Anda di halaman 1dari 64

1

PEMERINTAH KABUPATEN BOYOLALI


RANCANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI


NOMOR ........... TAHUN 2010

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOYOLALI


TAHUN 2010-2029

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BOYOLALI,

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Boyolali


dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna,
serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan, perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah;

b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan


antar sektor, daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang
wilayah merupakan arahan lokal investasi pembangunan yang
dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/ atau dunia usaha;

c. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun


2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor
26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
maka perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali Tahun
2010-2029.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan


Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa
Tengah;
2

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-


Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209);

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22,
Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3274);

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan


Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3469);

7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar


Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 27,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);

8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya


Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3478);

9. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);

10. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Repubik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412);

11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas


Bumi (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4152);
3

12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan


Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4169);

13. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan


Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4247);

14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

15. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);

16. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);

17. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

18. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5073);

19. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);

20. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);
4

21. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);

22. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4723);

23. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman


Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);

24. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

25. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan


Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4851);

26. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);

27. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan


Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4959);

28. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);

29. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan


dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5015);

30. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan


Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5025);

31. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);

32. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
5

Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 5059);

33. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan


Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5068);

34. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang


Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

35. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi


Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);

36. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44,
Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3445);

37. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana


dan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1993 No 63, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3529);

38. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang


Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara
Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660);

39. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan


Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3776);

40. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3838);

41. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan


Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 171,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3892);

42. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat


Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang wilayah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3934);
6

43. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);

44. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119,
Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 4242);

45. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang


Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4385);

46. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang


Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 4453) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 204 tentang Perlindungan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5056);

47. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4489)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 88, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5019);

48. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang


Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara
Republik IndonesiaTahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4490);

49. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman


Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4593);

50. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624);

51. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);
7

52. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara


Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4663);

53. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara


Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 97, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4664);

54. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan


dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4814);

55. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian


Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

56. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3776);

57. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana


Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4833);

58. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang


Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4858);

59. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);

60. Peraturan pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi


Dan Reklamasi Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4947);
8

61. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan


Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4987);

62. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara


Perubahan Peruntukkan Dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097);

63. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban


dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5098);

64. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang


Penyelenggaraan Penataan ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5103);

65. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah


Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5510);

66. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang


Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
nomor 5111);

67. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang


Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5112);

68. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2010 tentang Bendungan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 45,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117);

69. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan


Kawasan Lindung;

70. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan


Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

71. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22 Tahun 2003


tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Provinsi Jawa Tengah
9

(Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 Nomor


134);

72. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2004


tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004 Nomor 5 Seri E Nomor 2);

73. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 11 Tahun 2004


tentang Garis Sempadan (Lembaran Daerah Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2004 Nomor 46 Seri E Nomor 7);

74. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2007


tentang Pengendalian Lingkungan Hidup di Provinsi Jawa Tengah
(Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 Nomor 5
Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa
Tengah Nomor 4);

75. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2008


tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi
Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun
2008 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Tengah Nomor 9);

76. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 8 Tahun 2009


tentang Irigasi (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah tahun
2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa
Tengah Nomor 23);

77. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 11 Tahun 2009


tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Di Provinsi
Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun
2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa
Tengah Nomor 26);

78. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010


tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Provinsi Jawa Tengah
Nomor 28);

79. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali Nomor


12 Tahun 1987 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali
(Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali Tahun
1988 Nomor 1 Seri D Nomor 1);Peraturan Daerah Kabupaten
Boyolali Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan
Organisasi, Kedudukan dan Tugas Pokok Lembaga Teknis
Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Boyolali;

80. Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 4 Tahun 2008


tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Kedudukan dan
Tugas Pokok Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong
Praja Kabupaten Boyolali (Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali
10

Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten


Boyolali Nomor 102);

81. Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 8 Tahun 2008


tentang Pengendalian Lingkungan Hidup (Lembaran Daerah
Kabupaten Boyolali Tahun 2008 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 106);

82. Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 11 Tahun 2008


tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan
Pemerintah Kabupaten Boyolali (Lembaran Daerah Kabupaten
Boyolali Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Boyolali Nomor 107).

Dengan Persetujuan Bersama:


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BOYOLALI

dan

BUPATI BOYOLALI

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH


KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2010-2029.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama
Pengertian-pengertian

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Kabupaten adalah Kabupaten Boyolali.
2. Bupati adalah Bupati Boyolali.
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintah daerah.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Boyolali sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
11

5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara
termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
6. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
7. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
8. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi
budidaya.
9. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
10. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam penataan ruang.
11. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
12. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang
melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
13. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
14. Pembinaan penataan ruang adalah upaya meningkatkan kinerja penataan ruang
yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat.
15. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang
dapat disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangan.
16. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan
pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
17. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya.
18. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata
ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
19. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten Boyolali yang selanjutnya
disingkat BKPRD adalah Badan bersifat adhoc yang dibentuk untuk mendukung
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di
Kabupaten Boyolali dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati
dalam koordinasi penataan ruang di daerah.
20. Penyidikan Tindak Pidana di bidang tata ruang adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang tata ruang yang terjadi serta
menemukan tersangkanya.
12

21. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat atau Pegawai
Negeri Sipil yang diberi tugas dan wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk
melakukan penyidikan.
22. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang
diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan
terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.
23. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
24. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali yang selanjutnya disingkat
RTRW Kabupaten Boyolali adalah kebijakan Pemerintah Daerah yang menetapkan
lokasi dari kawasan yang harus dilindungi, lokasi pengembangan kawasan
budidaya termasuk kawasan produksi dan kawasan permukiman, pola jaringan
prasarana dan wilayah-wilayah dalam Kabupaten Boyolali yang akan diprioritaskan
pengembangannya dalam kurun waktu perencanaan.
25. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/
atau aspek fungsional.
26. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan
pelayanan pada tingkat wilayah.
27. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten.
28. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa
kecamatan.
29. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah pusat
pelayanan kawasan yang dipromosikan untuk di kemudian hari ditetapkan sebagai
PKL.
30. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa
desa.
31. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat
permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.
32. Desa Pusat Pertumbuhan yang selanjutnya disebut DPP adalah desa yang
mempunyai potensi/kemampuan cepat berkembang yang dipilih berdasarkan
adanya keterkaitan dengan beberapa desa yang ada di sekitarnya dan mempunyai
kemampuan pelayanan yang lebih tinggi dibanding dengan desa-desa sekitarnya.
33. Kawasan Terpadu Pusat Pengembangan Desa yang selanjutnya disebut KTP2D
adalah kelompok desa cepat brekembang yang terdiri dari DPP dan desa
hinterland.
34. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.
35. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan.
13

36. Sumberdaya energi adalah sebagian dari sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi dan atau energi baik secara langsung
maupun dengan proses konservasi atau transportasi.
37. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar
keduanya.
38. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya.
39. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
40. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial,
dan kegiatan ekonomi.
41. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat
kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan
fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
42. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
43. Kawasan Minapolitan adalah Kawasan yang membentuk kota perikanan, yang
memudahkan masyarakat untuk bisa membudidayakan ikan darat, dengan
kemudahan memperoleh benih melalui unit perbenihan rakyat, pengolahan ikan,
pasar ikan dan mudah mendapatkan pakan ikan, yang dikelola oleh salah satu
kelompok yang dipercaya oleh pemerintah.
44. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan
bersifat multidimensi serta multidisplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan
setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat
setempat, sesama wisatawa, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
45. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan
negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan/ atau
lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
46. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap
ekonomi, sosial, budaya dan/ atau lingkungan.
47. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan.
48. Kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama
pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai
pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi,
14

sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan
hidup, serta pertahankan dan keamanan.
49. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
50. Insentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap
pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang.
51. Disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk mencegah, membatasi
pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata
ruang.
52. Orang adalah orang perseorangan dan/ atau korporasi.
53. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
bidang penataan ruang.
54. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat
hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam
penataan ruang.
55. Peran serta masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup

Pasal 2

Ruang lingkup Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten mencakup:


a. asas, tujuan, kebijakan, dan strategi rencana ruang wilayah
Kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah Kabupaten;
c. rencana pola ruang wilayah Kabupaten;
d. penetapan kawasan strategis Kabupaten;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten;
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten;
dan
g. peran masyarakat.

BAB II

TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH DAERAH

Bagian Pertama
Asas Penataan ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 3

RTRW Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a disusun berdasarkan


asas:
a. keterpaduan;
15

b. keserasian, keselarasan dan keseimbangan;


c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. perlindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas.

Bagian Kedua
Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 4

Tujuan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a adalah


“Terwujudnya Pemerataan Pembangunan Yang Terintegrasi di Seluruh Wilayah
Kabupaten Boyolali yang Berwawasan Lingkungan dengan Mempertahankan
Pertanian dan Pengembangan Aneka Industri”.

Bagian Ketiga
Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Paragraf 1
Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 5

(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 ditetapkan kebijakan dan strategi perencanaan ruang wilayah.

(2) Kebijakan perencanaan ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengembangan pusat-pusat pelayanan;
b. pengembangan sarana dan prasarana penunjang kegiatan;
c. pengembangan sistem jaringan transportasi darat dan udara;
d. pengembangan mutu dan jangkauan pelayanan untuk sistem jaringan energi,
sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air dan sistem
jaringan pengelola lingkungan;
e. pengendalian dan pelestarian kawasan lindung;
f. pengendalian pemanfaatan lahan pertanian untuk kegiatan non pertanian;
g. pengoptimalan produktivitas kawasan peruntukan perikanan;
h. pengembangan wilayah industri secara khusus;
i. pengembangan kawasan strategis untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi;
dan
j. pengembangan kawasan strategis untuk kepentingan fungsi daya dukung
lingkungan.

Paragraf 2
Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
16

Pasal 6

(1) Strategi pengembangan pusat-pusat pelayanan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 5 ayat 2 huruf (a), meliputi:
a. membentuk pusat kegiatan yang terintegrasi dan berhirarki;
b. mengembangkan dan memantapkan kawasan sebagai PKW, PKL, PKLp, PPK
dan PPL;
c. mengembangkan kawasan perdesaan potensial secara ekonomi melalui DPP;
d. mengembangkan secara terpadu desa-desa menjadi KTP2D; dan
e. meningkatkan interaksi antara pusat kegiatan perdesaan dan perkotaan secara
sinergis.

(2) Strategi pengembangan sarana dan prasarana penunjang kegiatan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 huruf (b), meliputi:
a. mengembangkan sarana prasarana sesuai skala pelayanannya;
b. memenuhi fasilitas baru dengan meningkatkan jangkauan dan hirarki
pelayanannya;
c. mengembangkan sistem informasi dan teknologi dalam meningkatkan kegiatan
di perkotaan dan perdesaan.

(3) Strategi pengembangan sistem jaringan transportasi darat dan udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 huruf (c), meliputi:
a. mengembangkan jalan dalam mendukung pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan;
b. mengembangkan jalan arteri, kolektor dan lokal sebagai penghubung antar
wilayah;
c. mengoptimalisasi pengembangan sistem transportasi massal dan infrastruktur
pendukungnya;
d. mengembangkan fasilitas pelayanan dan infrastruktur penunjang;
e. mengoptimalka tingkat kenyamanan dan keselamatan penerbangan; dan
f. mengendalikan kawasan sekitar bandara sesuai aturan keselamatan
penerbangan.

(4) Strategi pengembangan mutu dan jangkauan pelayanan untuk sistem jaringan
energi, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air dan sistem
jaringan pengelola lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 huruf
(d), meliputi:
a. menambah dan memperbaiki sistem jaringan;
b. memperluas jangkauan listrik sampai ke polosok desa;
c. menerapkan teknologi telekomunikasi berbasis teknologi modern;
d. membangun teknologi telekomunikasi pada wilayah-wilayah pusat
pertumbuhan;
e. melindungi sumber-sumber mata air dan daerah resapan air;
f. mengembangkan jaringan drainase sesuai dengan jangkauan dan tingkat
pelayanannya;
g. memanfaatkan sampah (Reduce, Reuse, Recycle) yang ada;
h. meningkatkan sarana prasarna pengolahan sampah;
i. pengelolaan sampah berkelanjutan; dan
j. meningkatkan sanitasi lingkungan untuk permukiman, produksi jasa dan
kegiatan sosial ekonomi lainnya.
17

(5) Strategi pengendalian dan pelestarian kawasan lindung sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 ayat 2 huruf (e), meliputi:
a. melarang melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi
lndung;
b. memberikan ketentuan yang berlaku terhadap kegiatan yang sudah ada di
kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup;
c. mencegah perkembangan dan mengembalikan fungsi sebagai kawasan secara
bertahap terhadap kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung
berdasarkan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan;
d. meningkatkan kesadaran akan lingkungan melalui pendidikan, pariwisata,
penelitian dan kerjasama pengelolaan kawasan; dan
e. menghindari kawasan yang rawan bencana sebagai kawasan terbangun.

(6) Strategi pengendalian pemanfaatan lahan pertanian untuk kegiatan non pertanian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 huruf (f), meliputi:
a. mencegah berkurangnya luasan sawah beririgasi teknis secara keseluruhan;
b. mengembangkan irigasi setengah teknis, sederhana atau tadah hujan menjadi
sawah beririgasi teknis pada kawasan yang tidak bisa terhindar dari alih fungsi
sehingga secara keseluruhan luas sawah beririgasi teknis tidak berkurang;
c. memberikan insetif bagi lahan pertanian pangan berkelanjutan yang tidak boleh
dialihfungsikan untuk peruntukan lahan;
d. mengendalikan alih fungsi lahan pertanian, kecuali untuk pembangunan fasilitas
umum; dan
e. meningkatkan sarana dan prasarana pendukung kegiatan pertanian.

(7) Strategi pengoptimalan produktivitas kawasan peruntukan perikanan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 huruf (g), meliputi:
a. mengembangkan perikanan budidaya air tawar;
b. mengembangkan minapolitan;
c. megoptimalkan produktivitas kawasan peruntukan perikanan;
d. mengembangkan perikanan ramah lingkungan; dan
e. mengembangkan sistem mina padi.

(8) Strategi pengembangan wilayah industri secara khusus sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 ayat 2 huruf (h), meliputi:
a. meningkatkan kegiatan koperasi usaha mikro, kecil dan menengah serta
menarik investasi;
b. mengembangkan industri kecil dan industri rumah tangga (home industry) untuk
pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan peternakan;
c. mengembangkan wilayah industri polutif berjauhan dengan kawasan
permukiman; dan
d. mengembangkan pusat promosi dan pemasaran hasil industri kecil dan
kerajinan rumah tangga.

(9) Strategi pengembangan kawasan strategis untuk kepentingan pertumbuhan


ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 huruf (i), meliputi:
a. mengembangkan kerjasama dalam penyediaan tanah disertai lahan pengganti
agar luas tetap;
b. mengembangkan kegiatan ekonomi skala besar;
c. menyediakan sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi; dan
d. menyediakan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
18

(10) Strategi pengembangan kawasan strategis untuk kepentingan fungsi daya dukung
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 huruf (j), meliputi:
a. melarang alih fungsi pada kawasan yang telah ditetapkan menjadi sebagai
kawasan lindung;
b. memanfaatkan untuk pendidikan dan penelitian berbasis lingkungan hidup;
c. mengembalikan kegiatan untuk yang mendorong pengembangan fungsi
lindung; dan
d. meningkatkan keanekaragaman hayati kawasan lindung.

BAB III

RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 7

Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Boyolali sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 2 huruf b, meliputi:
a. rencana pengembangan sistem pusat pelayanan;
b. rencana pengembangan sistem prasarana wilayah.

Bagian Kedua
Rencana Pengembangan Sistem Pusat Pelayanan

Pasal 8

Rencana pengembangan sistem pusat pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


7 huruf a terdiri atas:
a. rencana pengembangan sistem perdesaan; dan
b. rencana pengembangan sistem perkotaan.

Pasal 9

(1) Sistem perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dilakukan


dengan membentuk pusat pelayanan desa secara berhirarki.

(2) Pengembangan kawasan perdesaan meliputi :


a. pengembangan perdesaan berbasis potensi dasar yang dimiliki;
b. pengembangan perdesaan sebagai kawasan pengembangan agropolitan di
Kecamatan Ampel, Kecamatan Selo, dan Kecamatan Cepogo;
c. pengembangan perdesaan sebagai kawasan pengembangan minapolitan di
Kecamatan Banyudono, Kecamatan Teras, dan Kecamatan Sawit;
d. pengembangan pusat desa mulai dari tingkat dusun sampai pusat desa secara
berhirarki;
e. pemberdayaan masyarakat perdesaan;
f. pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya;
g. konservasi sumber daya alam;
h. pelestarian warisan budaya lokal;
19

i. pertahanan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan pertanian pangan


untuk ketahanan pangan; dan
j. penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan.

(3) Sistem perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan
pelayanan perdesaan secara berhirarki, meliputi:
a. pusat pelayanan antar desa;
b. pusat pelayanan setiap desa; dan
c. pusat pelayanan pada setiap dusun atau kelompok permukiman.

(4) Pusat pelayanan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
berhirarki memiliki hubungan dengan:
a. pusat pelayanan wilayah kecamatan sebagai kawasan perkotaan
terdekat;
b. perkotaan sebagai pusat pelayanan; dan
c. ibukota kabupaten.

(5) Sistem perdesaan berdasarkan pengembangan DPP di Kabupaten meliputi:


a. Desa Candisari dan Desa Ngadirojo di Kecamatan Ampel;
b. Desa Klakah di Kecamatan Selo;
c. Desa Sumur dan Desa Karanganyar di Kecamatan Musuk;
d. Desa Tambak dan Desa Dlingo di Kecamatan Mojosongo;
e. Desa Karangduren di Kecamatan Sawit;
f. Desa Kismoyoso di Kecamatan Ngemplak;
g. Desa Semawung di Kecamatan Andong;
h. Desa Sarimulyo di Kecamatan Kemusu; dan
i. Desa Kalinanas dan Desa Repaking di Kecamatan Wonosegoro.

Pasal 10

(1) Rencana pengembangan sistem perkotaan sebagaimana yang


tercantum dalam Pasal 8 huruf b meliputi:
a. rencana Sistem Pusat Kegiatan; dan
b. rencana Fungsi Pusat Kegiatan dan Kawasan Pengembangan.

(2) Rencana sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, melputi:
a. PKW meliputi Kecamatan Boyolali yang melayani kegiatan skala
Provinsi;
b. PKL meliputi Kecamatan Ampel yang melayani kegiatan skala
daerah;
c. PKLp meliputi Kecamatan Banyudono dan Kecamatan Karanggede
yang dipromosikan untuk di kemudian hari ditetapkan sebagai PKL;
d. PPK meliputi Kecamatan Teras, Kecamatan Sambi, dan Kecamatan
Ngemplak yang melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa; dan
e. PPL meliputi Kecamatan Simo, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan
Sawit, Kecamatan Juwangi, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Musuk,
Kecamatan Andong, Kecamatan Selo, Kecamatan Nogosari, Kecamatan
Wonosegoro, Kecamatan Kemusu, dan Kecamatan Klego yang melayani
kegiatan skala antar desa.

(3) Rencana fungsi pusat kegiatan dan kawasan pengembangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
20

a. pada PKW dengan fungsi pengembangan sebagai kawasan yang berfungsi


untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten yaitu fasilitas
pendidikan, kesehatan, peribadatan, perekonomian untuk skala provinsi;
b. pada PKL dengan fungsi pengembangan sebagai kawasan pusat pemerintahan
kabupaten yaitu fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, perekonomian
untuk skala regional;
c. pada PKLp dengan fungsi pengembangan sebagai kawasan yang akan
dipromosikan sebagai PKL yaitu fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan,
perekonomian untuk skala lokal;
d. pada PPK dengan fungsi pengembangan sebagai kawasan pusat pelayanan
skala antar kecamatan yaitu fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan,
perekonomian untuk skala lokal; dan
e. pada PPL dengan fungsi pengembangan sebagai kawasan pusat pelayanan
skala antar desa yaitu fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan,
perekonomian untuk skala lokal.

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Sistem Prasarana

Pasal 11

Rencana pengembangan sistem prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 7 huruf b meliputi:
a. rencana pengembangan sistem prasarana utama; dan
b. rencana pengembangan sistem prasarana lainnya.

Paragraf 1
Rencana Pengembangan Sistem Prasarana Utama

Pasal 12

Rencana pengembangan sistem prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 11 huruf a meliputi:
a. rencana sistem prasarana transportasi darat; dan
b. rencana sistem prasarana transportasi udara.

Pasal 13

Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana transportasi darat sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, meliputi:
a. rencana pengembangan sistem jaringan jalan; dan
b. rencana pengembangan sistem jaringan kereta api.

Pasal 14

(1) Rencana pengembangan sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 13 huruf a, meliputi:
a. prasarana jalan umum yang dinyatakan dalam status dan fungsi jalan;
b. prasarana terminal penumpang jalan; serta
c. angkutan massal perkotaan.
21

(2) Pengelompokan jalan berdasarkan status dapat dibagi menjadi jalan nasional,
jalan provinsi, dan jalan kabupaten/ kota;

(3) Pengelompokan jalan berdasarkan fungsi jalan dibagi kedalam jalan arteri, jalan
kolektor, dan jalan lokal;

(4) Pengelompokan jalan berdasarkan sistem jaringan jalan terdiri dari sistem
jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder;

(5) Rencana pengembangan prasarana jalan meliputi arahan pengembangan bagi


jalan nasional jalan bebas hambatan, jalan nasional bukan jalan bebas hambatan,
jalan provinsi, jalan kabupaten;

(6) Pengembangan prasarana jalan meliputi pengembangan jalan baru dan


pengembangan jalan yang sudah ada.

Pasal 15

(1) Rencana pengembangan jalan bebas hambatan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 14 ayat (5) meliputi ruas:
a. Semarang – Solo;
b. Solo – Mantingan; dan
c. Solo – Yogyakarta.

(2) Rencana pengembangan jalan bebas hambatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) meliputi ruas:
a. Semarang – Ungaran – Bawen – Salatiga – Boyolali – Solo; dan
b. Yogya – Klaten – Kartosuro – Boyolali – Surakarta.

(3) Rencana pengembangan jalan bebas hambatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) melewati:
a. ruas Semarang – Solo, melewati :
1. Kecamatan Ampel;
2. Kecamatan Boyolali;
3. Kecamatan Mojosongo;
4. Kecamatan Teras; serta
5. Kecamatan Banyudono.
b. ruas Solo – Mantingan, melewati :
1. Kecamatan Banyudono; dan
2. Kecamatan Ngemplak.
c. ruas Solo – Yogyakarta, melewati :
1. Kecamatan Banyudono; dan
2. Kecamatan Sawit.

(4) Dalam rencana pengembangan jalan bebas hambatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), di Kabupaten Boyolali juga digunakan sebagai in – out (masuk –
keluar) yang meliputi :
a. Kecamatan Mojosongo;
b. Kecamatan Banyudono; serta
c. Bandara Adi Soemarmo.
22

(5) Rencana pengembangan jalan arteri primer sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 14 ayat (3) meliputi ruas Sruwen – Boyolali – Kartosuro;

(6) Rencana peningkatan jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 14 ayat (3), meliputi:
a. Desa Sruwen – Kecamatan Karanggede – Kecamatan Klego – Kecamatan
Andong – Kecamatan Nogosari;
b. Boyolali – Tulung;
c. Boyolali – Blabak; dan
d. Desa Sruwen – Kecamatan Karanggede – Kecamatan Juwangi – Kecamatan
Godong

(7) Rencana pengembangan jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 14 ayat (6) meliputi ruas Ngasem – Bolon – Ngesrep – Bandar Udara
Internasional Adi Sumarmo; dan

(8) Rencana peningkatan dan pengembangan jalan lokal sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 14 ayat (3), meliputi ruas jalan utama penghubung antar kecamatan
di Kabupaten.

(9) Rencana peningkatan terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal


14 ayat (1) meliputi:
a. Terminal tipe C di wilayah Kecamatan Simo;
b. Terminal tipe C di wilayah Kecamatan Karanggede; dan
c. Terminal tipe C di wilayah Kecamatan Boyolali;

(10) Rencana pengembangan terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 14 ayat (1), meliputi:
a. Terminal tipe C di wilayah Kecamatan Juwangi
b. Terminal tipe C di wilayah Kecamatan Ampel;
c. Terminal tipe C di wilayah Kecamatan Cepogo;
d. Terminal tipe C di wilayah Kecamatan Mojosongo;
e. Terminal tipe C di wilayah Kecamatan Andong;
f. Terminal tipe C di wilayah Kecamatan Selo; dan
g. Terminal tipe A di Kabupaten Boyolali (Kecamatan Banyudono).

Pasal 16

(1) Rencana pengembangan prasarana transportasi perkeretaapian meliputi


arahan pengembangan jalur perkeretaapian dan pengembangan prasarana
transportasi kereta api untuk keperluan penyelenggaraan perkeretaapian komuter;

(2) Rencana pengembangan perkeretaapian meliputi arahan pengembangan dan


penataan jalur perkeretaapian di wilayah Boyolali;

(3) Jalur Kereta Api yang beroperasi saat ini yaitu Goprak – Gambringan di
Kecamatan Juwangi;

(4) Rencana pengembangan prasarana perkeretaapian untuk keperluan


penyelenggaraan kereta api komuter dengan jalur Solo – Boyolali; dan
23

(5) Rencana peningkatan stasiun kereta api di Kecamatan Juwangi dan rencana
pengembangan stasiun kereta api komuter di Desa Bangak Kecamatan
Banyudono.

Pasal 17

(1) Prasarana transportasi udara meliputi Bandar Udara Internasional Adi


Sumarmo yang ada di Kecamatan Ngemplak.

(2) Rencana pengembangan bandar udara umum, adalah pengembangan Bandar


Udara Internasional Adi Sumarmo di Kecamatan Ngemplak meliputi:
a. perpanjangan landasan ke barat, meliputi:
1. Runway : 400 meter; dan
2. Alat Navigasi : 100 meter.
b. pembuatan shoulder : 650 x 300 meter (ke barat);
c. acess route masuk Bandara di Terminal sebelah utara;
d. pengembangan intermoda terminal dengan akses rel Bandar Udara
Internasional Adi Sumarmo: dan
e. pemantapan Bandar Udara Internasional Adi Sumarmo sebagai bandara
internasional dan embarkasi haji.

(3) Rencana penanganan dan pengelolaan kawasan bandar udara, meliputi:


a. upaya perpanjangan landasan pacu;
b. pengembangan jalur penerbangan; dan
c. penyediaan fasilitas utama dan pendukung bandar udara.

Pasal 18

Rencana pengembangan prasarana transportasi perairan waduk, telaga dan danau


yaitu di Waduk Bade (Kecamatan Klego), di Waduk Kedungombo (Kecamatan
Kemusu) dan di Waduk Cengklik (Kecamatan Ngemplak).

Paragraf 2
Rencana Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 19

Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b


meliputi :
a. rencana pengembangan sistem jaringan energi;
b. rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi;
c. rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air; dan
d. rencana pengembangan sistem jaringan pengelolaan lingkungan.

Pasal 20

(1) Pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19


huruf a, meliputi:
a. pengembangan jaringan listrik;
b. pengembangan jaringan energi bahan bakar minyak dan gas.
24

(2) Pengembangan jaringan listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. pengembangan jaringan distribusi tegangan 220 V untuk
menjangkau wilayah-wilayah desa terpencil;
b. pengembangan gardu induk distribusi yang terletak di Kecamatan
Mojosongo dan Banyudono;
c. pengembangan daerah distribusi yang dilewati SUTT dan SUTET
di :
1. daerah yang dilalui SUTT 150 KV, meliputi:
a) arah Gardu Induk Mojosongo – Gardu Induk Bringin Salatiga;
b) arah Gardu Induk Bawen – Gardu Induk Klaten;
c) arah Gardu Induk Mojosongo – Gardu Induk Banyudono.
2. daerah yang dilalui SUTET 500 KV adalah arah Gardu Induk Bawen –
Gardu Induk Klaten
d. pengembangan sumber listrik lainnya yang potensial di Kabupaten
Boyolal, yaitu pembangkit listrik tenaga surya di Desa Jrakah Kecamatan Selo.
perluasan jaringan kabel PLN.

(3) Pengembangan jaringan energi Bahan Bakar Minyak dan Gas sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. pembangunan Depo di Kecamatan Teras;
b. pengembangan sistem jaringan pipa BBM Rewulu Kabupaten Sleman – Teras
Kabupaten Boyolali; dan
c. pengembangan sistem jaringan pipa BBM Teras – Pengapon Kota Semarang.

Pasal 21

(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b


adalah perangkat komunikasi dan pertukaran informasi yang dikembangkan untuk
tujuan-tujuan pengambilan keputusan di ranah publik ataupun privat.

(2) Jaringan telekomunikasi yang dikembangkan, meliputi:


a. sistem kabel;
b. sistem seluler; dan
c. sistem satelit.

(3) Rencana pengembangan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), terus ditingkatkan perkembangannya hingga mencapai pelosok wilayah
yang belum terjangkau sarana prasarana telekomunikasi dan informasi mendorong
kualitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

(4) Rencana pengelolaan infrastruktur telekomunikasi berupa tower BTS (Base


Transceiver Station) dan pemancar radio.

(5) Untuk meningkatkan pelayanan di wilayah terpencil, Pemerintah Daerah


memberi dukungan dalam pengembangan kemudahan jaringan telekomunikasi dan
layanan internet pada fasilitas umum.

Pasal 22
25

(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
c adalah prasarana pengembangan sumber daya air untuk memenuhi berbagai
kepentingan.

(2) Rencana sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi jaringan air bersih dan irigasi.

(3) Pengembangan prasarana sumber daya air untuk air bersih diarahkan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumber air permukaan dan sumber air tanah.

(4) Pemenuhan kebutuhan akan air bersih dan irigasi dilakukan dengan
peningkatan jaringan sampai ke wilayah yang belum terjangkau, sedangkan irigasi
dengan peningkatan saluran dari sistem setengah teknis dan sederhana
ditingkatkan menjadi irigasi teknis.

(5) Upaya penanganan untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih dengan
peningkatan sarana dan prasarana pendukung.

(6) Upaya peningkatan layanan fasilitas air bersih di Kabupaten, meliputi:


a. eksplorasi sumber daya air dengan cara mengalokasikan daerah
resapan air dan daerah dengan tangkapan curah hujan tinggi sebagai kawasan
lindung serta pencarian sumber-sumber air baru;
b. memperbanyak cadangan air bersih dengan membangun waduk atau
embung;
c. pengawasan dan pengendalian tingkat penggunaan sumber daya air
dengan menjaga dan melestarikan sumber air permukaan seperti sungai dan
sumber air lainnya serta sumber air tanah dengan pola pembangunan
berkelanjutan dan penggunaan air efisien;
d. peningkatan pelayanan distribusi air bersih dengan peningkatan sumber
daya manusia dan pola kinerja PDAM dan pengairan; dan
e. rencana sistem jaringan air bersih dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara
yaitu dengan sistem perpipaan untuk daerah yang cukup mudah terlayani dan
non perpipaan untuk wilayah yang sulit dilayani dengan cara membuat terminal
tanki air bersih.

(7) Rencana sistem jaringan air bersih diarahkan dengan pertimbangan prioritas
berikut:
a. wilayah dengan kebutuhan air cukup tinggi dan sumber daya air terbatas;
b. wilayah dengan kriteria perkotaan yang cukup kompleks; dan
c. wilayah dengan kandungan air tidak memenuhi syarat kesehatan.

(8) Pemanfaatan sumber air untuk kepentingan air minum dan irigasi atau untuk
berbagai pemanfaatan yang lainnya, yaitu mata air Tlatar Kecamatan Boyolali dan
mata air Manggis/ Nepen Kecamatan Teras, dilakukan dengan cara:
a. pengaturan dalam bentuk kerjasama dengan proporsi yang seimbang; dan
b. pengaturan komposisi antar wilayah dan pengaturan untuk kebutuhan irigasi
sehingga tidak terjadi kekurangan air bagi sawah beririgasi teknis dan setengah
teknis.

(9) Pengembangan waduk, dam, dan embung serta pompanisasi terkait dengan
pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dengan
mempertimbangkan:
26

a. daya dukung sumber daya air;


b. kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat;
c. kemampuan pembiayaan; dan
d. kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air.

(10) Pengembangan waduk dan embung sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
ditetapkan untuk pengendali banjir pada musim penghujan dan sebagai cadangan
air bersih pada musim kemarau, meliputi:
a. waduk dan embung eksisting di :
1. Waduk Kedungombo di Kecamatan Kemusu;
2. Waduk Cengklik di Kecamatan Ngemplak;
3. Waduk Klego di Kecamatan Klego;
4. Embung Sruni di Kecamatan Musuk;
5. Embung Blimbing di Kecamatan Musuk;
6. Embung Bendosari di Kecamatan Musuk;
7. Embung Setro 1 di Kecamatan Musuk;
8. Embung Keposong 1 di Kecamatan Musuk;
9. Embung Keposong 2 di Kecamatan Musuk;
10. Embung Jagir di Kecamatan Musuk;
11. Embung Lampargede di Kecamatan Musuk;
12. Embung Randukuning di Kecamatan Musuk;
13. Embung Soko di Kecamatan Musuk;
14. Embung Pager Jurang di Kecamatan Musuk;
15. Check Dam Gupaan di Kecamatan Andong;
16. Embung Setro 2 di Kecamatan Musuk;
17. Embung Munggur Jurang di Kecamatan Musuk;
18. Embung Cluntang di Kecamatan Musuk;
19. Embung Kedungmenjangan di Kecamatan Kemusu;
20. Embung Kendel di Kecamatan Kemusu;
21. Embung Sari Mulyo di Kecamatan Kemusu;
22. Embung Lemah Ireng di Kecamatan Kemusu;
23. Embung Kemusu di Kecamatan Kemusu;
24. Check Dam Karanggatak di Kecamatan Kemusu;
25. Check Dam Karangweru di Kecamatan Kemusu;
26. Check Dam Kendel di Kecamatan Kemusu;
27. Check Dam Lemah Ireng di Kecamatan Kemusu;
28. Check Dam Sari Mulyo di Kecamatan Kemusu; dan
29. Check Dam Kemusu di Kecamatan Kemusu.
b. Pengembangan embung baru di:
1. Embung Keyongan di Kecamatan Nogosari;
2. Embung Gunung di Kecamatan Nogosari;
3. Embung Gubug di Kecamatan Cepogo;
4. Embung Sumbung di Kecamatan Cepogo;
5. Embung Cepogo di Kecamatan Cepogo;
6. Embung Genting di Kecamatan Cepogo;
7. Embung Samiran di Kecamatan Selo;
8. Embung Sempu di Kecamatan Andong;
9. Embung Kadipaten di Kecamatan Andong;
10. Embung Pelemrejo di Kecamatan Andong;
11. Embung Poko di Kecamatan Musuk
27

(11) Jaringan irigasi di Kabupaten, terdiri dari:


a. jaringan teknis, meliputi:
1. jaringan primer;
2. jaringan sekunder;
3. jaringan tersier.
b. jaringan non teknis.

(12) Area lahan beririgasi teknis perlu dipertahankan agar tidak berubah fungsi
menjadi peruntukan yang lain.

(13) Rencana pengelolaan sumber daya air meliputi :


a. pembangunan prasarana sumber daya air;
b. semua sumber air baku dari dam, embung, waduk, telaga, bendungan serta
sungai-sungai yang airnya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan;
c. zona pemanfaatan DAS dilakukan dengan membagi tipologi DAS berdasarkan
tipologinya;
d. penetapan zona pengelolaan sumber daya air sesuai dengan keberadaan
wilayah sungai tersebut pada zona kawasan lindung tidak diijinkan
pemanfaatan sumber daya air untuk fungsi budidaya, termasuk juga untuk
penambangan; serta
e. kajian kemampuan cadangan air bawah tanah disertai dengan amdal jika akan
melakukan eksplorasi dan eksploitasi.

Pasal 23

(1) Rencana pengembangan sistem jaringan pengelolaan lingkungan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 19 huruf d, meliputi:
a. pengembangan jaringan drainase;
b. pengembangan jaringan pengelolaan sampah; dan
c. pengembangan jaringan pengelolaa limbah.

(2) Rencana pengembangan jaringan drainase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a merupakan rencana pengelolaan saluran yang menampung dan
mengalirkan air permukaan, baik berupa jaringan primer, sekunder, dan tersier.
a. jaringan primer berupa sungai atau jaringan yang menampung air dari jaringan
sekunder;
b. jaringan sekunder berupa jaringan drainase yang terdapat dan mengikuti pola
jalan raya di kanan atau kirinya yang menampung air dan jaringan tersier
(perumahan); dan
c. jaringan tersier berupa jaringan drainase yang terdapat di dalam lokasi jalan
dalam permukiman penduduk.

(3) Rencana pengembangan jaringan drainase meliputi:


a. prioritas pembangunan saluran drainase konvensional terdiri dari jaringan
drainase primer, sekunder dan tersier;
b. rencana pengembangan drainase melalui konsep ekodrainase di Daerah
dilakukan melalui pembuatan kolam konservasi, metode sumur resapan,
metode river side polder, dan metode pengambangan areal perlindungan air
tanah.

(4) Rencana pengelolaan sistem jaringan lingkungan/persampahan sebagaimana


dimaksud yang pada ayat (1) huruf b, meliputi:
28

a. kerjasama antara wilayah dalam hal pengelolaan dan penanggulangan masalah


sampah terutama diwilayah perkotaan;
b. pengalokasian Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sesuai dengan persyaratan
teknis di Desa Winong Kecamatan Boyolali, Kecamatan Nogosari, Kecamatan
Karanggede dan Kecamatan Ngemplak;
c. pengolahan dilaksanakan dengan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan
kaidah teknis, dan
d. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan daya dukung
lingkungan.

(5) Upaya penanganan persampahan di wilayah perkotaan Kabupaten Boyolali


meliputi pengembangan:
a. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) terpadu yang dikelola bersama untuk
kepentingan antar wilayah;
b. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional untuk menampung dan mengelola
sampah di Desa Winong Kecamatan Boyolali, Kecamatan Nogosari,
Kecamatan Karanggede dan Kecamatan Ngemplak;
c. tempat pengelolaan limbah industri Bahan Berbahaya Beracun (B3) dan non
Bahan Berbahaya Beracun; dan
d. pengembangan sistem pengelolaan dengan sanitary lanfill dan sistem 3R, yaitu
pengurangan (Reduce), penggunaan (Reuse), daur ulang (Recycle).

(6) Rencana pengelolaan jaringan sanitasi/ limbah khusus rumah tangga


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. penanganan limbah secara on site dengan pembangunan jamban keluarga,
jamban komunal dan Mandi Cuci Kaktus umum;
b. penanganan limbah secara off site dengan sistem perpipaan dengan
membangun Instalasi Pengolah Air limbah (IPAL) Komunal;
c. penanganan limbah padat dengan incenerator dan limbah tinja dengan Instalasi
Pengolah Lumpur tinja (IPLT); dan
d. menyediakan sarana pengangkutan limbah ke lokasi pengolahan limbah.

BAB IV

RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 24

Rencana pola ruang wilayah Kabupaten Boyolali terdiri atas:


a. rencana pola ruang kawasan lindung; dan
b. rencana pola ruang kawasan budidaya.

Bagian Kedua
Rencana Pelestarian Kawasan Lindung

Pasal 25
29

Rencana pola ruang untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf a, yaitu meliputi:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;
e. kawasan rawan bencana alam;
f. kawasan lindung geologi; dan
g. kawasan lindung lainnya.

Paragraf 1
Kawasan Hutan Lindung

Pasal 26

(1) Kawasan hutan lindung sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 huruf a
adalah kawasan lindung yang dikelola oleh masyarakat.

(2) Kawasan lindung yang dikelola oleh masyarakat sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) terletak di Kecamatan Ampel, Kecamatan Cepogo, Kecamatan
Musuk dan Kecamatan Selo, seluas kurang lebih 1.418 Ha.

Paragraf 2
Kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Kawasan Bawahannya

Pasal 27

(1) Kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahannya


sebagaimana dimaksud pada pasal 25 huruf b adalah kawasan resapan air.

(2) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terletak di Lereng
Gunung Merapi dan Merbabu, Kecamatan Selo, Kecamatan Cepogo, Kecamatan
Ampel, dan Kecamatan Musuk seluas kurang lebih 7.935 Ha.

Paragraf 3
Kawasan Perlindungan Setempat

Pasal 28

(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c


meliputi:
a. Kawasan sempadan sungai;
b. Kawasan sekitar mata air; dan
c. Kawasan sekitar waduk.

(2) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terletak
pada seluruh kecamatan yang dilewati oleh Sungai Serang, Sungai Cemoro,
30

Sungai Pepe, Sungai Gandul, dan Sungai Bedoyo serta sungai-sungai kecil
lainnya.

(3) Kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terletak di
semua mata air yang ada di Kabupaten Boyolali meliputi mata air yang ada di
Kecamatan Ampel, Kecamatan Boyolali, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan
Banyudono, Kecamatan Teras, Kecamatan Sawit, Kecamatan Nogosari,
Kecamatan Cepogo, Kecamatan Klego dan Kecamatan Musuk.

(4) Kawasan sekitar waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu
meliputi kawasan sekitar Waduk Bade (Kecamatan Klego), Waduk Kedungombo
(Kecamatan Kemusu) dan Waduk Cengklik (Kecamatan Ngemplak).

Paragraf 4
Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya

Pasal 29

(1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf d, meliputi:
a. Taman Nasional;
b. Taman Wisata; dan
c. Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.

(2) Kawasan Taman Nasional seluas kurang lebih 3829 Ha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, yaitu terletak di Taman Nasional Gunung Merapi dan Taman
Nasional Gunung Merbabu.

(3) Kawasan taman wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terletak di
Kecamatan Selo, Kecamatan Ampel, Kecamatan Juwangi, dan Kecamatan
Kemusu.

(4) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c terletak di Kecamatan Cepogo, Kecamatan Selo, Kecamatan Teras,
Kecamatan Wonosegoro, Kecamatan Klego, Kecamatan Simo, Kecamatan Sambi,
Kecamatan Andong, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Musuk, Kecamatan
Banyudono, Kecamatan Ampel, Kecamatan Juwangi, Kecamatan Sawit,
Kecamatan Kemusu, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Karanggede, Kecamatan
Nogosari dan Kecamatan Boyolali.

Paragraf 5
Kawasan Rawan Bencana Alam

Pasal 30

(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e
meliputi:
a. Daerah rawan banjir;
b. Daerah rawan banjir lahar dingin;
c. Daerah rawan tanah longsor;
31

d. Daerah rawan letusan gunung berapi;


e. Daerah rawan kebakaran hutan;
f. Daerah rawan angin topan;
g. Daerah rawan gempa bumi; dan
h. Daerah rawan kekeringan.

(2) Daerah rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terletak di
Kecamatan Klego, Kecamatan Kemusu dan Kecamatan Wonosegoro.

(3) Daerah rawan banjir lahar dingin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terletak di Kecamatan Selo, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Musuk, Kecamatan
Boyolali dan Kecamatan Mojosongo dimana letaknya berdekatan dengan Gunung
Merbabu dan Merapi.

(4) Daerah rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
terdapat di:
a. Seluruh Kecamatan di Kabupaten Boyolali yang memiliki lembah sungai curam;
b. Perbukitan terjal di kaki Gunung Merapi dan Merbabu (Kecamatan Selo,
Kecamatan Cepogo, Kecamatan Musuk);
c. Lereng timur Gunung Merbabu (Kecamatan Ampel);
d. Kecamatan Karanggede;
e. Kecamatan Boyolali;
f. Kecamatan Mojosongo;
g. Kecamatan Sambi;
h. Kecamatan Nogosari;
i. Kecamatan Simo;
j. Kecamatan Klego,
k. Kecamatan Andong;
l. Kecamatan Wonosegoro; dan
m. Kecamatan Kemusu.

(5) Daerah rawan letusan gunung api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
terdapat di Kecamatan Cepogo, Kecamatan Selo, dan Kecamatan Musuk.

(6) Daerah rawan kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
terdapat di Kecamatan Ampel, Kecamatan Selo, Kecamatan Musuk, Kecamatan
Cepogo, Kecamatan Karanggede, Kecamatan Klego, Kecamatan Kemusu,
Kecamatan Wonosegoro dan Kecamatan Juwangi.

(7) Daerah rawan angin topan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdapat
di Kecamatan Selo, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Musuk, Kecamatan Ampel
dan Kecamatan Wonosegoro.

(8) Daerah rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terdapat
di Kecamatan Sawit dan lereng Gunung Merapi.

(9) Daerah rawan kekeringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terdapat
di Kecamatan Ampel, Kecamatan Selo, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Boyolali,
Kecamatan Musuk, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Sambi, Kecamatan
Nogosari, Kecamatan Simo, Kecamatan Andong, Kecamatan Klego, Kecamatan
Wonosegoro, Kecamatan Kemusu, dan Kecamatan Juwangi.
32

(10) Jalur evakuasi bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. penetapan jalur evakuasi apabila terjadi bencana alam dengan mengoptimalkan
jaringan jalan yang ada;
b. jalur evakuasi bencana letusan Gunung Merapi, meliputi:
1. Jalan Desa Jrakah;
2. Jalan Jalur Evakuasi Tlgolele;
3. Jembatan Sengi Desa Tlogolele; dan
4. Jalan Desa Klakah.

Paragraf 6
Kawasan Lindung Geologi

Pasal 31

Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf f meliputi:


kawasan imbuhan air cekungan Karanganyar – Boyolali.

Pasal 32

(1) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf g


meliputi kawasan perlindungan plasma nutfah di daratan.

(2) Kawasan perlindungan plasma nutfah di daratan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), yaitu berada di kawasan perlindungan plasma nutfah di daratan yang ada
di daerah.

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya

Pasal 33

Rencana pengembangan pola ruang untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 24 huruf b, meliputi:
a. Kawasan peruntukan hutan produksi;
b. Kawasan peruntukan hutan rakyat;
c. Kawasan peruntukan pertanian;
d. Kawasan peruntukan perkebunan;
e. Kawasan peruntukan perikanan;
f. Kawasan peruntukan peternakan;
g. Kawasan peruntukan pertambangan;
h. Kawasan peruntukan industri;
i. Kawasan peruntukan pariwisata;
j. Kawasan peruntukan permukiman; dan
k. Kawasan peruntukan lainnya.

Paragraf 1
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi

Pasal 34
33

(1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf
a dibagi menjadi:
a. Hutan produksi tetap; dan
b. Hutan produksi terbatas.

(2) Hutan produksi tetap seluas kurang lebih 12.461 Ha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terdapat di kecamatan-kecamatan sebagai berikut:
a. Kecamatan Karanggede;
b. Kecamatan Klego;
c. Kecamatan Kemusu;
d. Kecamatan Wonosegoro; dan
e. Kecamatan Juwangi.

(3) Hutan produksi terbatas seluas kurang lebih 1.203,5 Ha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terdapat di kecamatan-kecamatan sebagai berikut:
a. Kecamatan Juwangi;
b. Kecamatan Kemusu; dan
c. Kecamatan Klego.

Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat

Pasal 35

Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b


terdapat kecamatan diseluruh Kabupaten Boyolali dengan luas kurang lebih 19.000
Ha.

Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Pertanian

Pasal 36

(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c


meliputi:
a. Kawasan pertanian lahan basah;
b. Kawasan pertanian lahan kering; dan
c. Kawasan peruntukan hortikultura.

(2) Kawasan peruntukan pertanian yang diarahkan dan ditetapkan untuk


dipertahankan sebagai kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan seluas
kurang lebih 16.245 Ha, meliputi:
a. Kecamatan Andong;
b. Kecamatan Sambi;
c. Kecamatan Simo;
d. Kecamatan Wonosegoro;
e. Kecamatan Karanggede;
f. Kecamatan Klego;
g. Kecamatan Ngemplak;
34

h. Kecamatan Banyudono;
i. Kecamatan Teras;
j. Kecamatan Sawit;
k. Kecamatan Nogosari;
l. Kecamatan Mojosongo;
m. Kecamatan Kemusu;
n. Kecamatan Ampel; dan
o. Kecamatan Boyolali.

(3) Kawasan pertanian lahan basah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
seluas kurang lebih 23.070 Ha, meliputi:
a. Kecamatan Andong;
b. Kecamatan Sambi;
c. Kecamatan Simo;
d. Kecamatan Wonosegoro;
e. Kecamatan Karanggede;
f. Kecamatan Klego;
g. Kecamatan Ngemplak;
h. Kecamatan Banyudono;
i. Kecamatan Teras;
j. Kecamatan Sawit;
k. Kecamatan Nogosari;
l. Kecamatan Mojosongo;
m. Kecamatan Kemusu;
n. Kecamatan Ampel;
o. Kecamatan Boyolali;
p. Kecamatan Cepogo;
q. Kecamatan Juwangi; serta
r. Kecamatan Selo.

(4) Kawasan pertanian lahan kering seluas kurang lebih 40.106 Ha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari kawasan tegalan (tanah ladang),
meliputi:
a. Kecamatan Kemusu;
b. Kecamatan Ampel;
c. Kecamatan Musuk;
d. Kecamatan Selo;
e. Kecamatan Wonosegoro;
f. Kecamatan Simo;
g. Kecamatan Sambi;
h. Kecamatan Boyolali;
i. Kecamatan Mojosongo;
j. Kecamatan Klego;
k. Kecamatan Andong;
l. Kecamatan Juwangi;
m. Kecamatan Nogosari;
n. Kecamatan Karanggede;
o. Kecamatan Teras;
p. Kecamatan Sawit;
q. Kecamatan Ngemplak; dan
r. Kecamatan Banyudono.
35

(5) Kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di
Kecamatan Cepogo, Selo, Ampel, Musuk, Ngemplak, Mojosongo, Teras, Sawit,
Banyudono, Nogosari, Karanggede, Klego, Andong, Kemusu, Wonosegoro dan
Boyolali.

(6) Kawasan hortikultura sebagaimana disebut pada ayat (5) berupa biofarmaka,
sayur-sayuran dan buah-buahan.

Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Perkebunan

Pasal 37

Kawasan peruntukan perkebunan seluas kurang lebih 9.689 Ha sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 33 huruf d pengembangannya, meliputi:
a. Kecamatan Selo seluas kurang lebih 1552 Ha, meliputi perkebunan cengkeh,
tembakau, jahe, kopi robusta, kopi arabika, khina dan kayu manis;
b. Kecamatan Ampel seluas kurang lebih 2.116 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
cengkeh, teh, tembakau, kencur, jahe, kopi robusta, kopi arabika, kapuk randu dan
kayu manis;
c. Kecamatan Cepogo seluas kurang lebih 984 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
cengkeh, tembakau, jahe, kopi robusta, kopi arabika, kenanga dan lengkuas;
d. Kecamatan Musuk seluas kurang lebih 686 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
cengkeh, teh, tembakau, jahe, kopi arabika dan kapuk randu;
e. Kecamatan Boyolali seluas kurang lebih 177 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
cengkeh, tembakau, jahe dan kopi robusta;
f. Kecamatan Mojosongo seluas kurang lebih 439 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
cengkeh, tembakau, kencur, jahe, kopi robusta, jambu mete, kenanga dan kapuk
randu;
g. Kecamatan Teras seluas kurang lebih 190 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
tembakau, jambu mete dan kenanga;
h. Kecamatan Sawit seluas kurang lebih 417 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
tembakau dan kenanga;
i. Kecamatan Banyudono seluas kurang lebih 161 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
tembakau, kenanga, kapuk randu dan kantil;
j. Kecamatan Sambi seluas kurang lebih 55 Ha, meliputi perkebunan kelapa, kencur
dan jahe;
k. Kecamatan Ngemplak seluas kurang lebih 73 Ha, meliputi perkebunan kelapa dan
kencur;
l. Kecamatan Nogosari seluas kurang lebih 96 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
kencur dan jambu mete;
m. Kecamatan Simo seluas kurang lebih 197 Ha, meliputi perkebunan kelapa, kencur,
jahe, jambu mete dan kapuk randu;
n. Kecamatan Karanggede seluas kurang lebih 880 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
cengkeh, jahe, dan asem;
o. Kecamatan Klego seluas kurang lebih 322 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
cengkeh, kencur, kopi robusta, jambu mete, kapuk randu, pace, asem dan
lengkuas;
p. Kecamatan Andong seluas kurang lebih 165 Ha, meliputi perkebunan kelapa,
kencur dan jambu mete;
q. Kecamatan Kemusu seluas kurang lebih 157 Ha, meliputi perkebunan kelapa;
36

r. Kecamatan Wonosegoro seluas kurang lebih 782 Ha, meliputi perkebunan kelapa;
s. Kecamatan Juwangi seluas kurang lebih 240 Ha, meliputi perkebunan kelapa dan
tembakau.

Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Perikanan

Pasal 38

Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf e


terdapat di kecamatan-kecamatan, meliputi:
a. usaha pembenihan lele di Kecamatan Banyudono, Kecamatan Teras, Kecamatan
Ngemplak, Kecamatan Karanggede dan Kecamatan Simo;
b. usaha pembesaran lele di Kecamatan Sawit;
c. usaha pembesaran nila hitam dan merah di Kecamatan Mojosongo, Kecamatan
Sambi, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Juwangi, dan Kecamatan Kemusu;
d. usaha pembenihan nila merah dan hitam di Kecamatan Boyolali dan Kecamatan
Banyudono;
e. usaha budidaya ikan mas dan gurami di Kecamatan Karanggede;
f. usaha pembesaran udang galah di Kecamatan Sawit;
g. usaha penangkapan ikan di waduk di Kecamatan Sambi, Kecamatan Ngemplak,
Kecamatan Klego, dan Kecamatan Kemusu; dan
h. usaha penangkapan ikan sungai di Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras,
Kecamatan Sawit, Kecamatan Banyudono, Kecamatan Nogosari, Kecamatan
Kemusu, dan Kecamatan Wonosegoro.

Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Peternakan

Pasal 39

Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf f


terdapat di kecamatan-kecamatan sebagai berikut:
a. Ternak Besar:
1. Sapi potong di seluruh kecamatan;
2. Sapi perah di Kecamatan Selo, Kecamatan Ampel, Kecamatan Cepogo,
Kecamatan Musuk, Kecamatan Mojosongo;
3. Kerbau di Kecamatan Ampel, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras,
Kecamatan Sawit, Kecamatan Banyudono, Kecamatan Sambi, Kecamatan
Ngemplak, Kecamatan Simo, Kecamatan Karanggede, Kecamatan Klego,
Kecamatan Andong, Kecamatan Kemusu, Kecamatan Wonosegoro, dan
Kecamatan Juwangi; dan
4. Kuda di Kecamatan Selo, Kecamatan Ampel, Kecamatan Cepogo, Kecamatan
Musuk, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras, Kecamatan Sawit,
Kecamatan Banyudono, Kecamatan Sambi, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan
Simo, Kecamatan Wonosegoro, dan Kecamatan Juwangi.
b. Ternak Kecil:
1. Kambing di seluruh kecamatan (kecuali Kelurahan Banaran, Kelurahan Pulisen,
Kelurahan Siswodipuran Kecamatan Boyolali);
37

2. Domba di seluruh kecamatan (kecuali Kelurahan Banaran, Kelurahan Pulisen,


Kelurahan Siswodipuran Kecamatan Boyolali);
3. Babi di Kecamatan Cepogo, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras,
Kecamatan Sawit, Kecamatan Banyudono, Kecamatan Sambi, dan Kecamatan
Ngemplak; dan
4. Kelinci di seluruh kecamatan (kecuali Kelurahan Pulisen, Kelurahan Banaran,
Kelurahan Siswodipuran Kecamatan Boyolali).
c. Unggas:
1. Itik di seluruh kecamatan (kecuali Kelurahan Pulisen, Kelurahan Banaran,
Kelurahan Siswodipuran Kecamatan Boyolali);
2. Ayam Buras di seluruh kecamatan (kecuali Kelurahan Pulisen, Keluarahan
Banaran, Kelurahan Siswodipuran Kecamatan Boyolali);
3. Ayam Ras Petelur di Kecamatan Ampel, Kecamatan Cepogo, Kecamatan
Musuk, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras, Kecamatan Sawit,
Kecamatan Banyudono, Kecamatan Sambi, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan
Nogosari, Kecamatan Simo, Kecamatan Karanggede, Kecamatan Wonosegoro
dan Kecamatan Klego;
4. Ayam Ras Pedaging di Kecamatan Selo, Kecamatan Ampel, Kecamatan
Cepogo, Kecamatan Musuk, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras,
Kecamatan Sawit, Kecamatan Banyudono, Kecamatan Sambi, Kecamatan
Ngemplak, Kecamatan Nogosari, Kecamatan Simo, dan Kecamatan
Karanggede; dan
5. Burung Puyuh di Kecamatan Selo, Kecamatan Ampel, Kecamatan Cepogo,
Kecamatan Musuk, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras, Kecamatan
Sawit, Kecamatan Banyudono, Kecamatan Sambi, Kecamatan Ngemplak,
Kecamatan Nogosari, Kecamatan Simo, Kecamatan Karanggede, Kecamatan
Klego, Kecamatan Andong, Kecamatan Kemusu, dan Kecamatan Wonosegoro.
d. Sentra industri abon dan dendeng di Kecamatan Ampel;
e. Sentra Industri pengolahan susu di Kecamatan Cepogo, Kecamatan Boyolali, dan
Kecamatan Musuk.

Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Pertambangan

Pasal 40

Kawasan peruntukan pertambangan seluas kurang lebih 3.900 Ha sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 33 huruf g meliputi:
a. Andesit berada di Kecamatan Sambi, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Ampel,
Kecamatan Karanggede, Kecamatan Simo, Kecamatan Musuk, Kecamatan
Cepogo, Kecamatan Selo dan Kecamatan Wonosegoro;
b. Batu Belah (Batu Kali) berada di Kecamatan Ampel, Kecamatan Klego,
Kecamatan Andong, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Selo, Kecamatan Musuk
dan Kecamatan Wonosegoro;
c. Tras berada di Kecamatan Mojosongo dan Kecamatan Klego;
d. Tanah Urug berada di seluruh kecamatan (kecuali Kecamatan Sawit);
e. Pasir batu berada di wilayah Kecamatan Cepogo, Kecamatan Musuk, Kecamatan
Ampel, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Banyudono, Kecamatan Sambi,
Kecamatan Selo dan Kecamatan Simo;
f. Batu gamping berada di wilayah Kecamatan Juwangi;
g. Bentonit berada di wilayah Kecamatan Wonosegoro, Kecamatan Karanggede,
Kecamatan Kemusu, Kecamatan Klego, Kecamatan Sambi dan Kecamatan Simo;
38

h. Tanah Diatome berada di wilayah Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Simo, dan


Kecamatan Nogosari;
i. Lempung/Tanah liat berada di wilayah Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Sambi,
Kecamatan Mojosongo dan Kecamatan Boyolali.

Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Industri

Pasal 41

(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf h


terdiri atas:
a. industri sedang sampai besar;
b. industri sedang; dan
c. industri rumah tangga.

(2) Kawasan peruntukan industri sedang sampai besar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terdiri dari jenis industri pemesinan, listrik, tekstil, alat angkutan,
makanan, galian bukan logam, kertas, industri kayu, dan industri lainnya, diarahkan
di Kecamatan Teras, Kecamatan Banyudono, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan
Nogosari, Kecamatan Klego, Kecamatan Karanggede, Kecamatan Sambi,
Kecamatan Wonosegoro, Kecamatan Andong, Kecamatan Ampel dan Kecamatan
Juwangi, dengan luas kurang lebih 1.191 Ha.

(3) Kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri dari jenis industri pertanian, kertas, industri kayu, penerbit, percetakan dan
industri lainnya, diarahkan di Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Simo, Kecamatan
Boyolali, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Sawit dan Kecamatan Musuk dengan
luas kurang lebih 100 Ha.

(4) Kawasan peruntukan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdiri dari jenis industri makanan, minuman dan kerajinan dengan lokasi
diarahkan tersebar di seluruh kecamatan.

Paragraf 9
Kawasan Peruntukan Pariwisata

Pasal 42

(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
huruf i meliputi:
a. Kawasan wisata alam;
b. Kawasan wisata religius;
c. Kawasan wisata budaya; serta
d. Kawasan wisata rekreasi/ buatan.

(2) Kawasan wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. Pemandian Umbul Tlatar di Kecamatan Boyolali;
b. Kawasan Wisata Pengging di Kecamatan Banyudono;
39

c. Obyek Wisata Kawasan Selo/ Kawasan Arga Merapi-Merbabu di Kecamatan


Selo dan Kecamatan Musuk;
d. Air Terjun Kedung Kayang di Kecamatan Selo;
e. Air Terjun Pantaran di Kecamatan Ampel;
f. Agrowisata Padi di Kecamatan Banyudono;
g. Umbul Sungsang di Kecamatan Banyudono;
h. Umbul Kendat di Kecamatan Banyudono;
i. Umbul Ngleses di Kecamatan Banyudono;
j. Agrowisata Sapi Perah di Kecamatan Cepogo;
k. Irung Petruk di Desa Genting Kecamatan Cepogo;
l. Wisata Susuh Angin di Desa Sumbung Kecamatan Cepogo;
m. Agrowisata Sayur di Kecamatan Selo;
n. Sumber Sipedok di Kecamatan Selo;
o. Umbul Nepen di Kecamatan Mojosongo;
p. Sumber Mungup di Kecamatan Sawit;
q. Wana Wisata Wonoharjo di Kecamatan Kemusu; dan
r. Gunung Madu di Kecamatan Simo.

(3) Kawasan wisata religius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. Makam Gunung Tugel di Kecamatan Sambi;
b. Makam Ki Ageng Pantaran di Kecamatan Ampel;
c. Makam Ki Ageng Kebo Kanigoro di Kecamatan Selo;
d. Makam Ki Hajar Saloka di Kecamatan Selo;
e. Makam Kyai Kalang di Kecamatan Selo;
f. Makam Kyai Rogo Belo di Kecamatan Selo;
g. Makam Si Lengok di Kecamatan Selo;
h. Makam Singoprono di Kecamatan Simo;
i. Makam Indrokilo di Kecamatan Mojosongo;
j. Makam Sri Makurung di Kecamatan Banyudono;
k. Makam R. Ngabehi Yosodipuro di Kecamatan Banyudono;
l. Makam KRT Padmonegoro di Kecamatan Banyudono;
m. Makam Syeh Maulana Malik Ibrahim Magribi di Kecamatan Ampel;
n. Makam Sekau Kedaton;
o. Makam Gedong di Desa Jembungan Kecamatan Banyudono;
p. Masjid Cipto Mulyo di Kecamatan Banyudono; dan
q. Pesanggrahan Pracimoharjo di Paras di Kecamatan Cepogo.

(4) Kawasan wisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di
Jatilan (Cepogo), Sadranan, Candi Lawang, Candi Sari di Kecamatan Cepogo;
Situs Sumur Songo di Kecamatan Cepogo; Jatilan (Ampel) di Kecamatan Ampel;
Jatilan (Selo), Gua Raja, Gua Gentan (Jepang) di Kecamatan Selo; Wayang di
Kecamatan Banyudono dan Kecamatan Sawit.

(5) Kawasan wisata rekreasi/ buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
terdapat di kawasan wisata:
a. Waduk Cengklik di Kecamatan Ngemplak;
b. Waduk Bade di Kecamatan Klego;
c. Waduk Kedungombo di Kecamatan Kemusu;
d. Pesanggrahan Paras di Kecamatan Musuk;
e. Gunung Madu di Kecamatan Simo;
f. Bumi Perkemahan di Kecamatan Ampel;
40

g. Kerajinan Kurungan Burung di Kecamatan Banyudono;


h. Kerajinan Gamelan dan Wayang di Kecamatan Banyudono;
i. Taman Kridanggo di Kecamatan Boyolali;
j. Taman Pandan Samiran di Kecamatan Selo;
k. Teropong Gunung Jerakah di Kecamatan Selo;
l. Teropong Gunung Samiran di Kecamatan Selo;
m. Base Camp Tuk Pakis di Kecamatan Selo;
n. Guest House di Kecamatan Selo;
o. Basis Pendakian Nglencoh di Kecamatan Selo;
p. Kerajinan mainan di Kecamatan Mojosongo;
q. Kerajinan Boneka di Kecamatan Musuk;
r. Bio Gas di Kecamatan Cepogo;
s. Kerajinan Boneka Wayang Sukorame di Kecamatan Kemusu;
t. Industri Abon dan Dendeng di Kecamatan Ampel; dan
u. Kerajinan Tembaga di Kecamatan Cepogo.

Paragraf 10
Kawasan Peruntukan Permukiman

Pasal 43

(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf j


meliputi:
a. permukiman perdesaan; dan
b. permukiman perkotaan.

(2) Upaya pengelolaan kawasan permukiman perdesaan meliputi:


a. memilih desa-desa potensial sebagai pusat pertumbuhan;
b. mengembangkan aktivitas yang mendukung pertanian (agroindustri,
agrobusiness, agrowisata dan agropolitan); dan
c. peningkatan sumber daya manusia dan buatan, agar keberadaan manusia
menjadi prioritas utama pengembangan wilayah perdesaan yang cenderung
terbelakang.

(3) Upaya pengelolaan kawasan permukiman perkotaan meliputi:


a. menentukan hirarki kota-kota sebagai pusat-pusat pengembangan wilayah
kabupaten;
b. pengembangan wilayah perkotaan dengan peningkatan fungsi dan peran kota-
kota yang terbentuk dalam sistem perkotaan yang terintegrasi, dalam fungsi
utama sebagai pusat pengembangan wilayah sekitarnya sesuai dengan hirarki
kotanya, untuk membentuk struktur perkotaan yang dinamis dan terintegrasi;
dan
c. membuka kesempatan investasi keuangan dan jasa dalam usaha
meningkatkan fungsi dan peran kota, dengan beberapa hal berikut ini:
1. dengan kemudahan-kemudahan penanaman modal yang telah diatur
dalam tata aturan perundangan yang berlaku; dan
2. meningkatkan sarana dan prasarana wilayah yang lebih memadai

Paragraf 11
Kawasan Peruntukan Lainnya
41

Pasal 44

Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf k, meliputi:


a. Ruang Terbuka Hijau Kota seluas kurang lebih 2.020 Ha, meliputi:
1. Kota Boyolali;
2. Kawasan perkotaan di Kecamatan Ampel;
3. Kawasan perkotaan di Kecamatan Banyudono;
4. Kawasan perkotaan di Kecamatan Karanggede.
b. daerah latihan militer di Desa Sobokerto Kecamatan Ngemplak dan Desa Kenteng
Kecamatan Nogosari seluas kurang lebih 400 Ha.

BAB V

PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN

Pasal 45

Beberapa kawasan yang merupakan kawasan strategis di Kabupaten, meliputi:


a. Kawasan strategis untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi;
b. Kawasan strategis sosial budaya; dan
c. Kawasan strategis untuk fungsi dan daya dukung lingkungan;

Bagian Pertama
Kawasan Strategis untuk Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi

Pasal 46

Rencana pengembangan kawasan strategis untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, meliputi:
a. koridor kawasan strategis Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo,
Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten);
b. jalur kawasan SSB (Solo-Selo-Borobudur);
c. kawasan minapolitan di Kecamatan Banyudono, Kecamatan Teras, dan
Kecamatan Sawit;
d. kawasan agropolitan di Kecamatan Ampel, Kecamatan Selo, dan Kecamatan
Cepogo;
e. kawasan yang termasuk dalam PKW di Kecamatan Boyolali;
f. kawasan yang termasuk dalam PKL di Kecamatan Ampel;
g. kawasan yang termasuk dalam PKLp di Kecamatan Banyudono dan Kecamatan
Karanggede;
h. kawasan perdagangan dan jasa di sepanjang jalan kabupaten;
i. wilayah perbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo (Kecamatan Gatak dan
Kecamatan Kartasura) yang berbatasan dengan Kecamatan Sawit (Kabupaten
Boyolali) dikembangkan sebagai kawasan perdagangan dan jasa pada sepanjang
main road (jalan arteri);
j. wilayah perbatasan dengan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo)
yang berbatasan dengan Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan Nogosari
(Kabupaten Boyolali) dikembangkan sebagai kawasan peruntukan industri; dan
42

k. kawasan wisata Pengging di Kecamatan Banyudono.

Bagian Kedua
Kawasan Strategis Sosial Budaya

Pasal 47

Rencana pengembangan kawasan strategis sosial budaya sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 45 huruf b, meliputi:
a. kawasan makam yang ada di Kecamatan Simo, Kecamatan Nogosari, Kecamatan
Klego, Kecamatan Banyudono, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Selo,
Kecamatan Ampel dan Kecamatan Teras;
b. peninggalan sejarah berupa yoni dan peninggalan arca seperti di Kecamatan
Simo, Kecamatan Nogosari, Kecamatan Andong, Kecamatan Klego, Kecamatan
Musuk, Kecamatan Boyolali dan Kecamatan Mojosongo; dan
c. pengembangan permukiman tradisional di Desa Samiran Kecamatan Selo.

Bagian Ketiga
Kawasan Strategis untuk Kepentingan Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan

Pasal 48

Rencana pengembangan kawasan strategis untuk kepentingan fungsi dan daya


dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c meliputi:
a. kawasan lindung yang dikelola oleh masyarakat terdapat di Kecamatan Ampel,
Kecamatan Musuk, Kecamatan Cepogo, dan Kecamatan Selo.
b. kawasan kawasan resapan air di Kabupaten Boyolali yang terletak di Lereng
Gunung Merapi dan Merbabu, Kecamatan Selo, Kecamatan Cepogo, Kecamatan
Ampel, dan Kecamatan Musuk.
c. kawasan sekitar mata air yang ada di Kabupaten Boyolali meliputi mata air yang
ada di Kecamatan Ampel, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Teras, Kecamatan
Boyolali, Kecamatan Karanggede, Kecamatan Klego, Kecamatan Sawit, dan
Kecamatan Banyudono.
d. Taman Nasional Gunung Merapi dan Merbabu.

BAB VI

ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH

Bagian Pertama
Umum

Pasal 49

(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang


beserta pembiayaannya.
43

(2) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana
tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumberdaya alam lain.

Bagian Kedua
Pemanfaatan Ruang Wilayah

Paragraf 1
Perumusan Kebijakan Strategis Operasionalisasi

Pasal 50

(1) Koordinasi penataan ruang dilaksanakan oleh BKPRD Kabupaten Boyolali.

(2) Struktur organisasi tugas dan kewenangan BKPRD ditetapkan oleh Keputusan
Bupati.

Pasal 51

(1) Penataan ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten Boyolali dilaksanakan secara
sinergis dengan Peraturan Daerah yang lain yang ada di Kabupaten Boyolali.

(2) Penataan ruang dilaksanakan secara menerus dan sinergis antara perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Paragraf 2
Prioritas dan Tahapan Pembangunan

Pasal 52

(1) Prioritas pelaksanaan pembangunan disusun berdasarkan atas kemampuan


pembiayaan dan kegiatan yang mempunyai efek mengganda sesuai arahan umum
pembangunan daerah.

(2) Program pembiayaan, meliputi:


a. program utama;
b. sumber pembiayaan;
c. instansi pelaksana: APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten, Swadaya
Masyarakat dan Pihak Swasta.

(3) Waktu pelaksanaan dalam 4 tahapan pelaksanaan (5 tahunan).

(4) Prioritas dan tahapan pembangunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran


Indikasi Program Pembangunan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

BAB VII
44

ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian Pertama
Umum

Pasal 53

Arahan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui :


a. arahan peraturan zonasi;
b. arahan perizinan;
c. arahan pemberian insentif dan disinsentif; dan
d. arahan pengenaan sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Paragraf 1
Umum

Pasal 54

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf
a disusun sebagai arahan dalam penyusunan peraturan zonasi.

(2) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sebagai pedoman
pengendalian pemanfaatan ruang, serta berdasarkan rencana rinci tata ruang
untuk setiap zonasi pemanfaatan ruang.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi, meliputi:


a. ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang ;
b. ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang.

(4) Ketentuang umum peraturan zonasi struktur ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a, meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem pusat pelayanan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana wilayah.

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf b, meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya.

(6) Peraturan zonasi pada setiap butir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat
tentang apa yang harus ada, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Pelayanan

Pasal 55
45

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem pelayanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (4) huruf a, meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem perkotaan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem perdesaan.

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem perkotaan sebaimana disebut pada
ayat (1) huruf a, meliputi:
a. pemanfaatan ruang disekitar jaringan prasarana untuk mendukung
berfungsinya sistem perkotaan dan jaringan prasarana;
b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang menyebabkan gangguan
terhadap berfungsinya sistem perkotaan dan jaringan prasarana;
c. pembatasan intensitas pemanfaatan ruang agar tidak mengganggu fungsi
sistem perkotaan dan jaringan prasarana.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem perdesaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pemanfaatan ruang disekitar jaringan prasarana untuk mendukung
berfungsinya sistem perdesaan dan jaringan prasarana;
b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang menyebabkan gangguan
terhadap berfungsinya sistem perdesaan dan jaringan prasarana;
c. pembatasan intensitas pemanfaatan ruang agar tidak mengganggu fungsi
sistem perdesaan dan jaringan prasarana

Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Prasarana Wilayah

Pasal 56

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf b, meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana transportasi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi rencana untuk sistem prasarana energi
kelistrikan;
c. ketentuan umum peraturan zonasi rencana untuk sistem prasarana BBM;
d. ketentuan umum peraturan zonasi rencana untuk sistem prasarana
telekomunikasi;
e. ketentuan umum peraturan zonasi rencana untuk sistem prasarana air minum;
f. ketentuan umum peraturan zonasi rencana untuk sistem prasarana irigasi;
g. ketentuan umum peraturan zonasi rencana untuk sistem prasarana drainase;
h. ketentuan umum peraturan zonasi rencana untuk sistem prasarana
persampahan; dan
i. ketentuan umum peraturan zonasi rencana untuk sistem prasarana pengolahan
limbah.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana transportasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:
a. pada ruas-ruas jalan utama menyediakan fasilitas yang menjamin keselamatan,
keamanan dan kenyamanan bagi pemakai jalan baik yang menggunakan
kendaraan maupun pejalan kaki sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang
berlaku;
b. pemanfaatan ruas-ruas jalan utama sebagai tempat parkir (on street parking)
hanya pada lokasi-lokasi yang sudah ditetapkan oleh instansi yang berwenang
46

dengan tetap menjaga kelancaran arus lalu lintas;


c. pengguna prasarana transportasi wajib mentaati ketentuan batas maksimal
jenis dan beban kendaraan yang diijinkan pada ruas jalan yang dilalui; dan
d. pemanfaatan ruas jalan selain untuk prasarana transportasi yang dapat
mengganggu kelancaran lalu lintas tidak diijinkan.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana energi kelistrikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:
a. areal lintasan dan jarak bebas antara penghantar SUTT dan SUTET dengan
bangunan atau benda lainnya serta tanaman harus mempertimbangkan
dampak negatif terhadap lingkungan dan dibebaskan dari bangunan serta wajib
memperhatikan keamanan, keselamatan umum dan estetika lingkungan,
dengan ketentuan teknis, meliputi:
1. lapangan terbuka pada kawasan luar kota sekurang-kurangnya 7,5 meter
dari SUTT dan 11 meter untuk SUTET;
2. lapangan olah raga sekurang-kurangnya 13,5 meter dari SUTT dan 15
meter untuk SUTET;
3. jalan raya sekurang-kurangnya 9 meter dari SUTT dan 15 meter untuk
SUTET;
4. pohon/tanaman sekurang-kurangnya 4,5 meter dari SUTT dan 8,5 meter
untuk SUTET;
5. bangunan tidak tahan api sekurang-kurangnya 13,5 meter dari SUTT dan
15 meter untuk SUTET;
6. bangunan perumahan, perdagangan jasa, perkantoran, pendidikan dan
lainnya sekurang-kurangnya 4,5 meter dari SUTT dan 8.5 meter untuk
SUTET;
7. SUTT lainnya, penghantar udara tegangan rendah dan jaringan
telekomunikasi sekurang-kurangnya 4,5 meter dari SUTT dan 8 5 meter
untuk SUTET;
8. jembatan besi, rangka besi penghantar listrik dan lainnya sekurang-
kurangnya 4 meter dari SUTT dan 8 5 meter dari SUTET;
9. pompa bensin/tangki bensin sekurang-kurangnya 20 meter dari SUTT dan
50 meter dari SUTET dengan proyeksi penghantar paling luar pada bidang
datar yang melewati kaki tiang; dan
10. tempat penimbunan bahan bakar sekurang-kurangnva 50 meter dari
SUTT dan SUTET dengan proyeksi penghantar paling luar pada bidang
datar yang melewati kaki tiang.
b. penempatan tiang SUTR dan SUTM mengikuti ketentuan, meliputi
1. jarak antara tiang dengan tiang pada jaringan umum tidak melebihi 40
meter;
2. jarak antara tiang jaringan umum dengan tiang atap atau bagian bangunan
tidak melebihi 30 meter;
3. jarak antara tiang atap dengan tiang atap bangunan lainnva (sebanyak-
banyaknya 5 bangunan berderet) tidak melebihi 30 meter; dan
4. jarak bebas antara penghantar udara dengan benda lain yang terdekat
misalnya dahan atau daun, bagian bangunan dan lainnya sekurang--
kurangnya berjarak 0,5 meter dari penghantar udara tersebut.
c. penempatan gardu pembangkit diarahkan di luar kawasan perumahan dan
terbebas dari resiko keselamatan umum; dan
d. pengembangan jaringan baru atau penggantian jaringan lama pada pusat
sistem pusat pelayanan dan ruas-ruas jalan utama diarahkan dengan sistem
jaringan bawah tanah.
47

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana BBM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. pembangunan jaringan BBM harus mengacu pada rencana pola ruang dan
arah pembangunan;
b. peningkatan kualitas jaringan transmisi dan distribusi minyak dan gas bumi
secara optimal dengan pembangunan Depo BBM yang sesuai dengan
peraturan perundang-undanga yang berlaku.

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana telekomunikasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. pembangunan jaringan telekomunikasi harus mengacu pada rencana pola
ruang dan arah perkembangan pembangunan;
b. jarak antar tiang telepon pada jaringan umum tidak melebihi 40 meter;
c. penempatan menara telekomunikasi/tower wajib memperhatikan keamanan,
keselamatan umum dan estetika lingkungan serta diarahkan memanfaatkan
tower secara terpadu pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan;
d. menerapkan untuk memanfaatkan secara bersama pada satu tower BTS
untuk beberapa operator telepon seluler dengan pengelolaan secara bersama
sesuai peraturan perundang-undangan; dan
e. pengembangan jaringan baru atau penggantian jaringan lama pada pusat
sistem pusat pelayanan dan ruas-ruas jalan utama diarahkan dengan sistem
jaringan bawah tanah atau jaringan tanpa kabel.

(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana air minum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi:
a. pemanfaatan sumber air untuk kebutuhan air minum wajib memperhatikan
kelestarian lingkungan;
b. pembangunan instalasi pengolahan air minum tidak diijinkan dibangun
langsung pada sumber air baku;
c. pembangunan dan pemasangan jaringan primer, sekunder dan sambungan
rumah (SR) yang memanfaatkan bahu jalan wajib dilengkapi ijin galian yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
d. pembangunan dan pemasangan jaringan primer, sekunder dan sambungan
rumah (SR) yang melintasi tanah milik perorangan wajib dilengkapi
pernyataan tidak keberatan dari pemilik tanah; dan
e. pembangunan fasilitas pendukung pengolahan air minum yang diijinkan
meliputi kantor pengelola, bak penampungan/reservoir, tower air, bak
pengolahan air dan bangunan untuk sumber energi listrik dengan:
1. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) setinggi-tingginya 30 %
2. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) setinggi-tingginya 60 %
3. Sempadan bangunan sekurang-kurangnya sama dengan lebar jalan atau
sesuai dengan SK Gubernur dan/atau SK Bupati pada jalur-jalur jalan
tertentu.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana irigasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f, meliputi:
a. mempertegas sistem jaringan yang berfungsi sebagai jaringan primer,
sekunder, tersier maupun kwarter;
b. pengembangan kawasan terbangun yang di dalamnya terdapat jaringan irigasi
wajib dipertahankan secara fisik maupun fungsional dengan ketentuan
menyediakan sempadan jaringan irigasi sekurang-kurangnya 2 meter di kiri
dan kanan saluran; dan
c. pembangunan prasarana pendukung irigasi seperti pos pantau, pintu air,
48

bangunan bagi dan bangunan air lainnya mengikuti ketentuan teknis yang
berlaku.

(8) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana drainase sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g, meliputi:
a. tidak diijinkan membangun pada kawasan resapan air dan tangkapan air hujan
(catchment area);
b. setiap pembangunan wajib menyediakan jaringan drainase lingkungan dan/atau
sumur resapan yang terintegrasi dengan sistem drainase sekitarnya sesuai
ketentuan teknis yang berlaku;
c. tidak memanfaatkan saluran drainase untuk pembuangan sampah, air limbah
atau material padat lainnya yang dapat mengurangi kapasitas dan fungsi
saluran; dan
d. pengembangan kawasan terbangun yang didalamnya terdapat jaringan
drainase wajib dipertahankan secara fisik maupun fungsional dengan ketentuan
tidak mengurangi dimensi saluran serta tidak menutup sebagian atau
keseluruhan ruas saluran yang ada.

(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana persampahan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, meliputi:
a. bangunan fasilitas pengolahan sampah yang diijinkan berupa kantor
pengelola, gudang/garasi kendaraan pengangkut dan alat-alat berat, pos
keamanan, bangunan TPS dan tempat mesin pengolah sampah seperti
genset dan incenerator;
b. pembangunan fasilitas pengolahan sampah wajib memperhatikan kelestarian
lingkungan, kesehatan masyarakat dan sesuai dengan ketentuan teknis yang
berlaku;
c. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) setinggi-tingainya 30 %;
d. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) setingg-tingginya 60 %;
e. lebar jalan menuju TPS sekurang-kurangnya 8 meter;
f. tempat parkir truk sampah sekurang-kurangnya 20 %; dan
g. sempadan bangunan sekurang-kurangnya sama dengan lebar jalan atau
sesuai dengan SK Gubernur dan/atau SK Bupati pada jalur-jalur jalan tertentu.

(10) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana pengolahan limbah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, meliputi:
a. setiap kegiatan usaha yang memproduksi air limbah diwajibkan untuk
menyediakan instalasi pengolahan limbah individu dan/atau komunal
sesuai dengan ketentuan teknis yang berlaku meliputi:
1. pengembangan perumahan dengan jumlah lebih dari 30 unit;
2. akomodasi wisata dengan jumlah kamar lebih dari 5 unit;
3. restoran/rumah makan dengan jumlah tempat duduk lebih dari 50 unit;
4. kompleks perdagangan dan jasa dengan luas lantai bangunan lebih dari
10.000 m2;
5. industri kecil/rumah tangga yang menghasilkan air limbah;
6. bengkel yang melayani ganti oli dan tempat cuci kendaraan;
7. usaha konveksi/ garmen yang dalam produksinya menggunakan zat-zat
kimia dan pewarna; dan
8. usaha petemakan yang menghasilkan air limbah dalam skala yang besar.
b. sistem pengelolaan air limbah meliputi pengelolaan secara primer, sekunder
dan tersier.
1. pengelolaan primer yaitu pengelolaan dengan menggunakan pasir dan
benda-benda terapung melalui bak penangkap pasir dan saringan untuk
49

menghilangkan minyak dan lemak;


2. pengelolaan sekunder dibuat untuk menghilangkan zat organik melalui
oksidasi;
3. pengelolaan secara tersier hanya untuk membersihkan saja.
c. pembangunan sistem pengelolaan air limbah yang dimaksud huruf a di atas
wajib mengikuti ketentuan teknis, meliputi:
1. tidak mencemari sumber air minum yang ada di daerah sekitarnya baik air
dipermukaan tanah maupun air di bawah permukaan tanah;
2. tidak mengotori permukaan tanah;
3. menghindari tersebarnva cacing tambang pada permukaan tanah;
4. mencegah berkembang biaknya lalat dan serangga lain;
5. tidak menimbulkan bau yang mengganggu;
6. konstruksi agar dibuat secara sederhana dengan bahan yang mudah
didapat dan murah; dan
7. jarak minimal antara sumber air dengan bak resapan 10 meter.

Paragraf 4
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Lindung

Pasal 57

a. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 54 ayat (5) huruf a, meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan resapan air;
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan sungai;
d. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar mata air;
e. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan waduk;
f. ketentuan umum peraturan zonasi untuk taman wisata;
g. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan; dan
h. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam.

b. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. pemanfaatan tanah dalam kawasan lindung yang dikelola oleh masyarkat
hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ekowisata sepanjang
tidak mengganggu fungsi lindung dan bentang alam;
b. pencegahan kegiatan-kegiatan budidaya dalam pemanfaatan kawasan hutan
lindung;
c. penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung yang dikelola oleh
masyarakat harus sesuai dengan fungsi kawasan dan tidak boleh mengganggu
fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami;
d. setiap kegiatan yang dilakukan di dalam kawasan lindung yang dikelola oleh
masyarakat harus mengikuti kaidah-kaidah perlindungan dan kaidah-kaidah
konservasi; dan
e. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi
penduduk asli dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan,
dan di bawah pengawasan ketat.
50

c. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan resapan air sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun
yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; dan
b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah
ada

d. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan sungai sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang
dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi;
dan
d. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
e. sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 5
meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul;
f. sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya
3 (tiga) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul;
g. sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan:
1. pada sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai
seluas 500 kilometer persegi atau lebih dilakukan ruas per ruas dengan
mempertimbangkan luas daerah pengaliran sungai pada ruas yang
bersangkutan;
2. pada sungai besar ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter dihitung dari
tepi sungai pada waktu ditetapkan; dan
3. pada sungai kecil ditetapkan sekurang-kurangnya 50 meter dihitung dari
tepi sungai pada waktu ditetapkan.
h. sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan:
1. pada sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 meter, garis
sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 meter dihitung dari tepi
sungai pada waktu ditetapkan;
2. pada sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 meter sampai dengan
20 meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 meter dari
tepi sungai pada waktu ditetapkan; dan
3. pada sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 meter,
garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 30 meter dihitung dari tepi
sungai pada waktu yang ditetapkan.
i. garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan adalah
mengikuti ketentuan garis sempadan bangunan, dengan ketentuan konstruksi
dan penggunaan jalan harus menjamin bagi kelestarian dan keamanan sungai
serta bangunan sungai; dan
j. kepemilikan lahan yang berbatasan dengan sungai diwajibkan menyediakan
ruang terbuka public minimal 3 meter sepanjang sungai untuk jalan inspeksi
dan/atau taman.

e. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar mata air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. radius mata air adalah 200 meter (di luar kawasan
permukiman) dan minimum 25 meter (di dalam kawasan permukiman); dan
b. rehabilitasi vegetasi di sekitar radius mata air.
51

f. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan waduk sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi:
a. kegiatan pembangunan bangunan fisik atau penanaman tanaman semusim
yang mempercepat proses pendangkalan waduk dilarang;
b. radius waduk terhadap bangunan berjarak minimal 50-100 meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat; dan
c. tidak diperbolehkan mendirikan bangunan permukiman atau kegiatan lain yang
dapat mengganggu kelestarian daya tampung waduk pada kawasan
sempadannya termasuk daerah pasang surutnya.

g. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk taman wisata sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf f, meliputi:
a. pengelolaan taman wisata alam disesuaikan dengan tujuan
perlindungan kawasan suaka alam untuk melindungi flora dan fauna yang
khas, bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pengembangan
obyek dan daya tarik wisata; dan
b. menghindari kegiatan budidaya lainnya yang dapat
mengganggu fungsi lindung dari kawasan tersebut.

h. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, meliputi:
a. pengamanan dan menjaga pelestarian dari berbagai bentuk ancaman baik
oleh kegiatan manusia maupun alam; dan
b. pemerintah daerah mengumumkan kepada seluruh pelaku pembangunan
tentang lokasi dan luas kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

i. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, meliputi:
a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis dan
ancaman bencana;
b. membatasi pengembangan kawasan terbangun pada kawasan rawan
bencana alam;
c. pengendalian kegiatan budidaya yang berada pada kawasan rawan bencana
alam;
d. dibolehkan aktivitas budidaya dengan syarat teknis rekayasa teknologi yang
sesuai dengan karakteristik bencananya selain di kawasan perlindungan
mutlak;
e. pengembangan sistem informasi deteksi dini bencana alam;
f. menyiapkan jalur evakuasi pada kawasan rawan bencana alam; dan
g. mempertahankan kawasan aman dari bencana sebagai tempat evakuasi.

Paragraf 5
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Budidaya

Pasal 58

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 54 ayat (5) huruf b, meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan
hutan produksi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan
hutan rakyat;
52

c. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan pertanian lahan


basah;
d. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan pertanian lahan
kering;
e. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan
pertanian hortikultura;
f. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan
peruntukan perkebunan;
g. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan kegiatan
peternakan;
h. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan kegiatan
perikanan;
i. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan
peruntukan industri;
j. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan pariwisata;
k. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan kegiatan
pertambangan;
l. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan permukiman;
dan
m. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan lainnya.

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan peruntukan hutan produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. pengembangan kegiatan diarahkan pada lahan-lahan yang
memiliki potensi/kesesuaian lahan untuk pengembangan hutan produksi
secara optimal dengan tetap mempertahankan asas kelestarian sumberdaya
lahan; dan
b. peningkatan produktifitas hutan produksi dengan prioritas
arahan pengembangan per jenis komoditi berdasarkan produktifitas lahan,
akumulasi produksi, dan kondisi penggunaan lahan.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan hutan rakyat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pengembangan diarahkan pada lahan-lahan yang memiliki potensi untuk
pengembangan hutan rakyat secara optimal dengan tetap mempertahankan
asas kelestarian sumberdaya lahan;
b. peningkatan produktivitas hutan dengan prioritas arahan pengembangan
perjenis komoditas berdasarkan produktivitas lahan, akumulasi produksi dan
kondisi penggunaan lahan.

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian lahan
basah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. pemantapan lahan sawah yang beririgasi teknis di seluruh kecamatan;
b. peningkatan produktivitas pertanian lahan basah;
c. pengembangan pertanian yang berbentuk kelompok tani;
d. pengembangan agrowisata pada daerah yang sesuai;
e. pengembangan kegiatan agroindustri;
f. pemeliharaan dan peningkatan prasarana pengairan pada lahan-lahan
sawah yang sebagian telah beralih fungsi; dan
g. mencegah dan membatasi alih fungsi lahan pertanian sawah produktif
untuk kegiatan budidaya lainnya.
53

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian lahan
kering sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. pengembangan kegiatan diarahkan pada lahan-lahan yang memiliki
potensi/ kesesuaian lahan pertanian tanaman pertanian lahan kering secara
optimal;
b. pengembangan produksi komoditas andalan/ unggulan daerah; dan
c. peningkatan produktivitas tanaman lahan kering.

(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian


hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi:
a. pengembangan agroindustri dan agrowisata serta penyiapan sarana-
prasarana pendukung;
b. pengembangan produksi komoditas andalan/ unggulan daerah; dan
c. meminimalkan alih fungsi lahan hortikultura yang mempunyai tingkat sangat
sesuai.

(7) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perkebunan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, meliputi:
a. pengembangan luas areal pada lahan-lahan yang memiliki potensi/
kesesuaian lahan sebagai lahan perkebunan;
b. pengembangan produksi komoditas andalan/ unggulan daerah;
c. diversifikasi komoditas perkebunan;
d. peningkatan produktivitas perkebunan; dan
e. meminimalkan alih fungsi lahan perkebunan yang mempunyai tingkat sangat
sesuai.

(8) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan kegiatan


peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, meliputi:
a. pengembangan peternakan secara individual maupun peternakan
bebas;
b. penyediaan suplai bahan makanan ternak; V
c. pengendalian limbah ternak melalui sistem pengelolaan limbah
terpadu.

(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan kegiatan


perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, meliputi:
a. peningkatan produktivitas perikanan;
b. meningkatkan sarana dan prasarana perikanan;
c. pengembangan budidaya perikanan melalui budidaya di sawah dan di
kolam air;
d. pengembangan kegiatan perikanan tradisional penunjang pariwisata;
serta
e. pengembangan kegiatan perikanan skala besar/ menengah.

(10) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan industri


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, meliputi:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan
kemampuan penggunaan teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber
daya manusia di wilayah sekitarnya; dan
b. pembatasan pembangunan perumahan baru sekitar kawasan peruntukan
industri.
54

(11) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, meliputi:
a. pengembangan kawasan pariwisata harus tetap memperhatikan
kelestarian ekosistem lingkungan;
b. pengembangan kawasan pariwisata harus tetap memperhatikan
kelestarian fungsi lindung;
c. peningkatan kualitas pariwisata agar terwujud ”pariwisata berkualitas”;
d. mengendalikan pertumbuhan sarana dan prasarana pariwisata;
e. pengembangan kawasan pariwisata didukung oleh pengembangan
kawasan penunjang pariwisata serta obyek dan daya tarik wisata;
f. pengembangan obyek dan daya tarik wisata dengan tetap
memperhatikan fungsi konservasi kawasan;
g. pengembangan kawasan agrowisata untuk memberikan keberagaman
obyek wisata di daerah, dengan fasilitas pendukung dan akomodasi seluas-
luasnya 2,5% dari total pengelolaan lahan agrowisata; dan
h. optimalisasi pemanfaatan lahan-lahan tidur yang sementara tidak
diusahakan.

(12) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan kegiatan


pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k, meliputi:
a. wajib melaksanakan reklamasi pada lahan-lahan bekas galian;
b. pengawasan secara ketat terhadap kegiatan pertambangan dan
pengeboran air bawah tanah untuk mencegah terjadinya kerusakan
lingkungan;
c. pembatasan dan pengendalian terhadap pemanfaatan dan
pengambilan air tanah; dan
d. melengkapi perizinan sesuai ketentuan yang berlaku.

(13) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan permukiman


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l, meliputi:
a. pengembangan pada lahan yang sesuai dengan kriteria fisik,
meliputi: kemiringan lereng, ketersediaan dan mutu sumber air bersih, bebas
dari potensi banjir/ genangan;
b. pembatasan perkembangan kawasan terbangun yang berada
atau berbatasan dengan kawasan lindung;
c. prioritas pengembangan pada permukiman hirarki rendah
dengan peningkatan pelayanan fasilitas permukiman;
d. pengembangan permukiman ditunjang dengan pengembangan
fasilitas pendukung unit permukiman seperti: fasilitas perdagangan dan jasa,
hiburan, pemerintahan, pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, dan
peribadatan);
e. pada kawasan peruntukan permukiman dapat dikembangkan
kegiatan industri kecil dan menengah (IKM) yang tidak menimbulkan polusi;
dan
f. optimalisasi pemanfaatan lahan-lahan tidur yang
sementara tidak diusahakan.

(14) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan lainnya


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m, meliputi
a. kawasan RTH dan ruang terbuka non hijau, meliputi:
1) pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi;
2) pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan
rekreasi dan fasilitas umum lainnya;
55

3) penerapan konsep taman kota pada lokasi yang potensial di seluruh


kabupaten untuk menjaga kualitas ruang dan estetika lingkungan;
4) rencana pengelolaan RTH sepanjang perbatasan wilayah kabupaten
adalah minimum 50 meter dari kiri kanan garis batas wilayah, kecuali
pada kawasan perbatasan yang sudah padat bangunan-bangunan
mengacu pada rencana pola ruang;
5) rencana pengelolaan ruang terbuka/ruang bebas sepanjang jalur instalasi
listrik tegangan tinggi mengacu pada ketentuan yang berlaku; dan
pemanfaatan ruang terbuka non hijau diprioritaskan pada fungsi utama
kawasan dan kelestarian lingkungan yang sekaligus berfungsi sebagai
tempat evakuasi bencana.
b. kawasan latihan militer, meliputi:
1) pada kawasan latihan militer, seperti daerah latihan militer;
2) pada kawasan lapangan tembak pada radius tertentu dilindungi dari
perubahan fungsi, seperti bangunan rumah radius yang ditetapkan kurang
lebih 500 meter.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Pasal 59

(1) Perijinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b adalah perizinan yang
terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.

(2) Dalam hal kegiatan perijinan mencakup kegiatan:


a. Izin lokasi/fungsi ruang;
b. Izin gangguan (HO);
c. Izin lingkungan dan
d. Kualitas ruang.

(3) Penjabaran dari setiap butir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan diatur
dalam perda kabupaten secara tersendiri diantaranya dalam bentuk IMB.

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif

Paragraf 1
Umum

Pasal 60

Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53


huruf c, meliputi:
a. insentif yang diberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan
dengan rencana tata ruang;
b. disinsentif yang diberikan untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau
mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.
56

Paragraf 2
Ketentuan Insentif

Pasal 61

(1) Ketentuan insentif yang diberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang
sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf
a, terdiri atas:
a. insentif yang diberikan kepada masyarakat yang mau lahannya dijadikan lahan
pertanian berkelanjutan;
b. insentif yang diberikan kepada pengusaha dan swasta dalam pelaksanaan
kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang; dan
c. insetif yang diberikan pemerintah kepada pemerintah daerah, atau dengan
pemerintah daerah lainnya apabila dalam pelakasanaan kegiatan yang sejalan
dengan rencana tata ruang.

(2) Insentif yang diberikan kepada masyarakat yang mau lahannya dijadikan lahan
pertanian berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. kemudahan memperoleh pinjaman dengan bunga rendah, pupuk dan
pemasaran;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. kemudahan prosedur perizinan; dan
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat.

(3) Insentif yang diberikan kepada pengusaha dan swasta dalam pelaksanaan
kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimakud pada
ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kemudahan prosedur perizinan;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur; dan
c. pemberian penghargaan kepada pengusaha dan swasta.

(4) Insentif yang diberikan pemerintah kepada pemerintah daerah, atau dengan
pemerintah daerah lainnya apabila dalam pelaksanaan kegiatan yang sejalan
dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. kemudahan prosedur perizinan;
b. kemudahan dalam mendapatkan kegiatan pembangunan serta pengadaan
infrastruktur;
c. pemberian penghargaan dan kenaikan pangkat.

Paragraf 3
Ketentuan Disinsentif

Pasal 62

(1) Ketentuan disinsentif untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi


kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 huruf b, terdiri atas:
a. disinsentif yang diberikan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta dalam
pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang; dan
b. disinsentif yang diberikan kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam
pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.
57

(2) Disinsentif yang diberikan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta dalam
pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. pengenaan pajak yang tinggi, disesuaikan dengan besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan
ruang;
b. pembatasan penyediaan infrastruktur;
c. pengenaan kompensasi;
d. izin tidak diperpanjang; dan
e. pinalti.

(3) Disinsentif yang diberikan kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam
pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. dibebas tugaskan dari urusan kepemerintahan;
b. dinon aktifkan dari jabatan; dan
c. pemecatan.

(4) Aparatur pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan penataan ruang wilayah
Kabupaten Boyolali sesuai dengan kewenangannya wajib berlaku tertib dalam
keikutsertaannya dalam proses penataan ruang, sesuai dengan perundangan
yang berlaku.

(5) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif akan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Bupati.

Bagian Kelima
Arahan Sanksi

Pasal 63

(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf d merupakan


tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.

(2) Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), pihak yang melakukan penyimpangan dapat dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak
sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula
kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang menertibkan izin pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

(4) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang
dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi
administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
58

c. penghentian sementara pelayanan umum;


d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/ atau
i. denda administratif.

(6) Setiap orang yang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang sehingga


mengakibatkan ketidaksesuaian fungsi ruang sesuai rencana tata ruang diancam
pidana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi
administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) akan diatur dengan peraturan daerah kabupaten.

BAB VIII

HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 64

Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:


a. berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang;
b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang
kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan, termasuk tata letak dan tata
bangunan;
c. menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari
penataan ruang; dan
d. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialami sebagai akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 65

Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:


a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
c. berperan serta dalam memelihara kualitas ruang;
d. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang;
dan
e. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 66

(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan


melibatkan masyarakat.

(2) Peran serta masyarakat dalam penataan ruang dilakukan, melalui:


59

a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;


b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

(3) Peran serta masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan tata ruang
sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat berbentuk:
a. memberikan masukan untuk menentukan arah pengembangan wilayah;
b. mengindentifikasi potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan;
c. memberikan masukan dalam merumuskan konsepsi rencana tata ruang.

(4) Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dapat berbentuk:
a. memberikan masukan mengenai kebijkan pemanfaatan ruang;
b. bekerja sama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau sesama unsur
masyarakat dalam pemanfaatan ruang;
c. memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan;
d. meningkatkan efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang
darat, ruang laut, ruang udara dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan
kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan
meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam.

(5) Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat berbentuk:
a. memberikan masukan yang terkait arahan dan/atau peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi;
b. mengikutsertakan dalam memantau dan mengawasi pelakasanaan rencana
tata ruang yang telah ditetapkan;
c. melaporkan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal
menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan
ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap
pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 67

(1) Tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang di wilayah kabupaten
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pelaksanaan peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dikoordinasikan oleh Pemerintah Kabupaten.

BAB IX

KELEMBAGAAN

Pasal 68
60

(1) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang dan


kerjasama antar sektor atau antar daerah bidang penataan ruang dibentuk
BKPRD.

(2) Tugas, susunan organisasi dan tata kerja BKPRD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Surat Keputusan Bupati.

BAB X

PENGAWASAN PENATAAN RUANG

Pasal 69

(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dilakukan pengawasan terhadap kinerja
pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tindakan
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.

(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Bupati.

(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan
peran masyarakat.

(5) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dengan
menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada Bupati.

Pasal 70

(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2)
dilakukan dengan mengamati dan memerikasa kesesuaian antara
penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

(2) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terbukti terjadi penyimpangan administratif dalam penyelenggaraan penataan
ruang, Bupati mengambil langkah penyelesaian.

Pasal 71

Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2), pihak yang melakukan penyimpangan dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 72

(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dilakukan pengawasan terhadap kinerja
61

fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang dan kinerja pemenuhan


standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

(2) Pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek pelayanan dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 73

Pengawasan terhadap penataan ruang pada setiap tingkat wilayah dilakukan dengan
menggunakan pedoman bidang penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan dan
pelaksanaan ruang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI

PENINJAUAN DAN PENYEMPURNAAN

Pasal 74

(1) RTRW Kabupaten memiliki jangka waktu 20 (dua puluh) tahun semenjak
ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

(2) Peninjauan kembali dan penyempurnaan RTRW Kabupaten dapat dilakukan


minimal 5 (lima) tahun sekali.

(3) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam
skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau
perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten
yang ditetapkan dengan Undang-Undang, RTRW Kabupaten ditinjau kembali
lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 75

(1) Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan


berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.

(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian
sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB XIII
62

KETENTUAN PIDANA

Pasal 76

Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah
ditetapkan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB XIV

KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 77

(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan Pemerintah
Kabupaten diberikan wewenang untuk melaksanakan penyidikan terhadap
pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:


a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan di
bidang panataan ruang;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang penataan ruang;
d. memeriksa buku-buku catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain
berkenaan tindak pidana di bidang penataan ruang;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap
bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang penataan ruang;
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan
atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan atau dokumen yang sebagaimana dimaksud pada huruf
e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
penataan ruang;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyelidikan tindak
pidana di bidang penataan ruang menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya


penyelidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
63

BAB XV

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 78

RTRW Kabupaten memiliki jangka waktu 20 (dua puluh) tahun semenjak ditetapkan
dalam Peraturan Daerah.

Pasal 79

RTRW Kabupaten digunakan sebagai pedoman bagi:


a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan Kabupaten serta keterkaitan antar sektor;
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau
masyarakat; dan
d. penataan ruang Daerah yang merupakan dasar dalam pengawasan
terhadap perijinan lokasi pembangunan.

BAB XVI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 80

(1) Pada saat peraturan daerah ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang
berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.

(2) Pada saat peraturan daerah ini berlaku, maka semua rencana terkait pemanfaatan
ruang dan sektoral yang berkaitan dengan penataan ruang di Kabupaten tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan RTRW.

BAB XVII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 81

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali
Nomor 11 Tahun 2004 Tentang RTRW Kabupaten Boyolali Tahun 2004-2014
(Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2004 Nomor 19 Seri E, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 71) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
64

Pasal 82

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 83

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali.

Ditetapkan di Boyolali
pada tanggal .....,.....,.....

BUPATI BOYOLALI,

( )

Diundangkan di Boyolali
pada tanggal ...,…,……..

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN


BOYOLALI

( )

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2010 NOMOR ........

Anda mungkin juga menyukai