Anda di halaman 1dari 8

ANEMIA IMUNOHEMOLITIK PADA IBU HAMIL

Referat MFM 2

Oleh : dr. Suroso


Pembimbing: dr. Bharoto Winardi, SpOG
Moderator : dr. Rukmono S, SpOG

Bagian Obstetri Ginekologi FK UGM – RS DR Sardjito Yogyakarta

Abstrak
Latar belakang masalah: Anemia hemolitik terjadi kira-kira 5% dari seluruh anemia. Pada anemia
imunohemolitik, sel darah merah dibentuk secara normal tetapi mengalami destruksi prematur.
Kerusakan sel darah merah terjadi di dalam sirkulasi. Kerusakan sel darah merah diperantarai oleh
antibodi atau toksin. Anemia imunohemolitik termasuk anemia hemolitik didapat. Anemia hemolitik
selama kehamilan merupakan kejadian yang jarang
Bahan dan cara: Studi pustaka.
Pembahasan: Hemolisis imun oleh tiga jenis antibodi, yaitu: 1. Aloantibodi yang diperoleh melalui
transfusi darah atau kehamilan, ditujukan pada sel darah merah yang dimasukkan melalui transfusi. 2.
Antibodi (biasanya Ig G) yang reaktif pada suhu tubuh dan ditujukan kepada sel darah merah diri
sendiri. 3. Antibodi (biasanya Ig M) yang reaktif pada suhu dingin dan ditujukan kepada sel darah
merah diri sendiri. Diagnosis anemia hemolitik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisisk dan
pemeriksaan tambahan. Uji laboratorium digunakan untuk membuktikan adanya hemolisis dan mencari
penyebab hemolisis. Pada anemia imunohemolitik, tes antiglobulin (tes Coomb) langsung maupun
tidak langsung menunjukkan hasil positif. Antibodi Ig M tidak melintasi plasenta. Ig G dapat melintasi
plasenta. Respon janin terhadap aloimunisasi sel darah maternal juga tergantung pada kuantitas
antibodi yang berikatan dengan sel darah merah janin, kecepatan produksi sel darah merah dan
hemolisis janin. Terapi awal pasien yang mengalami hemolisis bermakna adalah pemberian
glukokortikoid.
Rinngkasan: Wanita hamil dengan anemia imunohemolitik kadang-kadang memperlihatkan
peningkatan kecepatan hemolisis yang mencolok. Terapi awal pasien yang mengalami hemolisis
bermakna adalah pemberian glukokortikoid. Pasien dengan anemia berat memerlukan transfusi darah.
Kata kunci: anemia imunohemolitik, Ig G, Ig M.

PENDAHULUAN
Hemolisis adalah destruksi prematur eritrosit, dan menimbulkan anemia
hemolitik bila aktifitas sumsum tulang tidak dapat mengkompensasi kehilangan sel
darah. Sel darah merah bertahan di dalam sirkuasi darah normal selama 90 sampai
120 hari. Masa hidup sel darah merah dapat memendek dan menimbulkan anemia.
Sumsum tulang tidak mampu mengganti sel darah merah yang rusak secara prematur.
Anemia pada kehamilan terjadi bila kadar hemoglogin kurang dari 10 g/dL atau
hematrokit kurang dari 30%. Anemia hemolitik terjadi kira-kira 5% dari seluruh
anemia. 1-5

1
Pada anemia imunohemolitik, sel darah merah dibentuk secara normal tetapi
mengalami destruksi prematur. Kerusakan sel darah merah terjadi di dalam sirkulasi.
Kerusakan sel darah merah diperantarai antibodi atau toksin. Kerusakan sel ditandai
sel mati muda. Anemia imunohemolitik termasuk anemia hemolitik didapat. 1,2,3
Anemia hemolitik selama kehamilan merupakan kejadian jarang. Wanita
hamil dengan anemia imunohemolitik kadang-kadang memperlihatkan peningkatan
kecepatan hemolisis yang mencolok. Hemolisis berat timbul secara dini dalam
kehamilan dan kemudian menghilang dalam beberapa bulan setelah melahirkan. 1,2,3

PATOFISIOLOGI ANEMIA IMUNOHEMOLITIK


Penyebab anemia pada kehamilan sama dengan penyebab anemia pada
umumnya. Wanita hamil dengan anemia imunohemolitik kadang-kadang
memperlihatkan peningkatan kecepatan hemolisis yang mencolok. Hemolisis imun
dicetuskan oleh tiga jenis antibodi, yaitu: 1. Aloantibodi yang diperoleh melalui
transfusi darah atau kehamilan, ditujukan pada sel darah merah yang dimasukkan
melalui transfusi. 2. Antibodi (biasanya Ig G) yang reaktif pada suhu tubuh dan
ditujukan kepada sel darah merah diri sendiri. 3. Antibodi (biasanya Ig M) yang
reaktif pada suhu dingin dan ditujukan kepada sel darah merah diri sendiri. 1,2,3
Pada reaksi hemolitik transfusi, aloantibodi sel darah merah dapat melisiskan
sel di dalam sirkulasi atau melapisi sel darah merah dan mempercepat pembuangan
sel oleh system retikuloendotelial. Kerusakan cepat sel biasanya melibatkan sistem
ABO. Hemolisis ekstravaskuler paling sering disebabkan oleh antibodi sistem Rh.
Sekitar 1 diantara 150 pasien asimptomatik akan membentuk antibodi baru sekitar
satu minggu setelah transfusi. 1
Antibodi hangat merupakan antibodi (biasanya Ig G) yang bereaksi dengan
antigen protein pada suhu tubuh. Antibodi Ig G menyebabkan kerusakan sel darah
merah melalui dua mekanisme, yaitu: 1. Perlekatan sel darah merah secara
imunologik ke sel perusak sistem imun. Perlekatan diperantarai antibodi atau oleh
komponen komplemen yang terfiksasi ke membrana. 2. Penyelesaian sekuen
komplemen yang menyebabkan membrana ruptur. Pada perlekatan imun yang
diperantarai oleh Ig G, antibodi terikat bereaksi dengan reseptor Fc pada makrofag.
Hal ini menyebabkan sel darah merah terikat ke perusak (retikuloendotelial) dan
mengaktifkan proses fagositik sehingga terjadi internalisasi dan kerusakan sel darah

2
merah. Perlekatan imun diperantarai oleh komplemen C3b dan C4b. Komplemen C3b
dan C4b berinteraksi dengan serangkaian reseptor pada makrofag. Mekanisme ini
eningkatkan perlekatan imun akibat Ig G. Perlekatan imun juga ditingkatkan oleh
sirkulasi limpa. Sirkulasi limpa menyebabkan sel berkontak erat dengan sel fagositik.
Bila internalisasi terjadi parsial, yang dihilangkan terutama membrana. Hal ini
menyebabkan terbentuknya sferosit. Sferosit tidak mampu melewati fenestrasi di
dinding sinus limpa sehingga menumpuk di limpa dan dihancurkan. 1,2
Anemia imunohemolitik akibat obat terdiri dari dua jenis, yaitu: 1. Obat yang
menginduksi suatu kelainan yang hampir identik dalam sgala hal dengan anemia
imunohemolitik antibodi hangat (misalnya α-metidopa). 2. Obat yang berikatan
dengan permukaan sel darah merah dan menginduksi pembentukan antibodi terhadap
kompleks obat-sel darah merah (misalnya penisilin dan kuinidin). 1,2
Antibodi dingin merupakan antibodi yang bereaksi dengan antigen
polisakarida (biasanya IgM) dan bereaksi lebih baik pada suhu rendah. Aglutini
dingin timbul pada dua keadaan, yaitu antibodi monoklonal sebagai produk neoplasia
limfosit dan antibodi poliklonal sebagai respon terhadap infeksi. Aglutinin dingin
transien sering terjadi pada infeksi Mycoplasma pneumonie dan mononucleosis
infeksiosa. Pada keduanya, titer antibodi biasanya terlalu rendah untuk menimbulkan
gejala klinis, tetapi keberadaannya memiliki nilai diagnostik. Hemolisis kadang-
kadang terjadi. Hemolisis imunologik akibat antibodi bereaksi dingin disebabkan aksi
hemolitik komplemen. Komplemen mudah mengalami fiksasi, karena cukup
dibutuhkan satu molekul antibodi untuk mengikat C1 dan mencetuskan rangkaian
reaksi. Namun, sel darah merah manusia resisten terhadap aksi hemolitik komplemen
karena adanya mekanisme pertahanan. Hemolisis parah dengan hemoglobinuria hanya
akan berlangsung bila terjadi pengaktifan massif antibodi, misalnya oleh pendinginan
mendadak. Pengaktifan komplemen selalu ditandai oleh akumulasi produk degradasi
C3, C3dg di permukaan. Hal ini terdeteksi dengan antiserum sesuai dalam uji Coombs
langsung pada pasien dengan penyakit aglutinin dingin. 1,2

DIAGNOSIS
Diagnosis anemia hemolitik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisisk dan
pemeriksaan tambahan, Penderita sering mengeluh lelah dan gejala anemia lainnya.
Ikterus dan hemoglobinuria (urin yang berwarna merah coklat) jarang ditemukan.

3
Anamnesis mengenai riwayat pemakaian obat sangat penting. Riwayat keluarga
terutama bermanfaat dalam diagnosis anemia hemolitik yang diturunkan. Ikterus dan
splenomegali ditemukan pada beberapa jenis anemia hemolitik. 1,2,3
Manifestasi klinis anemia imunohemolitik yang diinduksi oleh antigen Ig G
yang bereaksi pada suhu hangat lebih sering terjadi pada usia dewasa terutama
perempuan. Pada seperempat pasien, penyakit ini timbul sebagai penyulit dari
penyakit dasar yang menyerang sistem imun, seperti lupus eritematosus sistemik.
Presentasi dan perjalanan penyakit anemia imunohemolitik Ig G cukup bervariasi.
Pada bentuk paling ringan, menifestasi klinis satu-satunya adalah uji Coombs
langsung yang positif. Sebagian besar pasien anemia imunohemolitik mengalami
anemia ringan kronik dan splenomegali. Manifestasi klinis lainnya dapat berupa
hiperbilirubinemia, penurunan kadar atau hilangnya haptoglobin, splenomegali,
hepatomegali dan kadang-kadang ditemukan trombositopenia. Bentuk anemia
imunohemolitik paling parah terjadi hemolisis fulminan disertai hemoglobinemia,
hemoglobinuria dan syok. 1,2
Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh antibodi Ig M terdiri dari
akrosianosis dan hemolisis. Akrosianosis adalah perubahan warna kulit ekstremitas,
telinga dan hidung menjadi ungu saat darah menjadi cukup dingin untuk menggumpal
di dalam vena. Akrosianosis menghilang bila dilakukan pemanasan. Hemolisis
biasanya tidak parah dan bermanifestasi sebagai retikulositosis ringan, aglutinasi pada
apusan darah. Derajat hemolisis tergantung titer antibodi, amplitudo suhu antibodi dan
suhu lingkungan. 1,2,4
Uji laboratorium digunakan untuk membuktikan adanya hemolisis dan
membuktikan penyebab hemolisis. Pada anemia imunohemolitik, tes antiglobulin (tes
Coomb) langsung maupun tidak langsung dapat menunjukkan hasil positif. Uji ini
tergantung pada kemampuan antibodi. Protein serum yang berperan adalah Ig G dan
C3. Kemampuan anti serum anti Ig G atau anti C3 yang menimbulkan aglutinasi sel
darah merah disebut uji Coombs langsung. Peningkatan jumlah retikulosit pada
anemia merupakan satu-satunya indikator hemolisis yang paling bermanfaat. Jumlah
retikulosit mencerminkan hiperplasia eritroid di sumsum tulang, sehingga biopsi
sumsum tulang tidak diperlukan. 1,2
Sel darah merah dapat mengalami lisis akibat pengeluaran dari sirkulasi oleh
makrofag, terutama di limfa dan hati (lisis ekstravaskuler) atau akibat kerusakan

4
membran selama bersirkulasi (hemolisis intravaskuler). Hemolisis intravaskuler
menimbulkan hemoglobinuria. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi meningkat, kadar
bilirubin tidak terkonjugasi pada anemia hemolisis tidak pernah melebihi 85 mmol/L
(5mg/dL), kecuali bila fungsi hati terganggu. Haptoglobin adalah globulin alfa yang
terdapat pada konsentrasi tinggi (kira-kira 1,0 gram/L) dalam plasma. Zat ini
berikatan secara spesifik dan kuat dengan protein (globin) di hemoglobin. Kadar
haptoglobulin serum menurun atau hilang pada penderita hemolisis bermakna, baik
intravaskuler maupun ekstravaskuler. 1,2

KEHAMILAN DAN ANEMIA IMUNOHEMOLITIK


Anemia hemolitik selama kehamilan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
merupakan kejadian langka. Hemolisis yang berat timbul secara dini dalam kehamilan
dan kemudian menghilang dalam beberapa bulan setelah melahirkan. Bentuk anemia
ini ditandai tidak ada gejala yang membuktikan gangguan pada mekanisme imun atau
setiap defek intra atau ekstraeritrosit. Janin dapat memperlihatkan hemolisis sepintas,
paling tidak menunjukkan etiologi yang diperantarai oleh antibodi. . Wanita hamil
dengan anemia imunohemolitik kadang-kadang memperlihatkan peningkatan
kecepatan hemolisis yang mencolok. Hemolisis berat timbul secara dini dalam
kehamilan dan kemudian menghilang dalam tempo beberapa bulan setelah
melahirkan. 3
Pasien dengan anemia ringan sebelum hamil, anemianya mejadi semakin nyata
pada saat hamil. Pasien dengan anemia berat akan menjadi simtomatik pada akhir
trimester kedua. Kehamilan dengan anemia akan meningkatkan resiko terjadinya
preeklampsia, eklampsia, solusio plasenta dan kematian perinatal. 4
Antibodi Ig M tidak melintasi plasenta, sel-ssel darah merah janin tidak akan
terkena. Antibodi Ig G dapat melintasi plasenta.Bila antibodi Ig G terdeteksi dalam
tubuh ibu, maka janin harus dianggap menghadapi resiko terjadinya penyakit
hemolitik yang serius. Harus dilakukan langkah yang tepat untuk penanganannya.
Respon janin terhadap aloimunisasi sel darah maternal juga tergantung pada kuantitas
antibodi yang berikatan dengan sel darah merah janin, kecepatan produksi sel darah
merahnya dan hemolisis janin yang terjadi.3,6,7,8.

5
MANAJEMEN
Pasien dengan hemolisis derajat ringan tidak memerlukan terapi. Terapi awal
pasien yang mengalami hemolisis bermakna adalah pemberian glukokortikoid
(misalnya prednisone 1 mg/kgBB/hari). Steroid memiliki 2 cara kerja, yaitu efek
segera inhibisi terhadap kliren sel-sel darah merah (yang dilapisi oleh Ig G) oleh
system fagosit mononukleus dan efek lambat akibat inhibisi sintesis antibodi oleh
steroid. Peningkatan hemoglobin dapat terjadi dalam 1 minggu. Steroid dilanjutkan
sampai kadar hemoglobin normal. Selanjutnya, steroid diturunkan perlahan-lahan
dalam beberapa bulan. Kehamilan bukan kontra indikasi terhadap pemakaian steroid.
Bayi dari pasien yang diterapi prednison menunjukkan tidak ada kelainan. Pada
anemia imunohemolitik yang bersifat kronis dan progresif, kehamilan ulang tidak
dianjurkan. 1,2,3
Pasien dengan anemia berat memerlukan transfusi darah. Tujuan pemilihan
darah untuk transfusi adalah untuk menghindari pemberian sel darah merah yang
memiliki antigen dikarenakan pasien telah tersensitisasi terhadapnya dan berkaitan
dengan hemolisis intravaskuler. Tindakan yang dilakukan adalah menyerap
panaglutinin yang terdapat di dalam serum pasien dengan sel darah merah pasien
sendiri yang antibodinya telah dihilangkan. Serum yang telah bebas antibodi
kemudian diperiksa ada tidaknya aloantibodi terhadap golongan darah donor. Sel
darah yang cocok diberikan secara lambat, disertai perhatian terhadap kemungkinan
reaksi transfusi tipe lambat. 1,2

RANGKUMAN
1. Hemolisis imun pada orang dewasa dicetuskan oleh tiga jenis umum antibodi,
yaitu: 1. Aloantibodi yang diperoleh melalui transfusi darah atau kehamilan dan
ditujukan pada sel darah merah yang dimasukkan melalui transfusi. 2. Antibodi
(biasanya Ig G) yang reaktif pada suhu tubuh dan ditujukan kepada sel darah
merah diri sendiri. 3. Antibodi (biasanya Ig M) yang reaktif pada suhu dingin dan
ditujukan kepada sel darah merah diri sendiri.
2. Wanita hamil dengan anemia imunohemolitik kadang-kadang memperlihatkan
peningkatan kecepatan hemolisis yang mencolok. Hemolisis berat timbul secara

6
dini dalam kehamilan dan kemudian menghilang dalam tempo beberapa bulan
setelah melahirkan.
3. Antibodi Ig M tidak melintasi plasenta. Antibodi Ig G dapat melintasi plasenta
4. Terapi awal pasien yang mengalami hemolisis bermakna adalah pemberian
glukokortikoid. Pasien dengan anemia berat memerlukan transfusi darah.

7
KEPUSTAKAAN
1. Rosse W, Bunn HF. Hemolytic anemia. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson
JD. Harrison’s principles of internal medicine. 13th Ed. Mc Graw Hill, 1995, vol
4, 1940-52.
2. Thomas AT. Autoimmune hemolytic anemias. In: Lee GC, Forester J, Lukens J.
Wintrobe’s clinical hematology. 10th ed. Williams and Wilkins, 1999, vol 1, 1233-
55.
3. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Hematological disorders, Williams
obstetrics, 20th Ed.Prentice Hall int,Philadelphia, 1993, 1173-202.
4. Arias F. Practical guide to high-risk pregnancy and delivery, 2nd Ed. Mosby Year
Book, St Louis, 1993, 245-262.
5. Schick P. Hemolytic Anemia. http://www.emedicine.com/cgi-bin/foxweb.exe.
6. Weiner CP, Williamson RA, Wenstrom KD. Management of fetal hemolytic
disease by cordocentesis. Am J Obstet Ginecol 1991, 165, 546-53.
7. Weiner, CP. Human fetal bilirubin level and fetal hemolytic disease. Am J Obstet
Ginecol 1992,166,1449-54
8. Weiner, CP, Widness JA. Decreased fetal erytropoiesis ang hemolysis in Kell
hemolytic anemia. Am J Obstet Ginecol, 1996, 174,; 547-51.

Anda mungkin juga menyukai