PENDAHULUAN
1
mengandung sirup dengan aroma yang enak dan cara pemberiannya yang mudah misalnya
pemberian gerusan tablet atau isi kapsul dalam sendok yang dicampur selai atau susu.
Hal-hal yang tidak menguntungkan pada pemberian oral termasuk respon obat yang lambat
(bila dibandingkan dengan obat-obat yang diberikan secara parenteral), kemungkinan absorbsi
obat yang tidak teratur, yang tergantung pada faktor-faktor seperti perbaikan yang mendasar,
jumlah atau jenis makanan dalam saluran cerna, dan perusakan beberapa obat oleh reaksi
lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran cerna. Hal-hal tersebut dapat mengganggu tujuan
terapi sediaan oral yang sebagian besar dimaksudkan secara sistemik. Oleh karena itu perlu
diketahui biofarmasetika sediaan obat dengan rute pemberian oral agar zat aktif yang
diberikan dalam bentuk sediaan oral dapat menghasilkan efek terapi yang optimal.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
5. Interaksi antara zat aktif dan bahan cairanlambung yang akan membentuk senyawa
kompleks sehingga sulit untuk diserap.
6. Apabila dibutuhkan zat aktif yang dapat segera mencapai kadar dalam darah yang
tinggi, maka penggunaan per oral dianggap kurang sesuai.
7. Beberapa zat aktif yang dimetabolisme pada membran usus dapat rusak saat memasuki
aliran darah.
8. Harus diperhatikan kemungkinan adanya “efek lintas pertama (first pass effect)”dan
klirens yang merupakan proses metabolisme yang mengubah zat aktif menjadi bentuk
yang tidak aktif sehingga obat kurang sesuai bila diberikan per oral. (Shargel et all,
2005)
4
susunan epitel berlapis sel tanduk yang saling menempel san berdermis tebal, penyerapan
di daerah ini relatif nol.
Permukaan bagian dalam mulut lebih sempit, ditutupi oleh lapidan mukosan yang sangat
tipis, bening dan agak melekat karena adanya kapiler “tight junction” yang memudahkan
penyerapan. Prinsip ini digunakan untuk pemberian sublingual.
Saliva (pengeluaran air liur)
Air liur yang dikeluarkan oleh berbagai kelenjar liur mempunyai komposisi yang beragam
sesuai asalnya. Jumlah air liur yang dikeluarkan berkisar 0,5-1 liter/hari. Keasaman (pH)
air liur akan mempengaruhi ionisasi zat aktif yang bersifat basa lemah atau agak netral
dengan pH 6,7-7. Air liur mengandung enzim ptialin yang merupakan suatu amilase
dengan pH aktivitas optimum 6,7. pH rata-rata pada mulut yaitu 6,7-7 dengan waktu
tinggal 2-10 detik, tergantung dari konsistensinya.
Sebagian besar bentuk sediaa yang diberikan per oral akan langsung ditelan. Waktu tinggal
oabt dalam mulut sangat singkat untuk memungkinkan terjadinya suatu penyerapan.
Adanya air liur berpengaruh pada penyerapan dan dapat memulai peruraian amilum.
Sedangkan pada bentuk sediaan yang dihisap, dikunyah, ang melebur atau melarut di
bawah lidah memerlukan kontak dengan air liur yang akan memudahkan proses pelepasan
zat aktif tertentu (Shargel et all, 2005).
2. Esofagus
Esofagus berukuran panjang 25 cm dan diameternya sekitar 3 cm. Esofagus dimulai dari
belakang rongga mulut sampai lambung serta dibatasi oleh cardia lambung dan sphincter
pharingo-oesophagica yang membuka selama 0,5-1 detik saat
penelanan. Cardia merupakan saluran sempit yang relaks setelah penelanan. Dinding
bagian dalam esofagus dilapisi oleh mukosa tipis tanpa kelenjar dengan epitel malfigi. Obat
yang ditelan berjalan sepanjang esofagus dan didorong oleh gelombang peristaltic lapisan
otot. Gaya gravitasi berperan sekunder sehingga tidak mempengaruhi pemberian obat pada
penderita yang berbaring.
Perpindahan obat (missal tablet) dari sphincter pharingo-
oesophagica ke cardia memerlukan waktu sekitar 10 detik, tetapi dengan bantuan air dapat
5
dipersingkat menjadi 2 detik. Dengan demikian waktu tersebut sangat singkat sehingga
praktis tidak ada penyerapan (Shargel et all, 2005)
Gambar 2. Esofagus
3. Lambung
A. Anatomi
Lambung merupakan sebuah kantong yang panjangnya sekitar 25 cm dan 10 cm saat dalam
keadaan kosong, tebalnya 3 mm yang terdiri atas lapisan otot, volume 1-1,5 liter pada
dewasa normal. Lambung diakhiri dengan pylorusyang merupakan pintu pembuka
lewatnya isi lambung ke dalam organ berikutnya yaitu duodenum.
Pada bagian atas lambung disebut fundus. Sejumlah udara tinggal di lambung pada bagian
tersebut dan membentuk kantong udara. Pada saat lambung dalam keadaan kosong,
dindingnya akan saling meleka, meninggalkan kantng udara pada bagian atas. Bila
lambung terisi, penekanan akan berkurang dan volume lambung bertambah, membentuk
huruf J (Shargel et all, 2005).
Gambar 3. Lambung
6
B. Histo-fisiologi
Mukosa kelenjar merupakan lapisan paling penting pada penyerapan obat. Dinding
tersebut menyerupai “sarang lebah” karena adanya lipatan-lipatan. Mukosa terdiri dari
empat jenis sel penghasill getah yaitu sel utama (chief cell), sel parietal (oxyntic),
permukaan mukosa yang dilapisi sel-sel epitel dan sel mukosa bening.
Derajat keasaman cairan lambung tergantung pada perbandingan relatif getah pada
kelenjar pylorus dan kelenjarfundus. Pengeluaran cairan lambung terjadi karena tiga
proses yaitu proses mekanik (kontak makanan dengan dinding lambung) proses hormonal
(sekresi lambung) dan persarafan (Shargel et all, 2005).
Getah lambung terdiri atas:
1. Enzim
Ada pepsin yang dapat menyebabkan kerusakan pada cangkang kapsul, katepsin,
kimosin/rennin dan lipase.
2. Asam klorida
Getah ini dikeluarkan oleh sel parietal. Keasaman cairan lambung akan mempengaruhi
proses pelarutan dan ionisasi zat aktif tertentu, sehingga menjadi faktor mengendalikan
penyerapan bahan obat. Keasaman ini menyebabkan pengendapan zat aktif yang
bersifat asam lemah serta hidrolisa senyawa tertentu. Kedua kemungkinan tersebut
tentu saja memperjelek ketersediaanhayati.
3. Mukus
Mukus merupakan senyawa yang sangat kental, dikeluarkan bersamaan dengan
bikarbonat oleh sel-sel mukosa tertentu. Mukus berperan melindungi mukosa lambung
terhadap cerna-diri oleh pepsin. Semua rangsangan mukosa mekanik pada mukosa
akan meningkatkan pembentukan mukus.
4. Air
Air bergerak secara pasif dari sel menuju lumen lambung dan akan diserap kembali di
usus halus.
5. Faktor instrinsik
Faktor instrinsik disebaban adanya mukoprotein termolabil yang dihasilkan oleh sel
utama.
6. Faktor bifidogen
7
Faktor bifidogen merupakan senyawa spesifik golongan darah, asam polisakarida
(heparin) dan lain-lain (Shargel et all, 2005).
Ketersediaanhayati pada bentuk sediaan yang diberikan per oral berbeda tergantung pada
cara penelanan yaitu dengan atau tanpa air (peningkatan laju pelarutan, penurunan derajat
keasaman karena pengenceran, proses transit dipercepat bila subyek berpuasa) dan sebelum
atau setelah makan, awal atau akhir makan ( keasaman dan proteolitik akan meningkat pada
akhir makan). Pelarutan di lambung selama waktu makan sulit dikendalikan dan adanya
resiko peresapan zat aktif oleh makanan maka lebih disukai pemberian obat di antara waktu
makan atau sebelumnya .
Sediaan obat yang diserap tercampur dengan masa makanan tanpa benar-benar teraduk bila
berada dalam daerahpylorus. Pelepasan, pelarutan dan penyerapan lambung terjadi bila
obat digunakan bersamaan atau setelah makan. Sebaliknya saat puasa pylorus akan terbuka
atau terbuka sedikit dan pembukaaan lambung pertama meyebabkan obat segera memasuki
duodenum dan pylorus akan menutup kembali.
Waktu tinggal dalam lambung dipengaruhi oleh volume, konsistensi, keasaman (pH),
kandungan bahan (berlemak, asam lemah, gula, daging dan lain-lain), hipertonisitas, emosi
dan posisi tidur pada sisi kanan. Pengosongan lambung dipercepat oleh kebasaan, gas
CO2 yang mempercepat kontraksi pengosongan lambung, posisi tidur pasa sisi kiri dna
keadaan berjalan (Shargel et all, 2005).
C. Usus Halus
8
A. Anatomi
Usus halus merupakan tabung yang berdiameter 2-3 cm tergantung dari letaknya dan
panjang keseluruhan antar 5-9 cm. panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan
otot, yang melingkari peritoneum. Usus halus merupakan lanjutan dari lambung yang
terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum (usus dua belas jari), jejenum ( usus kosong) dan
ileum (usus penyerapan).
Duodenum terdiri atas beberapa simpangan. Bagian pertama adalah juxtapylorus, sangat
lebar dan terdiri atas beberapa bulbus duodenalis. Keduan adalah bagian “mulut” yang
lebih lebar dan disebut papilla vateri, disini ductus pancreaticus (Wirsungi) keluar dari
pankreas membawa getah pankreas. Ketiga adalah ductus choledochus yang merupakan
penggabungan saluran empedudari hati dan saluran kandung empedu dan menyalurkan
emedu ke dalam saluran cerna.
Panjang jejenum dan ileum sekitar 6 meter, terbentuk atas 14-15 lipatan-lipatan seperti
telinga. Bila tidak berisi berbentuk pipih dan berbentuk tabung bila dilewati sebongkah
makanan, fungsi utama usus halus adalah fungsi penyerapan dan fungsi pencenaan oleh
pengeluaran enzim (Shargel et all, 2005).
B. Fisiologi
Fungsi penggetahan terjadi pada berbagai sumber pankreas, kantong empedu dan usus.
Getah pankreas merupakan cairan agak kental (karena mengandung musin), pH alkalis (8-
9) karena mengandung bikarbonat yang pekat dan bersifat isotonic terhadap plasma.
Sedangkan getah empedu adalah cairan kuning berlendir, kental, dengan pH 6 dalam
kantong empedu dan pH 7-7,5 saat memasuki duodenum. Getah empedu mengandung
musin dan garam empedu yang merupakan penyusun penting yang berperan pada proses
penyerapan. Kemudian pada getah usus mengandung khlor, bikarbonat, musin, tetapi ada
juga enzim ebterokinase yang aktif.
Getah pencernaan yang masuk ke dalam usus halus pada umumnya hersifat basa dengan
pH sekitar 8. Kebasaan ini menetralkan asam kimus yang masuk dari saluran cerna
kemudian saat memasuki jejenum, mulai dinetralkan hingga dibagian akhir ileum pH nya
menjadi agak basa (7,5-8). Adanya perbedaan pH di dalam usus merupakan landasan
pertimbangan pemilihan pH media pelarutan untuk uji sediaan oral yang kering dengan
aksi terkendali, diperlambat dan terutama untuk sediaan lepas lambat yang tahan asam.
9
Pemberian obat saat makan akan menyebabkan perjalanan obat yang lambat dan teratur ke
tempat penyerapan, jadi memungkinkan pengosongan usus terjadi lebih lengkap karena
adanya efek pengenceran oleh makanan (Shargel et all, 2005).
10
bergaris, sejumlah sel goblet yang menghasilkan mukus untuk melicinkan lewatnya bahan-
bahan feces dan glandula lieberkuhn (Shargel et all, 2005).
C. Fisiologi
Bila usus halus merupakan organ penyerapan maka usus besar merupakan organ
penyerapan air, penampungan dan pengeluaran bahan-bahan feses. Didalam usus besar
terdapat aktivitas penggetahan yang lemah.
Pada bagian akhir ileum, pH berkisar antara 7,5-8, tetapi di caecum hidup flora mikroba
yang dapat merusak lapisan selulosa tertentu untuk mendapatkan zat tepung.pada bagian
pertama usus besra terjadi penurunan pH yang diikuti dengan pembasaan yang diiringi
dengan berkembangnya flora pembusuk yang menghasilan amoniak dan basa amina,
adanya flora tersebut didukung oleh pengeluaran protida dari mukosa dengan reaksi
keasaman yang ditimbulkan oleh flora fermentasi. Keseimbangan flora tersebut akan
terganggu dengan bahan obat seperti antibiotik dan mengeluarkan senyawa yang
mempengaruhi aktivitas obat (Shargel et all, 2005).
1. Liberasi (Pelepasan)
Apabila seorang penderita menerima obat berarti ia mendapatkan zat aktif yang diformula
dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat pada mulanya merupakan depot zat
aktif yang jika mencapai tempat penyerapan akan segera diserap (Drug delivery system dalam
istilah anglo-sakson). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan
tergantung pada jalur pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan
lengkap. Pelepasan zat aktif dipengruhi oleh keadaaan lingkungan biologis dan mekanis pada
tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltic usus, dan hal ini penting untuk bentuk
sediaan yang keras atau kenyal (tablet, suppositoria dll).
11
Sebagaimana diketahui, tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahap
pemecahan dan peluruhan misalnya untuk sebuah tablet. Dari tahap pertama ini diperoleh
suatu disperse halus padatan zat aktif dalam cairan di tempat obat masuk ke dalam tubuh.
2. Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif
yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan disperse molekuler dalam air. Tahap kedua
ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga diterapkan pada
obat-obtan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang terjadi adalah
proses ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ dapat timul
endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan
tersebut selanjutnya akan melarut lagi.
Laju disolusi obat mungkin tergantung posisi, karena variasi dalam kedekatannya dengan
kelenjar ludah utama dan kadar air saliva yang diproduksi. Rute sublingual tidak cocok untuk
produk yang mempunyai profil konsentrasi plasma-waktu diperpanjang, absorpsi selesai cepat
karena epitel di daerah ini sangat tipis (sekitar 100 μm). Absorpsi cepat yang menghasilkan
konsentrasi plasma puncak tinggi dapat diatasi dengan menghantarkan obat ke mukosa bukal
lebih tebal yang dapat memperlambat absorpsi. Aktivitas metabolik dari mukosa oral dan
populasi bakteri dapat mempengaruhi atau mendegradasi obat.
3. Absorpsi (Penyerapan)
Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetika dan awal fase farmakokinetik, jadi tahap
ini benar-benar merupakan masuknya zat aktif dalam tubuh yang aturan-aturannya ditengarai
oleh pemahaman ketersediaan hayati (bioavabilitas).
Penyerapan zat aktif tergantung pada bagian parameter, terutama sifat fisika-kimia molekul
obat. Absorpsi ini tergantung juga pada tahap sebelumnya yairu saat zat aktifnya berada dalam
fase biofarmasetika.
12
Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan
dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat.
Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses penyerapan zat
aktif, baik dalam hal jumlah yang diserap maupun laju penyerapannya (Ansel, 1989).
13
Sifat membrane biologik sel penyerap pada mukosa pencernaan akan mempengaruhi
proses penyerapan. Sifat utama lipida memungkinkan terjadinya difusi pasif zat aktif
dengan sifat lipofil tertentu dari bentuk yang tak terionkan di lambung dan di usus besar.
D. Laju Pelewatan dan Waktu Tinggal dalam Lambung
Suatu zat aktif yang sukar diserap di lambung harusnya tidak tinggal lama di lambung.
Oleh sebab itu, waktu pengososngan lambung sebaiknya diusahakan terjadi lebih cepat.
Sebaliknya, bila transit di usus berjalan lambat, hal tersebut menguntungkan bagi zat aktif
yang hanya diserap pada bagian tertentu saluran cerna, terutama dalam hal transport aktif.
Bila obat dalam keadaan terlarut melewati daerah penyerapan terlalu cepat maka
penyerapannya menjadi sangat sedikit.
Kecepatan transit di lambung tidak dapat dikontrol selama waktu makan dan gumpalan
makanan meninggalkan lambung bertahap dalam waktu yang lama ataupun singkat.
Transit lambung sangat berperan pada aktivitas awal sediaan yang tahan asam. Berkaitan
dengan bentuk sediaan dosis tunggal, tablet salut atau kapsul gelatin yang tahan asam,
maka aktivitasnya baru akan dimulai bila sediaan telah mencapai usus. Sebaliknya untuk
bentuk sediaan yang pecah di lambung terdiri dari butiran-butiran atau partikel bersalut
yang tahan asam lambung, mempunyai efek lebih cepat dan nyata. Butiran-butiran tersebut
yang bercampur dengan isi lambung secara teratur akan melewati pylorus yang membuka
setelah sediaan pecah. Adanya makanan mengaktifkan proses pelewatan di usus halus.
E. pH dan Perubahan pH karena Formulasi
Derajat keasaman cairan saluran cerna berbatas 1-8, sehingga memungkinkan terjadinya
pelarutan sebagian besar zat aktif pada daerah tertentu di saluran cerna. Jadi pH merupakan
faktor yang mempengaruhi seluruh proses penyerapan. Menurut teori “partisi pH”, hanya
bentuk zat aktif tak terionkan yang mengalami penyerapan pasif, dan ditinjau dari pH
lambung dan usus maka hanya zat aktif yang bersifat asam lemah yang dapat diserap di
lambung dan bersifat basa lemah diserap di usus. Perbedaan pH disepanjang saluran cerna
memungkinkan berkembangnya pembuatan seduaan yang tahan cairan lambung atau
sediaan dengan aksi terkendali. Penyalut selulosa atau amilum asetoftalat mempunyai sifat
polielektrolit dan akan melarut sesuai dengan fungsi pH.
Hampir tidak memungkinkan membuat formula yang sesuai dengan keragaman pH seluruh
usus, sebaliknya hal tersebut dapat dilakukan pada cairan lambung dengan tujuan untuk
14
meningkatkan ketersediaanhayati zat aktif yang tak larut pada pH lambung (asam salisilat
menjadi lebih larut), mengurangi iritasi bentuk asam dari zat aktif (salisilat) dan mencegah
peruraian yang disebabkan oleh keasaman cairan lambung.
Di sekitar partikel zat aktif, pH dapat dinaikkan dengan ion basa berasal dari bahan yang
terlarut setempat. Ion dan molekul yang telarut di sekitar partikel di daerah yang pH nya
tinggi akan menembus lingkungan sekitar partikel dan pada jarak tertentu dari partikel, bila
pH kembali menjadi asam maka zat aktif yang terlarut akan mengendap dalam partikel
yang sangat halus dan akan lebih mudah larut dalam cairan penyerapan.
F. Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan pada cairan usus menurun karena adanya garam
empedu.pengurangan tegangan permukaan akan memudahkan pembasahan dan pelarutan
partikel yang semula belum larut. Senyawa-senyawa “choleretic” merangsang pengeluaran
cairan empedu, sehingga akan meningkatkan pelarutan dan mempermudah pengelmulsian
dan penyerapan bahan lemak dan vitamin yang larut lemak.
G. Kekentalan
Kekentalan dapat menghambat pembasahan partikel dan menekan laju pelarutan.
Kekentalan juga menghambat proses difusi molekul zat aktif saat proses pelarutan di
mukosa penyerap. Bahkan kekentalan juga menghambat proses transit dan meningkatkan
waktu tinggal dalam lambung. Bahan pengental yang digunakan dalam formulasi akan
meningkatkan viskositas cairan cerna (Shargel et all, 2005).
H. Isi Saluran Cerna yang Dapat Mengubah Aksi Zat Aktif
Di dalam saluran cerna terdapat kandungan ang dapat mempengaruhi aksi zat aktif, yaitu:
1. Musin
Senyawa ini melapisi saluran cerna yang dapat membentuk kompleks dengan zat aktif
dan menghambat proses penyerapan. Hal tersebut dapat terjadi misalnya pada penurun
tekanan golongan ammonium kuartener yang bentuk kompleksnya sangat kuat.
Pemberian senyawa ammonium kuartener yang inert secara farmakologik, data
memperbaiki penyerapan zat aktif ammonium kuatener dengan cara inhibisi kompetitif
pada tempat aksi musin.
2. Garam Empedu
15
Konsentrasi garam empedu, bahan penurun tegangan permukaan fisiologik berada di
atas konsentrasi miseler kritik (CMC). Jadi dapat terjadi interaksi antara garam empedu
dan zat-zat aktif dengan miselinisasi yang dapat melarutkan zat aktif tertentu yang tidak
larut dalam air dan memperbaiki penyerapannya.
3. Ion-ion Tertentu : Ca+, Mg, Fe
Molekul-molekul tertentu dengan ion-ion bervalensi dua atau tiga, seperti kalsium atau
magnesium akan membentuk kelat yang tak terserap. Contohnya tetrasiklin. Interaksi
tersebut penting pada formulasi sehingga harus dihindari penambahan garam kalsium
atau magnesium.
4. Flora Usus
Flora usus mengeluarkan enzim, misalnya penisilinase yang mengaktifkan zat aktif
tertentu.
5. Enzim
Enzim dapat merusak zat aktif tertentu, misalnya zat aktif peptide akan dirusak oleh
enzimproteolitik (insulin, ositosin). Kadang enzim dapat merangsang pembentukan
metabolit aktif yang semula tidak aktif misalnya esterase menghidrolisa kloramfeikol
palmitat menjadi kloramfenikol aktif. Dalam hal tertentu, enzim menyebabkan
peningkatan pelepasan obat dan mempengaruhi sifat sediaan yang tahan asam atau
sediaan lepas lambat, lipase usus akan menghidrolisa penyalut lemak tahan asam
(Shargel et all, 2005).
2. Faktor Patologi
Faktor patologi berpengaruh pada 3 hal utama, yaitu pengetahuan, pergerakan dan
penyerapan.
1. Gangguan Fungsi Penggetahan
Psikis merupakan faktor yang dapat meningkatkan atau menghambat proses pengeluaran
getah. Pada orang pemarah terjadi peningkatan pengeluaran getah dan pada orang
depresif akan terjadi hambatan pengeluaran getah. Pengeluaran getah lambung
meningkat pada keadaan tukak duodenum yang mana kelebihan asam dapat merusak
aktivitas enzim pankreatik. Sedangkan pengeluaran getah lambung yang berkurang pada
keadaan pH yang meningkat akibat tukak lambung, gastritis kronis dan diabetes.
16
Tidak cukupnya pengeluaran getah empedu disebabkan pembuntuan (obstruksi) saluran
empedu yang akan menghambat penyerapan lemak dan vitamin yang larut lemak.
2. Gangguan Transit
Waktu tinggal dalam lambung umumnya meningkat pada keadaan penyempitan pylorus,
tukak lambung, kelainan pembuluh darah tertentu, sprue dan myxcodemia (salah satu
bentuk peradangan kelenjar). Namun waktu tinggal lambung akan berkurang pada
keadaan duodenal, kecemasan dan menigkatnya aktivitas.
3. Gangguan Penyerapan
Gangguan penyerapan dapat terjadi apabila adanya pengurangan luas permukaan
penyerapan yang dapat diakibatkan adanya pembedahan seperti gastrectomie,
pemotongan usus, pemotongan pada bagian distal dan lainnya. Kemudian karena
adanya anomaly atau cacat pada mukosa permukaan baik karena bawaan atau karena
perolehan.
Selanjutnya gangguan penyerapan dapat terjadi karena adanya perubahan media usus
yang diakibatkan penambahan senyawa anti mikroba atau anti parasit (memutuskan
ikatan konjugasi garam empedu sehingga terjadi kesalahan penyerapan lemak dan
merusak zat aktif sebelum diserap) dan adanya bahan obat antibiotika berspektrum luas
yan dapat mengganggu kesembangan flora usus (misalnya neomisin dapat merintangi
kerja lipase pankreatik dan garam empedu).
Kemudian tidak adanya molekul pembawa berpengaruh pada transport spesifik dan
hambatan pada pembuluh balik darah atau pembuluh getah bening (tumor) juga
mempengaruhi terjadinya penyerapan (Shargel et all, 2005).
a. Liberasi (Pelepasan)
Apabila seorang penderita menerima obat berarti ia mendapatkan zat aktif yang diformula dalam
bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat pada mulanya merupakan depot zat aktif yang jika
mencapai tempat penyerapan akan segera diserap (Drug delivery system dalam istilah anglo-
sakson). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan tergantung pada jalur
17
pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif
dipengruhi oleh keadaaan lingkungan biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat,
misalnya gerak peristaltic usus, dan hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau kenyal
(tablet, suppositoria dll).
Sebagaimana diketahui, tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pemecahan
dan peluruhan misalnya untuk sebuah tablet. Dari tahap pertama ini diperoleh suatu disperse halus
padatan zat aktif dalam cairan di tempat obat masuk ke dalam tubuh.
b. Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif yang
terjadi secara progresif, yaitu pembentukan disperse molekuler dalam air. Tahap kedua ini
merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga diterapkan pada obat-
obtan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang terjadi adalah proses
ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ dapat timul endapan zat
aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan tersebut
selanjutnya akan melarut lagi.
Laju disolusi obat mungkin tergantung posisi, karena variasi dalam kedekatannya dengan kelenjar
ludah utama dan kadar air saliva yang diproduksi. Rute sublingual tidak cocok untuk produk yang
mempunyai profil konsentrasi plasma-waktu diperpanjang, absorpsi selesai cepat karena epitel di
daerah ini sangat tipis (sekitar 100 μm). Absorpsi cepat yang menghasilkan konsentrasi plasma
puncak tinggi dapat diatasi dengan menghantarkan obat ke mukosa bukal lebih tebal yang dapat
memperlambat absorpsi. Aktivitas metabolik dari mukosa oral dan populasi bakteri dapat
mempengaruhi atau mendegradasi obat.
c. Absorpsi (Penyerapan)
Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetika dan awal fase farmakokinetik, jadi tahap
ini benar-benar merupakan masuknya zat aktif dalam tubuh yang aturan-aturannya ditengarai oleh
pemahaman ketersediaan hayati (bioavabilitas).
Penyerapan zat aktif tergantung pada bagian parameter, terutama sifat fisika-kimia molekul obat.
Absorpsi ini tergantung juga pada tahap sebelumnya yaitu saat zat aktifnya berada dalam fase
biofarmasetika.
Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari
sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat.
Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses penyerapan zat
aktif, baik dalam hal jumlah yang diserap maupun laju penyerapannya (Ansel, 1989).
18
2.6.Sediaan Pelepasan Terkendali
Sediaan lepas terkendali
Sediaan lepas terkendali (controlled release) adalah sediaan berupa tablet atau kapsul yang
bersalut atau tidak bersalut yang mengandung bahan tambahan tertentu atau disediakan melalui
proses tetentu dengan cara terpisah atau bersamaan yang pelepasan terkendali bertujuan
untukmengendalikan konsentrasi pelepasan bahan obat untuk memperpanjang secara teratur
dan mengefisienkan efek obat.
Secara umum, tujuan dari dosis lepas terkendali ini adalah untuk mempertahankan tingkat
terapeutik darah atau jaringan obat untuk periode yang diperpanjang, ini biasanya dilakukan
dengan mencoba untuk mendapatkan orde nol rilis atau pelepasan dari bentuk sediaan, orde
nol rilis merupakan pelepasan obat dari bentuk sediaan.
Sediaan Pelepasan Terkendali dirancang untuk melepaskan zat aktif secara lambat
dibandingkan dengan sediaan konvensional (Mandhar, dan Joshi, 2015).
Berikut beberapa modifikasi pelepasan sistem penyampaian obat, yaitu (Kakar, et al.,2014) :
a. Delayed release (DR)
Delayed-release atau pelepasan tertunda menunjukkan bahwa obat ini tidak dibebaskan
segera tetapi dilepaskan saat tertentu. Delayed release adalah pelepasan yang berulang
dari satu atau lebih dosis berselang obat digabungakan ke dalam bentuk dosis tunggal.
Contoh Delayed-release termasuk repeat action tablet dan kapsul, dan tablet salut enterik
dimana waktu pelepasan dicapai melalui lapisan penghalang. Delayed-release
dimaksudkan untuk menahan cairan lambung tetapi hancur dalam cairan usus.
b. Repeat Action (RA)
19
Repeat action menunjukkan bahwa dosis individual dilepaskan segera setelah pemberian
dan dosis kedua atau ketiga dilepaskan pada interval berselang.
c. Extended Release (ER)
Extended release mengacu pada pelepasan lambat dari obat sehingga konsentrasi
plasma dipertahankan pada tingkat terapi untuk jangka waktu tertentu, biasanya 8 dan 12
jam.
d. Prolonged Release (PR)
Prolonged release menunjukkan bahwa obat disiapkan untuk penyerapan selama
periode yang lebih lama dari bentuk sediaan konvensional. Hal ini dirancang untuk
melepaskan obat secara perlahan dan untuk menyediakan kelangsungan penyediaan obat
selama periode yang diperpanjang. Sebuah sistem pelepasan dikendalikan khas
dirancang untuk memberikan tingkat obat yang konstan atau hampir konstan dalam
plasma dengan mengurangi +uktuasi melalui lepas lambat selama jangka waktu tertentu.
e. Controlled Release (CR)
Controlled release melepaskan obat konstan sehingga memberikan konsentrasi obat
dalam plasma tetap setiap waktu. Sistem pemberian dari obat disampaikan dengan
laju yang telah ditentukan untuk jangka panjang.•Istilah controlled release, prolonged
release, sustained atau slow release dan long-acting telah digunakan secara sinonim
dengan extended release (Bhowmik, et al., 2012).
f. Sustained Release (SR)
Sustained release menunjukkan pelepasan terhambat, berkepanjangan atau pelepasan
lambat untuk jangka waktu lama. Sistem pelepasan berkelanjutan hanya
memperpanjang terapi obat untuk jangka waktu lama (Bhowmik, et al., 2012).
g. Pulsatile release
Pulsatile release melibatkan pelepasan sejumlah terbatas obat pada interval waktu yang
berbeda yang diprogram ke dalam produk obat (Singhvi dan Singh, 2011).
h. Timed release
Timed release digunakan untuk mendapatkan pelepasan dengan jeda waktu sekitar 4-5
jam. Sediaan dilapisi selulosa asetat ftalat untuk memberikan perlindungan asam
lambung. Lapisan menyebabkan keterlambatan pelepasan obat, menunda pelepasan
20
obat di usus halus. Waktu pelepasan obat dikendalikan sehingga dapat terhambat
hingga 5 jam menargetkan obat untuk usus besar.
B. Kerugian
a. Resiko terjadinya penumpukan bila laju perniadaan lambat dan obat harus selalu bekerja
selama 24 jam.
b. Kesulitan pengeluaraan obat dengan cepat bila terjadi toksisitas gawat atau alergi.
c. Dapatnya pengulangan dan keteraturan efek farmakologi tergantung pada laju
pengosongan lambung.
d. Sering terjadi perubahan skema pelepasan zat aktif bila obat tidak seluruhnya ditelan
melainkan dipecah, digerus atau dikunyah dengan resiko terjadi over dosis, pelepasan
tidak pada tempatnya dan sangat berbahaya terutama bila obat sangat aktif dan selanjutnya
terjadi keadaan kurang dosis.
21
e. Meningkatkan kemungkinan (“first pass effect”
Bentuk sediaan penyangga yang paling sederhana adalah tablet dengan aksi diulang. Bentuk
tersebut terdiri dari sebuah inti yang disalut dengan zat yang tahan cairan lambung, salut
enterik , jadi meliputi penyalutan dan pengempaan ganda sediaan tablet yang lapisan luarnya
mengandung zat aktif dengan dosis yang sama. Dalam saluran cerna, lapisan terluar tersebut
akan segera pecah dan melepaskan zat aktif dengan dosis awal yang segera memberikan efek
terapetik . Setelah waktu tertentu terjadi pelarutan penyalut inti di dalam cairan usus halus ,
selanjutnya inti pecah dan terjadi pelepasan obat dalam dosis baru.
b. Pelepasan berkesinambungan, diperoleh dari sediaan dengan pelarutan, atau pelepasan zat
aktif yang terjadi secara teratur, tidak terputus sejak awal hingga dosis berakhir,ini
merupakan sediaan dengan pelepasan ideal.
22
Setelah ditelan, tablet mencapai lambung dan segera melepaskan sejumlah senyawa yang
berada di pori pada permukaan tablet sebagai dosis awal dan memberikan efek yang cepat.
Kemudian cairan cerna akan menembus pori dan melarutkan zat aktif secara progresif dan
selanjutnya berdifusi melintasi rongga-rongga menuju bagian luar.
Penambahan senyawa hidrofil ke dalam campuran yang dikempa akan menyebabkan
penarikan air ke dalam pori-pori dan mendorong terjadinya pelepasan.
23
dapat berfungsi sebagai depot untuk obat menghasilkan profil pelepasan yang
berkepanjangan, terutama jika tingkat tinggi mengikat obat terjadi. Mengikat luas untuk
protein plasma akan dibuktikan dengan waktu paruh panjang eliminasi untuk obat dan obat-
obatan seperti umumnya yang paling membutuhkan bentuk sediaan pelepasan
berkelanjutan. Pada umumnya obat dengan waktu paruh 2-4 jam merupakan calon obat
yang bagus untuk obat lepas terkendali. Waktu paruh kurang dari 2 jam, dibutuhkan dosis
obat yang besar dan penurunan kecepatan absorpsi dari saluran cerna halus dan kolon dapat
mengurangi kecepatan input obat sampai berada dibawah kadar darah yang cukup.
3. Molekuler ukuran dan difusivitas
Kemampuan obat untuk berdifusi melalui membran disebut nya difusivitas & koefisien
difusi adalah fungsi dari ukuran molekul (atau berat molekul). Obat berat molekul tinggi
atau obat-obatan polimer harus diharapkan untuk menampilkan kinetika pelepasan sangat
lambat dalam perangkat rilis berkelanjutan menggunakan difusi melalui membran polimer.
4. Obat Stabilitas
Obat oral dapat terkena hidrolisis asam basa dan degradasi enzimatik. Degradasi akan
dilanjutkan pada tingkat penurunan untuk obat dalam keadaan padat, untuk obat yang tidak
stabil dalam perut, sistem yang memperpanjang pengiriman di saluran pencernaan.
Senyawa yang tidak stabil dalam usus kecil dapat menununjukkan penurunan
bioavailabilitas bila diberikan bentuk dosis berkepanjanagan. Hal ini karena obat yang lebih
diserap dalam usus halus dan mengalami degradasi Kebanyakan formulasi yang didasrkan
pada control obat dari sediaan merupakan pembatasan kecepatan, umumnya kecepatan
menurun pada saat sediaan bergerak menjauhi jejunum. Selama kecepatan absorpsi masih
berada diatas kecepatan pelepasan, perubahan ini tidak terlalu mempengaruhi kadar
plasma.
5. Kelarutan air
Absorbsi untuk yg sukar larut sering dibatasi oleh kecepatan disolusi. Obat seperti ini tidak
memerlukan control kecepatan disolusi, dan bukan obat yang baik untuk obat lepas
terkendali. Untuk mengatasi perubahan pH dan viskositas pada saluran cerna, digunakan
system pompa osmotic, sehingga disolusi (pelepasan) tidak tergantung pada pH dan
viskositas.
6. Stabilitas
24
menghadapi rentang pKa, besar enzim dan flora saluran cerna Hubungan antara pKa
senyawa dan lingkungan serap. Obat sebelum diabsorpsi harus berhadapan dengan
lingkungan luminal saluran cerna. Stabilitas obat dalam saluran cerna penting untuk
menjamin input obat secara sempurna dan reprodusibilitas kadar obat dalam tubuh. Obat
harus stabil pada rentang pH 1-8. Dalam beberapa hal perlu diperkirakan terjadinya absorpsi
kolonik, perlu dipertimbangkan efek metabolism populasi bakteri kolon.
7. Metabolisme lintas pertama
Metabolism hepatic dapat menyebabkan obat tidak sesuai untuk obat lepas terkendali. Hal
ini karena kertesediaan jika kecepatan masukan rendah. Metabolism lintas pertama yaitu
obat secara ekstensif dimetabolisme secara hepatic atau dihati.
8. Koefisien partisi
Koefisien partisi secara umum didefinisikan sebagai fraksi obat dalam fase minyak dengan
suatu fasa air yang berdekatan. Senyawa dengan koefisien partisi tinggi akan sangat
mengalami kesulitan dalam menembus membran sehingga bioavailabilitas rendah
25
Penyalutan ini berfungsi mengendalikan ketersediaan bahan aktif dalam bentuk larutan.
Penyalutan serbuk bahan aktif dapat dilakukan dengan metode
mikroenkapsulasi.Mikroenkapsulasi adalah suatu proses di mana bahan-bahan padat, cairan
bahkan gas pun dapat dijadikan kapsul (ncapsulated) dengan ukuran partikel mikroskopik,
dengan membentuk salutan tipis wall dinding sekitar bahan yang akan dijadikan kapsul.
b. Sistem matriks
Pencampuran dengan matriks adalah dengan mencampurkan bahan obat yang akan dibuat
sediaan pelepasan terkendali, digabungkan dengan bahan lemak atau bahan selulosa,
kemudian diproses menjadi granul yang dapat dimasukkan dalam kapsul atau ditablet.
c. Pembentukan Kompleks
Bahan obat tertentu jika dikombinasi secara kimia dengan zat kimia tertentu lainnya
membentuk senyawa kompleks kimiawi, yang mungkin hanya larut secara perlahan-lahan
dalam cairan tubuh, hal ini tergantung pada pH sekitarnya.
d. Sistem Membran Terkontrol
Dalam sistem ini membran berfungsi sebagai pengontrol kecepatan pelepasan obat dari
bentuk sediaan. Berbeda dengan sistem matrik hidrofil, polimer membran tidak bersifat
mengembang (Nafsiah, 2009).
Matriks adalah zat pembawa padat yang di dalamnya obat tercampur secara merata. Suatu
matriks dapat dibentuk secara sederhana dengan mengempa atau menyatukan obat dan
bahan matriks bersama-sama. Umumnya, obat ada dala m prosen yang lebih kecil agar
matriks memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap air dan obat berdifusi keluar
secara lambat (Marchaban,1995).
Pelepasan Obat dari Matriks. Disolusi adalah suatu proses zat padat masuk ke dalam pelarut
sehingga terlarut. Proses ini dikendalikan oleh afinitas zat padat terhadap larutan.
Kecepatan pe larutan atau laju pelarutan adalah kecepatan melarutnya zat padat di da lam
pelarut. Obat dalam bentuk serbuk yang didispersikan secara merata dalam matriks
diasumsikan melarut dalam matriks dan berdifusi keluar dari permukaan matriks. Pada
waktu obat dilepaskan jarak tempuh obat untuk difusi keluar dari permukaan
tablet semakin lama semakin besar dan batas daerah penyusun dari matriks yang
mengandung obat akan bergeser ke arah sentral tablet (Marchaban,1995)
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Sediaan per oral adalah pemberian obat melalui mulut yang paling lazim karena
penggunaannya yang sangat praktis, mudah dan aman. Sediaan dalam bentuk oral paling
banyak digunakan karena kepraktisan penggunaannya. Diharapkan sediaan per oral ini
dapat memberikan efek sistemik dari obat setelah proses penyerapan di saluran cerna.
Organ-organ yang terlibat pada pemberian obat secara per oral yaitu mulut, esofagus,
lambung, usus halus (duodenum, jejenum dan ileum) dan usus besar. Proses penyerapan
obat terjadi pada usus halus.
27
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian obat per oral yaitu faktor fisiologi dan faktor
patologi. Faktor fisiologi meliputi permukaan penyerap, umur, laju pelewatan dan waktu
tinggal dalam lambung, pH dan perubahan pH karena formulasi, tegangan permukaan,
kekentalan serta isi saluran cerna yang dapat mengubah aksi zat aktif. Faktor patologi
meliputi gangguan fungsi penggetahan, gangguan transit dan gangguan penyerapan.
tahap LDA sedian obat Liberasi dua tahap pemecahan dan peluruhan dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat (gerak peristaltik usus, dll) dari
tahap liberasi diperolah suatu dispersi halus padatan zat aktif dalam cairan di tempat obat masuk
ke dalam tubuh. Disolusi pelarutan zat aktif secara progresif, yaitu pembentukan dispersi molekuler
dalam cairan di tempat obat masuk ke sistem sistemik. Absorpsi masuknya zat aktif kesistem
sirkulasi sistemik bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisiko-kimia zat aktif obat.
Sediaan lepas terkendali (controlled release) adalah sediaan berupa tablet atau kapsul yang
bersalut atau tidak bersalut yang mengandung bahan tambahan tertentu atau disediakan
melalui proses tetentu dengan cara terpisah atau bersamaan yang pelepasan terkendali
bertujuan untukmengendalikan konsentrasi pelepasan bahan obat untuk memperpanjang
secara teratur dan mengefisienkan efek obat.
beberapa modifikasi pelepasan sistem penyampaian obat, yaitu Repeat Action (RA)
Delayed release (DR) Extended Release (ER) Prolonged Release (PR) dll. maka bentuk
sediaan dengan pelepasan terkendali di bedakan ata Pelepasan bertahap atau tidak
berkesinambungan dan Pelepasan berkesinambungan.
3.2 Saran
Diharapkan pada makalah selanjutnya dapat dijelaskan lebih lengkap mengenai mekanisme
obat baik secara farmakokinetik maupun farmakodinamik.
.
28
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Empat. Jakarta : UI Press
Irianto, K. 2014. Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Penerbit Alfabeta
Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Gramedia
Shargel, Leon, Susana, Wu-Pong dan Andrew, B.C. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetik
Terapan Edisi Kelima. Surabaya: Airlangga University Press
Chien,W.Yie; Novel Drug Delivery Systems;seconded.,3: 139-156,MarcelDekker, Inc.,
NewYork.
Shargel,Leon ; Biofarmaseutika Dan Farmakokinetika Terapan, 18:445-479, Airlangga
Universitry Press, 2005
Li , Xiaoling ;Design of Controlled Release Drug Delivery Systems, 4: 146-147, McGraw-Hill,
2006
Chien, W.Yie; Novel Drug Delivery Systems; second ed., 3: 139-156, Marcel
Dekker, Inc.,NewYork.
29