Refleksi Kasus Plasenta Previa Totalis
Refleksi Kasus Plasenta Previa Totalis
TINJAUAN PUSTAKA
II. Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain1,2:
- Atonia uteri
- Luka jalan lahir
- Retensio plasenta
- Gangguan pembekuan darah
III. Insidensi
Insidensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi
Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara
maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai
15%5.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut5:
- Atonia uteri 50 – 60 %
- Sisa plasenta 23 – 24 %
- Retensio plasenta 16 – 17 %
- Laserasi jalan lahir 4 – 5 %
- Kelainan darah 0,5 – 0,8 %
1
tidak lengkap tetapi tinggi fundus
Perdarahan segera tidak berkurang
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio uteri
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Tampak tali pusat (bila
plasenta belum lahir)
Sub-involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah dan Demam fragmen plasenta
pada uterus (terinfeksi atau tidak)
Perdarahan sekunder
V. Pemeriksaan Penunjang1,2,3
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal.
Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil
kehamilan yang buruk1,3.
Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak
periode antenatal3.
2
Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu
pembekuan2,3.
b. Pemeriksaan radiologi
Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis
dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan
laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat
membantu untuk melihat adanyagumpalan darah dan retensi sisa
plasenta1,3.
USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien
dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya
perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat
pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta
akreta dan variannya1,2,3.
VI. Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen,
yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok
hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan
post partum3.
Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga
dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab
perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama
persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko
perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan
resiko sangat tinggi3.
Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid
dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat
melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat
persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar
3
obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah
dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan
kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan
Ringer Laktat3.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran
pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L
darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak
tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial.
Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan
edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal
dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari
1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus
kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang
banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah3.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat
menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang
terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek
yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap
direkomendasikan3.
Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan
tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat3.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat
indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus.
Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing
unit.
4
Tabel II.2. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1 IM atau IV Oral atau rektal
pemberian awal L larutan garam (lambat): 0,2 mg 400 mg
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam
larutan garam setelah 15 menit setelah dosis awal
fisiologis dengan Bila masih
40 tetes/menit diperlukan, beri
IM/IV setiap 2-4
jam
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 Total 1 mg (5 Total 1200 mg atau
per hari L larutan fisiologis dosis) 3 dosis
Kontraindikasi Pemberian IV Preeklampsia, Nyeri kontraksi
atau hati-hati secara cepat atau vitium kordis, Asma
bolus hipertensi
VII. Penyulit1
Penyulit pada kasus perdarahan post partum adalah :
Syok ireversibel
DIC
VIII. Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada
persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan
post partum3. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
5
Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus
berkontraksi dengan baik
6
7
Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan berbagai
macam hal, diantaranya adalah atonia uteri, laserasi jalanlahir dan
A. ATONIA UTERI
I. Definisi
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus
untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post
partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4
jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan
dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik3.
II. Etiologi
Over distensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko
mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh
kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin
(misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk
melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum
maupun sesudah plasenta lahir3.
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena
persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan
stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang
disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-
obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan
nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri
(korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi pada
abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru
menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko
independen untuk terjadinya perdarahan post partum3.
8
PREDISPOSISI TERHADAP ATONIA UTERI
1. Grandemultipara.
2. Uterus yang terlalu regang (hidramion, hamil ganda, anak sangat besar/
BB > 4000 gram).
3. Kelainan uterus (uterus bikornis, mioma uteri, bekas operasi).
4. Plasenta previa dan solusio plasenta (perdarahan ante partum).
5. Partus lama
6. Partus presipitatus.
7. Hipertensi dalam kehamilan.
8. Infeksi uterus.
9. Anemia berat.
10. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus).
11. Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat manual plasenta.
12. Pimpinan kala III yang salah dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong
uterus sebelum plasenta terlepas.
III. Penatalaksanaan2,3
Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri
Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada
perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian
dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil,
dipertahankan selama 24 jam.
Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling
mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus.
Pantau aliran darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi
diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi.
Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal
Kompresi bimanual internal
9
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan
tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam
miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan
perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan
berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali.
Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi aorta abdominalis
Kompresi aorta abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah
umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai
kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau
sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi
dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi
Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin / ergometrin,
bisa dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau
langsung pada miometrium (transabdominal). Bila perlu
pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam
sesudahnya.
Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang
terjadi tetap > 200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri
uterina atau hipogastrik (khusus untuk penderita yang belum punya
anak atau muda sekali)
Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.
10
Bagan II.2. Penilaian Klinik Atonia Uteri2
11
B. RETENSIO PLASENTA
I. Definisi
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga
atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir2. Hampir sebagian besar gangguan
pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus
II. Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain2:
Plasenta adhesiva adalah plasenta yang melekat pada desidua
endometrium lebih
dalam.sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai
sebagian lapisan miometrium sampai ke serosa
Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai/melewati lapisan miometrium
Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding
uterus
Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri
12
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Separasi Lepas sebagian Sudah lepas Melekat
plasenta seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali
III. Penatalaksanaan
Retensio plasenta dengan separasi parsial
Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan
yang akan diambil
Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi
plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per
menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal
(sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang
timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual
plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi
dan perdarahan
Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g
supositoria / oral)
Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok
neurogenik
Plasenta inkarserata
Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan
pemeriksaan
Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan
konstriksi serviks dan melahirkan plasenta
Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus
oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk
13
mengantisipasi gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi
tersebut
Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam
ovum, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk
prosedur ini berikan analgesik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg
IV) dan sedatif (Diazepam 5 mg IV) pada tabung suntik yang terpisah
Sisa Plasenta
Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan
pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa
plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien
akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah
beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi uterus
Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x
1 g oral dikombinasi dengan metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x
500 mg oral
Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan
darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen,
lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase
Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8 g/dL,
berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari
Plasenta akreta
Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya
fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit
ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang dalam
Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah
menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan
karena kasus ini memerlukan tindakan operatif
14
Bagan II.3. Penilaian Klinik Plasenta Akreta
I. Klasifikasi2
- Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam6:
o Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau
kulit perineum
o Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke
vagina dan perineum dengan melukai fasia serta otot-otot
diafragma urogenital
15
o Tingkat III : perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang
menyebabkan muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan
- Robekan serviks
III. Penatalaksanaan2
Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan
Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap
Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari
operator
16
Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan
subkutikuler
Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per
oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak
kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau
terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas
Robekan serviks
Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang
terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan
oleh kepala bayi
Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir lengkap, tetapi terjadi
perdarahan banyakmaka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan
kanan dari portio
Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga
perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan
tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari
ujung atas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan
dapat dijahit
Setelah tindakan, periksa tanda vital psien, kontraksi uterus, tinggi
fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan
Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda
infeksi
Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8
g%, berikan transfusi darah
17
Bagan II.4. Penilaian Klinik Perdarahan Oleh Karena Persalinan
Trumatika2
D. KELAINAN DARAH
I. Etiologi
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet
biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada
kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat
perlekatan plasenta dan penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam
hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat
menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari
sebab lain, terutama trauma3.
18
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat
persalinan. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya,
seperti ITP atau sindroma HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis.
Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar
merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis3.
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang
berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang
didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang
berhubungan dengan solusio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air
ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar
fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus
mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah
perdarahan post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan
transfusi PRC3.
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi
jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan.
Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen
yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time).
II. Penatalaksanaan
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya
perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari
terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP,
fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia.
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada
pasien dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit
dengan cepat. Satu unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar
5.000 – 10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-
gejala perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3.
transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000 – 50.000/mm3, jika
direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan
19
diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan
karena masa paruh trombosit hanya 3 – 4 hari4.
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V,
VII, IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak
diperlukan adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi
dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat
pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara
empiris4.
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan
fibrinogen, dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan
penyakit von Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk
terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis4.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2000, Perdarahan Post Partum dalam
Standar Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta: Penerbit
Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
2. Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed),
2002, Perdarahan Setelah Bayi Lahir dalam Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR – POGI
bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
3. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage,
http://www.emedicine.com
4. Rayburn, W. F., Carey, J. C., 2001, Obstetri & Ginekologi, Jakarta:
Penerbit Widya Medika
5. Mochtar, R., Lutan, D. (ed),1998, Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi
Obstetri Patologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
6. Angsar, M. D., 1999, Perlukaan Alat-alat Genital dalam Ilmu Kandungan,
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
21