Ekonomi Kerakyatan
Mardi Yatmo Hutomo*
A. Latar Belakang
1. Karakteristik Indonesia
Fakta ini menunjukkan kepada kepada kita, bahwa konsep dan strategi
pembangunan ekonomi yang berhasil diterapkan di suatu negara, belum tentu akan
berhasil bila diterapkan di negara lain. Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori
pertumbuhan Rostow, teori pertumbuhan David Romer, teori pertumbuhan Solow,
dibangun dari struktur masyarakat pelaku ekonomi yang berbeda dengan struktur
ekonomi masyarakat Indonesia. Setiap teori selalu dibangun dengan asumsi-asumsi
tertentu, yang tidak semua negara memiliki syarat-syarat yang diasumsikan. Itulah
sebabnya, untuk membangun ekonomi Indonesia yang kuat, stabil dan berkeadilan,
tidak dapat menggunakan teori generik yang ada. Kita harus merumuskan konsep
pembangunan ekonomi sendiri yang cocok dengan tuntutan politik rakyat,
tuntutan konstitusi kita, dan cocok dengan kondisi obyektif dan situasi subyektif
kita.
*
Penulis adalah Staf Ahli pada Proyek Pengembangan Prasarana Perdesaan di Bappenas, dan staf
pengajar Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc #1
2. Tuntutan Konstitusi
3. Fakta Empirik
Dari krisis moneter yang berlanjut ke krisis ekonomi dan kejatuhan nilai
tukar rupiah terhadap dolar, ternyata tidak sampai melumpuhkan perekonomian
nasional. Bahwa akibat krisis ekonomi, harga kebutuhan pokok melonjak, inflasi
hampir tidak dapat dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor produk
manufaktur), impor barang modal menurun, produksi barang manufaktur menurun,
pengangguran meningkat, adalah benar. Tetapi itu semua ternyata tidak
berdampak serius terhadap perekonomian rakyat yang sumber penghasilannya
bukan dari menjual tenaga kerja.
Usaha-usaha yang digeluti atau dimiliki oleh rakyat banyak yang produknya
tidak menggunakan bahan impor, hampir tidak mengalami goncangan yang berarti.
Fakta yang lain, ketika investasi nol persen, bahkan ternjadi penyusutan kapital,
ternyata ekonomi Indonesia mampu tumbuh 3,4 persen pada tahun 1999. Ini semua
membuktikan bahwa ekonomi Indonesia akan kokoh kalau pelaku ekonomi
dilakukan oleh sebanyak-banyaknya warga negara.
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc #2
ekonomi nasional masih di atas 7 persen pertahun. Pendapatan perkapitan atau
GDP perkapita juga meningkat tajam dari 60 US dolar pada tahun 1970 menjadi
1400 US dolar pada tahun 1995. Volume dan nilai eksport minyak dan non migas
juga meningkat tajam. Tetapi pada aspek lain, kita juga harus mengakui, bahwa
jumlah penduduk miskin makin meningkat2, kesenjangan pendapatan antar
golongan penduduk dan atar daerah makin lebar, jumlah dan ratio hutang dengan
GDP juga meningkat tajam3, dan pemindahan pemilikan aset ekonomi dari rakyat
ke sekelompok kecil warga negara juga meningkat.
Tujuan yang akan dicapai dari penguatan ekonomi kerakyatan adalah untuk
melaksanakan amanat konstitusi, khususnya mengenai: (1) perwujudan tata
ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan yang
menjamin keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal 33 ayat
1), (2) perwujudan konsep Trisakti (berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di
bidang politik, dan berkepribadian di bidang kebudayaan), (3) perwujudan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
2
Menurut data statistik, pada tahun 1970 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai sekitar 60 juta
orang. Tahun 1990 jumlah penduduk miskin turun menjadi 27,2 juta jiwa dan pada tahun 1993 jumlah
penduduk miskin turun 25,5 juta jiwa. Pada awal krisis ekonomi yaitu tahun 1996 jumlah penduduk miskin
tinggal 15,5 juta jiwa. Perhitungan sesitivitas dari data Sesenas menunjukkan bahwa bila batas garis
kemiskinan dinaikkan dari pendapatan Rp 930 perhari untuk kota dan Rp 608 hari untuk desa, menjadi Rp
1.000,- per hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia akan meningkat dari 25,5 juta menjadi 77 juta.
Dari 77 juta ini 67 juta adalah orang yang tinggal di perdesaan dan 10 juta tingal di perkotaan. Bila analisis
sensitivitas ini dilanjutkan dengan melihat jumlah penduduk Indonesia yang mengkonsumsi di bawah Rp
2.000 per hari atau Rp 60.000,- per bulan, maka dari data Susenas tahun 1993, jumlah orang yang hidup
dengan konsumsi di bawah Rp 2.000,- per hari mencapai 82persen penduduk Indonesia. Fakta empirik ini
setidaknya dapat digunakan sebagai acuan untuk mempertanyakan relevansi dan efektivitas program-
program khusus penganggulangan kemiskinan. Hasil SUSENAS tahun 1996 yang dilakukan oleh BPS, dari 26
propinsi, hanya ada satu propinsi, yaitu propinsi Kalimantan Tengah, yang jumlah penduduknya miskinnya
tidak bertambah bila dibandingkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1993 dengan tahun 1996. Sedang di
25 propinsi lainnya jumlah penduduk miskinnya meningkat. Kemudian kalau dilihat sebaran kabupaten yang
penduduk miskinnya meningkat, maka persentasenya mencapai 36,08persen dari total kabupaten yang ada.
Artinya, dari total kabupaten yang ada, ada 36,08persen kabupaten yang jumlah penduduk miskinnya
bertambah, bila dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 1993 dengan jumlah penduduk miskin tahun
1996. Perubahan kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk, dari data SUSENAS tahun 1996,
ternyata persentase kabupaten yang kesenjangan pendapatan masyarakatnya makin buruk mencapai
50,52persen dari total kabupaten. Dari 26 propinsi (Tabel 1), hanya propinsi DKI Jakarta yang kesenjangan
pendapatan antar golongan penduduk mengalami perbaikan di semua kota. Sedang di 25 propinsi lainnya,
kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk justru makin buruk di beberapa kabupaten/kota. Di
Propinsi Jawa Timur misalnya, 44,44persen kabupaten, kesenjangan pendepatan antar golongan penduduk
justru makin memburuk dari tahun 1993 hingga tahun 1996.
3
Pada tahun 2001, resio hutang terhadap PDB telah mencapai 90persen.
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc #3
rakyat banyak dikuasai negara (pasal 33 ayat 2), dan (4) perwujudan amanat
bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
(pasal 27 ayat 2). Adapun tujuan khusus yang akan dicapai adalah untuk:
1. Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik,
dan berkepribadian yang berkebudayaan
2. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
3. Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
4. Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional
C. Konsideran Akademis
Tata ekonomi kapitalis liberal ini pada tahap awal (prakapitalis), dianggap
sebagai tata ekonomi yang tidak berkeadilan dan sulit diterima secara moral.
Mekanisme pasar dengan kekuatan invisble hand yang dapat menjamin pemerataan
dan keadilan ekonomi masyarakat ternyata mengalami kegagalan. Oleh sebab itu
muncul antitesis dari tata ekonomi kapitalis liberal yaitu tata ekonomi etatisme
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc #4
atau sosialis komunis. Proses produksi dan distribusi harus diatur oleh pemerintah
(yang diasumsikan tidak memiliki interest) untuk menjamin pemerataan dan
keadilan. Dalam tata ekonomi ini, diyakini hanya pemerintah sebagai representasi
rakyat, yang tidak memiliki interest, yang dapat menjamin kedailan baik dalam
proses produksi maupun proses distribusi.
Pemilikan aset ekonomi oleh sebagian besar warga negara tidak dapat
diwakilkan oleh lembaga pemerintah. Fakta empirik menunjukkan bahwa
pemerintah gagal memposisikan sebagai wakil rakyat yang tidak memiliki interest
dan gagal dalam merubah barang private sebagai barang publik. Oleh sebab itu,
dalam ekonomi kerakyatan, tetap menempatkan pemerintah sebagai penyedia
barang publik dan jasa publik. Intervensi pemerintah dalam ekonomi rakyat hanya
diperlukan untuk menjamin mekanisme distribusi aset terjadi melalui mekanisme
pasar.
(1) Tata ekonomi yang dapat memberikan jaminan pertumbuhan out put
perekonomian suatu negara secara mantap dan berkesinambungan, dan
dapat memberikan jaminan keadilan bagi rakyat.
(2) Tata ekonomi yang dapat menjamin pertumbuhan out put secara mantap
atau tinggi adalah tata ekonomi yang sumber daya ekonominya digunakan
untuk memperoduksi jasa dan barang pada tingkat pareto optimum. Tingkat
pareto optimum adalah tingkat penggunaan faktor-faktor produksi secara
maksimal dan tidak ada faktor produksi yang nganggur atau idle.
(3) Tata ekonomi yang dapat menjamin pareto optimum adalah tata ekonomi
yang mampu menciptakan penggunaan tenaga kerja secara penuh (full
employment) dan mampu menggunakan kapital atau modal secara penuh.
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc #5
(4) Tata ekonomi yang dapat memberikan jaminan keadilan bagi rakyat adalah
tata ekonomi yang pemilikan aset ekonomi nasional terdistribusi secara baik
kepada seluruh rakyat, sehingga sumber penerimaan (income) rakyat tidak
hanya dari penerimaan upah tenaga kerja, tetapi juga dari sewa modal dan
deviden. Secara ekonomis, dalam perekonomian kerakyatan, model income
masyarakat adalah sebagai berikut: Yi (W is ) i . Dimana Yi adalah income
individu anggota masyarakat, W adalah penerimaan dari upah tenaga kerja,
adalah penerimaan dari deviden atau bagi hasil sisa usaha, i adalah
tingkat sewa modal (misalnya bunga deposito), dan s adalah jumlah
tabungan atau endowment yang disewakan. Dengan demikian dalam tata
ekonomi kerakyatan, masyarakat bukan hanya sebagai buruh dalam
perekonomian tetapi juga pemilik atau memiliki saham di sektor produksi.
MASYARAKAT
output input
PEMERINTAH
SEKTOR SWASTA
Bagan 1: hubungan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam perekonomian
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc #6
Dalam tata ekonomi yang modern, peranan pemerintah dalam perekonomian
sangat minimal. Alasannya, intervensi pemerintah yang berlebihan dalam
perekonomian lebih banyak menimbulkan distrosi pasar, sehingga perekonomian
tidak pernah mencapai kondisi pareto optimum. Peran pemerintah dalam
perekonomian modern adalah sebatas sebagai stabilisator, peran alokasi, dan
peran distribusi. Melalui pengaturan fiskal dan kebijakan moneter, pemerintah
bersama bank sentral menjaga stabilitas perekonomian dari supply shock, seperti
inflasi, ledakan pengangguran, fluktuasi nilai tukar rupiah, suku bunga, dll.
Private sector membeli input (tenaga kerja dan modal) untuk memproduksi
barang dan jasa private. Barang dan jasa private ini akan dibeli oleh masyarakat
dan pemerintah. Masyarakat membeli barang dan jasa private dari hasil upah dan
hasil sewa modal. Bila pasar berjalan sempurna, maka akan selalu terjadi market
clearing4 baik di pasar input maupun di pasar output.
Di Indonesia, yang terjadi tidak demikian. Produsen barang dan jasa private
jumlahnya terbatas. Yang memproduksi 78,5 persen output nasional dalam bentuk
barang dan jasa private hanya oleh 200 orang warga negara. Sedang 21,5 persen
output nasional diproduksi oleh jutaan orang warga negara memalui usaha mikro,
usaha kecil dan menengah. Sementara 89,5 persen tenaga kerja yang ditawarkan di
pasar input dibeli oleh 99,5 persen produsen yang outputnya hanya 21,5 persen.
Sedang hanya10,5 persen tenaga kerja yang dibeli oleh 0,5 persen produsen yang
outputnya 78,5 persen. Sebaliknya, modal yang pergunakan oleh 0,5persen
produsen mencapai sekitar 85 persen dari dari modal yang ada dalam
perekonomian, dan tidak lebih dari 7 persen modal yang dipergunakan oleh 95,5
persen produsen. Dalam situasi yang demikian, maka diduga kuat:
(1) Tidak pernah terjadi market clearing baik di pasar input maupun di pasar
output,
(2) Ada modal yang idle (nganggur) dalam perekonomian,
(3) Ada tenaga kerja yang idle dalam perekonomian,
(4) Perekonomian tidak efisien,
(5) Perekonomian tidak memproduksi barang dan jasa sesuai kapasitas yang
dimiliki, dan
4
Jumlah Input yang ditawarkan dan yang diminta sama jumlahnya dalam perekonomian; atau jumlah
output yang ditawarkan sama dengan jumlah output yang dminta dalam perekonomian.
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc #7
(6) Terjadi kesenjangan ekonomi antar golongan penduduk yang amat lebar.
Situasi ini akan terus makin memburuk, sebab dengan income yang rendah
pada sebagian besar rakyat, maka seluruh atau sebagian besar income akan
dihabiskan untuk konsumsi. Tidak ada saving. Dengan share output yang kecil dari
99,5 persen produsen yang banyak digeluti rakyat, maka di sektor ini akumulasi
kapital juga tidak akan terjadi, kalaupun terjadi sangat lamban. Artinya, aset
ekonomi nasional yang dimiliki oleh sebagian besar rakyat sangat kecil. Itulah
sebabnya, mengapa tingkat pengangguran di Indonesia sangat tinggi, jumlah
penduduk miskinnya amat tinggi, upah tenaga kerjanya amat rendah. Jadi
persoalan pokok yang dihadapi dalam perekonomian Indonesia saat ini adalah
pemilikan aset ekonomi oleh sebagian besar rakyat yang sangat sangat kecil,
sedang sebagian kecil rakyat menguasai aset ekonomi yang sangat besar. Inilah
yang menyebabkan pasar atau tangan Tuhan tidak berjalan sebagaimana mestinya,
yang menyebabkan perekonomian nasional tidak efisien, yang menyebabkan trickle
down effect tidak berjalan, dan yang menyebabkan kemiskinan secara masip.
Bertolak dari tiga persoalan besar tersebut, maka ruh dari ekonomi
kerakyatan adalah: bagaimana pemerintah dapat menjalankan fungsi alokasi,
fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi (atau bagaimana kebijakan fiskal,
kebijakan moneter, dan kebijakan di sektor riil dijalankan), sehingga
distribusi aset ekonomi kepada sebagian besar rakyat dapat terjadi tanpa
mendistorsi pasar.
Output nasional (Q) dapat berupa jasa dan barang. Q nasional adalah
akumulasi dari jutaan Q yang diproduksi penduduk, baik yang dilakukan melalui
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc #8
unit-unit produksi skala besar, unit-unit produksi skala menengah, sekala kecil,
maupun skala keluarga.
i l k
Q Q xi Q yl Q zk )
i 0 l 0 k 1
Q xi adalah output yang diproduksi oleh unit-unit produksi skala besar, yang
pada umumnya memiliki fleksibilitas luas dalam memilih kombinasi antar faktor
produksi. Problemnya adalah bagaimana memilih bundle faktor yang
memaksimalkan profit dan atau meminimalkan biaya. Jumlah unit produksi skala
besar ini tidak terlalu banyak, tetapi memiliki atau menguasai faktor produksi
(khususnya modal dan teknologi) nasional secara masib. Share dari unit produksi
skala besar ini cukup dominan dalam output nasional. Produktivitas tenaga kerja di
unit produksi ini sangat tinggi, tetapi jumlah tenaga kerja yang ada di unit
produksinya hanya kurang lebih 10 persen dari jumkah tenaga kerja yang
ditawarkan di pasar tenaga kerja.
Secara nasional, model produksi dalam perekonomian kita saat ini adalah
Qn f {( Ax Ay Az ), ( K x K y K z ), ( L x L y L z )} , dimana ( Ax Ay Az ) lebih kecil
dibanding ( Ax Ay Az ) , ( K x K y K z ) K n , dan ( L x L y Lz ) Ln . Mengapa jumlah
vektor faktor teknologi lebih rendah dari faktor teknologi yang seharusnya, karena
di unit-unit skala rumah tangga dan unit unit skala kecil dan menengah tidak
mampu melakukan investasi di bidang teknologi 5. Mengapa jumlah kapital yang
digunakan dalam perekonomian lebih kecil dibanding kapital yang ada dalam
perekonomian, karena ada diskriminasi lembaga keuanga dalam melaksanakan
fungsi intermediat. Untuk menjelaskan bagaimana diskriminasi ini terjadi, periksa
berikut ini:
5
Misalnya di sektor pertanian, pada skala produksi 0,4 ha maka tidak mungkin petani menggunakan
teknologi pengolahan tanah yang lebih efisien, menggunakan tekonolgi pemberantasan hama dan penyakit
secara efisien. sektor pertanian akan lebih efisien, kalau skala produksinya diubah menjadi skala produksi
besar.
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc #9
r S
ST
i
DT
D
0 L LT
Total permintaan uang untuk produksi sebenarnya LT , tetapi jumlah uang yang
ditawarkan oleh lembaga perbankan hanya L, sehingga terjadi excces demand
sebesar (OL-OLT ). Kelebihan permintaan ini terjadi karena unit produksi skala
keluarga dan skala kecil dan menengah, tidak dilayani oleh lembaga keuangan
bank. Kelebihan permintaan ini selanjutnya diisi oleh lembaga keuangan non bank
(rentenir, pengijon, dan sejenisnya). Mengapa bank tidak bersedia memenuhi
permintaan uang kepada unit-unit produksi skala keluarga, skala kecil, dan skala
menengah, karena unit-unit skala keluarga, skala kecil, dan skala menengah ini
pada umumnya tidak memiliki kolateral, sehingga resiko default (macet) yang
dihadapi bank cukup besar. Fenomena ini dapat dijelaskan secara matematik
sebagai berikut:
PX (1 i ) L x Py , z (1 r ) L y , z
Px 1
Py , z 1
Lx L y , z
(1 i ) Py , z (1 r )
(1 i )
r 1
Py , z
r i
Menurut logika perbankan, karena unit produksi besar memiliki kolateral dan
faktor ketidak-pastiannya kecil, maka dianggap peluang kredit kembali adalah 1
atau tidak default. Sebaliknya unit produksi keluarga, unit produksi kecil, dan
menengah, karena tidak memiliki kolateral dan faktor uncertenty-nya besar, maka
peluang kredit yang diberikan akan kembali tidak 1 atau ada resiko default.
Padahal bagi bank, kalau bank memberikan kredit kepada unit produksi besar
maupun kepada unit produksi skala keluarga dan kecil sebesar L, keuntungan yang
diharapkan sama. Oleh sebab itu, menurut perhitungan bank, bank hanya layak
memberikan kredit kepada unit produksi skala keluarga, skala kecil, dan skala
menengah, bila unit produksi skala keluarga, kecil dan menengah tersebut bersedia
membayar bunga sebesar r. secara moral dan secara politis, bank tidak mungkin
memberlakukan tingkat bunga yang diskriminatif kepada unit produksi skala
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 10
keluarga, skala kecil, dan skala menengah. Oleh sebab itu, yang paling aman bagi
bank adalah tidak memberikan kredit kepada unit produksi skala keluarga, skala
kecil, dan skala menengah (bila tanpa kolateral). Jadi, kesimpulannya pasar uang
tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri. Sebab pada kasus di Indonesia, pasar uang
mengalami kegagalan, dan akibatnya terjadi modal yang idle dalam perekonomian.
Kegagalan pasar tidak saja terjadi di pasar uang, tetapi juga di pasar tenaga
kerja. Menurut kaum ortodok atau ekonom klasik, tingkat pengangguran ditentukan
oleh naik turunnya suku bunga. Sebab tingkat suku bunga bank akan menentukan
naik turunnya investasi. Pada tingkat bunga rendah, maka investasi akan meningkat
dan akibatnya permintaan tenaga kerja akan meningkat, sehingga tingkat
pengangguran akan menurun. Artinya full employment akan terjadi dengan
sendirinya melalui kekuatan pasar. tetapi kenyataan tidak demikian. Pengangguran
tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh pasar melalui dinamika suku bunga bank.
Untuk jelasnya lihat penjelasan grafis berikut:
wE 2
wE 1
Lumr L E 1 LE 2 L
Menurut teori klasik, tingkat pengangguran yang tinggi ini dengan sendirinya
akan merubah tingkat upah yang dapat diterma oleh tenaga kerja, sehingga tenaga
kerja yang diserap dalam perekonomian akan meningkat. Mekanisme ini berjalan
dengan sendirinya melalui instrumen tingkat bunga bank. Demikian juga kalau
terjadi yang sebaliknya. Tetapi dalam praktik, ternyata tidak demikian. Dalam
dunia nyata tidak pernah terjadi upah tenaga kerja turun dan dapat diterima oleh
tenaga kerja. Artinya, pasar akan mengatur dengan kekuatan sendiri untuk selalu
menuju pada keseimbangan, tidak pernah terjadi. Intervensi pemerintah atau bank
sentral, seperti dianjurkan Keynesian, melalui kebijakan tingkat suku bunga,
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 11
ternyata tidak selalu efektif sebagai instrumen untuk mengelola pasar tenaga kerja
atau tingkat pengangguran. Tingkat bunga rendah tidak selalu diikuti dengan
penurunan tingkat pengangguran. Sebab tingkat bunga rendah tidak selalu
mendorong investasi. Dalam kondisi daya beli masyarakat rendah, maka investasi
justru akan mendorong terjadinya deflasi. Oleh sebab itu, yang dibutuhkan bukan
hanya instrumen moneter seperti kebijakan tingkat bunga, tetapi harus ada shock.
Redistribusi aset ekonomi kepada sebanyak-banyaknya warga negara adalah salah
satu bentuk shock.
Akses kredit yang lebih besar diberikan kepada unit produsen milik komunal,
akan mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja, sekaligus meningkatkan
pendapatan masyarakat, sehingga peningkatan barang dan jasa yang diproduksi
dalam perekonomian tidak akan menimbulkan deflasi maupun inflasi.
Dari uraian mengenai kegagalan pasar baik di pasar uang maupun di pasar
tenaga kerja, yang dampaknya adalah terjadinya idle modal dan idle tenaga kerja
dalam perekonomian, maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Melalui shock dalam bentuk ekonomi kerakyatan, maka bukan saja dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga dapat merubah level.
Y W r T)
W f (t , H , w)
fQ );
Q f ( A, K , L )
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 12
sumber penerimaannya hanya dari transfer (seperti pensiunan, orang jompo), dan
bahkan ada invidu yang sumber penerimaannya hanya dari bunga tabungan atau
sewa faktor modal. Dengan demikian, ada beberapa model ekonomi yang dapat
menjelaskan beberapa tipe individu menurut sumber income-nya.
Tipe 1
Y f (W )
Tipe 2
Y f ( )
Tipe 3
Y f (T )
Tipe 4
Y f (i )
Tipe 5
Y f (W , )
Tipe 6
Y f (W , i )
Tipe 7
Y f ( , i )
Dari sisi model produksi, model umum yang kita kenal adalah Q f ( A, K , L)
, dimana Q adalah output barang dan jasa, A adalah teknologi produksi, K adalah
modal, L adalah tenaga kerja. Selama ini hampir di semua sektor ekonomi,
khususnya di sektor hilir, model produksi output adalah sebagai berikut:
n
Qn (Q b Q ukm ) i
i 1
Qn out put nasional
Qnb output nasional yang diproduksi usaha besar
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 13
Qnukl output nasional yang diproduksi Usaha mikro, kecil, dan menengah
Qnb Qnukm
Rendahnya output share nasional dari usaha menengah, usaha kecil, dan
usaha mikro ini terjadi karena adanya distorsi baik di pasar input, khususnya modal
maupun di pasar output. Akibatnya perekonomian tidak atau belum bekerja secara
optimal. Resources ekonomi belum dapat kita gunakan secara optimal dan efisien.
dengan menggunakan diagram eigenbox dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tenaga kerja
UKM
Idle
modal
USAHA BESAR
idle
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 14
C.6. Ekonomi Kerakyatan dan Inflasi
Qukm AK L1
pQukm rK wL1
p AK L1 rK wL1
d
p AK 1 L1 rK 1 0
dK
K 1 ( p AL1 r ) 0
r
L1
pA
1
r 1
L( )
pA
p AK L1 rK wL1
d
(1 ) p AK L (1 ) wL 0
dL
(1 ) L ( p AK w) 0
(1 ) L 0
p AK w
w
K
pA
1
w
K ( )
pA
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 15
Pada penguatan ekonomi kerakyatan, dimana UKM melakukan merger
menjadi unit produksi skala besar atau menengah, maka faktor teknologi memiliki
fleksibilitas yang lebar untuk dirubah. Sehingga unit produksi rakyat akan mampu
menyerap modal lebih besar bila diberi akses kredit (tidak perlu diberi subsidi
bunga maupun jatah kredit). Pada unit Produksi rakyat skala besar atau menengah,
dengan teknologi yang efisien, selain akan menurunkan biaya produksi juga akan
meningkatkan kualitas produk, sehingga keuntungan yang diperoleh juga akan
meningkat. Keuntungan yang diperoleh akan didistribusikan kepada masyarakat
dalam bentuk deviden, sehingga daya beli masyarakat juga meningkat. Dengan
demikian, penguatan ekonomi kerakyatan tidak akan menimbulkan inflasi yang
tinggi.
Dari permintaan kredit yang cukup besar dari lembaga keuangan non bank,
walaupun dengan tingkat bunga di atas bunga pasar, membuktikan bahwa yang
dibutuhkan unit produksi rakyat sebenarnya bukan subsidi bunga dan bukan dana
block grant, tetapi akses untuk mendapatkan pinjaman ke bank.
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 16
Peninjauan Kembali Kebijakan Subsidi Bunga
Mengapa perlu penjaminan, sebab bank adalah risk aversion sehingga tidak
berminat memberikan kredit kepada UKM yang memang memiliki default risk
tinggi. Tidak efektifnya kebijakan credit rationing dengan mewajibkan bank
menyalurkan 20 persen kredit kepada UKM dengan subsidi bunga dari pemerintah,
adalah argumentasi yang cukup kuat tentang perlunya penjaminan pemerintah
untuk kredit UKM.
Bunga atas deposito dana penjaminan ini selanjutnya untuk biaya fasilitasi
UPR. Fasilitasi UPR ini dapat dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat.
pelibatan LSM dalam proses fasilitasi dengan biaya dari bunga deposito ini sekaligus
dapat digunakan sebagai pembinaan LSM agar tidak digunakan oleh kepentingan
asing (lembaga donor). Sebab, ketergantungan yang begitu besar dari LSM terhadap
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 17
lembaga donor, telah membawa sebagian besar LSM menjadi alat kepentingan
politik dan kepentingan ekonomi asing.
Strategi ini, selain tidak akan membebani anggaran belanja pemerintah yang
terlalu besar, membantu penyehatan perbankan dalam negeri, juga bagian dari
pembelajaran bagi UKM untuk terbiasa berhubungan dengan lembaga keuangan
bank dan pembelajaran bagi UKM untuk mandiri dan efisien.
Kebijakan Perpajakan
Kebijakan Pertanahan
Perusahaan Hutan Rakyat (bukan HPH tetapi mirip HPH hanya pemilikan
sahamnya adalah oleh masyarakat adat setempat), akan dapat dibangun bila
pemerintah mengakui hak pemilikan hutan ulayat. Demikian juga Perusahaan
Perkebunan Rakyat (bukan Perkebunan Inti Rakyat, tetapi mirip PIR hanya
pemilikan sahamnya oleh masyarakat adat setempat), akan dapat dibangun bila
pemerintah mengakui hak pemilikan hutan ulayat.
Kebijakan Upah
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 18
Kebijakan penetapan batas Upah Minimum Regional (UMR), seperti yang
selama ini digunakan pemerintah dalam melindungi kaum pekerja, sebenarnya
tidak memecahkan permasalahan ketenagakerjaan. Kebijakan UMR justru
menghambat tumbuh dan kerkembangnya UKM dan mendorong laju pengangguran.
Intervensi pemerintah secara langsung dalam menentukan upah dan gaji pekerja,
justru menimbulkan permasalahan baru yang lebih serius, seperti pengangguran
dan permasalahan sektor informal. Perbaikan gaji dan upah, seharusnya diserahkan
melalui mekanisme pasar tenaga kerja.
Oleh sebab itu, dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan dari sisi
ketenagakerjaan, harus ada kebijakan baik disisi demand maupun di sisi supply. Di
sisi supply, intervensi yang dibutuhkan dari pemerintah adalah peningkatan kualitas
tenaga kerja. Sedang di sisi demand, intervensi yang diperlukan dari pemerintah
adalah perluasan lapangan kerja. Perluasan lapangan kerja dapat dilakukan melalui
instrumen kebijakan fiskal dan moneter, penumbuh kembangkan usaha-usaha
ekonomi produktif, dan industrialisasi di perdesaan, seperti dijelaskan pada point
(1) di atas.
Supply
wE 2
wE 1
demand
Lumr L E 1 LE 2 L
Untuk meningkatkan upah buruh, jalan yang aman untuk ditempuh adalah
melalui stimulus penciptaan lapangan kerja. Meluasnya lapangan kerja akan
menggeser kurve demand atau permintaan, sehingga tingkat upah akan meningkat.
Stimulan untuk menciptakan lapangan kerja dapat ditempu h melalui peningkatan
investasi. Peningkatan investasi tidak harus menurunkan suku bunga bank, tetapi
memperluas akses unit produksi rakyat untuk memperoleh pinjaman di lembaga
keuangan bank.
Pertanian
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 19
(rata-rata 0,4 ha), cukup sulit untuk meningkatkan efisiensinya. Pengadaan sarana
produksi pertanian dalam jumlah sedikit akan meningkatkan harga perunit sarana
produksi, dan akibatnya biaya produksi per unit produk menjadi tinggi. Dengan
produksi kecil dan keuntungan kecil, akan menjadi kendala untuk terjadinya
akumulasi kapital di setiap unit produksi. Akibatnya hampir tidak pernah terjadi
investasi baru di sektor ini, baik dalam bentuk pengadaan alat-alat mekanisasi
pertanian, maupun perluasan lahan.
Dengan skala usaha kecil-kecil dengan jumlah jutaan dan tidak ada
keterkiatan antara satu dengan yang lain, menyebabkan posisi tawar mereka baik
di pasar input maupun di pasar output, sangat lemah. Di pasar input mereka
berhadapan dengan monopoli, sedang di pasar output mereka menghadapi
monopsoni. Oleh sebab itu, jalan keluar yang relatif baik adalah melalui merger
antarunit usaha pertanian atau coorporate farming. Melalui coorporate farming
(CF), produksi pertanian dilakukan melalui unit-unit perusahaan pertanian yang
saham seluruhnya dimiliki oleh petani yang bersangkutan. Model CF tidak saja
diterapkan untuk pertanian tanaman pangan, tetapi juga untuk perkebunan. Fakta
empirik menunjukkan bahwa model kemitraan dalam bentuk perkebunan inti
rakyat, ternyata juga tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Perdagangan
Selama ini konsep bahwa “bumi air dan segala isinya dikuasai negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” , dipahami kekayaan alam,
khususnya kekayaan hutan dan bahan galian dikuasai negara, lalu oleh pemerintah
sebagai wakil negara mengkonsesikan kepada pihak swasta (misalnya dalam bentuk
HPH, kontrak karya), kemudian penerimaan bagi hasil dan pajak atas eksploitasi
sumber daya alam tersebut dibagi dua, sebagian diberikan kepada pemerintah
daerah dan sebagian lagi untuk pemerintah pusat. Bagian daerah tersebut
selanjutnya untuk membiayai pembangunan di daerahnya dan bagi pusat dibagikan
kepada daerah bukan penghasil dan atau digunakan pusat untuk untuk membiayai
pembangunan nasional. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau penduduk
dimana sumber daya alam itu berada, kadang-kadang tidak merasakan manfaat
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 20
atas eksploitasi sumber daya alam yang bersangkutan. Bahkan penduduk lokal harus
menanggung biaya eksternalitas disekonomi yang ditimbulkan dari kegiatan
eksploitasi dimaksud.
/conversion/tmp/scratch/405996872.doc # 21