Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep Dasar Hematemesis


2.1 Definisi
Hematemesis adalah muntah darah dan biasanya disebabkan oleh penyakit
saluran cerna bagian atas. Melena adalah keluarnya feses berwarna hitam per
rektal yang mengandung campuran darah, biasanya disebabkan oleh perdarahan
usus proksimal (Grace & Borley, 2007).
Hematemesis malena merupakan suatu pendarahan saluran cerna bagian
atas (SCBA) yang termasuk dalam keadaan gawat darurat yang dapat terjadi
karena pecahnya parises esophagus gastritis erosive atau ulkus peptikum. (Arief
Masjoer,2000 : 634).
Hematemesis didefinisikan sebagai mutah darah dan melena sebagai berak
berwarna hitam, lembek karena mengandung darah yang sudah berubah bentuk
(acid hematin).(I Made Bakta, 1999:53).
2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya hematemesis melena, antara lain :
1. Kelainan esofagus: varise, esofagitis, keganasan.
2. Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum, keganasan
dan lain-lain.
3. Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation),
purpura trombositopenia
4. Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
5. Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid,
alkohol,
dan lai-lain.
Penting sekali menentukan penyebab dan tempat asal perdarahan saluran
makan bagian atas, karena terdapat perbedaan usaha penanggulangan setiap
macam perdarahan saluran makan bagian atas.Penyebab perdarahan saluran
makan bagian atas yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya varises
esofagus dengan rata-rata 45-50 % seluruh perdarahan saluran makan bagian atas.

1
2

1. Kelainan di esophagus
1) Varises esophagus
Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan pecahnya
varises esophagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di
epigastrium.Pada umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan
masif.Darah yang dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak
membeku karena sudah bercampur dengan asam lambung.
2) Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus sering memberikan keluhan melena daripada
hematemesis.Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis,
hanya sesekali penderita muntah darah dan itupun tidak masif.
3) Sindroma Mallory – Weiss
Sebelum timbul hematemesis didahului muntah-muntah hebat yang
pada akhirnya baru timbul perdarahan.misalnya pada peminum alkohol
atau pada hamil muda.Biasanya disebabkan oleh karena terlalu sering
muntah - muntah hebat dan terus - menerus.
4) Esofagitis dan tukak esophagus
Esophagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering
intermiten atau kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul
melena daripada hematemesis.Tukak di esophagus jarang sekali
mengakibatkan perdarahan jika dibandingka dengan tukak lambung dan
duodenum.
2. Kelainan di lambung
1) Gastritis erisova hemoragika
Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul setelah penderita
minum obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung.Sebelum muntah
penderita mengeluh nyeri ulu hati.
2) Tukak lambung
Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah , nyeri ulu hati
dan sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrium
yang berhubungan dengan makanan. Sifat hematemesis tidak begitu masif
dan melena lebih dominan dari hematemesis.
3

3) Kelainan darah : polisetimia vera, limfoma, leukemia, anemia, hemofili,


trombositopenia purpura.

2.3 Patofisiologi
Usaha mencari penyebab perdarahan saluran makanan dapat dikembalikan
kepada factor-faktor penyebab perdarahan, antara lain : factor pembuluh darah
(vasculopathy) seperti pada tukak peptic, pecahnya varises esophagus; factor
trobosit (thrombopathy) seperti pada ITP, factor kekurangan zat-zat pembentuk
darah (coagulopathy) seperti pada hemophilia, sirosis hati dan lain-lain. Malahan
pada serosis hati dapat terjadi ketiganya : vasculopathy, pecahnya varises
esophagus, thrombopathy, terjadinya pengurangan trombosit di sirkulasi perifer
akibat hipersplenisme, dan terdapat pula coagulophaty akibat kegagalan sel-sel
hati. Khusus pada pecahnya varises esophagus ada 2 teori, yaitu teori erosi yaitu
pecahnya pembuluh darah karena erosi dari makanan yang kasar (berserat tinngi
dan kasar), atau minum OAINS (NSAID), dan teori erupsi karena tekanan vena
porta yang terlalu tinggi, yang dapat pula dicetuskan oleh peningkatan tekanan
intra abdomen yang tiba-tiba seperti pada mengejan, mengangkat barang berat,
dan lain-lain.
Perdarahan saluran makan dapat pula dibagi menjadi perdarahan primer,
seperti pada : hemophilia, ITP, hereditary haemorrhagic telangiectasi, dan lain-
lain. Dapat pula secara sekunder, seperti pada kegagalan hati, uremia, DIC, dan
iatrigenic seperti penderita dengan terapi antikoagulan, terapi fibrinolitik, drug-
induce thrombocytopenia, pemberian transfuse darah yang massif, dan lain-lain. (I
Made Bakta, 1999 :55)
Adanya riwayat dyspepsia memperberat dugaan ulkus peptikum.Begitu
juga riwayat muntah-muntah berulang yang awalnya tidak berdarah, konsumsi
alkohol yang berlebihan mengarahkan ke dugaan gastritis serta penyakit ulkus
peptikum.Adanya riwayat muntah-muntah berulang yang awalnya tidak berdarah
lebih kearah Mallory-Weiss.Konsumsi alkohol berlebihan mengarahkan dugaan
ke gastritis (30-40%), penyakit ulkus peptikum (30-40%), atau kadang-kadang
varises. Penurunan berat badan mengarahkan dugaan ke keganasan.
4

Perdarahan yang berat disertai adanya bekuan dan pengobatan syok


refrakter meningkatkan kemungkinan varises.
Adanya riwayat pembedahan aorta abdominalis sebelumnya meningkatkan
kemungkinan fistula aortoenterik. Pada pasien usia muda dengan riwayat
perdarahan saluran cerna bagian atas singkat berulang (sering disertai kolaps
hemodinamik) dan endoskopi yang normal, harus dipertimbangkan lesi Dieulafoy
(adanya arteri submukosa, biasanya dekat jantung, yang dapat menyebabkan
perdarahan saluran pencernaan intermitten yang banyak).

2.4 Manifestasi Klinis


Perdarahan yang lebih banyak dan cepat akan menyebabkan penurunan
venous return ke jantung, penurunan cardiac out put dan meningkatkan tahanan
perifer yang merangsang reflex vasokonstriksi. Terjadinya hipotensi ortostatik
lebih dari 10 mmHg (Till Test), menandakan perdarahan minimal 20% dari
volume total darah. Gejala yang sering menyertai antara lain adalah : sincop,
kepala terasa ringan, mual, berkeringat dan haus. Bila darah yang keluar sekitar
40% akan terjadi renjatan (syok) dengan segala manifestasinya. (I Made Bakta,
1999 : 57)
Manifestasi Klinis yang dapat di temukan pada pasien hematemesis
melena adalah syok (frekuensi denyut jantung,suhu tubuh), penyakit hati kronis
(sirosis hepatis), dan koagulopati purpura serta memar, demam ringan antara
38°C-39°C, nyeri pada lambung, hiperperistaltik, penurunan Hb dan Ht yang
tampak setelah beberapa jam, leukositosis dan trombositosis pada 2-5 jam setelah
perdarahan, dan peningkatan kadar ureum darah setelah 24-48 jam akibat
pemecahan protein darah oleh bakteri usus.

2.5 Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien Hematemesis Melena adalah
koma hepatik (suatu sindrom neuropsikiatrik yang ditandai dengan perubahan
kesadaran, penurunan intelektual, dan kelainan neurologis yang menyertai
kelainan parenkim hati), syok hipovolemik (kehilangan volume darah sirkulasi
sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun), aspirasi pneumoni (infeksi
5

paru yang terjadi akibat cairan yang masuk saluran napas), anemi posthemoragik
(kehilangan darah yang mendadak dan tidak disadari).
2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini mungkin
dan sebaiknya diraat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan yang teliti
dan pertolongan yang lebih baik. Pengobatan penderita perdarahan saluran makan
bagian atas meliputi :
1. Pengawasan dan pengobatan umum
1) Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat-obat yang menimbulkan efek
sedatif morfin, meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.
2) Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila
perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair.
3) Infus cairan langsung dipasang & diberilan larutan garam fisiologis slama
belum ada darah.
4) Pengawasan tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila perlu
dipasang CVP monitor.
5) Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk
mengikuti keadaan perdarahan.
6) Transfusi darah diperlukan untuk menggati darah yang hilang dan
mempertahankan kadar hemoglobin 50-70 % harga normal.
7) Pemberian obat hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10 mg/hari,
karbasokrom (Adona AC), antasida dan golongan H2 reseptor antagonis
(simetidin atau ranitidin) berguna untuk menanggulangi perdarahan.
8) Dilakukan klisma atau lavemen dgn air biasa disertai pemberian
antibiotika yg tidak diserap oleh usus, sebagai tindadakan sterilisasi usus.
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan produksi
amoniak oleh bakteri usus, dan dapat menimbulkan ensefalopati hepatik.
2. Pemasangan pipa naso-gastrik
Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi cairan
lambung, lavage (kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obat-obatan.
Pemberian air pada kumbah lambung akan menyebabkan vasokontriksi lokal
sehingga diharapkan terjadi penurunan aliran darah di mukosa lambung, dengan
6

demikian perdarahan akan berhenti. Kumbah lambung ini akan dilakukan


berulang kali memakai air sebanyak 100- 150 ml sampai cairan aspirasi berwarna
jernih dan bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2 jam. Pemeriksaan
endoskopi dapat segera dilakukan setelah cairan aspirasi lambung sudah jernih.

3.Pemberian pitresin (vasopresin)


Pitresin mempunyai efek vasokoktriksi, pada pemberian pitresin per infus
akan mengakibatkan kontriksi pembuluh darah dan splanknikus sehingga
menurunkan tekanan vena porta, dengan demikian diharapkan perdarahan varises
dapat berhenti. Perlu diingat bahwa pitresin dapat menrangsang otot polos
sehingga dapat terjadi vasokontriksi koroner, karena itu harus berhati-hati dengan
pemakaian obat tersebut terutama pada penderita penyakit jantung iskemik.Karena
itu perlu pemeriksaan elektrokardiogram dan anamnesis terhadap kemungkinan
adanya penyakit jantung koroner/iskemik.

4.Pemasangan balon SB Tube


Dilakukan pemasangan balon SB tube untuk penderita perdarahan akibat
pecahnya varises. Sebaiknya pemasangan SB tube dilakukan sesudah penderita
tenang dan kooperatif, sehingga penderita dapat diberitahu dan dijelaskan makna
pemakaian alat tersebut, cara pemasangannya dan kemungkinan kerja ikutan yang
dapat timbul pada waktu dan selama pemasangan.
Beberapa peneliti mendapatkan hasil yang baik dengan pemakaian SB tube ini
dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas akibat pecahnya
varises esofagus.Komplikasi pemasangan SB tube yang berat seperti laserasi dan
ruptur esofagus, obstruksi jalan napas tidak pernah dijumpai.

5.Pemakaian bahan sklerotik


Bahan sklerotik sodium morrhuate 5 % sebanyak 5 ml atau sotrdecol 3 %
sebanyak 3 ml dengan bantuan fiberendoskop yang fleksibel disuntikan
dipermukaan varises kemudian ditekan dengan balon SB tube. Tindakan ini tidak
memerlukan narkose umum dan dapat diulang beberapa kali.Cara pengobatan ini
sudah mulai populer dan merupakan salah satu pengobatan yang baru dalam
menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya
varises esofagus.
7

6.Tindakan operasi
Bila usaha-usaha penanggulangan perdarahan diatas mengalami kegagalan
dan perdarahan tetap berlangsung, maka dapat dipikirkan tindakan operasi .
Tindakan operasi yang basa dilakukan adalah : ligasi varises esofagus, transeksi
esofagus, pintasan porto-kaval. Operasi efektif dianjurkan setelah 6 minggu
perdarahan berhenti dan fungsi hari membaik.
Selain cara-cara tersebut diatas, adapula metode lain untuk menghentikan
perdarahan varises esophagus, antara lain :
1) Cyanoacrylate glue injection, memakai semacam lem jaringan (His-toacryl
R) yang langsung disuntikkan intravena.
2) Endoscopic band ligator
Sedangkan pada perdarahan non variceal, dapat dilakukan tindakan-
tindakan
sebagai berikut :
a. Laser photo coagulation
b. Diathermy coagulation
c. Adrenalin injection
d. Sclerotheraphy injection. (I Made Bakta, 1999 : 60)
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologik
Pemeriksaan radiologik dilakukan dengan pemeriksaan esofagogram untuk
daerah esofagus dan diteruskan dengan pemeriksaan double contrast pada
lambung dan duodenum.emeriksaan tersebut dilakukan pada berbagai posisi
terutama pada daerah 1/3 distal esofagus, kardia dan fundus lambung untuk
mencari ada/tidaknya varises. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan,
dianjurkan pemeriksaan radiologik ini sedini mungkin, dan sebaiknya segera
setelah hematemesis berhenti.
2.Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendoskop, maka pemeriksaan
secara endoskopik menjadi sangat penting untuk menentukan dengan tepat tempat
asal dan sumber perdarahan. Keuntungan lain dari pemeriksaan endoskopik
adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi, aspirasi cairan, dan
8

biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik. Pada perdarahan saluran makan bagian


atas yang sedang berlangsung, pemeriksaan endoskopik dapat dilakukan secara
darurat atau sedini mungkin setelah hematemesis berhenti.
3.Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi
penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab
perdarahan saluran makan bagian atas.Pemeriksaan ini memerlukan peralatan dan
tenaga khusus yang sampai sekarang hanya terdapat dikota besar saja.
2.12 Konsep Dasar Trauma Abdomen
2.1 Konsep Dasar Penyakit
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional
(Dorland, 2002). Trauma abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada
rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga
abdomen, terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga
(lambung, usus halus, usus besar, pembuluh – pembuluh darah abdominal) dan
mengakibatkan ruptur abdomen. (Temuh Ilmiah Perawat Bedah Indonesia, 13 Juli
2000).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul
dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan
atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan
lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen
yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ
(Sjamsuhidayat, 1997).
2.1.2 Etiologi
Penyebab Trauma abdomen yaitu dapat karena kecelakaan lalu lintas,
penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian. Menurut
sjamsuhidayat, penyebab trauma abdomen adalah, sebagai berikut :
2.1.2.1 Penyebab trauma penetrasi
1. Luka akibat terkena tembakan
9

2. Luka akibat tikaman benda tajam


3. Luka akibat tusukan
2.1.2.2 Penyebab trauma non-penetrasi
1. Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
2. Hancur (tertabrak mobil)
3. Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
4. Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
2.1.3 Klasifikasi
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari :
1. Kontusio dinding abdomen
Disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat
cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah
dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi
Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen
harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi. Trauma Abdomen
adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan
perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi
dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002)
terdiri dari:
1. Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada
dinding abdomen.
2. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3. Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau
sayap kanan dan hati harus dieksplorasi
2.1.4 Anatomi Dan Fisiologi
Abdomen ialah rongga terbesar dalam tubuh. Bentuk lonjong dan meluas
dari atas diafragma sampai pelvis dibawah. Rongga abdomen dilukiskan menjadi
10

dua bagian – abdomen yang sebenarnya, yaitu rongga sebelah atas dan yang lebih
besar, dan pelvis yaitu rongga sebelah bawah dan kecil.
Batasan – batasan abdomen. Di atas, diafragma, Di bawah, pintu masuk
panggul dari panggul besar. Di depan dan kedua sisi, otot – otot abdominal, tulang
–tulang illiaka dan iga – iga sebelah bawah. Di belakang, tulang punggung, dan
otot psoas dan quadratrus lumborum.
Isi Abdomen. Sebagaian besar dari saluran pencernaan, yaitu lambung, usus
halus, dan usus besar. Hati menempati bagian atas, terletak di bawah diafragma,
dan menutupi lambung dan bagian pertama usus halus. Kandung empedu terletak
dibawah hati. Pankreas terletak dibelakang lambung, dan limpa terletak dibagian
ujung pancreas. Ginjal dan kelenjar suprarenal berada diatas dinding posterior
abdomen. Ureter berjalan melalui abdomen dari ginjal. Aorta abdominalis, vena
kava inferior, reseptakulum khili dan sebagaian dari saluran torasika terletak
didalam abdomen.
Pembuluh limfe dan kelenjar limfe, urat saraf, peritoneum dan lemak juga
dijumpai dalam rongga ini.
2.1.5 Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor –
faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang
terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk
menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan
dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga
karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma
juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas
adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun
ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan
tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya
yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus
dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap
11

permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang
disebabkan beberapa mekanisme :
1. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya
tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak
benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ
berongga.
2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
3. Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan
gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

Patway

Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus → Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih

Gangguan cairan Nutrisi kurang dari


12

dan eloktrolit kebutuhan tubuh



Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik

(Sumber : Mansjoer,2001)
2.1.6 Manifestasi Klinis
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis menurut
Sjamsuhidayat (1997), meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi
abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh,
nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) biasanya terdapat adanya:
1. Jejas atau ruftur dibagian dalam abdomen
2. Terjadi perdarahan intra abdominal.
3. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus
tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala
mual, muntah, dan BAB hitam (melena).
4. Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah trauma.
5. Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding
abdomen.
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
1. Terdapat luka robekan pada abdomen.
2. Luka tusuk sampai menembus abdomen.
3. Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak
perdarahan/memperparah keadaan.
4. Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :
1. Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat
timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri
lepas.
13

2. Darah dan cairan


Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan
oleh iritasi.
3. Cairan atau udara dibawah diafragma
Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada
saat pasien dalam posisi rekumben.
4. Mual dan muntah
5. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah
Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock
hemoragi.
2.1.7 Komplikasi
Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak.
2. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan
terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan
leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya
perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang
meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus
halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar.
3. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas
retroperineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus.
4. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri.
Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran
urogenital.
5. VP (Intravenous Pyelogram)
14

Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan


trauma pada ginjal.
6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga
perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila
ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut :
1. Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
2. Trauma pada bagian bawah dari dada
3. Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
4. Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera
otak)
5. Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang
belakang)
6. Patah tulang pelvis
Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah sebagai berikut :
1. Hamil
2. Pernah operasi abdominal
3. Operator tidak berpengalaman
4. Bila hasilnya tidak akan merubah penatalaksanaan
7. Ultrasonografi dan CT Scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan
disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.
2.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis :
1. Abdominal paracentesis. Menentukan adanya perdarahan dalam rongga
peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi.
2. Pemeriksaan laparoskopi. Mengetahui secara langsung penyebab abdomen
akut.
3. Pemasangan NGT. Memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma
abdomen.
4. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi.
15

5. Laparotomi
Penatalaksanaan keperawatan:
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi)
sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan
menimbulkan hemoragi masif.
1) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem
saraf.
2) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
3) Gunting baju dari luka.
4) Hitung jumlah luka.
5) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan
dilakukan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu
mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga
peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah
untuk mencegah kekeringan visera.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria
dan pantau haluaran urine.
8. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan
darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Aktifitas/istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas,
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseim Bangan cedera
(trauma)
2.2.1.2 Sirkulasi
16

Data Obyektif : kecepatan (bradipneu, takhipneu), polanapas(hipoventilasi,


hiperventilasi, dll).
2.2.1.3 Integritas ego
Data Subyektif : Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenang atau dramatis)
Data Obyektif : Cemas, Bingung, Depresi.
2.2.1.4 Eliminasi
Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan
fungsi.
2.2.1.5 Makanan dan cairan
Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan Selera makan.
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
2.2.1.6 Neurosensori.
Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo
Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental,
Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
2.2.1.7 Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama.
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.
8. Pernafasan
Data Subyektif : Perubahan pola nafas.
9. Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak.
2.2.2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:
2.2.2.1 Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : Terjadi keseimbangan volume cairan.
K.H : Kebutuhan cairan terpenuhi
Intervensi :
1. Kaji tanda-tanda vital
R/ untuk mengidentifikasi defisit volume cairan
17

2. Pantau cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin


R/ mengidentifikasi keadaan perdarahan
3. Kaji tetesan infus
R/ awasi tetesan untuk mengidentifikasi kebutuhan cairan.
4. Kolaborasi : Berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
R/ cara parenteral membantu memenuhi kebutuhan nuitrisi tubuh.
5. Tranfusi darah
R/ menggantikan darah yang keluar.
2.2.2.2 Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi
abdomen.
Tujuan : Nyeri teratasi
K.H : Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1. Kaji karakteristik nyeri
R/ mengetahui tingkat nyeri klien.
2. Beri posisi semi fowler.
R/ mengurngi kontraksi abdomen
3. Anjurkan tehnik manajemen nyeri seperti distraksi
R/ membantu mengurangi rasa nyeri dengan mengalihkan perhatian
4. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
R/ analgetik membantu mengurangi rasa nyeri.
5. Managemant lingkungan yang nyaman
R/ lingkungan yang nyaman dapat memberikan rasa nyaman klien
2.2.2.3 Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak
adekuatnya pertahanan tubuh.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
K.H : tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi :
1. Kaji tanda-tanda infeksi
R/ mengidentifikasi adanya resiko infeksi lebih dini.
2. Kaji keadaan luka
18

R/ keadaan luka yang diketahui lebih awal dapat mengurangi resiko


infeksi.
3. Kaji tanda-tanda vital
R/ suhu tubuh naik dapat di indikasikan adanya proses infeksi.
4. Perawatan luka dengan prinsip sterilisasi
R/ teknik aseptik dapat menurunkan resiko infeksi nosokomial
5. Kolaborasi pemberian antibiotik
R/ antibiotik mencegah adanya infeksi bakteri dari luar
2.2.2.4 Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status
kesehatan
Tujuan : Ansietas teratasi
K.H : Klien tampak rileks
Intervensi :
1. Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil
pada waktu lalu
R/ koping yang baik akan mengurangi ansietas klien.
2. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut dan
berikan penanganan
R/ mengetahui ansietas, rasa takut klien bisa mengidentifikasi masalah dan
untuk memberikan penjelasan kepada klien.
3. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai
penyakit
R/ apabila klien tahu tentang prosedur dan tindakan yang akan dilakukan,
klien mengerti dan diharapkan ansietas berkurang
4. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres
R/ lingkungan yang nyaman dapat membuat klien nyaman dalam menghadapi
situasi
5. Dorong dan dukungan orang terdekat
R/ memotifasi klien
2.2.2.5 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan : Dapat bergerak bebas
K.H: Mempertahankan mobilitas optimal
19

Intervensi :
1. Kaji kemampuan pasien untuk bergerak
R/ identifikasi kemampuan klien dalam mobilisasi
2. Dekatkan peralatan yang dibutuhkan pasien
R/ meminimalisir pergerakan kien
3. Berikan latihan gerak aktif pasif
R/ melatih otot-otot klien
4. Bantu kebutuhan pasien
R/ membantu dalam mengatasi kebutuhan dasar klien
5. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
R/ terapi fisioterapi dapat memulihkan kondisi klien
20

DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. Jakarta: EGC


Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis,
Edisi 6. Jakarta: EGC
Doenges. 2000.Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3. Jakarta: EGC
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.FKUI : Media
Aesculapius
Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth
Ed.8 Vol.3. : Jakarta: EGC.
Suddarth & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta :
EGC
Doenges, Marylin E, et. al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien(3rd ed.). Jakarta: EGC.
Jhoxer (2010). Asuhan Keperawatan Hematomesis Melena. Diambil
pada 13 Juli 2010
darihttp://kumpulanasuhankeperawatan.blogspot.com/2010/01/asuhan-
keperawatan-hematomesis-melena.html.
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta :
EGC, 2004. pp. 519-3
Ahlquist David A, Camilleri M. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
15th edition. Braunwald, Fauci, Kasper et all (Editor). 2001.
Hendarwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sarwono WP (Editor), Balai
Penerbit UI, 2000.
Naskah lengkap penyakit dalam. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam
2007.
Anonim. (2012). “Bakteri Penyebab Keracunan Makanan”. Diakses melalui
http://majalahkesehatan.com/3-bakteri-penyebab-keracunan-makanan/
Betz, Cecily L dan Sowden Linda A. (2002). “Keperawatan Pediatr Edisi 3”.
Jakarta: EGC.
Sartono. (2002). “Racun dan Keracunan”. Jakarta: Widya Medika.

Gubler DJ. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical Microbiology


Reviews. 1998.Vol 11, No 3 ;480-496
Dengue Haemorrhagic Fever : Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
Edition II. Geneva : World Health Organization. 1997.
Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of
Vector Borne and Infectious Diseases. Atlanta : 2009
Cook GC. Manson's Tropical Diseases. 22th Edition. United Kingdom : Elsevier
Health Sciences. 2008. Prosedur Tetap Standar Pelayanan Medis IRD Dr.
Soetomo. 1996.
21

Siswantoro , Kegawat Daruratan Saluran Nafas Atas, Penanggulangan Penderita


Gawat Darurat, Tim Penanggulangan Penderita Gawat Darurat RSUD
Dr. Soetomo, 1997

Eliastham, Michael. Dkk. Buku Saku Penuntun Kedaruratan Medis (5 ed.).1998.


Jakarta. EGC
Jevan, Philip, Beverley ewens, melame Humprays. 2008. Nursing Medical
Emergency patiens ( 3 Ed.) Blackwell: United Kingdom
Urden,L. D;Stesi, K.M. &Lough, M.E. (2006). Critical care Nursing: Diagnosis
and management (5 ed.. Misouri: Mosb

Bakta I Made, Suastika I Ketut. 1987. Gawat Darurat diBidang Penyakit Dalam.
EGC : Jakarta

Bruner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. EGC : Jakarta

Doenges M.E. (1999), Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. EGC : Jakarta

http:/www.syok kardiogenik.com

Brunner dan Suddarth. (2002). “Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol.


3”.Jakarta: EGC.
Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakatra : Salemba Medika
Smeltzer dan Suzanne. (2001). “Buku Ajar Medical Bedah, Edisi 8”. Jakarta:
EGC.
Doengoes, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan.
Edisi 3. Jakarta : EGC.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Kardiofaskuler. Jakatra : Salemba Medika
Nanda international.2009-2011.diagnosis keperawatan, definisi dan klasifikasi
EGC.
Wilkinson,M.Judith.2002.buku saku diagnosis keperawatan,dengan intervensi
NIC & kriteria hasil NOC.edisi ke-7.EGC.

Kartikawati, Dewi.dasar-dasar keperawatan gawat darurat.b uku ajar. 9. Muriel,


skeet. tindakan paramedis terhadap kegawatan dan pertolongan pertama. edisi ke
2.EGC
22

22

Anda mungkin juga menyukai