Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dari aspek geografis, klimatologis dan demografis Indonesia adalah
negara yang rawan bencana. Letak geografis Indonesia di antara dua benua
dan dua samudera berada di daerah khatulistiwa yang memiliki iklim tropis
dimana hanya memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Seiring dengan perubahan iklim global, sering dirasakan perubahan iklim
yang ekstrim seperti perubahan siklus musim hujan dan musim kemarau.
Dengan kondisi tersebut Indonesia mempunyai potensi terjadinya bencana
alam berupa banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran lahan. Secara
geologis, Indonesia terletak pada tiga lempeng yaitu Lempeng Eurasia,
Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik (William R. Thomas, 1991)
membuat Indonesia mempunyai pergerakan geologis yang mengakibatkan
potensi bencana gempa, tsunami dan gerakan tanah/longsor. Data BNPB
tahun 2013 menyatakan bahwa bagian selatan dan timur Indonesia terdapat
sabuk vulkanik dengan 129 gunung api aktif yang memanjang dari Sumatra,
Jawa, Nusa Tenggara sampai Sulawesi yang sewaktu-waktu dapat meletus.
Selain bencana yang disebabkan faktor alam, bencana yang
disebabkan oleh faktor non alam seperti kegagalan teknologi dan wabah
penyakit merupakan bencana yang juga berpotensi terjadi di Indonesia.
Tercatat beberapa kejadian terkait dengan bencana non alam ini yang
menyebabkan korban dan kerugian yang cukup banyak.
Sedangkan bonus demografis berupa jumlah penduduk yang sangat
banyak dengan keberagaman suku, budaya dan agama menyebabkan
Indonesia kaya akan sumber daya manusia sekaligus berpotensi menjadi
pemicu konflik akibat kemajemukan tersebut.

0
Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana
Sumber : BNPB 2012

Gambar diatas menunjukan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia


merupakan daerah rawan bencana. Persebaran daerah rawan bencana
hampir merata, ini memerlukan kesiapan penanggulangan bencana secara
merata pula di setiap wilayah untuk mengurangi dampak resiko bencana.
Penyelenggaran penanggulangan bencana memerlukan suatu
perencanaan yang matang, terarah dan menyeluruh. Penyelarasan arah
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada suatu kawasan/daerah
membutuhkan dasar yang kuat agar berjalan secara cepat, tepat, efektif dan
efisien. Pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) memiliki tugas memberikan pedoman dan pengarahan terhadap
usaha penanggulangan bencana yang mencakup pra bencana, tanggap
darurat bencana dan pasca bencana secara komperhensif. BNPB
merupakan lembaga negara non kementrian yang berada langsung dibawah
presiden menjadi leading sector dalam penanggulangan bencana di
Indonesia. BNPB dituntut untuk selalu siap dalam penanganan bencana.
Tahap tanggap darurat, rehab rekonstruksi maupun mitigasi, merupakan
serangkaian fase yang harus dilaksanakan oleh jajaran BNPB.
Berdasarkan Undang-undang No 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana, bencana dapat didefinisikan sebagai “peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

1
penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam maupun
faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Tabel 1.1 Data Kejadian dan Dampak Bencana Tahun 2006-2016

Sumber: DIBI, BNPB 2016

Dari tabel diatas menunjukan dalam kurun waktu sepuluh tahun


terakhir ada ribuan kejadian bencana baik besar maupun kecil yang
menyebabkan ribuan orang meninggal dan ratusan ribu orang mengungsi.
Data ini menunjukan bahwa Indonesia selain daerahnya rawan bencana,
masyarakatnya juga sangat rentan dalam menghadapi bencana sehingga
resiko bencana sangat berpotensi menimbulkan kerugian personel maupun
materil sangat besar. Copolla (2007) dalam sebuah bukunya
mengungkapkan bahwa ada hubungan yang erat antara bencana,
kemiskinan dan pembangunan. Senada dengan Copolla (2007), Asian
Disaster Risk Reduction (2005) turut mengeluarkan data analisa bahwa
2
tingkat kerusakan yang disebabkan oleh bencana alam jelas terhubung ke
tingkat sosial-ekonomi suatu negara. Untuk mengurangi resiko bencana perlu
peningkatan kapasitas pada masyarakat itu sendiri maupun pemerintah
dalam penanggulangannya.
Penanganan bencana di Indonesia memerlukan kerjasama semua
pihak dan membutuhkan sumber daya nasional. Penanganan bencana di
Indonesia harus semakin ditingkatkan untuk meminimalisir kerugian baik
personel maupun materil akibat bencana. Mengingat intensitas bencana di
indonesia tinggi, hal ini memerlukan kerjasama antara instansi sipil maupun
militer, pemerintah maupun non pemerintah, kerjasama vertikal maupun
horizontal untuk meningkatkan kapasitas dalam penanganan bencana.
Dalam penanganan bencana, setiap aspek/bidang harus diatur untuk
mendapatkan kepastian hukum dan pedoman pelaksanaan di lapangan.
Peraturan-peraturan yang sudah ada harus senantiasa dipedomani dan
dilaksanakan sebagai usaha dalam pengurangan resiko bencana dan
mengurangi korban akibat bencana. Peraturan tersebut mulai dari Undang-
undang, Perpres, Permen, maupun Perka. Peraturan yang dipedomani
dalam penanggulangan bencana salah satunya adalah Perka BNPB. Namun
demikian ada beberapa peraturan BNPB yang hendaknya direvisi atau
disesuaikan dengan perkembangan lingkungan lokal ataupun nasional
sehingga peraturan tersebut dapat diterapkan tanpa berbenturan dengan
peraturan lainnya atau berbenturan dengan adat istiadat/kearifan lokal.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana implementasi Perka 10 tahun 2008 dilaksanakan
b. Bagaimana implementasi Perka 14 tahun 2010 dilaksanakan
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Menganalisis dan mengkritisi Perka BNPB No 10 tahun 2008
b. Menganalisis dan mengkritisi Perka BNPB No 14 tahun 2010

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Kedaruratan


Manajemen kedaruratan adalah seluruh kegiatan yang meliputi aspek
perencanaan dan penanggulangan kedaruratan, pada menjelang bencana,
saat bencana dan sesudah keadaan darurat. Tujuan manajemen kedaruratan
adalah:
1. Mengurangi jumlah korban
2. Meringankan penderitaan
3. Stabilisasi kondisi korban
4. Mengamankan aset
5. Memulihkan fasilitas kunci
6. Mencegah kerusakan lebih jauh
7. Menyediakan pelayanan dasar dan penanganan pasca darurat
8. Meringankan beban masyarakat setempat.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun


2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa tanggap darurat
bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada
saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan,
yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap


darurat meliputi:

A. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan


sumber daya;

1. Penentuan status keadaan darurat bencana;


2. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
3. Pemenuhan kebutuhan dasar;
4. Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
5. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

4
B. Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
dilakukan untuk mengidentifikasi :

1. Cakupan lokasi bencana;


2. Jumlah korban;
3. Kerusakan prasarana dan sarana;
4. Gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta
pemerintahan; dan
5. Kemampuan sumber daya alam maupun buatan.

C. Dalam hal status keadaan darurat bencana ditetapkan, Badan Nasional


Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
mempunyai kemudahan akses yang meliputi:

1. Pengerahan sumber daya manusia;


2. Pengerahan peralatan;
3. Pengerahan logistik;
4. Imigrasi, cukai, dan karantina;
5. Perizinan;
6. Pengadaan barang/jasa;
7. Pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;
8. Penyelamatan; dan
9. Komando untuk memerintahkan sektor/lembaga

D. Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai


dengan skala bencana. Penetapan untuk skala nasional dilakukan oleh
Presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala
kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota.

E. Penyelamatan dan evakuasi korban dilakukan dengan memberikan


pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang terjadi pada
suatu daerah melalui upaya :

1. Pencarian dan penyelamatan korban;


2. Pertolongan darurat; dan/atau
3. Evakuasi korban.

5
F. Pemenuhan kebutuhan dasar meliputi bantuan penyediaan: kebutuhan
air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan,
pelayanan psikososial, penampungan dan tempat hunian. Penanganan
masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan
kegiatan meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman, dan
pemenuhan kebutuhan dasar. Perlindungan terhadap kelompok rentan
sebagaimana dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok
rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan
kesehatan, dan psikososial. Kelompok rentan terdiri atas:

1. bayi, balita, dan anak-anak;


2. ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
3. penyandang cacat; dan
4. orang lanjut usia.

2.2 Sistem Komando Operasi Penanggulangan Bencana/ Incident


Command System (ICS) dari National Incident Management
System (NIMS) - USA
Penanggulangan bencana di Amerika Serikat dikoordinasikan oleh
seuah lembaga yang bernama Federal Emergency Management Agency
(FEMA) dibawah pengawasan dari Departemen Kemanaan dalam negeri
Amerika Serikat. Untuk itu pada bab ini akan dibahas mengenai beberpa
lembaga yang terlibat dalam penanggulangan Bencana di USA.

2.2.1 The Department of Homeland Security


The Department of Homeland Security (DHS) mempunyai tanggung
jawab untuk memastikan keselamatan dan keamanan Amerika Serikat dari
serangan teroris dan bencana lainnya. Misi penting yang di emban adalah
untuk mengamankan bangsa dari berbagai ancaman yang akan dihadapi
negara. Area kerja terbentang luas mulai dari tanggap darurat, perbatasan
keamanan penerbangan, cybersecurity, sampai mengawasi fasilitas kimia
demi menjaga keamanan Amerika. (www.allgove.com)

6
2.2.2 The Federal Emergency Management Agency (FEMA).
FEMA dibentuk untuk mendukung dan melindungi warga negara
dengan memastikan kerjasama pembangunan, mempertahankan dan
meningkatkan kemampuan dalam mempersiapkan, melindungi, menanggapi,
pemulihan dan mengurangi semua bahaya. Selama 37 tahun, FEMA bekerja
sebagai motor/ leader dalam mempersiapkan, mencegah, menanggapi dan
pemulihan dari Bencana, dengan visi "A Nation Prepared." Pada tanggal 1
April 1979, Presiden Jimmy Carter menandatangani perintah eksekutif yang
merupakan landasan pembentukan/pendirian Federal Emergency
Management Agency. FEMA berkomitmen untuk melindungi dan melayani
rakyat Amerika. Ditingkat nasional/pusat FEMA merupakan kordinator bagi
seluruh pemerintah federal/negara bagian dalam mempersiapkan,
mencegah, mengurangi efek, merespon, dan pemulihan bencana dalam
negeri, baik alami atau buatan manusia, termasuk aksi teror (www.fema.gov)
Meskipun fema sudah terbentuk namun pada kenyataannya kegiatan
darurat dan penangulangan bencana masih terkotak kotak. Saat itu amerika
memiliki lebih dari 100 lembaga yang menangani kasus seperti bahaya yang
terkait dengan pembangkit listrik tenaga nuklir, pengangkutan bahan
berbahaya dan bencana alam, yang terlibat dalam beberapa sector dari
bencana, bahaya dan keadaan darurat. Banyak program dan kebijakan yang
parallel dan tumpeng tindih mulai dari tingkat negara bagian dan local. Untuk
itu perlu menyederhanakan kompleksitas upaya bantuan bencana federal
tersebut. Pada tahun 1979 perintah khusus dari presiden Carter,
menggabung seluruh lembaga terkait dengan bencana dilebur ke dalam
Federal Emergency Management Agency (FEMA). Lembaga-lembaga yang
dilebur kedalam FEMA adalah:
a. The Federal Insurance Administration
b. The National Fire Prevention and Control Administration
c. The National Weather Service Community Preparedness Program
d. The Federal Preparedness Agency of the General Services
Administration
e. The Federal Disaster Assistance Administration activities from HUD

7
f. Civil defense responsibilities were also transferred to the new agency
from the Defense Department's Defense Civil Preparedness Agency

2.2.3 The United States National Response Framework (NRF)


Amerika Serikat Response Kerangka Nasional (NRF) merupakan
strategi dari Nasional Homeland Security yang menjelaskan prinsip-prinsip
dan langkah-langkah yang harus di laksanakan oleh semua badan/lembaga
untuk mempersiapkan dan memberikan respon nasional yang terpadu dan
terkoordinir pada penanggulangan bencana dan keadaan darurat. NRF
meletakan landasan dalam mebangun system Nasional Manajemen Insiden
(NIMS) serta Komando Insiden System (ICS) standardisasi, struktur
koordinasi NRF ini berlaku di semua tingkat manapun dan kapan saja baik
ditingkat lokal, negara bagian, dan pada saaat pelaksanaan respon darurat
atau bencana ditingkat nasional. Pada 22 Maret 2008 NRF secara resmi
menggantikan Rencana Tanggap Nasional (NRP). (https://en.wikipedia.org)

2.2.4 National Incident Management System (NIMS)


NIMS adalah suatu upaya pendekatan nasional yang komprehensif
untuk pelaksanan manajemen insiden yang berlaku di semua tatanan
yurisdiksi pemerintahan AS yang mencakup multi dan lintas sektor. Maksud
dari NIMS adalah untuk:
a. Diterapkan pada semua tatanan yag memiliki potensi bahaya dan
sknario insiden kejadian bahaya apapun ukuran atau
kompleksitasnya.
b. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara lembaga
pemerintah/public dan swasta dalam berbagai kegiatan
pengelolaan insiden dalam negeri.
(Buku National Incident Management System (Nims), an Introduction Is-700
Self-Study Guide, August 2004)

2.3 Sistem Komando Operasi Penanggulangan Bencana/ Incident


Command System (ICS) di Indonesia

8
Dalam situasi keadaan darurat bencana sering terjadi kegagapan
pananganan dan kesimpang siuran informasi dan data korban maupun
kondisi kerusakan, sehingga mempersulit dalam pengambilan kebijakan
untuk penanganan darurat bencana. Hal ini sangat disayangkan karena
koordinasi sebetulnya dapat menyediakan gambaran utuh dari situasi
bencana, mengidentifikasi kebutuhan, mengurangi duplikasi usaha
penanggulangan bencana, mengurangi konsentrasi kegiatan di area-area
yang sama, dan memastikan transisi yang mulus antara setiap tahapan
penangulangan bencana.
Belajar dari berbagai laporan penanggulangan bencana baik dalam
maupun luar negeri, banyaknya aktor berkontribusi terhadap sulitnya proses
koordinasi pemberian bantuan sehingga seringkali bantuan kemanusiaan
tidak mencapai masyarakat yang membutuhkannya. Disadari bahwa
kecenderungan kejadian personel, maupun logistik dan peralatan.
Sementara itu dukungan dari pusat, khususnya BNPB, merupakan wujud
konkret komitmen dalam penanggulangan bencana di Indonesia serta
pencapaian visi “Menuju Ketangguhan Bangsa dalam Menghadapi Bencana”.

2.3.1 Undang – undang tentang Penanggulangan Bencana


Dengan ditetapkannya Undang‐undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, maka penyelenggaraan penanggulangan
Bencana diharapkan akan semakin baik, karena Pemerintah dan Pemerintah
daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Penanggulangan bencana dilakukan secara
terarah mulai pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana. Tahap
awal dalam upaya ini adalah mengenali/mengidentifikasi terhadap sumber
bahaya atau ancaman Bencana

2.3.2 Upaya Penanggulangan Bencana


Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana maka penyelenggaraan penanggulangan
bencana dalam tahap tanggap darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan

9
Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BNPB).
Upaya – upaya penanggulangan bencana dilakukan dengan
melibatkan semua pihak yang berkepentingan demi ketangguhan bangsa
dalam menghadapi bencana. Kerangka dasar penanggulangan bencana
dengan paradigma pengurangan resiko bencana menjadi salah satu dasar
penyusunan dokumen perencanaan kontijensi yang dapat digunakan sebagai
pedoman pada saat darurat bencana bagi semua pelaku penanggulangan
bencana. Penanggulangan bencana merupakan urusan semua pihak, hal ini
sesuai dengan amanat Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Dalam UU tersebut tersurat ada 3 (tiga) pilar
pelaku penanggulangan bencana, yaitu pemerintah (baik pusat maupun
daerah), masyarakat, dan lembaga usaha. Peran pemerintah diatur dalam
Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. Sementara peran masyarakat diatur dalam
Pasal 26 dan Pasal 27. Dan peran lembaga usaha diatur dalam Pasal 28 dan
Pasal 29.

2.3.3 Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Penanggulangan bencana semakin mendapat perhatian yang sangat
serius dari pemerintah daerah di Indonesia. Ini terbukti dengan dibentuknya
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 33 provinsi serta 497
BPBD di tingkat kabupaten/kota. Memang ini sesuai dengan apa yang
diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Pasal 18 undang-undang tersebut menyebutkan
bahwa pemerintah daerah wajib untuk membentuk BPBD di wilayahnya.
Namun harus diakui dengan dibentuknya BPBD, tidak serta merta
penanggulangan bencana dinilai handal. Peningkatan kapasitas baik
pengetahuan dan keterampilan terkait kebencanaan masih harus terus
dilakukan. Pencegahan dan kesiapsiagaan di tingkat lokal yang dekat
dengan potensi Bencana sangat penting. Pemerintah daerah yang belum
mengenal betul mengenai sistem penanggulangan bencana sangat
mengharapkan pendampingan dari BNPB. Namun tidak menutup
kemungkinan, pemerintah daerah lain di sekitarnya dapat juga memberikan

10
dukungan, baik itu pemikiran. BNPB dan BPBD bergerak dalam lingkup
kemanusiaan, yang di dalam kegiatannya selalu terpacu dan
berkesinambungan, baik dari segi Komponen bencana di Indonesia setiap
tahun meningkat.
BNPB dan BPBD mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi koordinasi,
komando dan pelaksana. Fungsi koordinasi adalah melakukan koordinasi
pada tahap prabencana dan pascabencana, sedangkan yang dimaksud
dengan fungsi komando dan pelaksana adalah fungsi yang dilaksanakan
pada saat tanggap darurat. Di dalam BNPB dan BPBD itu sendiri ada dua
unsur, yaitu Unsur Pengarah dan Unsur Pelaksana. Unsur Pelaksana PB
menyelenggarakan fungsi koordinasi, komando dan pelaksana. Dalam masa
tanggap darurat Deputi Bidang Penanganan Darurat menyelenggarakan
fungsi komando pelaksanaan penanggulangan bencana. Fungsi komando
dilaksanakan melalui pengerahan sumber daya manusia (SDM), peralatan,
dan logistik, TNI dan Polri.

2.3.4 Sistem Komando Tanggap Darurat Incident Command System


(ICS) di Indonesia.
Penyelenggaran penanggulangan bencana memerlukan suatu
perencanaan yang matang, terarah dan menyeluruh. Penyelarasan arah
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada suatu kawasan/daerah
membutuhkan dasar yang kuat agar berjalan secara cepat, tepat, efektif dan
efisien. Pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) memiliki tugas memberikan pedoman dan pengarahan terhadap
usaha penanggulangan bencana yang mencakup pra bencana, tanggap
darurat bencana dan pasca bencana secara komperhensif. BNPB
merupakan lembaga negara non kementrian yang berada langsung dibawah
presiden menjadi leading sector dalam penanggulangan bencana di
Indonesia. BNPB dituntut untuk selalu siap dalam penanganan bencana.
Tahap tanggap darurat, rehab rekonstruksi maupun mitigasi, merupakan
serangkaian fase yang harus dilaksanakan oleh jajaran BNPB.
BNPB telah menyusun sebuah Sistem Komando Tanggap
Darurat/Incident Command System (ICS). Sistem ini telah memiliki landasan
11
hukum sejak dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana No 10 tahun 2008 dan No.14 tahun 2010 tentang
Pedoman Komando Tanggap Darurat. Pos Komando dan Koordinasi
Tanggap Darurat Bencana dapat dilengkapi dengan PosKo Lapangan
Tanggap Darurat Bencana dengan gugus tugas yang terdiri dari unit kerja
yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan system yang terpadu
dalam penanganan Kedaruratan bencana dalam sebuah Sistem Komando
Tanggap Darurat/Incident Command System (ICS).

12
BAB III
ANALISIS PELAKSANAAN PUSAT PENGENDALIAN OPERASI
PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun


2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa tanggap darurat
bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada
saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan,
yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi pengkajian
secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya.
Pengkajian dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan lokasi bencana; jumlah
korban; kerusakan prasarana dan sarana; gangguan terhadap fungsi
pelayanan umum serta pemerintahan; dan kemampuan sumber daya alam
maupun buatan.

3.1 Penetapan status darurat


Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007 penetapan status darurat
bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana.
Penetapan untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi
dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan oleh
bupati/walikota. Dalam hal status keadaan darurat bencana ditetapkan,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah mempunyai kemudahan akses yang meliputi pengerahan
sumber daya manusia; pengerahan peralatan; pengerahan logistik; imigrasi,
cukai, dan karantina; perizinan; pengadaan barang/jasa; pengelolaan dan
pertanggungjawaban uang dan/atau barang; penyelamatan; dan komando
untuk memerintahkan sektor/lembaga.
Pada situasi darurat sering terjadi kesimpangsiuran informasi yang
akan mempersulit upaya penanggulangan bencana (PB). Pelaksanaan PB
terkesan lambat, kurang merata dan sulit terpantau. Kurangnya koordinasi
13
antar instansi terkait dalam kegiatan PB sehingga terjadi tumpang tindih atau
bahkan ada daerah-daerah yang tidak tertangani. Sarana dan infrastruktur
lumpuh. Selain itu banyak muncul posko-posko tanggap darurat, dan bahkan
banyak pula posko-posko yang tidak ada aktivitasnya tapi ada bendera
lembaganya terpancang megah. Oleh karena itu perlu ada institusi yang
menjadi pusat komando penanganan tanggap darurat PB.

3.2 Komando Tanggap Darurat Bencana


Sistem komando tanggap darurat PB dengan mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
(UU 24/2007), Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PP 21/2008), Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, dan peraturan-peraturan BNPB terkait dengan tanggap darurat.
Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,
harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Tahapan
keadaan darurat bencana meliputi Siaga Darurat, Tanggap Darurat dan
Transisi ke Pemulihan.
Pemenuhan kebutuhan dasar meliputi bantuan penyediaan:
kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan,
pelayanan psikososial, penampungan dan tempat hunian. Penanganan
masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan
kegiatan meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman, dan
pemenuhan kebutuhan dasar. Perlindungan terhadap kelompok rentan
sebagaimana dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok
rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan,
dan psikososial. Kelompok rentan terdiri atas bayi, balita, dan anak-anak; ibu
yang sedang mengandung atau menyusui; penyandang cacat; dan orang
lanjut usia.

14
Sistem Koordinasi juga sering kurang terbangun dengan baik,
Penyaluran bantuan, distribusi logistik sulit terpantau dengan baik sehingga
kemajuan kegiatan penanganan tanggap darurat kurang terukur dan terarah
secara obyektif. Situasi dan kondisi di lapangan yang seperti itu disebabkan
belum terciptanya mekanisme kerja Pos Komando dan Koordinasi Tanggap
Darurat Bencana yang baik, terstruktur dan sistematis.

3.3 Perka BNPB No 10 Tahun 2008


Untuk memberi arah dan panduan dilapangan tentang BNPB tetang
Pos Komando dan Koordinasi Tanggap Darurat Bencana, kepala BNPB telah
mengeluarkan Perka BNPB No 10 Tahun 2008. Perka tersebut menyebutkan
bahwa Komando tanggap darurat bencana merupakan organisasi satu
komando, dengan garis komando serta tanggung jawab yang jelas.
Instansi/lembaga dapat dikoordinasikan dalam satu organisasi berdasarkan
satu kesatuan komando. Organisasi ini dapat dibentuk di semua tingkatan
wilayah bencana baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi maupun tingkat
nasional. Struktur organisasi tanggap darurat terdiri atas Komandan yang
dibantu oleh staf komando dan staf umum. Struktur organisasi ini dapat
diperluas berdasarkan kebutuhan dan kompleksitas bencana.
Komando tanggap darurat bencana terbentuk dari beberapa tahapan.
Tahapan pembentukan komando tanggap darurat bencana tersebut harus
dilaksanakan secara keseluruhan menjadi satu rangkaian sistem komando
yang terpadu. Tahapan terbentuknya komando tanggap darurat bencana
terdiri dari informasi kejadian awal; penugasan tim reaksi cepat (trc);
penetapan status/tingkat bencana; dan pembentukan komando tanggap
darurat bencana.
Fungsi Komando Tanggap Darurat Bencana adalah
mengkoordinasikan, mengintegrasikan dan mensinkronisasikan seluruh
unsur dalam organisasi komando tanggap darurat untuk penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan
pengurusan pengungsi, penyelamatan serta pemulihan sarana dan
prasarana dengan segera pada saat kejadian bencana. Sementara Tugas

15
dan Tanggung Jawab Komandan Tanggap Darurat Bencana adalah sebagai
berikut:
1. Mengaktifkan dan meningkatkan pusat pengendalian operasi
(Pusdalops) menjadi pos komando tanggap darurat BPBD
kabupaten/Kota/Provinsi atau BNPB, sesuai dengan jenis, lokasi, dan
tingkatan bencana.
2. Membentuk pos komando lapangan (Poskolap) di lokasi bencana
dibawah komando pos komando tanggap darurat bencana BPBD
Kabupaten/Kota/Provinsi atau BNPB.
3. Membuat rencana operasi, mengorganisasikan, melaksanakan dan
mengendalikan operasi tanggap darurat bencana.
4. Melaksanakan komando dan pengendalian untuk pengerahan sumber
daya manusia, peralatan, logistik, dan penyelamatan serta berwenang
memerintahkan pejabat yang mewakili instansi/lembaga/organisasi
terkait dalam memfasilitasi aksesibilitas penanganan tanggap darurat
bencana.
5. Melaksanakan evaluasi melalui rapat koordinasi yang dilaksanakan
minimal satu kali dalam sehari untuk menyusun rencana kegiatan
berikutnya.

Gambar 3.2 Alur koordinasi pembentukan Komando Tanggap Darurat bencana Tingkat
Kabupaten/Kota (Sumber : Perka BNPB No 10 Tahun 2008)

3.4 Perka BNPB No 14 Tahun 2010

16
Peraturan kepala BNPB Nomor 14 Tahun 2010 tentang pedoman
pembentukan pos komando tanggap darurat bencana berisi peraturan
tentang pembentukan pos komando tanggap darurat bencana, pembentukan
pos komando lapangan tanggap darurat bencana, pembentukan pos
pendukung tanggap darurat bencana, dan mekanisme hubungan kerja pos
komando tanggap darurat. Peraturan pembentukan pos komando tanggap
darurat bencana ini merupakan pelaksana dari peraturan pemerintah Nomor
21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana yang
tidak terpisahkan dari peraturan ini. Perka Nomor 14 Tahun 2010 dibuat oleh
BNPB sebagai pedoman untuk dapat membentuk pos komando tanggap
darurat bencana yang efektif dan efisien serta akuntabel sesuai dengan
lokasi dan tingkatan bencana.

3.5 Pusat Komando Tanggap Darurat Bencana Incident Command


System (ICS).
Kejadian bencana dapat menimbulkan keadaan darurat yang ditandai
dengan terancamnya keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Hampir
semua jenis bencana dapat menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda,
dan rusaknya prasarana dan sarana publik. Untuk itu diperlukan penanganan
yang cepat dan tepat guna mengurangi timbulnya dampak yang lebih buruk.
Situasi darurat bencana, sering terjadi kesimpang-siuran data dan informasi
korban maupun kerusakan, sehingga mempersulit pengambilan kebijakan
penanganan darurat. Pelaksana tanggap darurat juga sering kurang saling
mendukung, distribusi bantuan dan pelayanan kurang cepat, kurang merata,
sulit terpantau dengan baik, sehingga kemajuan hasil kegiatan tanggap
darurat bencana kurang bisa terukur secara objektif. Situasi-situasi tersebut
disebabkan antara lain karena kurangnya koordinasi antar instansi terkait
dalam kegiatan tanggap darurat bencana
Pedoman pembentukan pos komando tanggap darurat bencana ini,
pertama dimaksudkan untuk menjadi panduan dan tersedianya acuan dalam
pembentukan pos komando tanggap darurat dan pos komando lapangan
ataupun pos pendukung dilokasi bencana. Kedua, tersedianya acuan tata
hubungan kerja diantara pos komando tanggap darurat bencana, pos
17
komando lapangan tanggap darurat bencana, dan pos pendukung tanggap
darurat bencana dalam rangka peningkatan koordinasi, pengendalian,
pemantauan, dan evaluasi kegiatan penganan tanggap darurat bencana.
Fungsi Komando Tanggap Darurat Bencana adalah
mengkoordinasikan, mengintegrasikan, dan mensinkronisasikan seluruh
unsur dalam organisasi komando tanggap darurat untuk pencarian,
penyelamatan, dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan pengungsi, serta pemulihan sarana dan prasarana vital
dengan segera pada saat status siaga darurat dan tanggap darurat.

2.5.1 Pengorganisasian
Organisasi pos komando tanggap darurat bencana merupakan
organisasi satu komando, dengan mata rantai dan garis komando serta
tanggap jawab yang jelas. Instansi/lembaga dapat dikoordinasikan dalam
satu organisasi berdasarkan satu kesatuan komando. Organisasi ini dapat
dibentuk di semua tingkatan wilayah bencana baik di tingkat kabupaten/kota,
Provinsi maupun nasional. Struktur organisasi pos komando tanggap darurat
terdiri dari:
1. Komandan tanggap darurat bencana
2. Wakil komandan tanggap darurat bencana
3. Staf komando: Sekretariat; Hubungan masyarakat; Keselamatan dan
keamanan serta Perwakilan instansi/lembaga
4. Staf umum terdiri dari Bidang operasi; Bidang perencanaan; Bidang
logistik, peralatan, dan pengelolaan bantuan serta Bidang administrasi
keuangan
Struktur organisasi ini bekerja sesuai tupoksi masing-masing, sesuia
jenis, kebutuhan, dan kompleksitas bencana dapat dibentuk unit organisasi
dalam bentuk seksi-seksi yang berada di bawah bidang dan ipimpin oleh
kepala seksi yang bertanggung jawab kepada kepala bidang.

2.5.2 Pendanaan/Pembiayaan
Pos komando tanggap darurat bencana mayoritas berasal dari
pemerintah dan didukung bantuan dana sukarela.
18
1. APBD Kabupaten/Kota
2. APBD Provinsi
3. APBN
4. Bantuan lain yang tidak mengikat

2.5.3 Upaya yang dilakukan pos komando tanggap darurat:


a. Membentuk pos komando tanggap darurat bencana pada tahap siaga
darurat untuk jenis bencana yang terjadi berangsur-angsur.
Pembentukan pos komando tanggap darurat bencana dengan cara
meningkatkan status pusat pengendali operasi wilayah Provinsi/
Kabupaten/Kota.
b. Menyatakan status bencana untuk jenis bencana yang terjadi secara
tiba-tiba, proses pembentukan pos komando tanggap darurat bencana
dilakukan melalui empat tahapan yang harus dilaksanakan secara
keseluruhan menjadi satu rangkaian system komando yang terpadu,
yaitu:
1. Informasi kejadian awal bencana
Sumber informasi kejadian awal bencana diperoleh dari
instansi/lembaga terkait, media massa, masyarakat, dan internet.
Kebenaran informasi perlu dikonfirmasi dengan pertanyaan apa,
kapan, dimana, bagaimana, berapa, penyebab, dan akibat yang
ditimbulkan dan upaya yang telah dilakukan serta kebutuhan yang
mendesak
2. Penugasan tim reaksi cepat penanggulangan bencana
Melaksanakan tugas pengkajian secara cepat dan tepat, serta
memberikan dukungan pendampingan dalam rangka kegiatan
tanggap darurat. Hasil pelaksanaan tugasnya sebagai bahan
pertimbangan bagi kepala BNPB/BPBD/SATLAK PB
Kabupaten/Kota/Provinsi /Nasional dalam rangka menetapkan
status/tingkat bencana skala Kabupaten/Kota/Provinsi/Nasional.
3. Penetapan status/ tingkat bencana
Penetapan status/tingkat bencana skala kabupaten/kota ditetapkan
oleh Bupati/Walikota, skala bencana Provinsi oleh Gubernur dan
19
skala bencana Nasional oleh Presiden RI. Sesuai kewenangannya
dapat menunjuk seorang pejabat sebagai komandan tanggap
darurat bencana sesuai staus/tingkat bencana skala
nasional/daerah.
4. Pembentukan pos komando tanggap darurat bencana
Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota atas usul kepala BNPB/ BPBD
Provinsi/BPBD/SATLAK PB Kabupaten/Kota sesuai status/tingkat
bencana dan tingkat kewenangannya:
 Mengeluarkan surat keputusan pembentukan pos komando
tanggap darurat bencana
 Melaksanakan mobilisasi sumberdaya manusia, peralatan dan
logistik, serta dana dari instansi/lembaga terkait dan masyarakat
 Meresmikan pembentukan pos komando tanggap darurat
bencana
 Bila tidak ada BPBD yang melaksanakan pembentukan pos
komando tanggap darurat adalah instans/satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) yang menangani bencana

3.6 Perbandingan Struktur Organisasi ICS di Indonesia dan Amerika


Struktur organisasi Pusdalops dapat dilihat pada Dari gambar 3.2
yang menjelaskan bahwa struktur organisasi Komando Tanggap Darurat
bencana dalam hal ini di tingkat Kabupaten/Kota. Komandan Tanggap
Darurat Bencana di Tingkat Kabupaten/Kota berada di bawah Kepala BPBD
Kabupaten/Kota. Sedang pada gambar 3.3 dapat dilihat struktur organisais
ICS yang diterapkan di ameriak serikat.

20
Gambar 3.2 Struktur Komando Tanggap Darurat bencana Tingkat Nasional
(Sumber : Perka BNPB No 10 Tahun 2008)

Dari dua strutur organisasi tersebut terlihat kemiripan dalam komposisi


jabatan fungsional organisasi. Pada struktur tersebut dapat dilihat bahwa
pada masing – masing struktur terdapat seorang komandan yang
mengepalai organisasi ICS ini. Lalu di bawahnya terdapat beberapa bidang
yaitu :
Indonesia Amerika
Bidang Perencanaan Planing Section
Bidang Operasi Operation Section
Bidang Logistik, Peralatan, dan Logistic Section
Pengelolaan Bantuan
Bidang Administrasi Finance and Administration Section

Hal ini menunjukan Indonesia sudah memiliki sebuah konsep ICS


yang sama dengan Amerika Serikat. Struktur diatas merupakan struktur ideal
sebuah ICS yang dapat bekerja secara optimal dalam PB.

21
Gambar 3.3 Struktur Organisasi Incedent CommanderKabupaten/Kota
(Sumber : Buku National Incident Management System (Nims), an Introduction Is-700 Self-
Study Guide, August 2004)

Pada situasi darurat sering terjadi kesimpangsiuran informasi yang


akan mempersulit upaya penanggulangan bencana (PB). Pelaksanaan PB
terkesan lambat, kurang merata dan sulit terpantau. Kurangnya koordinasi
antar instansi terkait dalam kegiatan PB sehingga terjadi tumpang tindih atau
bahkan ada daerah-daerah yang tidak tertangani. Sarana dan infrastruktur
lumpuh. Selain itu banyak muncul posko-posko tanggap darurat, dan bahkan
banyak pula posko-posko yang tidak ada aktivitasnya tapi ada bendera
lembaganya terpancang megah. Oleh karena itu perlu ada institusi yang
menjadi pusat komando penanganan tanggap darurat PB.
Tugas Pokok Komandan Tanggap Darurat antara lain (1) Menyusun
rencana operasi, (2) Mengaktifkan Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops)
menjadi Pos Komando Tanggap Darurat (BPBD), (3) Membentuk Pos
Komando Lapangan di lokasi bencana, (4) Membuat rencana strategis dan
taktis, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengendalikan operasi
tanggap darurat, dan (5) Melaksanakan komando dan pengendalian untuk
pengerahan SDM, peralatan, logistik dan penyelamatan serta berwenang
memerintahkan instansi terkait dalam penanganan darurat.

22
Penyelenggaraan Komando Tanggap Darurat meliputi (1) Rencana
operasi, (2) Permintaan sumberdaya, (3) Pengerahan sumberdaya, dan (4)
Pengakhiran. Pelaksanaan ini didukung dengan fasilitas komando posko
(tanggap darurat dan lapangan), personil, gudang, sarana dan prasarana,
transportasi, peralatan, alat komunikasi, serta informasi bencana dan
dampaknya. Rencana operasi merupakan perencanaan dengan rencana
tindakan menjadi acuan bagi setiap unsur pelaksana komando. Permintaan
sumberdaya dilakukan oleh Komandan dengan mengajukan permintaan
sumberdaya kepada Kepala BPBD/BNPB. Selanjutnya Kepala BPBD/BNPB
meminta dukungan sumberdaya kepada instansi/lembaga terkait upaya PB.
Instansi/lembaga wajib segera memobilisasi sumberdaya ke lokasi bencana.
Pengerahan sumberdaya dilakukan melalui pengiriman didampingi
personil instansi/lembaga dan penyerahannya dilengkapi dengan
administrasi sesuai dengan ketentuan berlaku. Dalam hal ini BNPB/BPBD
mendukung mobilisasi sumber daya. Untuk pengakhiran dilakukan oleh
Kepala BNPB/BPBD dengan membuat rencana pengakhiran dengan Surat
Perintah (SPRINT) Pengkahiran. Selanjutnya Komando Tanggap Darurat
Bencana dibubarkan sesuai waktu dengan SK Pembubaran.
Proses tanggap darurat dinyatakan selesai dengan adanya
pernyataan resmi Gubernur/Bupati/Walikota. Dengan selesainya tanggap
darurat maka fungsi Pos Komando Tanggap Darurat kembali ke Pusdalops,
dan tugas Incident Commander (IC) menjadi selesai, serta semua
sumberdaya kembali ke posisi semula/sumbernya. Tahap upaya PB
selanjutnya adalah masuk ke dalam masa transisi ke proses rehabilitasi dan
rekonstruksi pascabencana, serta kehidupan/kegiatan sosial-ekonomi
masyarakat sudah mulai berjalan.
Dalam setiap kegiatan mesti ada evaluasi dan pelaporan. Komandan
Tanggap Darurat Bencana melakukan rapat evaluasi setiap hari dan
membuat rencana kegiatan hari selanjutnya. Hasil evaluasi menjadi bahan
laporan harian kepada Kepala BNPB/BPBD dengan tembusan kepada
Pimpinan Instansi/Lembaga terkait. Untuk pelaporan dilakukan dengan
mekanisme sebagai berikut (1) Instansi/lembaga/organisasi terkait dalam
penanganan darurat bencana wajib melaporkan kepada
23
Kepala BNPB/BPBD sesuai kewenangannya dengan tembusan
kepada Komandan Tanggap Darurat Bencana, (2) Pelaporan meliputi
pelaksanaan Komando Tanggap Darurat Bencana, jumlah/kekuatan
sumberdaya manusia, jenis dan jumlah peralatan/logistik, serta sumberdaya
lainnya termasuk sistem distribusinya secara tertib dan akuntabel, (3)
Komandan Tanggap Darurat Bencana sesuai tingkat kewenangannya
mengirimkan laporan harian, laporan khusus, dan laporan insidentil
pelaksanaan operasi tanggap darurat bencana kepada Kepala BNPB/BPBD
dengan tembusan kepada instansi/ lembaga/organisasi terkait, dan (4)
Kepala BPBD melaporkan kepada Bupati/Walikota/Gubernur dan Kepala
BNPB, Kepala BNPB melaporkan kepada Presiden.

24
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
4.1.1 Kesimpulan Aplikasi Peraturan Kepala BNPB Nomor 10 Tahun
2008 Di Indonesia
Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana ini dibuat agar dapat
dijadikan panduan bagi BNPB/BPBD, instansi/lembaga/organisasi terkait
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, agar tugas
Komando Tanggap Darurat Bencana dapat dilaksanakan secara cepat, tepat,
terpadu, efektif, efisien dan akuntabel. Implementasi dilapangan seharusnya
penunjukkan komando dan komandan tanggap darurat harus juga
memperhatikan jabatan/eselon agar system komando berjalan dengan baik.
Penunjukkan tersebut dilakukan oleh presiden, gubernur, bupati tergantung
skala/ tingkat bencana pusat/daerah Provinsi/Kabupaten/Kota bukan kepala
BNPB/BPBD.

4.1.2 4.1.2 Kesimpulan Aplikasi Peraturan Kepala BNPB Nomor 14


Tahun 2010 Di Indonesia
Pedoman Pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana
disusun untuk dijadikan acuan bagi BNPB/BPBD/SATLAK PB
Kabupaten/Kota, dalam pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat
Bencana, Pos Komando Lapangan Tanggap Darurat Bencana dan Pos
Pendukung Tanggap Darurat Bencana di lokasi bencana. Implementasi
dilapangan seharusnya pembentukan pos komando harus dilakukan satu
komando tidak membawa nama instansi masing-masing untuk mencegah
kesalahan data dan informasi sehingga kegiatan tanggap darurat bencana
akan lebih terkoordinasi, terarah, terpantau dan dapat dievaluasi secara lebih
objektif serta mencegah sekelompok individu atau kelompok memamfaatkan
situasi bencana untuk kepentingan pribadi atau golongan.

4.2. Saran
25
4.2.1 Saran Tentang Aplikasi Peraturan Kepala BNPB Nomor 10 Tahun
2008 Di Indonesia
a. Saran penulis adalah seharusnya penunjukkan komandan tanggap
darurat dilakukan oleh Bupati, Gubernur dan Presiden bukan kepala
BNPB atau BPBD karena harus dilakukan oleh pejabat yang memiliki
jabatan lebih tinggi agar efektif dan dapat dilaksanakan dengan baik.
b. Saran penulis adalah penunjukkan tersebut harus ada surat tertulis
dan ditanda tangani oleh Bupati, Gubernur, Presiden sesuai
status/tingkat bencana skala nasional/daerah agar memiliki kekuatan
untuk memerintahkan pejabat/kepala instansi/organisasi yang
memiliki jabatan lebih tinggi atau setara agar mudah diarahkan,
diperintahkan dan mudah melakukan koordinasi
c. Saran saya agar komandan tanggap darurat dari militer
d. Saran penulis mengenai tindak lanjut dari penetapan status/tingkat
bencana tersebut, maka kepala BNPB/BPBD Provinsi/BPBD
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya menunjuk seorang
pejabat sebagai komandan penanganan tanggap darurat bencana
sesuai status/tingkat bencana skala nasional/daerah kurang efektif
harusnya penunjukkan dilakukan oleh pejabat yang memiliki jabatan
atau eselon yang lebih tinggi.

4.2.2 Saran Tentang Aplikasi Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 Tahun


2010 Di Indonesia
a. Saran penulis tentang pembentukan pos komando harus satu
komando ketika terjadi bencana, jadi tidak setiap pos komando
memiliki komando sendiri-sendiri karena hal ini akan membuat
bingung masyarakat yang terkena musibah atau bencana terutama
tentang data dan informasi mana yang benar dan dapat dipercaya.
b. Pembentukan pos komando hanya ada pos komando darurat dan pos
komando lapangan hanya satu komando tidak membawa nama
instansi masing-masing atau organisasi/partai/LSM tertentu. Hal ini
mencegah kemungkinan pihak tertentu memamfaat situasi bencana
hanya untuk kepentingan pribadi maupun golongan.
26
c. Pos komando harus satu komando agar pada saat mengerahkan
personil, logistik, peralatan, sarana, prasarana, transport, dan alat
komunikasi dalam implementasi dilapangan dapat dilaksanakan
secara cepat, tepat, terpadu, efektif, efisien dan akuntabel.

27
DAFTAR PUSTAKA
A. JURNAL
Bui, T., Sankaran, S.& I Sebastian (2006). Foundations for Designing Global
Emergency Response Systems (ERS). In Proceedings of the 3rd
International ISCRAM Conference-Newark, NJ, USA (pp. 72-81).
Chia, E. S. (2007). "Engineering disaster relief." Technology and Society
Magazine, IEEE 26(3): 24-29.
Comfort, L. K., Dunn, M., Johnson, D., Skertich, R., & Zagorecki, A. (2004).
Coordination in complex systems: increasing efficiency in disaster
mitigation and response. International Journal of Emergency
Management, 2(1-2), 62-80.
Daniel Huber, Riegelman, Edward, and Luke Heyerdahl. "GIS-based
emergency management." U.S. Patent Application No. 10/456,019.
National Incident Management System (Nims), an Introduction Is-700 Self-
Study Guide, August 2004
Ndraha, T. (2011). Kybernology ilmu pemerintahan baru. Jakarta:Rineka
Cipta
Uhr, C., Johansson, H., & Fredholm, L. (2008). Analysing emergency
response systems. Journal of Contingencies and Crisis Management,
16(2), 80-90.
Uhr, C. (2009). Multi-organizational emergency response management-a
framework for further development. Lund University.
White, Stacey M. Disaster Response in Asia and the Pacific: A Guide to
International Tools and Services, UN OCHA

B. PERATURAN DAN TERBITAN LEMBAGA NEGARA


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2008. Buku Rencana
Kontinjensi, Jakarta
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2010, Buku Rencana
Nasional Penanggulangan Bencana 2010 – 2014
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2011. Indeks Rawan
Bencana Indonesia. 2011.

28
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2013. Data Bencana
Indonesia 2013
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 10
Tahun 2008 Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 14
Tahun 2010 tentang Pedoman Pembentukan Pos Komando Tanggap
Darurat Bencana
Peta Bahaya Gempa Bumi ESDM, 2010.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

C. WEB/JARINGAN ONLINE
http://www.allgov.com/departments/department-of-homeland-security?details
DepartmentID=571
https://en.wikipedia.org/wiki/National_Response_Framework
http://www.fema.gov/about-agency

29

Anda mungkin juga menyukai