Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah semua trauma pada kepala selain dari cedera wajah
superfisial. Terminologi ini juga sering dipakai dengan istilah cedera otak dan
cedera otak traumatis.1 Cedera kepala adalah penyebab utama dari kematian dan
kecacatan pada pasien dewasa muda di seluruh dunia.2 Banyak pasien cedera otak
berat meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit, dan kira-kira 90% kematian pra
rumah sakit karena menderita cedera otak.3 Setiap tahun lebih dari satu juta orang
dibawa ke rumah sakit karena mengalami cedera kepala di Inggris, dimana 80-
90% mengalami cedera kepala ringan (GCS 13-15) dan sisanya mengalami cedera
kepala sedang (GCS 9-12) serta cedera kepala berat (GCS <9).1
Cedera kepala merupakan salah satu jenis cedera yang terbanyak di Unit
Gawat Darurat (UGD) di Amerika Utara dengan perkiraan satu juta kasus
pertahun. Tahun 2003 diperkirakan sebanyak 1.565.000 pasien cedera otak di
Amerika Serikat, terdiri dari 1.224.000 rawat jalan di UGD, 290.000 pasien
dirawat inap dan 51.000 pasien meninggal dunia. Diperkirakan 80.000-90.000
orang di Amerika Serikat mengalami kecacatan yang lama akibat cedera otak.3
Insiden cedera kepala lebih tinggi di negara berkembang, dan World Health
Organization (WHO) meramalkan cedera kepala dan kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab kematian ke-3 di seluruh dunia pada tahun 2020.2
Pada beberapa penelitian, dewasa muda (15-29 tahun) dan manula adalah
yang paling sering mengalami cedera kepala. Laki-laki memiliki kecenderungan
dua kali lipat mengalami cedera kepala dibandingkan perempuan. Penyebab
tersering cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan tindak
kekerasan.1
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme cedera,
beratnya cedera dan morfologi. Berdasarkan mekanisme cedera, cedera kepala
dibagi menjadi cedera tumpul dan cedera tembus.3 Berdasarkan beratnya, cedera
kepala dibagi menjadi cedera kepala ringan (GCS 13-15), cedera kepala sedang
(GCS 9-12), dan cedera kepala berat (GCS >9).2,3 Berdasarkan morfologi, cedera
kepala dibagi menjadi fraktur kranium, dan cedera otak. Cedera intrakranial
dibagi menjadi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan
intrakranial) dan cedera kepala difus (konkusi, kontusio multipel,
hipoksik/iskemia).3
Cedera kepala dapat juga diklasifikasikan menjadi cedera kepala primer
dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer adalah cedera kepala yang
terjadi saat terjadi trauma.2 Cedera kepala sekunder muncul dalam menit hingga
beberapa jam setelah trauma yang merupakan akibat dari cedera kepala primer.4
Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala berat
adalah harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian oksigen
(airway dan breathing) yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah
(circulation) yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting
untuk menghindari terjadinya cedera otak sekunder, yang akhirnya akan
meningkatkan tingkat kesembuhan pasien.3 Dengan manajemen cedera kepala
yang baik, diharapkan dapat mencegah cedera kepala sekunder sehingga akan
sangat membantu dalam menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat cedera
kepala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Kepala
Struktur anatomi kepala dari luar ke dalam adalah sebagai berikut:
1. Kulit kepala (SCALP)3
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan, dimana 3 lapisan pertama saling melekat
dan bergerak sebagai satu unit, yaitu:
a. Skin: Kulit yang banyak mengandung kelenjar sebasea, tebal, dan
berambut
b. Connevtive tissue: Jaringan ikat yang merupakan jaringan lemak fibrosa
c. Aponeurosis (epikranial)
d. Loose Areolar Tissue: Jaringan ikat longgar yang menempati ruang
subaponeurotik. Jaringan ikat ini banyak mengandung arteri kecil dan
v.emissaria yang penting.
e. Perikranium: merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak.
2. Kranium, terdiri dari beberapa sutura. Tulang tengkorak dibedakan menjadi
bagian kranium dan bagian wajah. Kalvaria adalah bagian atas, dan basis
kranium adalah bagian terbawah dari kranium. Tulang tengkorak terdiri atas
lamina kompakta eksterna dan interna yang dipisahkan oleh lapisan
spongiosa.5
3. Selaput otak ( meningen)
Selaput otak terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
- Dura mater : merupakan membran fibrosa padat dan kuat yang melekat
dengan kranium. Pada dura mater banyak terdapat ujung-ujung saraf
sensoris. Dura mater sangat peka terhadap regangan yang berakibat sensasi
berupa nyeri kepala. Arteri meningea terletak di antara dura mater dan
permukaan dalam kranium (ruang epidural) 3,5
- Arakhnoid : merupakan membran impermiabel halus yang menutupi
otak dan terletak antara pia mater dan dura mater. Berhubungan dengan
dura mater melalui spatium subdural. Serta berhubungan erat dengan pia
mater melalui jaringan fibrosa halus yang melintasi cairan dalan cavum
subarakhnoid. Di antara arakhnoid dan dura mater terdapat vena bridging
yang dapat robek karena trauma sehingga terjadi perdarahan subdural. 3,5
- Pia mater : merupakan membran vaskular yang dengan erat
membungkus otak, girus, dan saraf kranialis. Arteri serebri yang masuk ke
otak juga diselubungi oleh pia mater. Di antara pia mater dan arakhnoid
(ruang subarakhnoid) terdapat cairan serebrospinal. 3,5

Gambar 1. SCALP dan meningen

4. Otak, merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak dalam kavum
kranium dan berlanjut sebagai medulla spinalis setelah melalui foramen
magnum. Otak terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan
durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Serebelum
berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa
posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua
hemisfer serebri. Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan, serta medulla oblongata yang
memanjang sampai medulla spinalis.5
5. Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial.3
6. Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
yang terdiri dari fosa kranii anterior dan media dan infratentorial yang berisi
fosa kranii posterior. Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer
serebri dan batang otak (pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah
tentorium serebeli disebut insisura tentorial.3

Gambar 2. Anatomi otak

B. Fisiologi
Konsep fisiologis yang berhubungan dengan cedera otak meliputi tekanan
intrakranial, hukum Monro-Kellie dan aliran darah otak.
1. Tekanan intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan
tekanan intrakranial (TIK). Kenaikan TIK dapat menyebabkan penurunan
perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada
keadaan istirahat kira-kira 10 mmHg. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg,
terutama bila menetap dan sulit diatasi menyebabkan prognosis menjadi
buruk.3
2. Hukum Monroe-Kellie
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang
tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama
dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume
jaringan otak (Vbr), volume cairan serebrospinal (Vcsf) dan volume darah
(Vbl).6

Vic = V br+ V csf + V bl

Gambar 3. Doktrin Monroe-Kellie


3. Tekanan Perfusi Serebral
Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan
intarkranial (ICP). Pada seseorang yang dalam kondisi normal, aliran
darah otak akan bersifat konstan selama MAP berkisar 50-150 mmhg.
Hal ini dapat terjadi akibat adanya autoregulasi dari arteriol yang akan
mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi dalam upaya menjaga agar
aliran darah ke otak berlangsung konstan.6

C. Klasifikasi Cedera Kepala


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;3
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh
atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial
dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak.
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

Berdasarkan beratnya cedera, Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan


sebagai pengukur secara klinis. Pasien yang membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah dan berorientasi baik mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pasien yang lemah tidak dapat membuka mata sama sekali
atau tidak bersuara nilai GCS-nya minimal 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Pada pasien dengan nilai GCS
9-12 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan pasien dengan nilai 13-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Dalam penilaian GCS, jika terdapat
asimetris kanan/kiri maka yang dipergunakan adalah angka respon motorik
terbaik sebagi pengukuran karena hal itu adalah alat prediksi yang lebih cocok.
Namun respon motorik pada kedua sisi tetap harus dicatat.3
Tabel 1. Glasgow Coma Scale

Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi:


1. Fraktur Kranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak. Fraktur
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka dan
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT-Scan
dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain
ekimosis periorbital (Raccoon eyes sign), ekimosis retroaurikuler (battle
sign), kebocoran CSS dari hidung (rhinorrhea) dan telinga (otorrhea),
gangguan nervus kranialis VII dan VIII (parese otot wajah dan gangguan
kehilangan pendengaran, yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah
trauma. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus fasialis lebih baik
pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian, sementara
pemulihan N VIII sangat buruk. Fraktur dasar tengkorak yang menyilang
kanalis karotikus dapat merusak arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau
thrombosis) dan pertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan arteriografi.3
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput
dura.3
Adanya fraktur tengkorak yang nyata tidak boleh diremehkan, karena
menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. Pada pasien sadar,
bila ditemukan fraktur linier tulang kalvaria kemungkinan adanya perdarahan
intrakranial meningkat sampai 400 kali.3
2. Lesi Intrakranial
Lesi intra kranial dapat diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi
difus, walau kedua jenis lesi ini dapat terjadi bersamaan. Termasuk dalam lesi
fokal yaitu perdarahan epidural, peradarahan subdural, kontusio, dan
perdarahan intraserebral.3
Cedera otak difus mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT-
scan normal, sampai cedera iskemi-hipoksik yang berat. Pada konkusi, pasien
biasanya menderita kehilangan gangguan neurologis non-fokal sementara,
yang seringnya termasuk kehilangan kesadaran.3
Cedera otak difus berat biasanya diakibatkan oleh hipoksia, iskemi
otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera
setelah trauma. Pada kasus demikian, awalnya CT-Scan sering menunjukkan
gambaran normal, atau gambaran otak bengkak secara merata dengan batas
area substansia putih dan abu-abu hilang. Kelainan difus lainnya, sering
terlihat pada cedera dengan kecepatan tinggi atau cedera deselerasi, yang
dapat menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multipel di seluruh
hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas area putih dan abu-abu. Cedera
“shearing/menggunting” itu dikenal dengan Cedera Aksonal Difus (CAD),
yang didefinisikan sebagai gejala klinis cedera otak berat yang pada
umumnya mempunyai prognosis buruk.3
Perdarahan epidural relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua
cedera otak dan 9% dari pasien yang mengalami koma. Hematoma epidural
secara tipikal berbentuk bikonveks atau cembung sebagai akibat dari
pendorongan perdarahan terhadap duramater yang sangat menekan di tabula
interna tulang kepala. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal
dan biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur
tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari
pembuluh darah arteri, namun dapat juga terjadi akibat robekan dari sinus
vena besar maupun fraktur tulang tengkorak.3

Gambar 4. Perdarahan epidural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari pada perdarahan


epidural, kira-kira 30% dari cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi
akibat robekan pembuluh darah/vena-vena kecil dipermukaan korteks serebri.
Berbeda denga perdarahan epidural yang berbentuk lensa cembung pada CT-
scan, perdarahan subdural biasanya mengikuti dan menutpi permukaan
hemisfer otak. Perdarahan subdural dapat menutupi seluruh permukaan otak.
Lebih lanjut adalah kerusakan otak yang berada dibawah perdarahan subdural
biasanya lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari pada perdarahan
epidural.3
Gambar 5. Perdarahan subdural

Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak
berat). Sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun
dapat juga terjadi pada seluruh bagian dari otak. Kontusio serebri dapat,
dalam waktu beberapa jam atau hari, berkumpul mejadi perdarahan
intraserebral atau kontusio yang luas sehingga menyebabkan lesi desak
ruang yang membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul pada kira-kira
20% dari seluruh pasien yang sudah ada kontusionya saat CT-scan awal.
Untuk itu pada pasien dengan kontusio serebri harus diperiksa CT-scan ulang
12-24 jam berikutnya setelah CT-scan pertama untuk mengevaluasi
perubahan kontusio yang dapat terjadi.3

Gambar 6. Perdarahan intrakranial


D. Tatalaksana Cedera Kepala
Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan tindakan
(terapi non-operatif dan operatif), kondisi kesadaran pasien (berdasarkan GCS),
saat kejadian (manajemen prehospital, Instalasi Gawat Darurat, perawatan di
ruang rawat).
1. Berdasarkan tindakan
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:7
a. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan
terjadinya tekanan tinggi intrakranial
b. Mencegah dan mengobati edema otak
c. Minimalisasi kerusakan sekunder
d. Mengobati simtom akibat trauma otak
e. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik).

Terapi operatif pada cedera kepala tertutup terutama diindikasikan untuk


kasus:7
a. Fraktur impresi (depressed fracture)
b. Perdarahan epidural (hematoma epidural/EDH) dengan volume perdarahan
lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm
serta ada perburukan kondisi pasien
c. Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis
tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/obliterasi sisterna basalis
d. Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan
neurologik atau herniasi.

Terapi operatif pada cedera kepala terbuka terutama diindikasikan untuk


kasus:7
a. Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur
multipel, dura yang robek disertai laserasi otak
b. Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
c. Pneumoencephali
d. Corpus alienum
e. Luka tembak.

2. Kondisi kesadaran pasien


Pada cedera otak ringan (GCS 13-15) umumnya didapatkan
perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa disertai defisit
fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto kepala,
istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien
disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk
menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval,
nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala
lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada
hematoma, dilakukan CT scan. Pasien cedera otak ringan tidak perlu dirawat
jika:7,8
a. Orientasi (waktu dan tempat) baik
b. Tidak ada gejala fokal neurologik
c. Tidak ada muntah atau sakit kepala
d. Tidak ada fraktur tulang kepala
e. Tempat tinggal dalam kota
f. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada
perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS.

Pada cedera otak sedang (GCS 9-12), pasien dalam kategori ini bisa
mengalami gangguan kardiopulmoner. 7,8
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas(Airway), pernapasan (Breathing),
dan sirkulasi(Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera
organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang
ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau
fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral
lainnya.1,2

Pada cedera otak berat (GCS <9), pasien dalam kategori ini,
biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal, segera
pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan,
dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama
dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan
dirawat di ICU. Disamping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan
sistemik. Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan
hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner. 7,8

3. Tindakan di IGD dan ruang rawat


a. Resusitasi dengan tindakan ABC
Jalan napas (airway) dibebaskan dari lidah yang turun ke
belakang dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring
atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi
palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan
melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan. 7,8
Gangguan pernapasan (breathing) dapat disebabkan oleh
kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi
pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer
disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau
infeksi. 7
Tata laksana:
- Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit,intermiten
- Cari dan atasi faktor penyebab
- Kalau perlu pakai ventilator
Gangguan sirkulasi (circulation) dapat berupa hipotensi yang
terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90
mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko
kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor
ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok
septik. Tatalaksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara
dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.7
b. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi
kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk
dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil
pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari
pertama. Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya
dicari dan segera diatasi. 7
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal,
collar yang telah terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan
abdomen dilakukan atas indikasi. CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur
tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematoma
intrakranial.7
d. Pemeriksaan laboratorium7
- Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai
sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan
komosio (CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak
abnormal, sedangkan angka leukositosis >14.000 menunjukkan
kontusio meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran <10 menit
dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis yang mendukung ke arah
komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah
tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan
prediktor yang sederhana.
- Gula darah sewaktu (GDS)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk
kematian dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/dL dan OR 39,82
untuk GDS >220 mg/dL.
- Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat
hiperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada
fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak boleh diberikan.
- Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun.
pCO2 tinggi dan pO2 rendah akan memberikan hasil yang kurang
baik. pO2 dijaga tetap >90mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35
mmHg.
- Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
- Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL)
mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan
kadar albumin normal.
- Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis.
Risiko late hematomas perlu diantisipasi. Diagnosis kelainan
hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm3, kadar ffi
brinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT >50 detik.
e. Manajemen TIK meningkat
Peningkatan tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau
hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor
TIK. TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan cara:8
Posisi tidur:
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada satu
bidang.8
Terapi diuretik:
- Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan
dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah
6 jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan
osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
- Loop diuretic (furosemid). Pemberiannya bersama manitol, karena
mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum
manitol. Dosis:40 mg/hari IV.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan
energi rata-rata pada cedera kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%.
Total kalori yang dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/hari. Kebutuhan protein
1,5-2g/kgBB/hari, minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/hari, lipid 10-
40% dari kebutuhan kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc
10-30 mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-
150 mikrogram, dan mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga
direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, riboflavin, dan vitamin K
yang diberikan berdasarkan indikasi. Pada pasien penurunan kesadaran,
pipa nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus. Mula-mula isi
perut dikeluarkan untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk melihat
apakah ada perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik
dan cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis.8
g. Neurorestorasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan
ekstremitas digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia
ortostatik. Kondisi kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa.
Saat Skala Koma Glasgow sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi
amnesia Galveston (GOAT). Bila GOAT sudah mencapai nilai 75,
dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif dan domain
fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination (MMSE);
akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan konsultasi
ke klinik memori bagian neurologi.7
h. Neuroproteksi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan
ekstremitas digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia
ortostatik. Kondisi kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa.
Saat Skala Koma Glasgow sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi
amnesia Galveston (GOAT). Bila GOAT sudah mencapai nilai 75,
dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif dan domain
fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination (MMSE);
akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan konsultasi
ke klinik memori bagian neurologi. 7
i. Terapi medikamentosa
Tujuan utama protokol perawatan internsif adalah mencegah
terjadinya kerusakan otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya
adalah bila sel saraf diberikan pemulihan, maka diharapkan sel tersebut
dapat berfungsi kembali. Namun bila suasananya dibiarkan dalam keadaan
tidak optimal maka akan mengalami kematian. Terapi medika mentosa
antara lain cairan intravena, hiperventilasi, manitol, furosemid, steroid,
barbiturat dan antikejang.
- Cairan intravena
Cairan intravena harus diberikan sesuia dengan kebutuhan untuk
resusitasi dan mempertahankan normovolemia. Keadaan hipovolemia
pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga dipertahankan untuk
tidak memberikan cairan yang berlebihan dan jangan diberikan cairan
hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebakan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera.
Karena itu, cairan yang digunakan untuk resusitasi adalah larutan ringer
laktat atau garam fiiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada
pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan
dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan
edema otak sehingga harus dicegah.
- Hiperventilasi
Untuk sebagian pasien keadaan normokarbia lebih diinginkan.
Perlakuan hiperventilasi akan menurunkan kadar PaCO2 yang
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang
berlangsung terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak
akibat vasokontriksi berat pembuluh darah serebral sehingga menimbulkan
gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi apabila PaCO2 dibiarkan turun
sampai di bawah 30 mmHG(4,0 kPa).
Hiperventilasi sebaiknya diakukan secara selektif dan hanya dalam
batas waktu tertentu. Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmHg
atau lebih. Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30
mmHg) dapat diakukan jika diperlukan pada keadaan perburukan
neurologis akut, sementara pengobatan lainnya baru akan dimulai.
- Antikonvulsan
Epilepsi paska trauma tejadi pada 5% pasien yang dirawat di RS
dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat
3 faktor yang berkitan dengan epilepsi: 1. Kejang awal yang terjadi pada
minggu pertama. 2. Perdarahan intrakranial. 3. Fraktur depresi. Penelitian
tersamar ganda/ double blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai
profilaksis bermanfaat untuk menurunkan angka insiden kejang dalam
minggu pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin ata fosfenitoin
adalah oabt yang bisasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awal
yang diberian adalah 1g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan
pemberian tidak lebih cepat dari 50mg/menit. Dosis pemeliharaan
biasanya 100mg/8 jam, dengan titrasi mencapai kadar terapetik serum.
Pada pasien dengan kejang berkepanjangan, diazepam atau lorazepam
digunakan sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk
mengatasi kejang yang terus menerus terkadang memerlukan anestesi
umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena
kejang yang berlangsung lama (30-60 menit) dapat menyebabkan cedera
otak.

E. Komplikasi
1. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut
early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure
terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma
intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan
dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.7
2. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti
pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian
profilaksis antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi
meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.7
3. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Dilakukan
tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat
paha, atau tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan
dengan pendingin. Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis sesuai
berat badan.7
4. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering
ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya
akan berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut
saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor
yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres
terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida
3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau
famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.7
5. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang
penuh, patah tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat.
Bila ada retensi urin, dapat dipasang kateter untuk pengosongan kandung
kemih. Bila perlu, dapat diberikan penenang dengan observasi kesadaran
lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat peroral yang tidak menimbulkan
depresi pernapasan.7
BAB III

KESIMPULAN

Cedera kepala adalah semua trauma pada kepala selain dari cedera wajah
superfisial. Penyebab cedera kepala antara lain kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan
tindak kekerasan. Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
beratnya cedera dan morfologi. Berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi
menjadi cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Berdasarkan beratnya,
cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala ringan (GCS 13-15), cedera kepala
sedang (GCS 9-12), cedera kepala berat (GCS <9). Berdasarkan morfologi cedera
kepala dibagi menjadi cedera kepala kranium dan cedera intrakranial.
Prinsip penatalaksanaan dari cedera kepala adalah mencegah terjadi atau
semakin beratnya cedera sekunder. Tatalaksana awal pada pasien cedera kepala
adalah ABC (airway, breathing, circulation). Jalan napas (airway) dibebaskan
dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu
dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk
menghindari aspirasi muntahan. Gangguan pernapasan (breathing) dapat
disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Tatalaksana diberikan, oksigen
dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten, cari dan atasi faktor penyebab, kalau
perlu pakai ventilator. Gangguan sirkulasi (circulation) dapat berupa hipotensi
yang terjadi akibat cedera otak. Tatalaksananya dengan cara menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
Yang harus diperhatikan lain pada pasien cedera kepala adalah manajemen
TIK. Manajemen TIK diharapkan dapat menjaga fisiologi otak agar mencegah
terjadinya herniasi. CT scan merupakan pemeriksaan terbaik yang dapat
digunakan untuk mendeteksi lesi intrakranial. Terapi operatif dilakukan pada
pasien dengan fraktur tengkorak depresi, evakuasi perdarahan subdural dan
epidural perdarahan intraserebral tertentu, herniasi dan debridemen luka.
DAFTAR PUSTAKA

1. Goswami, Amit dan Samantha Shinde. Management of the Head Injury Patient
Anaesthesia Tutorial of the Week 264. ATOTW. 2012: 1-11
2. Dinsmore, Judith. Traumatic Brain Injury: an Evidence-Based review of
management. British Journal of Anaesthesia. 2013: 1-7
3. American College of Surgeons Committe on Trauma. Cedera Kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support of Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 8. Komisi Trauma IKABI; 2008. 153-178
4. Traill Roger. Acute Head Injuries: Anaesthetic Considerations. Department of
Anaesthesia, Royal Prince Alfred Hospital, Sydney. 2007.
5. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H,
Listiawati E, Susilowati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.
6. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta:
Deltacitra Grafindo: 2005. 16-20
7. Lyna Soertidewi. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranioserebral.Bagian Ilmu
Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia. CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 327.
8. Marshall SA. Management of moderate and severe traumatic brain injury. AAN
Hawaii, 2011.

Anda mungkin juga menyukai