PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah semua trauma pada kepala selain dari cedera wajah
superfisial. Terminologi ini juga sering dipakai dengan istilah cedera otak dan
cedera otak traumatis.1 Cedera kepala adalah penyebab utama dari kematian dan
kecacatan pada pasien dewasa muda di seluruh dunia.2 Banyak pasien cedera otak
berat meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit, dan kira-kira 90% kematian pra
rumah sakit karena menderita cedera otak.3 Setiap tahun lebih dari satu juta orang
dibawa ke rumah sakit karena mengalami cedera kepala di Inggris, dimana 80-
90% mengalami cedera kepala ringan (GCS 13-15) dan sisanya mengalami cedera
kepala sedang (GCS 9-12) serta cedera kepala berat (GCS <9).1
Cedera kepala merupakan salah satu jenis cedera yang terbanyak di Unit
Gawat Darurat (UGD) di Amerika Utara dengan perkiraan satu juta kasus
pertahun. Tahun 2003 diperkirakan sebanyak 1.565.000 pasien cedera otak di
Amerika Serikat, terdiri dari 1.224.000 rawat jalan di UGD, 290.000 pasien
dirawat inap dan 51.000 pasien meninggal dunia. Diperkirakan 80.000-90.000
orang di Amerika Serikat mengalami kecacatan yang lama akibat cedera otak.3
Insiden cedera kepala lebih tinggi di negara berkembang, dan World Health
Organization (WHO) meramalkan cedera kepala dan kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab kematian ke-3 di seluruh dunia pada tahun 2020.2
Pada beberapa penelitian, dewasa muda (15-29 tahun) dan manula adalah
yang paling sering mengalami cedera kepala. Laki-laki memiliki kecenderungan
dua kali lipat mengalami cedera kepala dibandingkan perempuan. Penyebab
tersering cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan tindak
kekerasan.1
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme cedera,
beratnya cedera dan morfologi. Berdasarkan mekanisme cedera, cedera kepala
dibagi menjadi cedera tumpul dan cedera tembus.3 Berdasarkan beratnya, cedera
kepala dibagi menjadi cedera kepala ringan (GCS 13-15), cedera kepala sedang
(GCS 9-12), dan cedera kepala berat (GCS >9).2,3 Berdasarkan morfologi, cedera
kepala dibagi menjadi fraktur kranium, dan cedera otak. Cedera intrakranial
dibagi menjadi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan
intrakranial) dan cedera kepala difus (konkusi, kontusio multipel,
hipoksik/iskemia).3
Cedera kepala dapat juga diklasifikasikan menjadi cedera kepala primer
dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer adalah cedera kepala yang
terjadi saat terjadi trauma.2 Cedera kepala sekunder muncul dalam menit hingga
beberapa jam setelah trauma yang merupakan akibat dari cedera kepala primer.4
Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala berat
adalah harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian oksigen
(airway dan breathing) yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah
(circulation) yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting
untuk menghindari terjadinya cedera otak sekunder, yang akhirnya akan
meningkatkan tingkat kesembuhan pasien.3 Dengan manajemen cedera kepala
yang baik, diharapkan dapat mencegah cedera kepala sekunder sehingga akan
sangat membantu dalam menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat cedera
kepala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kepala
Struktur anatomi kepala dari luar ke dalam adalah sebagai berikut:
1. Kulit kepala (SCALP)3
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan, dimana 3 lapisan pertama saling melekat
dan bergerak sebagai satu unit, yaitu:
a. Skin: Kulit yang banyak mengandung kelenjar sebasea, tebal, dan
berambut
b. Connevtive tissue: Jaringan ikat yang merupakan jaringan lemak fibrosa
c. Aponeurosis (epikranial)
d. Loose Areolar Tissue: Jaringan ikat longgar yang menempati ruang
subaponeurotik. Jaringan ikat ini banyak mengandung arteri kecil dan
v.emissaria yang penting.
e. Perikranium: merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak.
2. Kranium, terdiri dari beberapa sutura. Tulang tengkorak dibedakan menjadi
bagian kranium dan bagian wajah. Kalvaria adalah bagian atas, dan basis
kranium adalah bagian terbawah dari kranium. Tulang tengkorak terdiri atas
lamina kompakta eksterna dan interna yang dipisahkan oleh lapisan
spongiosa.5
3. Selaput otak ( meningen)
Selaput otak terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
- Dura mater : merupakan membran fibrosa padat dan kuat yang melekat
dengan kranium. Pada dura mater banyak terdapat ujung-ujung saraf
sensoris. Dura mater sangat peka terhadap regangan yang berakibat sensasi
berupa nyeri kepala. Arteri meningea terletak di antara dura mater dan
permukaan dalam kranium (ruang epidural) 3,5
- Arakhnoid : merupakan membran impermiabel halus yang menutupi
otak dan terletak antara pia mater dan dura mater. Berhubungan dengan
dura mater melalui spatium subdural. Serta berhubungan erat dengan pia
mater melalui jaringan fibrosa halus yang melintasi cairan dalan cavum
subarakhnoid. Di antara arakhnoid dan dura mater terdapat vena bridging
yang dapat robek karena trauma sehingga terjadi perdarahan subdural. 3,5
- Pia mater : merupakan membran vaskular yang dengan erat
membungkus otak, girus, dan saraf kranialis. Arteri serebri yang masuk ke
otak juga diselubungi oleh pia mater. Di antara pia mater dan arakhnoid
(ruang subarakhnoid) terdapat cairan serebrospinal. 3,5
4. Otak, merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak dalam kavum
kranium dan berlanjut sebagai medulla spinalis setelah melalui foramen
magnum. Otak terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan
durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Serebelum
berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa
posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua
hemisfer serebri. Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan, serta medulla oblongata yang
memanjang sampai medulla spinalis.5
5. Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial.3
6. Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
yang terdiri dari fosa kranii anterior dan media dan infratentorial yang berisi
fosa kranii posterior. Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer
serebri dan batang otak (pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah
tentorium serebeli disebut insisura tentorial.3
B. Fisiologi
Konsep fisiologis yang berhubungan dengan cedera otak meliputi tekanan
intrakranial, hukum Monro-Kellie dan aliran darah otak.
1. Tekanan intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan
tekanan intrakranial (TIK). Kenaikan TIK dapat menyebabkan penurunan
perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada
keadaan istirahat kira-kira 10 mmHg. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg,
terutama bila menetap dan sulit diatasi menyebabkan prognosis menjadi
buruk.3
2. Hukum Monroe-Kellie
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang
tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama
dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume
jaringan otak (Vbr), volume cairan serebrospinal (Vcsf) dan volume darah
(Vbl).6
Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak
berat). Sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun
dapat juga terjadi pada seluruh bagian dari otak. Kontusio serebri dapat,
dalam waktu beberapa jam atau hari, berkumpul mejadi perdarahan
intraserebral atau kontusio yang luas sehingga menyebabkan lesi desak
ruang yang membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul pada kira-kira
20% dari seluruh pasien yang sudah ada kontusionya saat CT-scan awal.
Untuk itu pada pasien dengan kontusio serebri harus diperiksa CT-scan ulang
12-24 jam berikutnya setelah CT-scan pertama untuk mengevaluasi
perubahan kontusio yang dapat terjadi.3
Pada cedera otak sedang (GCS 9-12), pasien dalam kategori ini bisa
mengalami gangguan kardiopulmoner. 7,8
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas(Airway), pernapasan (Breathing),
dan sirkulasi(Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera
organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang
ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau
fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral
lainnya.1,2
Pada cedera otak berat (GCS <9), pasien dalam kategori ini,
biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal, segera
pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan,
dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama
dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan
dirawat di ICU. Disamping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan
sistemik. Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan
hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner. 7,8
E. Komplikasi
1. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut
early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure
terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma
intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan
dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.7
2. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti
pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian
profilaksis antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi
meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.7
3. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Dilakukan
tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat
paha, atau tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan
dengan pendingin. Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis sesuai
berat badan.7
4. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering
ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya
akan berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut
saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor
yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres
terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida
3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau
famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.7
5. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang
penuh, patah tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat.
Bila ada retensi urin, dapat dipasang kateter untuk pengosongan kandung
kemih. Bila perlu, dapat diberikan penenang dengan observasi kesadaran
lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat peroral yang tidak menimbulkan
depresi pernapasan.7
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala adalah semua trauma pada kepala selain dari cedera wajah
superfisial. Penyebab cedera kepala antara lain kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan
tindak kekerasan. Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
beratnya cedera dan morfologi. Berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi
menjadi cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Berdasarkan beratnya,
cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala ringan (GCS 13-15), cedera kepala
sedang (GCS 9-12), cedera kepala berat (GCS <9). Berdasarkan morfologi cedera
kepala dibagi menjadi cedera kepala kranium dan cedera intrakranial.
Prinsip penatalaksanaan dari cedera kepala adalah mencegah terjadi atau
semakin beratnya cedera sekunder. Tatalaksana awal pada pasien cedera kepala
adalah ABC (airway, breathing, circulation). Jalan napas (airway) dibebaskan
dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu
dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk
menghindari aspirasi muntahan. Gangguan pernapasan (breathing) dapat
disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Tatalaksana diberikan, oksigen
dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten, cari dan atasi faktor penyebab, kalau
perlu pakai ventilator. Gangguan sirkulasi (circulation) dapat berupa hipotensi
yang terjadi akibat cedera otak. Tatalaksananya dengan cara menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
Yang harus diperhatikan lain pada pasien cedera kepala adalah manajemen
TIK. Manajemen TIK diharapkan dapat menjaga fisiologi otak agar mencegah
terjadinya herniasi. CT scan merupakan pemeriksaan terbaik yang dapat
digunakan untuk mendeteksi lesi intrakranial. Terapi operatif dilakukan pada
pasien dengan fraktur tengkorak depresi, evakuasi perdarahan subdural dan
epidural perdarahan intraserebral tertentu, herniasi dan debridemen luka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Goswami, Amit dan Samantha Shinde. Management of the Head Injury Patient
Anaesthesia Tutorial of the Week 264. ATOTW. 2012: 1-11
2. Dinsmore, Judith. Traumatic Brain Injury: an Evidence-Based review of
management. British Journal of Anaesthesia. 2013: 1-7
3. American College of Surgeons Committe on Trauma. Cedera Kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support of Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 8. Komisi Trauma IKABI; 2008. 153-178
4. Traill Roger. Acute Head Injuries: Anaesthetic Considerations. Department of
Anaesthesia, Royal Prince Alfred Hospital, Sydney. 2007.
5. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H,
Listiawati E, Susilowati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.
6. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta:
Deltacitra Grafindo: 2005. 16-20
7. Lyna Soertidewi. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranioserebral.Bagian Ilmu
Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia. CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 327.
8. Marshall SA. Management of moderate and severe traumatic brain injury. AAN
Hawaii, 2011.