Anda di halaman 1dari 3

ABSTRAK

The Clean Development Mechanisme , merupakan salah satu dari tiga mekanisme yang
disebut flexibe mechanisms yang disediakan dalam Protocol Kyoto untuk para negara anggota
Protocol Kyoto, terkhusus bagi negara-negara Annex I. Dimana para negara anggota golongan
Annex I diberikan suatu sistem untuk dapat turut berperan dalam mengurangi emisi karbon tanpa
mengurangi produksi negaranya dan dengan biaya yang lebih murah. Namun alih-alih dengan
berperan sebagai Investor/Pemodal dan membantu negara Non-Annex I untuk menjalankan
projek yang bertujuan mengurangi gas rumah kaca. Indonesia sebagai negara berkembang Non-
Annex I telah banyak melaksanakan Proyek CDM. Namun, dalam pelaksanaannya Indonesia
tidak selalu bekerjasama dan mendapatkan bantuan modal dari negara Annex-I sebagaimana
seharusnya. Tulisan ini memperlihatkan bagaimana bahwa dalam pelaksanaan CDM di dunia
praktik, tidaklah selalu harus dilakukan oleh negara golongan Anne I dengan Non-Annex I.
Tulisan ini akan secara spesifik membahas hal tersebut dengan menjadikan Proyek CDM antara
Indonesia dan Korea sebagai objek analisa., dan akan mencoba menganlisa apakah pelaksanaan
CDM yang tidak sesuai aturan yang ada ini dapat sebenarnya dilakukan atau tidak.

Kata kunci : Clean Development Mechanism, Negara Annex I, Negara Non-Annex I,


investor, proyek
PENDAHULUAN

Protokol Kyoto memberikan tiga (3) mekanisme yang disebut flexible mechanism bagi
negara-negara anggota untuk dapat turut serta dalam menurunkan emisi karbon. Salah satu dari
mekanisme tersebut adalah The Clean Development Mechanism. Mekanisme ini disebut juga
dengan “carbon credit” dimana skema sistem ini akan dimulai saat ada kegiatan yang secara
khusus bertujuan untuk mengurangi gas rumah kaca. Selanjutnya penggagas proyek ini dapat
menjual kredit karbonnya (yang diukur dalam ton karbon yang harus dihindari), penjualan kredit
karbon ini difungsikan untuk mendanai proyek mereka. Karena tanpa keuntungan dari penjualam
kredit karbon ini, proyek yang digagas tidak akan mempunyai permodalan yang memadai.

Dalam mekanisme CDM, biasanya ada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proyek
yang pada umumnys menyertakan negara-negara Annex I sebagai investor, dan negara Non-
Annex I sebagai penyedia lapangan proyek (host) dengan bentuk kerjasama joint venture. Dalam
kerja sama ini, bertujuan untuk menurunkan gas rumah kaca terutama bagi negara Annex 1 untuk
mencapai target pengurangan emisi dengan biaya yang rendah. Serta juga untuk bisa
berkontribusi bagi perkembangan berkelanjutan pada negara dimana proyek dibangun.
Pendanaan yang dilakukan harus dapat membantu negara tuan rumah untuk berkembang dari
berbagai aspek seperti ekonomi,sosial,lingkungan dan lain sebagainya. Protokol Kyoto tidak
memuat aturan mengenai prosedur dan tata cara (procedures and modalities) bagi pelaksanaan
ketiga mekanisme di atas. Ketentuan tentang hal ini kemudian disepakati dalam COP7 di
Marrakesh, Maroko tahun 2001, dalam sebuah dokumen yang disebut dengan Marrakesh
Accord.1

Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang menjadi bagian dair Protokol Kyoto
dan juga salah satu negara Non-Annex I yang bisa dan telah beberapa kali menjalankan CDM. Di
Indonesia, meknisme ini di sebut sebagai MPB (Mekanisme Pembangunan Bersih) di mana bila
pelaku industri di Indonesia bisa turut andil menurunkan GRK (gas rumah kaca), maka sejumlah
emisi yang bisa di turunkan bisa di claim dalam unit CER (certified emission reduction) dan
berharga antara 5 – 30 USD/ton CO2 eq yang berhasil di turunkan.2

1
Andri G Wibisana dan Laode M Syarif. “Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus” hal. 425.
2
Indonesia Environtment and Energy Center, https://environment-indonesia.com/clean-development-mechanism-
cdm/ diakses pada 22 Maret 23.45
Pada 2005, Kementrian Lingkungan Hidup mengeluarkan Keputusan Menteri LH
No.2006 yang menjadi awal bagi penerapan sistem CDM di Indonesia dengan dibentuknya
Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan bersih (Komnas MPB). Komnas MPB ini adalah
wujud dari Designated National Authority, dimana dalamnya terdiri dari wakil-wakil instansi
pemerintah yang berasal dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Departemen Energi dan
SDM, Departemen Kehutanan, Departemen Perindustrian, Departemen Luar Negeri, Departemen
Dalam Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian, dan Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dalam Keputusan Menteri LH No.206 tentang Komnas MBP pada pasal ke-6 ditetapkan
tugas/wewenang dari pada Komnas MBP yaitu:

 Memberikan persetujuan atas usulan proyek Mekanisme Pembangunan Bersih yang


disampaikan oleh pengusul proyek berdasarkan kriteria dan indikator pembangunan
berkelanjutan, serta berdasarkan pendapat Tim Teknis dan /atau dibantu dengan
masukan-masukan dari Para Pakar dan/atau Pemangku Kepentingan yang terkait
biIamana diperlukan;
 Melakukan penelusuran status dokumen proyek (tracking) di CDM Executive Board
terhadap dokumen proyek Mekanisme Pembangunan Bersih yang teIah disetujui Komnas
Mekanisme Pembangunan Bersih;
 Melakukan pemantauan kinerja kegiatan (monitoring and evaluation) proyek Mekanisme
Pembangunan Bersih yang telah disetujui Komnas Mekanisme Pembangunan Bersih; dan
 Menyampaikan Iaporan tahunan (annual reporting) ke Sekretariat UNFCCC (United
Nations Framework Convention on Climate Change) dari kegiatan proyek.

Seyogyanya proyek CDM haruslah melibatkan Annex-I Country sebagai investor atau
pemodal dan Non-Annex I Country sebagai negara yang menerima modal dan pelaksana proyek
penurunan gas emisi karbon. Namun pada pelaksanaan praktiknya ada beberapa proyek CDM
yang ternyata dilakukan oleh dua negara yang keduanya bukanlah negara golongan Annex-I.
Seperti salah satu proyek CDM di Indonesia yang akan dibahas dalam pembahasan tulisan ini.

Anda mungkin juga menyukai