rotasi Pekerjaan

Rotasi pekerjaan merupakan pergantian periodik dari satu tugas ke tugas

yang lain. Rotasi pekerjaan dalam P2 Kusta di Kabupaten Sampang dapat

berdampak positif dan negatif. Positifnya dengan rotasi pekerjaan maka akan

mengurangi kebosanan dan tingkat kejenuhan petugas dalam bekerja, tetapi juga

memiliki dampak yang negatif yaitu dengan rotasi pekerjaan maka pemegang

program Kusta yang baru belum mempunyai pengalaman tentang situasi

penanganan Kusta di Kabupaten Sampang dan belum memiliki keterampilan lebih

terhadap pengendalian Kusta.

2) Kebijakan Tentang Kusta

Kebijakan tentang Kusta merupakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh

pemerintah, sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk teknis pelaksanaan

pemberantasan dan pengendalian Kusta. Kebijakan yang baik dalam pengendalian

penyakit Kusta di Kabupaten Sampang sebagai daerah high endemich dapat

meningkatkan kinerja dalam capaian P2 Kusta. Di sisi lain, apabila kebijakan


10

dalam P2 Kusta di Kabupaten Sampang tidak baik, capaian dalam P2 Kusta juga

tidak akan maksimal.

3) Kerjasama Lintas Sektor

Kerjasama lintas sektor merupakan bentuk kerjasama yang sangat

diperlukan untuk mengatasi masalah kesehatan, khususnya masalah

pemberantasan dan pengendalian Kusta. Kerjasama lintas sektor di Kabupaten

Sampang sangat diperlukan karena stigma terhadap Kusta di Kabupaten Sampang

masih cukup tinggi dan diharapkan penyelenggara kesehatan mendapat dukungan

dari berbagai sektor terkait, agar angka eliminasi Kusta bisa lebih baik.

4) Kepemimpinan

Koontz (1982) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan proses

mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan serius untuk

meraih tujuan kelompoknya. Puskesmas wilayah Kabupaten Sampang

memerlukan pemimpin yang tegas dan mampu mengarahkan semua pihak agar

mau berpartisipasi dalam P2 Kusta. Kepemimpinan yang baik dan dapat

mengarahkan petugas dengan baik akan dapat meningkatkan kinerja program

pengendalian Kusta.

5) Organizational Climate

Organizational climate merupakan suatu karateristik yang dimiliki suatu

organisasi dan merupakan bagian dari lingkungan internal yang mampu

mempegaruhi individu di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung.

Terbentuknya organizational climate yang baik dalam P2 Kusta di Puskesmas

akan dapat berdampak peningkatan capaian pengendalian Kusta. Mill (1999)


11

menyatakan bahwa lingkungan kerja yang baik akan mendorong karyawan untuk

menghasilkan kinerja yang lebih baik. Cherington (1990) juga menegaskan bahwa

dampak dari organizational climate adalah hasil dari pekerjan itu sendiri yang

berupa kepuasan dan kinerja.

6) Job Involvement

Robbins & Judge (2013) berpendapat bahwa job involvement adalah

tingkat sejauh mana seseorang berkecimpung dalam pekerjaan dan secara aktif

berpartisipasi di dalamnya. Robbins (2001) menyatakan Sikap kerja akan

mempunyai dampak langsung pada produktivitas , sehingga dengan adanya job

involvement yang tinggi, maka diharapkan berdampak pada produktivitas

organisasi.

7) Sarana dan Prasarana

a) Peralatan dan Obat

Ketersediaan peralatan dan obat sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan dalam pengendalian Kusta. Peralatan dan obat yang memadai, akan

berdampak pada efektifitas pengendalian penyakit Kusta.

b) Keterjangkauan

Jarak tempat pelayanan kesehatan sangat mempengaruhi keinginan

masyarakat untuk dengan aktif melakukan pemeriksaan kesehatan, khususnya

bagi penderita Kusta. Masyarakat yang bertempat tinggal jauh dari tempat

pelayananan kesehatan akan cenderung pasif dalam melakukan pemeriksaan

kesehatan
12

8) Sumberdaya Manusia

a) Masa Kerja

Robbins (2008) mengemukakan masa kerja merupakan senioritas

sebagai waktu pada suatu pekerjaan, maka dapat dikatakan bahwa bukti terbaru

menunjukkan adanya bukti positif antara senioritas dan produktivitas pekerjaan.

Masa kerja, bila dinyatakan sebagai pengalaman kerja, tampaknya menjadi sebuah

dasar produktivitas karyawan. Semakin lama masa kerja petugas di Puskesmas,

maka semakin banyak pengalaman dalam melaksanakan program kesehatan dan

lebih mengetahui kondisi masyarakat.

b) Beban Kerja

Beban kerja merupakan jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh

sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu. Beban kerja yang tinggi dan

rangkap tugas pada seorang petugas di Puskesmas tentunya dapat mempengaruhi

kinerja pemberantasan dan pengendalian Kusta.

c) Persepsi Dukungan Organisasi

Menurut Eisenberger (2001) persepsi dukugan organisasi mengacu pada

kepercayaan terhadap organisasi yang menghargai kontribusi dan memperhatikan

kesejahteraan karyawannya. Para karyawan yang memiliki persepsi dukungan

organisasi yang tinggi, memiliki kemungkinan untuk terikat terhadap

pekerjaannya dan organisasi yang berdampak pada tercapainya tujuan organisasi.

d) Persepsi Petugas Terhadap Kusta

Petugas yang memiliki persepsi bahwa Kusta berbahaya dan harus

dikendalikan, maka akan mempunyai semangat lebih untuk memberantas Kusta


13

sehingga mempunyai kinerja yanng lebih tinggi. Berbeda jika dibandingkan

dengan petugas yang menganggap Kusta adalah penyakit biasa dan merupakan

penyakit kutukan.

b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang memungkinan menjadi penyebab masalah terdiri

dari 1) geografis dan 2) kesehatan lingkungan.

1. Geografis

Keadaan georafis Kabupaten Sampang yang masih terdapat daerah pelosok

yang berjarak cukup jauh dari tempat pelayanan kesehatan dapat memungkinan

menjadi penyebab tidak tercapainya kinerja pemberantasan dan pengendalian

Kusta.

2. Kesehatan Lingkungan

Kondisi rumah yang bersih serta, tidak mudah dihinggapi hewan penyebar

Kusta dapat mencegah penularan kuman miycrobacterium leprae. Di sisi lain,

kondisi rumah yang kurang sehat dan lingkungan sekitar yang masih kumuh juga

memungkinkan menjadi penyebab penularan penyakit Kusta.

c. Faktor Masyarakat

Faktor masyarakat yang memungkinkan menjadi penyebab masalah terdiri

dari 1) sosial ekonomi, 2) stigma masyarakat, 3) perilaku hidup bersih dan sehat

dan 4) keterlibatan tokoh masyarakat.

1) Sosial Ekonomi

Rendahnya ekonomi masyarakat akan menentukan lingkungan tempat

tinggalnya dan dalam mengakses pelayanan kesehatan, sehingga bila terjadi kasus
14

Kusta disuatu pemukiman yang kumuh maka akan lebih cepat menular dan

masyarakat yang memiliki perekonomian rendah tidak langsung mengakses

pelayanan kesehatan.

2) Stigma Masyarakat

Merupakan tindakan memberikan label sosial yang bertujuan untuk

memisahkan atau mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap

atau pandangan buruk. Stigma mengakibatkan tindakan diskriminasi, yaitu

tindakan tidak mengakui atau tidak mengupayakan pemenuhan hak dasar

individu atau kelompok sebagaimana selayaknya sebagai manusia yang

bermartabat.

3) Perilaku hidup bersih dan sehat

Penularan penyakit Kusta adalah dapat disebabkan oleh perilaku hidup

bersih dan sehat masyarakat. Penyakit Kusta disebabkan oleh bakteri

(myzobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi dan jaringan tubuh

lainnya. Penyakit ini bisa dicegah dan diobati secara sempurna, bila perilaku

sehat masyarakat baik.

4) Keterlibatan Tokoh Masyarakat

Tokoh masyarakat sangat berperan penting dalam pemberantasan penyakit

Kusta, dimana mereka dengan frekuensi lebih banyak berkomunikasi dengan

masyarakat. Keterlibatan tokoh masyarakat dapat membantu memberikan

informasi kepada petugas kesehatan apabila terdapat gejala Kusta, sehingga

dengan tingginya keterlibatan tokoh masyarakat dapat meningkatkan kinerja

dalam pengendalian penyakit Kusta.


15

2. Proses

Proses dalam program pemberantasan dan pengendalian penyakit Kusta

adalah langkah yang ditempuh meliputi: perencanaan, pergerakan dan

pelaksanaan, pengawasan pengendalian dan pemantauan.

a. Perencanaan
Azwar (1996) mengatakan perencanaan merupakan salah satu fungsi dari

pengelolaan manajemen yang sangat penting. Kegiatatan perencanaan program

pemberantasan penyakit Kusta meliputi: a) pengelolaan data dasar, dan

epidemiologi yang dapat mendukung kegiatan pelayanan bagi penderita Kusta. b)

membuat rencana kegiatan berdasarkan masalah yang ada.

b. Pergerakan dan Pelaksanaan

Menurut Azwar (1996) pelaksanaan yaitu melakukan rencana yang telah

disusun. Jika ada staf lain di luar anggota tim, perlu terlebih dahulu dilakukan

orientasi. Sehingga staf pelaksana tersebut dapat memahami dengan lengkap

rencana yang akan dilaksanakan. Pelaksanaan kegiatan program pemberantasan

dan pengendalian Kusta di Kabupaten Sampang secara umum mencakup upaya

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

c. Pengawasan, Pengendalian dan Pemantauan

Pemantauan dapat dipergunakan agar proses pelaksanaan sesuai dengan

rencana yang telah ditetapkan. Kegiatan pemantauan yang dilaksanakan adalah

mempelajari hambatan yang timbul dalam penyelenggaraan upaya pemberantasan

dan pengendalian penyakit Kusta, berdasarkan hasil pemantauan dan penilaian

dilakukan tidak lanjut peningkatan pelaksanaan.


16

1.3 Pembatasan Masalah

Paparan pada kajian masalah memberikan informasi bahwa terdapat

beberapa faktor yang kemungkinan menjadi penyebab di Kabupaten Sampang

memiliki kinerja pemberantasan dan pengendalian Kusta tidak tercapai. Penelitian

ini difokuskan pada pengaruh organizational climate, job involvement terhadap

kinerja program pemberantasan dan pengendalian Kusta di wilayah kerja

Puskesmas Kabupaten Sampang. Area kajian ini dipilih karena dianggap memiliki

daya ungkit yang kuat dalam menyelesaikan masalah penelitian yang terkait

dengan kinerja program P2 Kusta. Organisasi yang memiliki organzational

climate yang baik serta job invovement yang tinggi maka akan dapat

meningkatkan pencapaian kinerja pemberantasan dan pengendalian Kusta

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka rumusan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi organizational climate yang terdiri dari

struktur, tanggung jawab, imbalan, dukungan, risiko, kehangatan,

konflik standar dan identitas di Puskesmas Kabupaten Sampang?

2. Bagaimanakah job involvement P2 Kusta di Puskesmas Kabupaten

Sampang?

3. Bagaimanakah kinerja program P2 Kusta yang terdiri dari CDR,

Prevalensi dan Cacat tingkat 2 di Puskesmas Kabupaten Sampang?

4. Apakah ada pengaruh organizational climate terhadap job involvement

dimensi partisipasi pada pekerjaan?


17

5. Apakah ada pengaruh organizational climate dan job involvement

terhadap kinerja program P2 Kusta?

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh organizational climate dan job involvement

terhadap kinerja Program P2 Kusta di Kabupaten Sampang.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis kondisi organizational climate yang terdiri dari persepsi

struktur, tanggung jawab, imbalan, dukungan, risiko, dukungan,

konflik, standar dan identitas di Puskesmas Kabupaten Sampang.

2. Menganalisis job involvement program P2 Kusta di Puskesmas

Kabupaten Sampang.

3. Menganalisis kinerja program P2 Kusta di Puskesmas Kabupaten

Sampang yang terdiri dari CDR, Prevalensi dan Cacat tingkat 2.

4. Menganalisis pengaruh organizational climate terhadap job

involvement dimensi partisipasi pada pekerjaan.

5. Menganalisis pengaruh organizational climate dan job involvement

terhadap kinerja program P2 Kusta.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan kinerja

program pemberantasan dan pengendalian penyakit Kusta di Kabupaten Sampang,

khususnya yang berhubungan dengan kinerja dalam P2 Kusta di Puskesmas.


18

1.6.2 Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi rujukan teoritis dan informasi

terkait organizational climate dan job involvement dalam pemberantasan dan

pengendalian penyakit Kusta.

Anda mungkin juga menyukai