Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Asma
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Asma
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma adalah penyebab utama penyakit kronik pada anak, yang menyebabkan sebagian
besar hilangnya hari sekolah akibat penyakit kronik. Asma mempunyai awitan pada setiap usia.
Sekitar 80-90% anak asma mendapat gejala pertama sebelum usia 4-5 tahun. Pada suatu waktu
selama masa anak akan mendapat gejala dan tanda yang sesuai dengan asma. Kira-kira 2-20%
populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai
angka kejadian asma pada anak Indonesia, namun diperkirakan berkisar antara 5-10%. Di
Poliklinik Sub Bagian Paru Anak FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari 50% kunjungan merupakan
penderita asma.
Berat dan perjalanan asma sulit diramalkan. Sebagian besar anak yang menderita
sebagian kecil akan menderita asma berat yang sulit diobati, biasanya lebih bersifat menahun
daripada musiman. Yang menyebabkan ketidakberdayaan dan secara nyata mempengaruhi hari-
hari sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi sehari-hari. Sungguh merupakan hal yang tidak
menyenangkan apabila dalam masa-masa bermain dan beraktivitas, anak-anak terganggu karena
penyakit yang diderita. Hal ini tentunya membutuhkan perhatian khusus baik berupa perawatan,
pengobatan dan pencegahan.
Oleh karena itu penyakit asma memerlukan penanganan khusus terlebih lagi pada anak-
anak yang selalu diliputi keceriaan dalam hari-hari dalam bermain dan beraktivitas dalam
kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tenaga kesehatan dari berbagai bidang multidisipliner.
Dalam pelayanan keperawatan, perawat mempunyai peranan sebagai tenaga profesional yaitu
bertindak memberikan asuhan keperawatan, penyuluhan kesehatan kepada orang tua,
memberikan informasi tentang pengertian, tanda dan gejala, serta pencegahan secara mandiri
maupun secara kolaboratif dengan berbagai pihak.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini agar kita sebagai perawat profesional mampu:
1. Memperoleh pengalaman nyata di dalam merawat pasien dengan Asma Bronchiale sesuai
dengan konsep asuhan keperawatan yang telah diperoleh dari perkuliahan.
2. Memperoleh informasi atau gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Asma Bronchiale.
C. Metode Penulisan
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan mengambil beberapa literatur yang berhubungan dengan
Asma Bronchiale.
2. Studi Kasus
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah diawali dengan kata pengantar, daftar isi, kemudian
dilanjutkan dengan Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan,
metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep
dasar diikuti definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, test diagnostik,
pengolahan medik, komplikasi dan konsep asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian,
perencanaan. Bab III berisikan pengamatan kasus yang terdiri dari pengkajian, perencanaan,
implementasi dan evaluasi. Bab IV mengenai pembahasan kasus yang berisi perbandingan antara
kasus teori yang melandasinya. Bab V berisi kesimpulan yang diakhiri dengan daftar Pustaka.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1. Definisi
Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus
oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan luar saluran nafas bagian
bawah yang dapat berubah-ubah derajatnya secara spontan atau dengan pengobatan (Buku Ilmu
Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI).
2. Anatomi Fisiologi
Sistem pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang mengantarkan udara
luas agar bersentuhan dengan membran-membran kapiler alveoli paru. Saluran penghantar udara
hingga mencapai paru-paru adalah hidung, pharing, laring, bronkus dan bronkioulus yang
dilapisi oleh membran mukosa bersilia.
a. Hidung
Ketika udara masuk ke rongga hidung udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan.
Partikel-partikel yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat di dalam hidung,
sedangkan partikel halus akan dijerat dalam lapisan mukosa, gerakan silia mendorong lapisan
mukus ke posterior di dalam rongga hidung dan ke superior di dalam saluran pernafasan bagian
bawah.
b. Pharing
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Terdapat di bawah
dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut setelah depan ruas tulang leher.
Hubungan pharing dengan rongga-rongga lain: ke atas berhubungan dengan rongga hidung
dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut.
Tempat hubungan ini bernama istmus fausium lubang esophagus.
Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah
bening. Perkumpulan getah bening dinamakan adenoid. Di sebelahnya terdapat dua buah tonsil
kiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglotis (empang tengkorak) yang
berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan.
Bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana disebut nasofaring.
Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium disebut orofaring.
c. Laring
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot pita suara.
Laring dianggap berhubungan dengan fibrasi tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih
penting. Pada waktu menelan laring akan bergerak ke atas glotis menutup.
Alat ini berperan untuk membimbing makanan dan cairan masuk ke dalam esophagus sehingga
kalau ada benda asing masuk sampai di luar glotis maka laring mempunyai fungsi batuk yang
membantu benda dan sekret dari saluran inspirasi bagian bawah.
d. Trakea
Trakea disokong oleh cincin tulang yang fungsinya untuk mempertahankan oagar trakea tatap
terbuka. Trakea dilapisi oleh lendir yang terdiri atas epitelium bersilia, jurusan silia ini bergerak
jalan ke atas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir halus yang turut masuk
bersama dengan pernafasan dapat dikeluarkan.
e. Bronkus
Dari trakea udara masuk ke dalam bronkus. Bronkus memiliki percabangan yaitu bronkus utama
kiri dan kanan yang dikenal sebagai karina. Karina memiliki syaraf yang menyebabkan
bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris,
bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar yang arahnya hampir vertikal, sebalinya bronkus ini
lebih panjang dan lebih sempit. Cabang utama bronkus bercabang lagi menjadi bronkus lobaris
dan kemudian segmentalis. Percabangan ini berjalan terus dan menjadi bronkiolus terminalis
yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli.
f. Bronkiolus
Saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis merupakan saluran penghantar
udara ke tempat pertukaran gas paru-paru setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan
unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorik,
duktus alveolaris, sakus alveolaris terminalis, alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh
dinding septus atau septum.
Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan yang dapat mengurangi
tegangan pertukaran dalam mengurangi resistensi pengembangan pada waktu inspirasi dan
mencegah kolaps alveolus pada ekspirasi.
Paru-paru mendapat dua sumber suplai darah yaitu dari arteri bronkialis (berasal dari aorta
thorakhalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkus) dan arteri pulmonalis. Sirkulasi
bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi sitemik dan berfungsi memenuhi
kebutuhan metabolisme paru.
Vena bronkialis besar bermuara pada vena cava superior dan mengembalikan darah ke
atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah ke vena pulmonalis.
Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan jantung mengalirkan darah vena campuran
ke paru-paru. Di paru-paru terjadi pertukaran gas antara alveoli dan darah, darah yang
teroksigenasi dikembalikan ke ventrikel kiri jantung melalui vena pulmonalis, yang selanjutnya
membagikannya melalui sirkulasi sistemik ke seluruh tubuh.
Difusi : pertukaran oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler paru.
3. Etiologi
Faktor Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa dan disebabkan oleh alergen yang diketahui
karena kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang hidup, bulu halus
binatang, kain pembalut atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau coklat,
polusi.
Faktor Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor non spefisik
seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma instrinsik ini lebih
biasanya karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia 40 tahun. Dengan serangan
yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronchial.
4. Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau lebih
dari faktor berikut ini.
Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan
ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi menyebabkan pelepasan
produk sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis
dari suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas menyebabkan
broncho spasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat
banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls syaraf
pagal melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf pada
jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok, emosi dan
polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan
hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2. Hiperventilasi ini akan menyebabkan pengeluaran
CO2 berlebihan dan selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (pa CO2) menurun
sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan asma lebih berat lagi,
banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas.
Sekarang ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan
bertambah berat dan produksi CO2 yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang menurun
menyebabkan retensi CO2 dalam darah (Hypercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH
menurun). Stadium ini kita kenal dengan gagal nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik dan konstruksi
jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya menyebabkan sunting peredaran darah ke
pembuluh darah yang lebih besar tanpa melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting ini
juga mengakibatkan hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengie (wheezing) dan sebagian
penderita disertai nyeri dada). Gejala-gejala tersebut tidak selalu terdapat bersama-sama,
sehingga ada beberapa tingkat penderita asma sebagai berikut:
Tingkat I penderita asma secara klinis normal. Gejala asma timbul bila ada faktor pencetus.
Tingkat II penderita asma tanpa keluhan dan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik tetapi fungsi
paru menunjukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
Tingkat III penderita asma tanpa golongan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun fungsi paru
menunjukan obstruksi jalan nafas.
Tingkat IV penderita asma yang paling sering dijumpai mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas
berbunyi.
Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan ditemukan obstruksi jalan nafas. Pada serangan
asma yang berat gejala yang timbul antara lain:
b. Cyanosis
c. Silent chest
d. Gangguan kesadaran
f. Thacycardi
Tingkat V status asmatikus yaitu serangan asma akut yang berat bersifat refrater sementara
terhadap pengobatan yang langsung dipakai.
6. Test Diagnostik
Tes kulit (+) reaksi lebih hebat, mengidentifikasi alergi yang spesifik.
7. Penatalaksanaan Medik
Medikasi awal untuk mendilatasi otot-otot polos bronchial, meningkatkan gerakan siliarism,
menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan menguatkan efek bronkodilatasi dari
kortikosteroid.
2. Methil Santik
3. Anti Cholinergik
Diberikan melalui inhalasi bermanfaat terhadap asmatik yang bukan kandidat untuk antibodi
dan methil santin karena penyakit jantung.
Contoh: Atrofin
4. Kortikosteroid
Diberikan secara IV, oral dan inhalasi. Mekanisme kerjanya untuk mengurangi inflamasi dan
bronkokonstriktor.
Contoh: natrium bromosin adalah bagian integral dari pengobatan asma yang berfungsi
mencegah pelepasan mediator kimiawi anafilaktik.
8. Komplikasi
1. Pneumothorax
2. Pneumomediastinum dan emfisema subcutis
3. Atelektasis
5. Alergi
6. Gagal nafas
7. Bronchitus
8. Fraktur iga.
1. Pengkajian
- Kebiasaan merokok
- Klien kemungkinan dapat mengungkapkan strategi mengatasi serangan, tetapi tidak mampu
mengatasi jika serangan datang.
- Mengingkari
- Marah
- Putus asa
2. Diagosa Keperawatan
c. Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri b.d sesak dan kelemahan fisik.
d. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d pemasukan yang tidak adekuat:
mual, muntah dan tidak nafsu makan.
f. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
g. Resiko tinggi infeksi b.d tidak adekuatnya pertahan utama (penurunan kerja silia dan
menetapnya sekret).
3. Rencana Tindakan
a. Ketidakefektifan jalan nafas b.d peningkatan sekret.
Intervensi:
1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronchi.
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak
dimanifestasikan adanya bunyi nafas adventisius misalnya: penyebaran, krekels basah
(bronkitis), bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema) atau tidak adanya bunyi nafas
(asma berat).
R/ Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau
selama stress/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi
memanjang dibanding inspirasi.
3. Catat adanya derajat dyspnea misalnya keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas, distress
pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ Disfungsi pernafasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut
yang menimbulkan perawatan di rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi alergi.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada
sandaran tempat tidur.
R/ Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal, dll membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat
sebagai alat ekspansi dada.
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum misalnya: debu, asap dan bulu bantal yang
berhubungan dengan kondisi individu.
R/ Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat, mentriger episode akut.
R/ Memberikan pasien-pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dyspnea dan
menurunkan jebakan udara.
7. Observasi karakteristik batuk misalnya menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk
memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut atau kelemahan.
Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada.
HYD: - Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan dalam rentang normal
dan bebas gejala distress pernafasan.
Intervensi:
R/ Kemungkinan cyanosis perifer terlihat pada kuku, bibir dan daun telinga.
3. Kaji AGD, pO2, pCO2.
R/ Hipoxemia biasanya terjadi pada saat akut keadaan lanjut pCO2 akan meningkat.
c. Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri b.d sesak dan kelemahan fisik.
Intervensi:
d. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tidur b.d pemasukan yang tidak adekuat
akibat dari mual, muntah, tidak nafsu makan.
R/ Klien dengan distress pernafasan sering anoreksia dikarenakan dyspnea, produksi sputum dan
obat-obatan.
R/ Penurunan bising usus menunjukan penurunan motilitas gaster dan konstipasi yang berhubungan
dengan penurunan aktivitas.
R/ Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk
meningkatkan masukan kalori total.
Intervensi:
R/ Memberikan pasien tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
3. Beri dukungan emosional, tetap berada di dekat pasien selama serangan akut, antisipasi
kebutuhan pasien, berikan keyakinan lingkungan.
R/ Memberikan pasien untuk tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
6. Pertahankan periode istirahat yang telah direncanakan dan kegiatan sehari-hari yang ringan dan
sederhana, jangan anjurkan berbicara bila sedang dyspnea berat, batasi pengunjung bila perlu dan
berikan dorongan untuk melakukan periode istirahat dengan sering.
f. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
- Gas-gas darah arteri dalam batasan yang dapat diterima oleh pasien.
Intervensi:
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada serta catat upaya pernafasan termasuk
penggunaan otot bantu atau pelebaran nasal.
R/ Kecepatan biasanya meningkatkan dyspnea dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman
pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan
pleural.
R/ Mempercepat penyembuhan.
g. Resiko tinggi infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya
sekret.
HYD: Tidak terjadi infeksi ditandai dengan tidak ditemukannya kemerahan, panas dan pembengkakan.
Intervensi:
1. Observasi TTV.
R/ Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
Intervensi:
4. Jelaskan tentang proses penyakit dan perawatan diri selama serangan hebat.
5. Jelaskan pentingnya diit dan cairan: makan seimbang dan bergizi, hindari penambah berat badan
yang berlebihan, perbanyak cairan 2000-3000 ml/hari kecuali ada kontraindikasi.
6. Diskusikan mengenai obat, nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping serta
pentingnya minum obat sesuai pesanan.
R/ Meningkatkan pengetahuan pasien dan pasien dapat kooperatif dalam proses penyembuhannya.
4. Discharge Planning
1. Pasien dengan asma kambuhan harus menjalani pemeriksaan, mendeteksi substansi yang
mencetuskan terjadinya serangan.
2. Menghindari agen penyebab serangan antara lain bantal, kasur (kapas), pakaian jenis tertentu,
hewan peliharaan, kuda, sabun, makanan tertentu, jamur dan serbuk sari.
3. Menganjurkan pasien untuk segera melaporkan tanda-tanda dan gejala yang menyulitkan seperti
bangun saat malam hari dengan serangan akut atau mengalami infeksi pernafasan.
4. Hidrasi adekuat harus dipertahankan untuk menjaga sekresi agar tidak mengental.
5. Pasien harus diingatkan bahan infeksi harus dihindari karena infeksi dapat mencetuskan
serangan.
DP kecemasan * Infeksi
* Alergi
* Latihan
* Iritasi
DP Resti nutrisi < dari kebutuhan
Broncho spasme
Kebutuhan O2
Hiperventilasi paru
Alkalosis respiratorik
Produksi mukus
Hipercapnia
Hipoxemia
Asidosis metabolik
Meninggal
BAB III
PENGAMATAN KASUS
Anak R berusia 7 tahun, agama Islam, bersuku Ambon, pasien adalah anak ke 3 (bungsu)
dalam keluarganya. Masuk ke RS Sumber Waras pukul 23.30 dengan keluhan sesak nafas sejak
pukul 22.00. Anak masuk melalui UGD dengan diagnosa medik saat masuk adalah Asma
Bronchiale.
Dalam pengamatan langsung, orang tua anak menceritakan riwayat penyakit anaknya.
Orang tua mengatakan dalam keluarga ada riwayat penyakit asma. Nenek dan kakaknya (anak
ke-1) menderita penyakit yang sama. Orang tua mengatakan anak pernah dirawat dengan
penyakit yang sama saat anak usia 4 tahun.
Orang tua mengatakan pada tanggal 12 November anak sehabis pulang dari sekolah
melakukan aktivitas seperti biasanya yaitu bermain dengan teman-teman di sekitar pukul 21.00
anak dengan kakaknya sedang latihan nyanyi bersama. Pada pukul 22.00 anak mengalami sesak
nafas dan keringat dingin, batuk hingga dibawa ke UGD, anak masih sesak dan sulit bernafas. Di
UGD anak disarankan dokter untuk dirawat.
Saat pengkajian anak sedang dirawat pada hari pertama di unit RN I, kamar 119 Bed 2.
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, anak mengatakan masih sesak
nafas. Terpasang infus dextrose 5% in ¼ salin 1500 cc/24 jam (15-16 tetes/menit) di tangan
kanan dan terapi oksigen 2 lt/menit. Observasi tanda-tanda vital TD: 110/70 mmHg, N: 120
x/menit, P: 30 x/menit dengan bunyi nafas tambahan wheezing dan ronchi di paru kiri dan S:
36,8oC. Hasil foto thorax tanggal 13 November 2002 adalah asma bronchiale. Hasil laboratorium
tanggal 13 November ditemukan Hb: 11,7 g/dl, leukosit 13.600 ul, LED: 20 mm/jam,
eosinofil dalam sediaan hapus 4%.
Adapun rencana perawatan dan rencanan medik adalah anak bedrest, kebutuhan anak
dibantu penuh. Therapi medik yang didapat Aerosol 3x sehari, Solucorterf 3x50 mg,
Aminophylin 72 mg, Bisolvon 3x1 sendok teh, Cefat 3x250 mg.
Dari analisa dan pengamatan kasus di atas, masalah yang menjadi prioritas adalah
ketidakefektifan jalan nafas, gangguan pola nafas, intoleransi aktivitas.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Setelah membandingkan antara teori yang telah dipelajari dengan kasus yang diamati
dapat ditemukan adanya persamaan dan perbedaan antara teori dan kasus yang sedang diamati.
A. Pengkajian
Dari hasil pengkajian penulis mendapatkan kesamaan tanda dan gejala seperti: dyspnea,
wheezing dan ronchi, di paru kiri, batuk dan badan lemas. Yang tidak ditemui pada pasien adalah
nyeri dada, cyanosis, serta mual dan muntah. Menurut analisa penulis tanda dan gejala di atas
tidak ditemukan karena pasien sudah mendapat terapi oksigen 2 l/menit sejak masuk ke RS
Sumber Waras (di UGD) serta anak yang mengalami tanda dan gejala pada stadium sedang dan
segera dibawa ke RS untuk mendapatkan pengobatan, sehingga tanda seperti tersebut di atas
tidak ditemukan.
Pada etiologi disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik,
setelah penulis menganalisa pada pasien disebabkan oleh faktor intrinsik dimana anak mendapat
penyakit asma bisa disebabkan karena dalam keluarga ada riwayat penyakit tersebut (nenek dan
kakak pertamanya). Di samping itu faktor pencetus yang menyebabkan anak terserang asma
karena beraktivitas/latihan fisik yaitu bermain-main dengan teman-temannya. Pada pasien
dilakukan pemeriksaan foto thorax, darah lengkap dan sediaan hapus. Therapi yang diberikan
adalah infus Dextrosa 5% in ¼ salin 1500 cc/24 jam (15-16 tts/menit) ditangan kanan dan diet
lunak.
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data yang ditemukan pada pasien maka diagnosa keperawatan yang diangkat
adalah: ketidakefektifan jalan nafas, diagnosa ini penulis angkat sebagai diagnosa primer karena
pada saat pengkajian pasien mengeluh masih sesak, batuk dan pernafasan 32 x/menit.
Gangguan pola pernafasan, diagnosa keperawatan ini penulis angkat sebagai diagnosa
kedua karena pasien mengeluh masih sesak untuk bernafas dan mengatakan lebih enak bernafas
dalam posisi duduk. Pernafasan pasien 32 x/menit. Intoleransi aktivitas dalam
melakukan perawatan diri berhubungan dengan sesak nafas dan kelemahan fisik, diagnosa ini
diangkat karena pada saat pengkajian pasien dibantu penuh oleh perawat dan orang tua dalam
pemenuhan kebutuhan dasar anak karena anak tampak lemah.
C. Perencanaan
Perencanaan disusun bersama pasien dan keluarga disesuaikan dengan gangguan yang
terjadi. Perencanaan lebih ditekankan mengobservasi tanda-tanda vital terutama pernafasan.
Membantu anak mendapatkan posisi tidur yang nyaman guna lebih meningkatkan
pengembangan paru, melatih nafas dan batuk efektif, membantu anak dalam pemenuhan
kebutuhan dasarnya, dan memberi penyuluhan tentang pentingnya kesehatan, serta memberikan
informasi kepada keluarga guna pencegahan terhadap serangan asma.
D. Implementasi
E. Evaluasi
KESIMPULAN
Asma Bronchiale adalah suatu penyakit serius yang biasa dialami oleh anak-anak pada
usia rata-rata 5 tahun pada tahun pertama. Berat dan perjalanan asma sulit diramalkan. Karena
kadang-kadang hanya terserang ringan sampai sedang.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor terutama karena mempunyai
riwayat genetik/keturunan yang menderita penyakit ini. Penyakit ini dapat dicegah dengan
menganjurkan pasien untuk banyak istirahat (mengurangi aktivitas-aktivitas yang cukup berat),
mengkonsumsi makanan yang tidak menimbulkan alergi, mengurangi stres emosional, serta
menghindari polusi udara seerti asap rokok, dll. Apabila penyakit ini tidak dicegah maka akan
menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.
Penyakit asma dapat ditangani dengan baik, tergantung dari motivasi anak sendiri dan
suport dari orang tua serta keluarga. Peran perawat sangat dibutuhkan dalam memberikan
penyuluhan akan penyebabnya, cara penanggulangannya dan komplikasinya untuk menambah
pengetahuan anak serta terutama pada orang tua yang mengasuh anak.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth’s. Text Book Medical Surgical Nursing. Buku I. Philadelphia: JB Lippincott
Company, 2000.
Doengoes Marilyn. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999.
Nancy M. Holloway. Medical Surgical Nursing Care Plans. Pensylvania: Springhouse Corporation,
1988).
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Bagian 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1988.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI, Jakarta, 1985.