Anda di halaman 1dari 2

KONTAN.CO.ID -JAKARTA.

Pemerintah secara resmi telah meluncurkan Peraturan


Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja (PPPK).

Adapun beleid yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 22 November 2018 ini
mengatur mengenai hak dan kewajiban PPPK. Berdasarkan PP itu, masa Hubungan Perjanjian
Kerja bagi PPPK paling singkat satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan
berdasarkan penilaian kinerja.

“Perpanjangan hubungan kerja bagi PPPK yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT)
utama dan JPT madya tertentu paling lama 5 (lima) tahun,” bunyi Pasal 37 ayat (5) PP itu
sepertinya dikutip dari laman setkab, Rabu (5/12).

PPPK sebagaimana dimaksud, lanjut PP ini, diberikan gaji dan tunjangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Selain itu, dalam rangka pengembangan kompetensi untuk mendukung pelaksanaan tugas, PPPK
diberikan kesempatan untuk pengayaan pengetahuan sesuai dengan perencanaan pengembanga
kompetensi pada Instansi Pemerintah.

“Pelaksanaan pengembangan kompetensi dilakukan paling lama 24 jam pelajaran dalam satu
tahun masa perjanjian kerja, kecuali bagi PPPK yang mengemban tugas sebagai JPT utama
tertentu dan JPT madya tertentu,” bunyi Pasal 40 ayat 1 dan 2 PP ini.

Penghargaan sebagaimana dimaksud dapat berupa pemberian: a. tanda kehormatan; b.


kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi; dan/atau c. kesempatan menghadiri acara
resmi dan/atau acara kenegaraan.

Menurut PP ini juga menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas,
PPPK wajib mematuhi disiplin. Instansi Pemerintah pun wajib melaksanakan penegakan disiplin
terhadap PPPK, serta melaksanakan bebagai upaya peningkatan disiplin.

“PPPK yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin,” bunyi Pasal 51 ayat (3)
PP ini.

PP ini juga mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja bagi PPPK. Disebutkan, pemutusan
hubungan kerja PPPK dilakukan dengan hormat karena: a. jangka waktu perjanjian kerja
berakhir; b. meninggal dunia; c. atas permintaan sendiri; d. perampingan organisasi atau
kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pengurangan PPK; atau e. tidak cakap jasmani/rohani
sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban sesuai perjanjian kerja yang disepakati.

Adapun pemutusan hubungan kerja PPPK dilakukan dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri karena: a. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun, dan tindak pidana itu dilakukan dengan tidak berencana; b. melakukan pelanggaran
disiplin PPPK tingkat berat; atau c. tidak memenuhi target kinerja yang telah disepakati sesuai
dengan perjanjian kerja.

Selain itu pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan tidak dengan hormat karena: a.
melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945; b. dihukum penjara atau
kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya
dengan jabatan dan/atau pidana umum; c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau
d. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun atau
lebih dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan berencana.

PP ini juga menyebutkan, setiap PPPK berhak mendapatkan cuti, yang terdiri atas: a. cuti
tahunan; b. cuti sakit; c. cuti melahirkan; dan d. cuti bersama.

“PPPK yang telah bekerja paling sedikit 1 (satu) tahun secara terus menerus berhak atas cuti
tahunan, selama 12 (dua belas) hari kerja,” bunyi Pasal 78 ayat (1,2) PP ini.

Adapun PPPK yang menduduki jabatan guru pada sekolah dan jabatan dosen pada perguruan
tinggi yang mendapatkan liburan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
menurut PP ini, disamakan dengan PPPK yang telah menggunakan hak cuti tahunan.

Sedangkan PPPK yang sakit lebih dari 1 (satu) hari sampai dengan 14 (empat belas) hari,
menurut PP ini, berhak atas cuti sakit, dengan ketentuan yang bersangkutan harus mengajukan
permintaan secara tertulis kepada PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) dengan melampirkan
surat keterangan dokter.

“Hak cuti sakit sebagimana dimaksud diberikan untuk waktu paling lama 1 (satu) bulan,” bunyi
Pasal 83 ayat (4) PP ini. Sementara untuk PPPK yang tidak sembuh dari penyakitnya dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud, dilakukan pemutusan hubungan kerja.

PP ini juga menegaskan, PPPK yang mengalami kecelakaan kerja sehingga yang bersangkutan
perlu mendapatkan perawatan berhak atas cuti sakit sampai dengan berakhirnya masa hubungan
perjanjian kerja.

Untuk kelahiran anak pertama sampai dengan kelahiran anak ketiga pada saat menjadi PPK,
menurut PP ini, PPPK berhak atas cuti melahirkan paling lama 3 (tiga) bulan, dan tetap
menerima penghasilan setelah dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Untuk cuti bersama PPPK, menurut PP ini, mengikuti ketentuan cuti bersama bagi PNS.

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 102 Peraturan
Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM
Yasonna H. Laoly pada 28 November 2018 itu.

Anda mungkin juga menyukai