Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam dunia farmasi obat merupakan unsur terpenting di dalamnya, bagaimana obat itu
berkerja dan bagaimana obat itu memberikan efek di dalam tubuh. Kebanyakan obat yang
diberikan dalam bentuk sediaan per oral sehingga obat akan bisa memberikan efek di dalam
tubuh. Jalur pemakaian obat meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta yang lainnya
harus ditentukan dan ditetapkan petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan bagi pasien
dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik penggunaannya atau petunjuk
pemakaiannya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses
absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti
absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau
lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action),
intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk
memberikan respon tertentu.
Pemberian obat yang paling sering digunakan adalah pemberian oral. Pemberian obat per oral
merupakan cara pemberian yang paling alamiah untuk semua bahan yang akan diserap oleh
organ tubuh. Walaupun beberapa obat yang digunakan secara oral dimaksudkan larut dalam
mulut, sebagian besar dari obat yang digunakan secara oral adalah ditelan. Dari semua ini
sebagian besar penggunaan dimaksudkan untuk efek sistemik dari obat yang dihasilkan
setelah terjadi absorpsi pada berbagai permukaan sepanjang saluran cerna. Beberapa obat
ditelan untuk kerja lokal pada daerah yang terbatas dalam saluran cerna.
Fungsi alat cerna adalah menyerap sebagian besar bahan-bahan yang diperlukan untuk tubuh.
Cara pemberian obat per oral paling banyak dipakai di luar lingkungan rumah sakit, terutama
untuk pengobatan sendiri. Dibandingkan dengan cara-cara lainnya, cara oral dianggap paling
alami, tidak sulit, menyenangkan dan aman dalam hal pemberian obat. Para penderita penyakit
menahun dengan masa perawatan yang lama bahkan yang seumur hidup (penggunaan obat
anti-epileptik, anti-diabetik, dll) pemakaian obat per oral merupakan cara yang umum dan
nyaman. Untuk anak-anak pemberian per oral lebih dapat diterima karena umumya sediaan

1
mengandung sirup dengan aroma yang enak dan cara pemberiannya yang mudah misalnya
pemberian gerusan tablet atau isi kapsul dalam sendok yang dicampur selai atau susu.
Hal-hal yang tidak menguntungkan pada pemberian oral termasuk respon obat yang lambat
(bila dibandingkan dengan obat-obat yang diberikan secara parenteral), kemungkinan absorbsi
obat yang tidak teratur, yang tergantung pada faktor-faktor seperti perbaikan yang mendasar,
jumlah atau jenis makanan dalam saluran cerna, dan perusakan beberapa obat oleh reaksi
lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran cerna. Hal-hal tersebut dapat mengganggu tujuan
terapi sediaan oral yang sebagian besar dimaksudkan secara sistemik. Oleh karena itu perlu
diketahui biofarmasetika sediaan obat dengan rute pemberian oral agar zat aktif yang
diberikan dalam bentuk sediaan oral dapat menghasilkan efek terapi yang optimal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pemberian sedian oral
2. Anatomi dan Fisiologi organ yang berperan dalam pemberian sediaan per oral.?
3. Faktor- factor yang mempengaruhi pemberian sediaan per oral?
4. LDA sediaan oral?
5. Sediaan Pelepasan Terkendali?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk memahami pemberian sediaan per oral
2. Untuk memahami anatomi dan fisiologi organ yang berperan dalam pemberian sediaan
per oral
3. Untuk mengetahui LDA Sedian Oral.
4. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian sediaan per oral
5. Untuk memahami Sediaan Pelepasan Terkendali

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sediaan Per Oral


Per oral merupakan pemberian obat melalui mulut yang paling lazim karena penggunaannya
yang sangat praktis, mudah dan aman (Tjay dan Rahardja, 2007). Cara pemberian obat per
oral paling banyak dipakai diluar lingkungan rumah sakit, terutama untuk pengobatan sendiri.
Pada penderita penyakit menahun dengan jangka perawatan yang lama seperti obat
antiepileptik, antidiabetik dan lain-lain, pemakaian obat per oral merupakan cara yang mudah
dan nyaman. Pada anak-anak pemberian per oral lebih dapat diterima karena umumnya
sediaan mengandung sirop dengan aroma yang enak dan cara pemberian yang mudah dan
misalnya pemberian gerusan atau isi kapsul dalam sendok yang dicampur selai atau susu
(Shargel et all, 2005).
Penggunaa sediaan per oral dapat menjadi kemungkinan gangguann pencernaan yang
disebabkan oleh kekurangan enzim, adanya infeksi setempat seperti infeksi usus, parasitosis
tertentu serta untuk melindungi mukosa yang meradang atau pada tukak saluran cerna.
Sehingga pada pemberian per oral tidak dilihat kemudahannya saja namun beberapa
kemungkinan hal yang tidak diinginkan juga harus dipertimbangkan pada pemberian per oral.
Ada beberapa hal yang merupakan kontra indikasi pada pemberian obat per oral yang harus
dipertimbangkan, yaitu:
1. Keadaan patofisiologik penderita, misalnya pada suatu sediaan antirematik yang tidak
dapat diberikan per oral tanpa risiko dimuntahkan sebelum obat bereaksi.
2. Pada cairan lambung yang asam, zat aktif tertentu dapat dirusak oleh enzim pencernaan
seperti lipase atau terjadi pengikisan mukosa. Salah satu cara mengatasi kelemahan ini
dapat dibuat sediaan bersalut yang tahan terhadap cairan lambung. Bahan aktif juga
dapat dibuta dalam bentuk tak terbasahkan oleh cairan lambung walau pelarutannya
lambat.
3. Enzim proteolitik yang ada pada saluran cerna dapat merusak zat aktif polipeptida atau
protein (insulin, hormon, polipeptida, serum)
4. Enzim flora usus dapat berpengaruh pada sediaan oral.

3
5. Interaksi antara zat aktif dan bahan cairanlambung yang akan membentuk senyawa
kompleks sehingga sulit untuk diserap.
6. Apabila dibutuhkan zat aktif yang dapat segera mencapai kadar dalam darah yang
tinggi, maka penggunaan per oral dianggap kurang sesuai.
7. Beberapa zat aktif yang dimetabolisme pada membran usus dapat rusak saat memasuki
aliran darah.
8. Harus diperhatikan kemungkinan adanya “efek lintas pertama (first pass effect)”dan
klirens yang merupakan proses metabolisme yang mengubah zat aktif menjadi bentuk
yang tidak aktif sehingga obat kurang sesuai bila diberikan per oral. (Shargel et all,
2005)

2.2 Anatomi dan Fisiologi Organ yang Terlibat


1. Mulut
Mulut merupakan organ pertama yang dilewati oleh obat sediaan per oral. Mulut merupakan
rongga lonjong pada permukaan saluran pencernaan. Bagian ini terdiri atas dua bagian luar
yang sempit, yaitu rongga mulut yang dibatasi sisi-sisinya dengan tulang maksilaris dan
semua gigi dan disebelah belakang bersambung dengan awal tekak atau faring. Atap mulut
dibentuk oleh palatum dan lidah terletak dilantainya dna terikat pada tulang hioid (Irianto,
2014).

Gambar 1. Rongga Mulut


Histo-patofisiologi
 Mukosa
Penebalan mukosa dari permukaan lidah bagian atas berbeda, hal ini dikarenakan ada papil-
papil sensoris pengecapan. Mukosa menempel pada “tight junction” dan terdiri atas

4
susunan epitel berlapis sel tanduk yang saling menempel san berdermis tebal, penyerapan
di daerah ini relatif nol.
Permukaan bagian dalam mulut lebih sempit, ditutupi oleh lapidan mukosan yang sangat
tipis, bening dan agak melekat karena adanya kapiler “tight junction” yang memudahkan
penyerapan. Prinsip ini digunakan untuk pemberian sublingual.
 Saliva (pengeluaran air liur)
Air liur yang dikeluarkan oleh berbagai kelenjar liur mempunyai komposisi yang beragam
sesuai asalnya. Jumlah air liur yang dikeluarkan berkisar 0,5-1 liter/hari. Keasaman (pH)
air liur akan mempengaruhi ionisasi zat aktif yang bersifat basa lemah atau agak netral
dengan pH 6,7-7. Air liur mengandung enzim ptialin yang merupakan suatu amilase
dengan pH aktivitas optimum 6,7. pH rata-rata pada mulut yaitu 6,7-7 dengan waktu
tinggal 2-10 detik, tergantung dari konsistensinya.
Sebagian besar bentuk sediaa yang diberikan per oral akan langsung ditelan. Waktu tinggal
oabt dalam mulut sangat singkat untuk memungkinkan terjadinya suatu penyerapan.
Adanya air liur berpengaruh pada penyerapan dan dapat memulai peruraian amilum.
Sedangkan pada bentuk sediaan yang dihisap, dikunyah, ang melebur atau melarut di
bawah lidah memerlukan kontak dengan air liur yang akan memudahkan proses pelepasan
zat aktif tertentu (Shargel et all, 2005).

2. Esofagus
Esofagus berukuran panjang 25 cm dan diameternya sekitar 3 cm. Esofagus dimulai dari
belakang rongga mulut sampai lambung serta dibatasi oleh cardia lambung dan sphincter
pharingo-oesophagica yang membuka selama 0,5-1 detik saat
penelanan. Cardia merupakan saluran sempit yang relaks setelah penelanan. Dinding
bagian dalam esofagus dilapisi oleh mukosa tipis tanpa kelenjar dengan epitel malfigi. Obat
yang ditelan berjalan sepanjang esofagus dan didorong oleh gelombang peristaltic lapisan
otot. Gaya gravitasi berperan sekunder sehingga tidak mempengaruhi pemberian obat pada
penderita yang berbaring.
Perpindahan obat (missal tablet) dari sphincter pharingo-
oesophagica ke cardia memerlukan waktu sekitar 10 detik, tetapi dengan bantuan air dapat

5
dipersingkat menjadi 2 detik. Dengan demikian waktu tersebut sangat singkat sehingga
praktis tidak ada penyerapan (Shargel et all, 2005)

Gambar 2. Esofagus

3. Lambung
A. Anatomi
Lambung merupakan sebuah kantong yang panjangnya sekitar 25 cm dan 10 cm saat dalam
keadaan kosong, tebalnya 3 mm yang terdiri atas lapisan otot, volume 1-1,5 liter pada
dewasa normal. Lambung diakhiri dengan pylorusyang merupakan pintu pembuka
lewatnya isi lambung ke dalam organ berikutnya yaitu duodenum.
Pada bagian atas lambung disebut fundus. Sejumlah udara tinggal di lambung pada bagian
tersebut dan membentuk kantong udara. Pada saat lambung dalam keadaan kosong,
dindingnya akan saling meleka, meninggalkan kantng udara pada bagian atas. Bila
lambung terisi, penekanan akan berkurang dan volume lambung bertambah, membentuk
huruf J (Shargel et all, 2005).

Gambar 3. Lambung

6
B. Histo-fisiologi
Mukosa kelenjar merupakan lapisan paling penting pada penyerapan obat. Dinding
tersebut menyerupai “sarang lebah” karena adanya lipatan-lipatan. Mukosa terdiri dari
empat jenis sel penghasill getah yaitu sel utama (chief cell), sel parietal (oxyntic),
permukaan mukosa yang dilapisi sel-sel epitel dan sel mukosa bening.
Derajat keasaman cairan lambung tergantung pada perbandingan relatif getah pada
kelenjar pylorus dan kelenjarfundus. Pengeluaran cairan lambung terjadi karena tiga
proses yaitu proses mekanik (kontak makanan dengan dinding lambung) proses hormonal
(sekresi lambung) dan persarafan (Shargel et all, 2005).
Getah lambung terdiri atas:
1. Enzim
Ada pepsin yang dapat menyebabkan kerusakan pada cangkang kapsul, katepsin,
kimosin/rennin dan lipase.
2. Asam klorida
Getah ini dikeluarkan oleh sel parietal. Keasaman cairan lambung akan mempengaruhi
proses pelarutan dan ionisasi zat aktif tertentu, sehingga menjadi faktor mengendalikan
penyerapan bahan obat. Keasaman ini menyebabkan pengendapan zat aktif yang
bersifat asam lemah serta hidrolisa senyawa tertentu. Kedua kemungkinan tersebut
tentu saja memperjelek ketersediaanhayati.
3. Mukus
Mukus merupakan senyawa yang sangat kental, dikeluarkan bersamaan dengan
bikarbonat oleh sel-sel mukosa tertentu. Mukus berperan melindungi mukosa lambung
terhadap cerna-diri oleh pepsin. Semua rangsangan mukosa mekanik pada mukosa
akan meningkatkan pembentukan mukus.
4. Air
Air bergerak secara pasif dari sel menuju lumen lambung dan akan diserap kembali di
usus halus.
5. Faktor instrinsik
Faktor instrinsik disebaban adanya mukoprotein termolabil yang dihasilkan oleh sel
utama.
6. Faktor bifidogen

7
Faktor bifidogen merupakan senyawa spesifik golongan darah, asam polisakarida
(heparin) dan lain-lain (Shargel et all, 2005).

Ketersediaanhayati pada bentuk sediaan yang diberikan per oral berbeda tergantung pada
cara penelanan yaitu dengan atau tanpa air (peningkatan laju pelarutan, penurunan derajat
keasaman karena pengenceran, proses transit dipercepat bila subyek berpuasa) dan sebelum
atau setelah makan, awal atau akhir makan ( keasaman dan proteolitik akan meningkat pada
akhir makan). Pelarutan di lambung selama waktu makan sulit dikendalikan dan adanya
resiko peresapan zat aktif oleh makanan maka lebih disukai pemberian obat di antara waktu
makan atau sebelumnya .

Sediaan obat yang diserap tercampur dengan masa makanan tanpa benar-benar teraduk bila
berada dalam daerahpylorus. Pelepasan, pelarutan dan penyerapan lambung terjadi bila
obat digunakan bersamaan atau setelah makan. Sebaliknya saat puasa pylorus akan terbuka
atau terbuka sedikit dan pembukaaan lambung pertama meyebabkan obat segera memasuki
duodenum dan pylorus akan menutup kembali.

Waktu tinggal dalam lambung dipengaruhi oleh volume, konsistensi, keasaman (pH),
kandungan bahan (berlemak, asam lemah, gula, daging dan lain-lain), hipertonisitas, emosi
dan posisi tidur pada sisi kanan. Pengosongan lambung dipercepat oleh kebasaan, gas
CO2 yang mempercepat kontraksi pengosongan lambung, posisi tidur pasa sisi kiri dna
keadaan berjalan (Shargel et all, 2005).

C. Usus Halus

Gambar 4. Usus Halus

8
A. Anatomi
Usus halus merupakan tabung yang berdiameter 2-3 cm tergantung dari letaknya dan
panjang keseluruhan antar 5-9 cm. panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan
otot, yang melingkari peritoneum. Usus halus merupakan lanjutan dari lambung yang
terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum (usus dua belas jari), jejenum ( usus kosong) dan
ileum (usus penyerapan).
Duodenum terdiri atas beberapa simpangan. Bagian pertama adalah juxtapylorus, sangat
lebar dan terdiri atas beberapa bulbus duodenalis. Keduan adalah bagian “mulut” yang
lebih lebar dan disebut papilla vateri, disini ductus pancreaticus (Wirsungi) keluar dari
pankreas membawa getah pankreas. Ketiga adalah ductus choledochus yang merupakan
penggabungan saluran empedudari hati dan saluran kandung empedu dan menyalurkan
emedu ke dalam saluran cerna.
Panjang jejenum dan ileum sekitar 6 meter, terbentuk atas 14-15 lipatan-lipatan seperti
telinga. Bila tidak berisi berbentuk pipih dan berbentuk tabung bila dilewati sebongkah
makanan, fungsi utama usus halus adalah fungsi penyerapan dan fungsi pencenaan oleh
pengeluaran enzim (Shargel et all, 2005).
B. Fisiologi
Fungsi penggetahan terjadi pada berbagai sumber pankreas, kantong empedu dan usus.
Getah pankreas merupakan cairan agak kental (karena mengandung musin), pH alkalis (8-
9) karena mengandung bikarbonat yang pekat dan bersifat isotonic terhadap plasma.
Sedangkan getah empedu adalah cairan kuning berlendir, kental, dengan pH 6 dalam
kantong empedu dan pH 7-7,5 saat memasuki duodenum. Getah empedu mengandung
musin dan garam empedu yang merupakan penyusun penting yang berperan pada proses
penyerapan. Kemudian pada getah usus mengandung khlor, bikarbonat, musin, tetapi ada
juga enzim ebterokinase yang aktif.
Getah pencernaan yang masuk ke dalam usus halus pada umumnya hersifat basa dengan
pH sekitar 8. Kebasaan ini menetralkan asam kimus yang masuk dari saluran cerna
kemudian saat memasuki jejenum, mulai dinetralkan hingga dibagian akhir ileum pH nya
menjadi agak basa (7,5-8). Adanya perbedaan pH di dalam usus merupakan landasan
pertimbangan pemilihan pH media pelarutan untuk uji sediaan oral yang kering dengan
aksi terkendali, diperlambat dan terutama untuk sediaan lepas lambat yang tahan asam.

9
Pemberian obat saat makan akan menyebabkan perjalanan obat yang lambat dan teratur ke
tempat penyerapan, jadi memungkinkan pengosongan usus terjadi lebih lengkap karena
adanya efek pengenceran oleh makanan (Shargel et all, 2005).

D. Usus Besar (Kolon)

Gambar 5. Usus Besar


A. Anatomi
Usus besar memiliki panjang 1,4-1,8 meter dengan diameternya kea rah distal yang
semakin membesar. Ileum dipisahkan dari usus besar oleh valvula ileocaeca atau valvula
bauchin, serabut-serabut libatan otot menonjol ke dalam lubang saluran yang berfungsi
mencegah aliran dari usus bedar menjuju usus halus. Usus besar sendiri dibedakan atas :
1. Usus besar menaik (colon ascendens) yang berukuran 15 cm dan berdiameter 6
cm. dimulai dari caecum, segmen yang membesar dengan vertikel berup appendix/
usus buntu.
2. Usus besar melintang (colon transversum) megambang dan berukuran panjang sekita
50 cm dan berdiameter 4-5 cm.
3. Usus besar menurun (colon descendens), melekat dan panjangnya 12 cm dengan
diameter 3 cm.
4. Colon ileocaecal, dilanjutkan dengan colon pelvinal atau sigmoid yang muaranya lebih
besar.
Usus besar diakhiri oleh rektum dan usus besar memiliki bentuk yang berlekuk (haustra),
tak beraturan dan dipenuhi oleh sabuk otot longitudinal (tinea coli) (Shargel et all, 2005).
B. Histologi
Usus besar mempunyai empat lapisan yang terdisi atas banyak lapisan serabut longitudinal
atau sirkuler dan mukosa yang kaya akan elemen limfoid. Pada usus terdapat sel-sel pipih

10
bergaris, sejumlah sel goblet yang menghasilkan mukus untuk melicinkan lewatnya bahan-
bahan feces dan glandula lieberkuhn (Shargel et all, 2005).
C. Fisiologi
Bila usus halus merupakan organ penyerapan maka usus besar merupakan organ
penyerapan air, penampungan dan pengeluaran bahan-bahan feses. Didalam usus besar
terdapat aktivitas penggetahan yang lemah.
Pada bagian akhir ileum, pH berkisar antara 7,5-8, tetapi di caecum hidup flora mikroba
yang dapat merusak lapisan selulosa tertentu untuk mendapatkan zat tepung.pada bagian
pertama usus besra terjadi penurunan pH yang diikuti dengan pembasaan yang diiringi
dengan berkembangnya flora pembusuk yang menghasilan amoniak dan basa amina,
adanya flora tersebut didukung oleh pengeluaran protida dari mukosa dengan reaksi
keasaman yang ditimbulkan oleh flora fermentasi. Keseimbangan flora tersebut akan
terganggu dengan bahan obat seperti antibiotik dan mengeluarkan senyawa yang
mempengaruhi aktivitas obat (Shargel et all, 2005).

2.3 Biofarmasetika Sediaan Per Oral


Fase biofarmasetika dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu L.D.A yang berarti Liberasi
(pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi (penyerapan. Seperti halnya dengan sistem
A.D.M.E pada nasib zat aktif in vivo, maka ketiga tahap L.D.A berbeda pada setiap jalur.

1. Liberasi (Pelepasan)
Apabila seorang penderita menerima obat berarti ia mendapatkan zat aktif yang diformula
dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat pada mulanya merupakan depot zat
aktif yang jika mencapai tempat penyerapan akan segera diserap (Drug delivery system dalam
istilah anglo-sakson). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan
tergantung pada jalur pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan
lengkap. Pelepasan zat aktif dipengruhi oleh keadaaan lingkungan biologis dan mekanis pada
tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltic usus, dan hal ini penting untuk bentuk
sediaan yang keras atau kenyal (tablet, suppositoria dll).

11
Sebagaimana diketahui, tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahap
pemecahan dan peluruhan misalnya untuk sebuah tablet. Dari tahap pertama ini diperoleh
suatu disperse halus padatan zat aktif dalam cairan di tempat obat masuk ke dalam tubuh.

2. Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif
yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan disperse molekuler dalam air. Tahap kedua
ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga diterapkan pada
obat-obtan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang terjadi adalah
proses ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ dapat timul
endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan
tersebut selanjutnya akan melarut lagi.
Laju disolusi obat mungkin tergantung posisi, karena variasi dalam kedekatannya dengan
kelenjar ludah utama dan kadar air saliva yang diproduksi. Rute sublingual tidak cocok untuk
produk yang mempunyai profil konsentrasi plasma-waktu diperpanjang, absorpsi selesai cepat
karena epitel di daerah ini sangat tipis (sekitar 100 μm). Absorpsi cepat yang menghasilkan
konsentrasi plasma puncak tinggi dapat diatasi dengan menghantarkan obat ke mukosa bukal
lebih tebal yang dapat memperlambat absorpsi. Aktivitas metabolik dari mukosa oral dan
populasi bakteri dapat mempengaruhi atau mendegradasi obat.

3. Absorpsi (Penyerapan)
Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetika dan awal fase farmakokinetik, jadi tahap
ini benar-benar merupakan masuknya zat aktif dalam tubuh yang aturan-aturannya ditengarai
oleh pemahaman ketersediaan hayati (bioavabilitas).
Penyerapan zat aktif tergantung pada bagian parameter, terutama sifat fisika-kimia molekul
obat. Absorpsi ini tergantung juga pada tahap sebelumnya yairu saat zat aktifnya berada dalam
fase biofarmasetika.

12
Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan
dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat.
Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses penyerapan zat
aktif, baik dalam hal jumlah yang diserap maupun laju penyerapannya (Ansel, 1989).

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biofarmasetika


1. Faktor Fisiologi
A. Permukaan Penyerap
Lambung tidak memiliki permukaan penyerap yang berarti dibandingkan dengan usus
halus. Lambung sebagai organ penggetahan. Namun mukosa lambung dapat menyerap
obat yang diberikan per oral, dan tergantung pada keadaan, lama kontak menentukan
terjadinya penyerapan pasif dari zat aktif lipofil dan bentuk tak terionkan pada pH lambung
yang asam.
Pada usus halus penyerapan pasif dapat terjadi secara kuat pada daerah tertentu dengan
adanya peranan dari pH yang akan mengionisasi zat aktif atau menyebabkan pengendapan,
sehingga penyerapan hanya terjadi pada daerah tertentu.
B. Umur
Saluran cerna pada baya yang baru lahir berdifat dangat permeable dibandingkan bayi yang
berumur beberapa bulan. Sehingga terjadinya “over dosis” disebabkan adanya penyerapan
yang tak terkontrol.
Pada bayi dan anak-anak, sebagian sistem enzimnya belum berfungsi sempurna sehingga
dapat terjadi “over dosis” zat aktif yang disebabkan tidak sempurnanya peroses
detoksifikasi metabolik, atau karena penyerapan yang tidak sempurna karena gangguan
saluran cerna sebagai akibat adanya bahan tambahan tertentu yang tidak dapat diterima.
Oleh karena itu, pengaturan dosis pada bayi harus menggunakan fungsi berat badan.
Pada penderita tua, terjadi penurunan penyerapan dan kecenderungan menurunnya asam
lambung sehingga mengurangi penerapan asam lemah. Fisisologi pada penderita yang
sudah tua sangat dipengaruhi oleh faktor individu. Secara sederhana pemberian obat pada
keadaan tersebut harus dilaksanakan dengan sangat hati-hati.
C. Sifat Membran Biologik

13
Sifat membrane biologik sel penyerap pada mukosa pencernaan akan mempengaruhi
proses penyerapan. Sifat utama lipida memungkinkan terjadinya difusi pasif zat aktif
dengan sifat lipofil tertentu dari bentuk yang tak terionkan di lambung dan di usus besar.
D. Laju Pelewatan dan Waktu Tinggal dalam Lambung
Suatu zat aktif yang sukar diserap di lambung harusnya tidak tinggal lama di lambung.
Oleh sebab itu, waktu pengososngan lambung sebaiknya diusahakan terjadi lebih cepat.
Sebaliknya, bila transit di usus berjalan lambat, hal tersebut menguntungkan bagi zat aktif
yang hanya diserap pada bagian tertentu saluran cerna, terutama dalam hal transport aktif.
Bila obat dalam keadaan terlarut melewati daerah penyerapan terlalu cepat maka
penyerapannya menjadi sangat sedikit.
Kecepatan transit di lambung tidak dapat dikontrol selama waktu makan dan gumpalan
makanan meninggalkan lambung bertahap dalam waktu yang lama ataupun singkat.
Transit lambung sangat berperan pada aktivitas awal sediaan yang tahan asam. Berkaitan
dengan bentuk sediaan dosis tunggal, tablet salut atau kapsul gelatin yang tahan asam,
maka aktivitasnya baru akan dimulai bila sediaan telah mencapai usus. Sebaliknya untuk
bentuk sediaan yang pecah di lambung terdiri dari butiran-butiran atau partikel bersalut
yang tahan asam lambung, mempunyai efek lebih cepat dan nyata. Butiran-butiran tersebut
yang bercampur dengan isi lambung secara teratur akan melewati pylorus yang membuka
setelah sediaan pecah. Adanya makanan mengaktifkan proses pelewatan di usus halus.
E. pH dan Perubahan pH karena Formulasi
Derajat keasaman cairan saluran cerna berbatas 1-8, sehingga memungkinkan terjadinya
pelarutan sebagian besar zat aktif pada daerah tertentu di saluran cerna. Jadi pH merupakan
faktor yang mempengaruhi seluruh proses penyerapan. Menurut teori “partisi pH”, hanya
bentuk zat aktif tak terionkan yang mengalami penyerapan pasif, dan ditinjau dari pH
lambung dan usus maka hanya zat aktif yang bersifat asam lemah yang dapat diserap di
lambung dan bersifat basa lemah diserap di usus. Perbedaan pH disepanjang saluran cerna
memungkinkan berkembangnya pembuatan seduaan yang tahan cairan lambung atau
sediaan dengan aksi terkendali. Penyalut selulosa atau amilum asetoftalat mempunyai sifat
polielektrolit dan akan melarut sesuai dengan fungsi pH.
Hampir tidak memungkinkan membuat formula yang sesuai dengan keragaman pH seluruh
usus, sebaliknya hal tersebut dapat dilakukan pada cairan lambung dengan tujuan untuk

14
meningkatkan ketersediaanhayati zat aktif yang tak larut pada pH lambung (asam salisilat
menjadi lebih larut), mengurangi iritasi bentuk asam dari zat aktif (salisilat) dan mencegah
peruraian yang disebabkan oleh keasaman cairan lambung.
Di sekitar partikel zat aktif, pH dapat dinaikkan dengan ion basa berasal dari bahan yang
terlarut setempat. Ion dan molekul yang telarut di sekitar partikel di daerah yang pH nya
tinggi akan menembus lingkungan sekitar partikel dan pada jarak tertentu dari partikel, bila
pH kembali menjadi asam maka zat aktif yang terlarut akan mengendap dalam partikel
yang sangat halus dan akan lebih mudah larut dalam cairan penyerapan.
F. Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan pada cairan usus menurun karena adanya garam
empedu.pengurangan tegangan permukaan akan memudahkan pembasahan dan pelarutan
partikel yang semula belum larut. Senyawa-senyawa “choleretic” merangsang pengeluaran
cairan empedu, sehingga akan meningkatkan pelarutan dan mempermudah pengelmulsian
dan penyerapan bahan lemak dan vitamin yang larut lemak.
G. Kekentalan
Kekentalan dapat menghambat pembasahan partikel dan menekan laju pelarutan.
Kekentalan juga menghambat proses difusi molekul zat aktif saat proses pelarutan di
mukosa penyerap. Bahkan kekentalan juga menghambat proses transit dan meningkatkan
waktu tinggal dalam lambung. Bahan pengental yang digunakan dalam formulasi akan
meningkatkan viskositas cairan cerna (Shargel et all, 2005).
H. Isi Saluran Cerna yang Dapat Mengubah Aksi Zat Aktif
Di dalam saluran cerna terdapat kandungan ang dapat mempengaruhi aksi zat aktif, yaitu:
1. Musin
Senyawa ini melapisi saluran cerna yang dapat membentuk kompleks dengan zat aktif
dan menghambat proses penyerapan. Hal tersebut dapat terjadi misalnya pada penurun
tekanan golongan ammonium kuartener yang bentuk kompleksnya sangat kuat.
Pemberian senyawa ammonium kuartener yang inert secara farmakologik, data
memperbaiki penyerapan zat aktif ammonium kuatener dengan cara inhibisi kompetitif
pada tempat aksi musin.
2. Garam Empedu

15
Konsentrasi garam empedu, bahan penurun tegangan permukaan fisiologik berada di
atas konsentrasi miseler kritik (CMC). Jadi dapat terjadi interaksi antara garam empedu
dan zat-zat aktif dengan miselinisasi yang dapat melarutkan zat aktif tertentu yang tidak
larut dalam air dan memperbaiki penyerapannya.
3. Ion-ion Tertentu : Ca+, Mg, Fe
Molekul-molekul tertentu dengan ion-ion bervalensi dua atau tiga, seperti kalsium atau
magnesium akan membentuk kelat yang tak terserap. Contohnya tetrasiklin. Interaksi
tersebut penting pada formulasi sehingga harus dihindari penambahan garam kalsium
atau magnesium.
4. Flora Usus
Flora usus mengeluarkan enzim, misalnya penisilinase yang mengaktifkan zat aktif
tertentu.
5. Enzim
Enzim dapat merusak zat aktif tertentu, misalnya zat aktif peptide akan dirusak oleh
enzimproteolitik (insulin, ositosin). Kadang enzim dapat merangsang pembentukan
metabolit aktif yang semula tidak aktif misalnya esterase menghidrolisa kloramfeikol
palmitat menjadi kloramfenikol aktif. Dalam hal tertentu, enzim menyebabkan
peningkatan pelepasan obat dan mempengaruhi sifat sediaan yang tahan asam atau
sediaan lepas lambat, lipase usus akan menghidrolisa penyalut lemak tahan asam
(Shargel et all, 2005).

2. Faktor Patologi
Faktor patologi berpengaruh pada 3 hal utama, yaitu pengetahuan, pergerakan dan
penyerapan.
1. Gangguan Fungsi Penggetahan
Psikis merupakan faktor yang dapat meningkatkan atau menghambat proses pengeluaran
getah. Pada orang pemarah terjadi peningkatan pengeluaran getah dan pada orang
depresif akan terjadi hambatan pengeluaran getah. Pengeluaran getah lambung
meningkat pada keadaan tukak duodenum yang mana kelebihan asam dapat merusak
aktivitas enzim pankreatik. Sedangkan pengeluaran getah lambung yang berkurang pada
keadaan pH yang meningkat akibat tukak lambung, gastritis kronis dan diabetes.

16
Tidak cukupnya pengeluaran getah empedu disebabkan pembuntuan (obstruksi) saluran
empedu yang akan menghambat penyerapan lemak dan vitamin yang larut lemak.
2. Gangguan Transit
Waktu tinggal dalam lambung umumnya meningkat pada keadaan penyempitan pylorus,
tukak lambung, kelainan pembuluh darah tertentu, sprue dan myxcodemia (salah satu
bentuk peradangan kelenjar). Namun waktu tinggal lambung akan berkurang pada
keadaan duodenal, kecemasan dan menigkatnya aktivitas.
3. Gangguan Penyerapan
Gangguan penyerapan dapat terjadi apabila adanya pengurangan luas permukaan
penyerapan yang dapat diakibatkan adanya pembedahan seperti gastrectomie,
pemotongan usus, pemotongan pada bagian distal dan lainnya. Kemudian karena
adanya anomaly atau cacat pada mukosa permukaan baik karena bawaan atau karena
perolehan.
Selanjutnya gangguan penyerapan dapat terjadi karena adanya perubahan media usus
yang diakibatkan penambahan senyawa anti mikroba atau anti parasit (memutuskan
ikatan konjugasi garam empedu sehingga terjadi kesalahan penyerapan lemak dan
merusak zat aktif sebelum diserap) dan adanya bahan obat antibiotika berspektrum luas
yan dapat mengganggu kesembangan flora usus (misalnya neomisin dapat merintangi
kerja lipase pankreatik dan garam empedu).
Kemudian tidak adanya molekul pembawa berpengaruh pada transport spesifik dan
hambatan pada pembuluh balik darah atau pembuluh getah bening (tumor) juga
mempengaruhi terjadinya penyerapan (Shargel et all, 2005).

2.5. LDA Sediaan Oral


Fase biofarmasetika dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu L.D.A yang berarti Liberasi
(pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi (penyerapan. Seperti halnya dengan sistem
A.D.M.E pada nasib zat aktif in vivo, maka ketiga tahap L.D.A berbeda pada setiap jalur.

a. Liberasi (Pelepasan)

Apabila seorang penderita menerima obat berarti ia mendapatkan zat aktif yang diformula dalam
bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat pada mulanya merupakan depot zat aktif yang jika
mencapai tempat penyerapan akan segera diserap (Drug delivery system dalam istilah anglo-
sakson). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan tergantung pada jalur

17
pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif
dipengruhi oleh keadaaan lingkungan biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat,
misalnya gerak peristaltic usus, dan hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau kenyal
(tablet, suppositoria dll).

Sebagaimana diketahui, tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pemecahan
dan peluruhan misalnya untuk sebuah tablet. Dari tahap pertama ini diperoleh suatu disperse halus
padatan zat aktif dalam cairan di tempat obat masuk ke dalam tubuh.

b. Disolusi (Pelarutan)

Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif yang
terjadi secara progresif, yaitu pembentukan disperse molekuler dalam air. Tahap kedua ini
merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga diterapkan pada obat-
obtan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang terjadi adalah proses
ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ dapat timul endapan zat
aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan tersebut
selanjutnya akan melarut lagi.

Laju disolusi obat mungkin tergantung posisi, karena variasi dalam kedekatannya dengan kelenjar
ludah utama dan kadar air saliva yang diproduksi. Rute sublingual tidak cocok untuk produk yang
mempunyai profil konsentrasi plasma-waktu diperpanjang, absorpsi selesai cepat karena epitel di
daerah ini sangat tipis (sekitar 100 μm). Absorpsi cepat yang menghasilkan konsentrasi plasma
puncak tinggi dapat diatasi dengan menghantarkan obat ke mukosa bukal lebih tebal yang dapat
memperlambat absorpsi. Aktivitas metabolik dari mukosa oral dan populasi bakteri dapat
mempengaruhi atau mendegradasi obat.

c. Absorpsi (Penyerapan)

Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetika dan awal fase farmakokinetik, jadi tahap

ini benar-benar merupakan masuknya zat aktif dalam tubuh yang aturan-aturannya ditengarai oleh
pemahaman ketersediaan hayati (bioavabilitas).

Penyerapan zat aktif tergantung pada bagian parameter, terutama sifat fisika-kimia molekul obat.
Absorpsi ini tergantung juga pada tahap sebelumnya yaitu saat zat aktifnya berada dalam fase
biofarmasetika.

Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari
sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat.

Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses penyerapan zat
aktif, baik dalam hal jumlah yang diserap maupun laju penyerapannya (Ansel, 1989).

18
2.6.Sediaan Pelepasan Terkendali
 Sediaan lepas terkendali
Sediaan lepas terkendali (controlled release) adalah sediaan berupa tablet atau kapsul yang
bersalut atau tidak bersalut yang mengandung bahan tambahan tertentu atau disediakan melalui
proses tetentu dengan cara terpisah atau bersamaan yang pelepasan terkendali bertujuan
untukmengendalikan konsentrasi pelepasan bahan obat untuk memperpanjang secara teratur
dan mengefisienkan efek obat.
Secara umum, tujuan dari dosis lepas terkendali ini adalah untuk mempertahankan tingkat
terapeutik darah atau jaringan obat untuk periode yang diperpanjang, ini biasanya dilakukan
dengan mencoba untuk mendapatkan orde nol rilis atau pelepasan dari bentuk sediaan, orde
nol rilis merupakan pelepasan obat dari bentuk sediaan.
Sediaan Pelepasan Terkendali dirancang untuk melepaskan zat aktif secara lambat
dibandingkan dengan sediaan konvensional (Mandhar, dan Joshi, 2015).
Berikut beberapa modifikasi pelepasan sistem penyampaian obat, yaitu (Kakar, et al.,2014) :
a. Delayed release (DR)
Delayed-release atau pelepasan tertunda menunjukkan bahwa obat ini tidak dibebaskan
segera tetapi dilepaskan saat tertentu. Delayed release adalah pelepasan yang berulang
dari satu atau lebih dosis berselang obat digabungakan ke dalam bentuk dosis tunggal.
Contoh Delayed-release termasuk repeat action tablet dan kapsul, dan tablet salut enterik
dimana waktu pelepasan dicapai melalui lapisan penghalang. Delayed-release
dimaksudkan untuk menahan cairan lambung tetapi hancur dalam cairan usus.
b. Repeat Action (RA)

19
Repeat action menunjukkan bahwa dosis individual dilepaskan segera setelah pemberian
dan dosis kedua atau ketiga dilepaskan pada interval berselang.
c. Extended Release (ER)
Extended release mengacu pada pelepasan lambat dari obat sehingga konsentrasi
plasma dipertahankan pada tingkat terapi untuk jangka waktu tertentu, biasanya 8 dan 12
jam.
d. Prolonged Release (PR)
Prolonged release menunjukkan bahwa obat disiapkan untuk penyerapan selama
periode yang lebih lama dari bentuk sediaan konvensional. Hal ini dirancang untuk
melepaskan obat secara perlahan dan untuk menyediakan kelangsungan penyediaan obat
selama periode yang diperpanjang. Sebuah sistem pelepasan dikendalikan khas
dirancang untuk memberikan tingkat obat yang konstan atau hampir konstan dalam
plasma dengan mengurangi +uktuasi melalui lepas lambat selama jangka waktu tertentu.
e. Controlled Release (CR)
Controlled release melepaskan obat konstan sehingga memberikan konsentrasi obat
dalam plasma tetap setiap waktu. Sistem pemberian dari obat disampaikan dengan
laju yang telah ditentukan untuk jangka panjang.•Istilah controlled release, prolonged
release, sustained atau slow release dan long-acting telah digunakan secara sinonim
dengan extended release (Bhowmik, et al., 2012).
f. Sustained Release (SR)
Sustained release menunjukkan pelepasan terhambat, berkepanjangan atau pelepasan
lambat untuk jangka waktu lama. Sistem pelepasan berkelanjutan hanya
memperpanjang terapi obat untuk jangka waktu lama (Bhowmik, et al., 2012).
g. Pulsatile release
Pulsatile release melibatkan pelepasan sejumlah terbatas obat pada interval waktu yang
berbeda yang diprogram ke dalam produk obat (Singhvi dan Singh, 2011).
h. Timed release
Timed release digunakan untuk mendapatkan pelepasan dengan jeda waktu sekitar 4-5
jam. Sediaan dilapisi selulosa asetat ftalat untuk memberikan perlindungan asam
lambung. Lapisan menyebabkan keterlambatan pelepasan obat, menunda pelepasan

20
obat di usus halus. Waktu pelepasan obat dikendalikan sehingga dapat terhambat
hingga 5 jam menargetkan obat untuk usus besar.

 Keuntungan dan kerugian sediaan lepas terkendali


Produk pelepasan terkendali menawarkan beberapa keuntungan dan kerugian , antara lain:
A. Keuntungan
a. Kelebihan sediaan tersebut yang paling nyata adalah kesederhanaan pengurangan dosis
dan pengurangan frekwensi pemakaian obat sehingga memudahkan penderita dan
mengurangi resiko kesalahan dan kelupaan.
b. Pengobatan berkesinambungan, sehingga dengan demikian dapat dihindari pemakaian
pada malam hari.
c. Pemasukan obat ke dalam tubuh terjadi secara tetap dan perlahan sehingga dapat
dihindari terjadinya “puncak dan lembah” plasmatik yang dapat menggagalkan terapi.
d. Pengurangan atau penekanan efek samping yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan
zat aktif pada dosis tinggi yang menyebabkan puncak plasmatik yang tinggi dan diikuti
“lembah” plasmatik dengan efek terapetik yang tidak memadai.
e. Efektifitas tinggi karena kadar efektif dalam darah bertahan lama, terutama untuk zat
aktif dengan t1/2 biologis singkat (kurang dari 6 jam).

B. Kerugian
a. Resiko terjadinya penumpukan bila laju perniadaan lambat dan obat harus selalu bekerja
selama 24 jam.
b. Kesulitan pengeluaraan obat dengan cepat bila terjadi toksisitas gawat atau alergi.
c. Dapatnya pengulangan dan keteraturan efek farmakologi tergantung pada laju
pengosongan lambung.
d. Sering terjadi perubahan skema pelepasan zat aktif bila obat tidak seluruhnya ditelan
melainkan dipecah, digerus atau dikunyah dengan resiko terjadi over dosis, pelepasan
tidak pada tempatnya dan sangat berbahaya terutama bila obat sangat aktif dan selanjutnya
terjadi keadaan kurang dosis.

21
e. Meningkatkan kemungkinan (“first pass effect”

 Mekanisme Pelepasan Terkendali


Berdasarkan cara pelepasan zat aktif, maka bentuk sediaan dengan pelepasan terkendali di
bedakan atas:
a. Pelepasan bertahap atau tidak berkesinambungan, zat aktif dilepaskan dari sediaan atau
terlarut sebagian dalam rentang waktu tertentu.
Bentuk sediaan tersebut pada umumnya dibuat dengan penyalutan berbagai bentuk sediaan
yang berfungsi sebagai penyangga zat aktif.

Bentuk sediaan penyangga yang paling sederhana adalah tablet dengan aksi diulang. Bentuk
tersebut terdiri dari sebuah inti yang disalut dengan zat yang tahan cairan lambung, salut
enterik , jadi meliputi penyalutan dan pengempaan ganda sediaan tablet yang lapisan luarnya
mengandung zat aktif dengan dosis yang sama. Dalam saluran cerna, lapisan terluar tersebut
akan segera pecah dan melepaskan zat aktif dengan dosis awal yang segera memberikan efek
terapetik . Setelah waktu tertentu terjadi pelarutan penyalut inti di dalam cairan usus halus ,
selanjutnya inti pecah dan terjadi pelepasan obat dalam dosis baru.

b. Pelepasan berkesinambungan, diperoleh dari sediaan dengan pelarutan, atau pelepasan zat
aktif yang terjadi secara teratur, tidak terputus sejak awal hingga dosis berakhir,ini
merupakan sediaan dengan pelepasan ideal.

1. Difusi secara dialisis melintasi membran permeabel (penyalutan ”sawar”) Pelepasan


berkesinanmbungan dapat dibuat dalam bentuk tablet, dan terutama mikrogranul dengan
penyalutan yang disebut sawar, terdiri dari selaput tipis bahan penyalut yang tidak larut
dalam daerah fisiologi tetapi berpengaruh pada permeabilitas membran. selaput tersebut
menyebabkan difusi zat zat aktif secara bertahap menuju cairan luar dengan proses
dialisis.Jadi pelepasan zat aktif tergantung dari pada permeabilitas membran. Difusi
melintasi membran terjadi secara berurutan dengan cara hidralasi atau dengan melintasi
pori. Yang terakhir ini terjadi karena mengembangnya bahan penyalut dalam cairan cerna
atau akibat pelarutan senyawa larut-air yang terdapat dalam film.

2. Pencucian dan penembusan dari matriks inert yang tidak larut

22
Setelah ditelan, tablet mencapai lambung dan segera melepaskan sejumlah senyawa yang
berada di pori pada permukaan tablet sebagai dosis awal dan memberikan efek yang cepat.
Kemudian cairan cerna akan menembus pori dan melarutkan zat aktif secara progresif dan
selanjutnya berdifusi melintasi rongga-rongga menuju bagian luar.
Penambahan senyawa hidrofil ke dalam campuran yang dikempa akan menyebabkan
penarikan air ke dalam pori-pori dan mendorong terjadinya pelepasan.

3. Difusi Pada Matriks Hidrofil


Matriks hidrofil diperoleh dari pengempaan campuran zat aktif yang relatif larut dengan
polimer atau gom hidrofil tak tercerna, bahan pengental yang akan terbasahi dan
mengembang bila kontak dengan cairan cerna. Selanjutnaya membentuk membran jeli
yang akan ditembus oleh zat aktif secara bertahap.

4. Pengikisan dan difusi matriks hidrofob


Setelah tablet ditelan skualet matriks rusak sedikit demi sedikit karena pengikisan perlahan
dan dilanjutkan dengan hidrolisis enzimatik bahan penyusun berlemak.
Zat aktif akan dilepaskan dengan cara berkesinambungan berdasarkan mekanisme rangkap
sebagai berikut :
1. Pengikisan terus menerus permukaan tablet bersamaan dengan pelarutan zat aktif.
2. Penembusan zat aktif menuju cairan luar.
 Beberapa Karateristik Obat Lepas Terkendali
Berikut beberapa karakteristik yang harus diperhatikan untuk pembuatan obat lepas terkendali
yang baik:
1. Dosis obat
Dosis total beberapa gram dapat diberikan secara oral sebagai dosis tunggal dan ganda untuk
memperoleh dan menjaga kadar darah obat. Untuk obat dengan waktu paruh kurang dari 2
jam, akan membutuhkan bahan aktif dosis besar, jadi sulit terlealisir, karena berbagai
alasan.
2. Protein mengikat
Obat mengikat protein plasma dengan pengaruh bersamaan pada durasi kerja obat. Karena
protein darah untuk sebagian besar beredar dan tidak dihilangkan, obat mengikat Protein

23
dapat berfungsi sebagai depot untuk obat menghasilkan profil pelepasan yang
berkepanjangan, terutama jika tingkat tinggi mengikat obat terjadi. Mengikat luas untuk
protein plasma akan dibuktikan dengan waktu paruh panjang eliminasi untuk obat dan obat-
obatan seperti umumnya yang paling membutuhkan bentuk sediaan pelepasan
berkelanjutan. Pada umumnya obat dengan waktu paruh 2-4 jam merupakan calon obat
yang bagus untuk obat lepas terkendali. Waktu paruh kurang dari 2 jam, dibutuhkan dosis
obat yang besar dan penurunan kecepatan absorpsi dari saluran cerna halus dan kolon dapat
mengurangi kecepatan input obat sampai berada dibawah kadar darah yang cukup.
3. Molekuler ukuran dan difusivitas
Kemampuan obat untuk berdifusi melalui membran disebut nya difusivitas & koefisien
difusi adalah fungsi dari ukuran molekul (atau berat molekul). Obat berat molekul tinggi
atau obat-obatan polimer harus diharapkan untuk menampilkan kinetika pelepasan sangat
lambat dalam perangkat rilis berkelanjutan menggunakan difusi melalui membran polimer.
4. Obat Stabilitas
Obat oral dapat terkena hidrolisis asam basa dan degradasi enzimatik. Degradasi akan
dilanjutkan pada tingkat penurunan untuk obat dalam keadaan padat, untuk obat yang tidak
stabil dalam perut, sistem yang memperpanjang pengiriman di saluran pencernaan.
Senyawa yang tidak stabil dalam usus kecil dapat menununjukkan penurunan
bioavailabilitas bila diberikan bentuk dosis berkepanjanagan. Hal ini karena obat yang lebih
diserap dalam usus halus dan mengalami degradasi Kebanyakan formulasi yang didasrkan
pada control obat dari sediaan merupakan pembatasan kecepatan, umumnya kecepatan
menurun pada saat sediaan bergerak menjauhi jejunum. Selama kecepatan absorpsi masih
berada diatas kecepatan pelepasan, perubahan ini tidak terlalu mempengaruhi kadar
plasma.
5. Kelarutan air
Absorbsi untuk yg sukar larut sering dibatasi oleh kecepatan disolusi. Obat seperti ini tidak
memerlukan control kecepatan disolusi, dan bukan obat yang baik untuk obat lepas
terkendali. Untuk mengatasi perubahan pH dan viskositas pada saluran cerna, digunakan
system pompa osmotic, sehingga disolusi (pelepasan) tidak tergantung pada pH dan
viskositas.
6. Stabilitas

24
menghadapi rentang pKa, besar enzim dan flora saluran cerna Hubungan antara pKa
senyawa dan lingkungan serap. Obat sebelum diabsorpsi harus berhadapan dengan
lingkungan luminal saluran cerna. Stabilitas obat dalam saluran cerna penting untuk
menjamin input obat secara sempurna dan reprodusibilitas kadar obat dalam tubuh. Obat
harus stabil pada rentang pH 1-8. Dalam beberapa hal perlu diperkirakan terjadinya absorpsi
kolonik, perlu dipertimbangkan efek metabolism populasi bakteri kolon.
7. Metabolisme lintas pertama
Metabolism hepatic dapat menyebabkan obat tidak sesuai untuk obat lepas terkendali. Hal
ini karena kertesediaan jika kecepatan masukan rendah. Metabolism lintas pertama yaitu
obat secara ekstensif dimetabolisme secara hepatic atau dihati.
8. Koefisien partisi
Koefisien partisi secara umum didefinisikan sebagai fraksi obat dalam fase minyak dengan
suatu fasa air yang berdekatan. Senyawa dengan koefisien partisi tinggi akan sangat
mengalami kesulitan dalam menembus membran sehingga bioavailabilitas rendah

 Metode Formulasi Sediaan Pelepasan terkendali


Tiga golongan bahan penahan yang digunakan untuk memformulasi tablet pelepasan terkendali
:
1. Golongan matriks yang terdiri dari penahan yang membentuk matriks tidak larut atau
matriks kerangka. Polimer inert yang tidak larut seperti polietilen, polivinil klorida, dan
kopolimer akrilat yang digunakan sebagai dasar untuk banyak formulasi di pasaran.
2. Golongan matriks yang memperlihatkan bahan-bahan yang tidak larut dalam air yang secara
potensial dapat terkikis. Golongan ini berupa malam, lemak dan bahan-bahan yang
berhubungan dengan pembentukan matriks membentuk matriks yang mengontrol pelepasan
melalui difusi pori dan erosi.
3. Golongan pembentuk matriks menunjukkan bahan-bahan yang tidak dapat dicernakan yang
membentuk gel in-situ. Besarnya difusi atau erosi yang mengontrol pelepasan tergantung
pada polimer yang dipilih untuk formulasi, dan juga pada perbandingan obat dan
polimer (Nafsiah, 2009).

 Cara pembuatan tablet pelepasan terkandali


Berbagai cara pembuatan dan mekanisme kerja sediaan pelepasan terkendali yang dijumpai
antara lain:
a. Penyalutan

25
Penyalutan ini berfungsi mengendalikan ketersediaan bahan aktif dalam bentuk larutan.
Penyalutan serbuk bahan aktif dapat dilakukan dengan metode
mikroenkapsulasi.Mikroenkapsulasi adalah suatu proses di mana bahan-bahan padat, cairan
bahkan gas pun dapat dijadikan kapsul (ncapsulated) dengan ukuran partikel mikroskopik,
dengan membentuk salutan tipis wall dinding sekitar bahan yang akan dijadikan kapsul.
b. Sistem matriks
Pencampuran dengan matriks adalah dengan mencampurkan bahan obat yang akan dibuat
sediaan pelepasan terkendali, digabungkan dengan bahan lemak atau bahan selulosa,
kemudian diproses menjadi granul yang dapat dimasukkan dalam kapsul atau ditablet.
c. Pembentukan Kompleks
Bahan obat tertentu jika dikombinasi secara kimia dengan zat kimia tertentu lainnya
membentuk senyawa kompleks kimiawi, yang mungkin hanya larut secara perlahan-lahan
dalam cairan tubuh, hal ini tergantung pada pH sekitarnya.
d. Sistem Membran Terkontrol
Dalam sistem ini membran berfungsi sebagai pengontrol kecepatan pelepasan obat dari
bentuk sediaan. Berbeda dengan sistem matrik hidrofil, polimer membran tidak bersifat
mengembang (Nafsiah, 2009).
Matriks adalah zat pembawa padat yang di dalamnya obat tercampur secara merata. Suatu
matriks dapat dibentuk secara sederhana dengan mengempa atau menyatukan obat dan
bahan matriks bersama-sama. Umumnya, obat ada dala m prosen yang lebih kecil agar
matriks memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap air dan obat berdifusi keluar
secara lambat (Marchaban,1995).
Pelepasan Obat dari Matriks. Disolusi adalah suatu proses zat padat masuk ke dalam pelarut
sehingga terlarut. Proses ini dikendalikan oleh afinitas zat padat terhadap larutan.
Kecepatan pe larutan atau laju pelarutan adalah kecepatan melarutnya zat padat di da lam
pelarut. Obat dalam bentuk serbuk yang didispersikan secara merata dalam matriks
diasumsikan melarut dalam matriks dan berdifusi keluar dari permukaan matriks. Pada
waktu obat dilepaskan jarak tempuh obat untuk difusi keluar dari permukaan
tablet semakin lama semakin besar dan batas daerah penyusun dari matriks yang
mengandung obat akan bergeser ke arah sentral tablet (Marchaban,1995)

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
 Sediaan per oral adalah pemberian obat melalui mulut yang paling lazim karena
penggunaannya yang sangat praktis, mudah dan aman. Sediaan dalam bentuk oral paling
banyak digunakan karena kepraktisan penggunaannya. Diharapkan sediaan per oral ini
dapat memberikan efek sistemik dari obat setelah proses penyerapan di saluran cerna.
 Organ-organ yang terlibat pada pemberian obat secara per oral yaitu mulut, esofagus,
lambung, usus halus (duodenum, jejenum dan ileum) dan usus besar. Proses penyerapan
obat terjadi pada usus halus.

27
 Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian obat per oral yaitu faktor fisiologi dan faktor
patologi. Faktor fisiologi meliputi permukaan penyerap, umur, laju pelewatan dan waktu
tinggal dalam lambung, pH dan perubahan pH karena formulasi, tegangan permukaan,
kekentalan serta isi saluran cerna yang dapat mengubah aksi zat aktif. Faktor patologi
meliputi gangguan fungsi penggetahan, gangguan transit dan gangguan penyerapan.
 tahap LDA sedian obat Liberasi dua tahap pemecahan dan peluruhan dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat (gerak peristaltik usus, dll) dari
tahap liberasi diperolah suatu dispersi halus padatan zat aktif dalam cairan di tempat obat masuk
ke dalam tubuh. Disolusi pelarutan zat aktif secara progresif, yaitu pembentukan dispersi molekuler
dalam cairan di tempat obat masuk ke sistem sistemik. Absorpsi masuknya zat aktif kesistem
sirkulasi sistemik bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisiko-kimia zat aktif obat.
 Sediaan lepas terkendali (controlled release) adalah sediaan berupa tablet atau kapsul yang
bersalut atau tidak bersalut yang mengandung bahan tambahan tertentu atau disediakan
melalui proses tetentu dengan cara terpisah atau bersamaan yang pelepasan terkendali
bertujuan untukmengendalikan konsentrasi pelepasan bahan obat untuk memperpanjang
secara teratur dan mengefisienkan efek obat.
beberapa modifikasi pelepasan sistem penyampaian obat, yaitu Repeat Action (RA)
Delayed release (DR) Extended Release (ER) Prolonged Release (PR) dll. maka bentuk
sediaan dengan pelepasan terkendali di bedakan ata Pelepasan bertahap atau tidak
berkesinambungan dan Pelepasan berkesinambungan.

3.2 Saran
Diharapkan pada makalah selanjutnya dapat dijelaskan lebih lengkap mengenai mekanisme
obat baik secara farmakokinetik maupun farmakodinamik.
.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Empat. Jakarta : UI Press
Irianto, K. 2014. Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Penerbit Alfabeta
Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Gramedia
Shargel, Leon, Susana, Wu-Pong dan Andrew, B.C. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetik
Terapan Edisi Kelima. Surabaya: Airlangga University Press
Chien,W.Yie; Novel Drug Delivery Systems;seconded.,3: 139-156,MarcelDekker, Inc.,
NewYork.
Shargel,Leon ; Biofarmaseutika Dan Farmakokinetika Terapan, 18:445-479, Airlangga
Universitry Press, 2005
Li , Xiaoling ;Design of Controlled Release Drug Delivery Systems, 4: 146-147, McGraw-Hill,
2006
Chien, W.Yie; Novel Drug Delivery Systems; second ed., 3: 139-156, Marcel
Dekker, Inc.,NewYork.

29

Anda mungkin juga menyukai