Anda di halaman 1dari 3

Wahai Pemuda, Jangan Layu Sebelum Berbuah!

Dikirim pada 10 November 2010 di Renungan Hadits

Sering di usia produktif, dorongan kuat untuk beramal saleh berbanding lurus dengan
dorongan melanggar. SEMUA manusia di dunia ini secara fisik tunduk kepada fenomena
penciptaan-Nya. Ia akan meniti fase shobi (bayi), thifl (balita), murahiq (pemuda), kuhulah
(dewasa), dan syaikh (tua). Makhluk-makhluk-Nya itu selalu bertasbih kepada Allah ‫سبحانه‬
‫ وتعالى‬dengan bahasanya sendiri. Tetapi, usia paling menentukan arah kehidupan seseorang
adalah fase murahaqa (puber) dan kuhulah (produktif) antara usia 15-35 tahun.

Ada sebuah ungkapan ahli hikmah: “Siapa yang tumbuh, berkembang pada masa
mudanya di atas, akhlak, orientasi (ittijah), kepribadian (syakhshiyyah), karakter, bakat
(syakilah) khusus, maka rambutnya akan memutih (al masyiibu) dalam keadaan ia memiliki
tradisi (daabu), akhlak seperti itu.” Ahli sastra Arab dahulu pernah menjelaskan impian
orang tua yang ingin kembali pada masa muda. Tetapi, itu suatu kemustahilan.

َ‫ يَوماَ يَ ْعود الشَّباَب لَيْتََ ا َ َل‬. ‫ا ْل َمشيْب فَعَ ََل بِمَا َ سأ ُ ْخبِره‬

“Alangkah indahnya jika masa muda kembali lagi hari ini. Aku akan memberitahukan kepada
khalayak (ramai) tentang apa yang dilakukan oleh orang yang sudah pikun dan beruban”.

Marilah kita hitung usia produktif dalam logika kehidupan manusia.


Umumnya umat Rasulullah ‫ سلم و عليه هللا صلى‬berusia antara 60-70 tahun (HR. Ahmad).
Seumpama kita ditakdirkan berumur 63 tahun seperti uswah, qudwah (panutan) kita, 13
tahun pertama tentu tidak masuk perhitungan, berarti tidak bisa kita nilai. Kita belum
baligh. Jadi, usia kita yang bisa dihitung 47 tahun.

Jika dalam sehari tidur belasan jam. Yang tersisa setiap hari 2/3. Tinggallah seputar
16 jam. Dalam aktivitas tidur tersebut tidak ada catatan amal. Untuk ukuran ini saja, dari 47
tahun, yang tertinggal 2/3-nya.
Lantas, sebagian besar ke mana? Orang itu produktif pada usia puber atau pada usia
tua? Pertanyaan itu perlu kita jawab secara serius. Supaya aktivitas kita bisa dihisab oleh
Allah ‫وتعالى سبحانه‬.

Semakin sering kita berhasil menghadapi godaan pada usia muda, seperti itulah
ending kita pada masa tua (syaikhukhah). Sebaliknya, semakin sering kita kalah dalam
mengantisipasi ujian, seperti itulah akhir kehidupan kita. Pertarungan yang paling berat dan
keras adalah pada usia muda. Kalau diibaratkan seperti matahari, maka usia muda adalah
ketika sinar matahari berada persis di tengah-tengah kita. Betapa teriknya pada siang
bolong itu.

Itulah sebabnya Allah ‫ وتعالى سبحانه‬memberikan penghargaan kepada pemuda yang


tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah Swt (syaabun nasya-a fi ‘ibadatillah).
Bahkan Allah ‫ وتعالى سبحانه‬memberikan perlindungan di padang Mahsyar, ketika tiada
naungan kecuali naungan-Nya. Karena pada usia produktif tersebut dorongan kuat untuk
beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar. Maka, mengelola masa muda
agar tunduk kepada karakter keagamaan merupakan perjuangan yang berliku, licin, dan
mendaki. Hanya pemuda yang mendapat rahmat dari-Nya yang berhasil melewati godaan.

َ‫ي َخي ََْر اجْ عَ َْل أَللَّ ُه َّم‬


َْ ‫ي َخي ََْر ََو أ َ ِخ َرهَُ ع ُْم ِر‬ َ ُ‫ي َخي ََْر ََو َخ َواتِ ْي َم َه‬
َْ ‫ع َم ِل‬ ِ َّ‫فِ ْي َِه أَ ْلقاَكََ يَ ْو ََم أَي‬
َْ ‫ام‬

“Ya Allah, jadikanlah usiaku yang paling baik adalah pada penghujungnya, dan amalku yang
terbaik adalah pungkasannya, dan hari-hariku yang terbaik adalah hari-hari saya bertemu
dengan-MU.” [al Hadits].

Secara sunnatullah keberhasilan masa tua kita ditentukan oleh perjuangan yang tak
kenal menyerah di masa muda. Keberhasilan mustahil diperoleh dengan gratis (majjanan),
tanpa melewati proses ujian. Ibarat anak sekolah, untuk naik kelas harus mengikuti ujian.
Jika kita kurang terampil mengelola masa muda dengan menggali potensi thalabul ‘ilmi
(ijtihad), taqarrub ilallah (mujahadah), jihad fii sabilillah (jihad), secara maksimal kelak akan
kita pertanggungjawabkan di Mahkamah Ilahi (‘an syabaabihi fiimaa ablaahu).
Ali bin Abi Thalib mengatakan:

ََ َّ‫عذ‬
َ‫ب ُخلُقُ َهُ سا َ ََء ََم ْن‬ َ ‫نَ ْف‬
َ ُ‫س َه‬

“Barangsiapa jelek akhlaknya (ketika pemuda), ia akan tersiksa ketika tua.”

Mengikuti Siklus Ibadah


Mengapa kita perlu shalat lima waktu sehari semalam. Kita ibarat membuat kolam renang di
depan rumah, setiap kali azan berkumandang kita segera membersihkan lumpur yang
menempel dalam diri kita. Sehingga tidak tersisa sisi gelap dalam pikiran dan hati kita,
demikianlah sabda Rasulullah ‫سلم و عليه هللا صلى‬. Demikian sabda Nabi.

Allah ‫ وتعالى سبحانه‬membuat perencanaan ibadah, agar kita selalu terjaga. Ibadah
yaumiyyah, harian (shalat lima waktu), usbuiyyah, mingguan (shalat Jum’at, puasa Senin
Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan), syahriyyah, bulanan (puasa Ramadan), sanawiyyah,
tahunan (shalat idul fithr dan idul qurban), marrotan fil umr, sekali seumur hidup (ibadah
haji ke Baitullah).
Maka, kita perlu membuat standarisasi dalam beribadah. Ada empat kegiatan
ubudiyah yang perlu kita lakukan dengan istiqomah (konsisten) dan mudawamah wal
istimror (secara berkesinambungan) :
Pertama : Shalat fardhu secara berjamaah di masjid
Kedua : Shalat sunnah rawatib ba’diyah dan qabliyah
Ketiga : Membaca al Quran satu juz sehari
Keempat : Ditambah dengan ibadah bulanan
Muhasabah : Seminggu sekali

Ibadah harian yang perlu dipertahankan untuk menjaga stamina ritme spiritual. Ibadah
wajib kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah ‫( وتعالى سبحانه‬taqarrub). Ibadah
sunnah kita lakukan, untuk membangun kecintaan secara timbal balik antara kita dengan
Allah ‫وتعالى سبحانه‬. Jika kita sudah dicintai, aktifitas kita merupakan jelmaan dari kehendak-
kehendak-Nya.
Supaya kita dekat dengan diri kita sendiri, kita perlu muhasabah usbuiyyah
(intropeksi mingguan). Hati kita mengalami gerakan yang tidak berhenti. Dan itu harus selalu
dikontrol. Jika kita sudah mencapai kenaikan grafik amal, dan kekurangan kita bisa kita
hitung. Berarti kita dalam posisi ideal. Terjaga dari dosa, hanya Rasulullah ‫سلم و عليه هللا صلى‬.

Bangkit Dari Keterpurukan


Jika kita terjatuh melakukan dosa, kita segera bangkit. Setiap langkah menuju dosa harus
kita persempit ruangnya. Karena, dosa kecil yang kita remehkan, akan mengajak kepada
dosa-dosa kecil berikutnya. Dosa itu beranak pinak, berkembang biak.

Langkah-langkah untuk bangkit, sebagai berikut:


Pertama: Istighfar (memohon ampun kepada Allah ‫)وتعالى سبحانه‬. Bukan sekedar
memperbanyak istighfar, sekalipun itu berpahala. Yang paling penting adalah dengan
istighfar kita selalu menyadari seharusnya makin hari kekurangan, bau tidak sedap dalam
diri kita semakin tertutupi (hilang).

Kedua, beramal. Setiap kali melakukan kejahatan, susullah dengan amal saleh. (ittaqillah
haitsumaa kunta wa atbi’issayyiata al hasanata tamhuhaa). Kebaikan itu bisa menghapus
dosa. Jika kita senang melakukan satu kebaikan, akan mengajak kepada kebaikan
berikutnya. Misalnya, jika kita suka ke masjid, maka dengan sendirinya kita akan termotivasi
untuk melakukan berbagai amal saleh di situ. Sholat fardhu, sholat sunnah, membaca Al-
Quran, zikir dll.

Rasulullah ‫ سلم و عليه هللا صلى‬bersabda : “Jika engkau melihat seorang laki-laki terbiasa ke
masjid, saksikanlah sesungguhnya ia seorang beriman.” [al Hadits].

Demikian pula jika kita senang melangkahkan kaki menuju ke tempat maksiat, maka
akan mengerakkan untuk berbuat dosa berikutnya. Jika kita sedang bersemangat dalam
beribadah, lakukanlah sebanyak mungkin yang Anda mampu. Jika grafik ibadah menurun,
minimal pertahankan yang wajib. Hati kita elastis, fluktuatif. Kita memiliki saat maju dan
saat mundur. Dengan cara di atas kita bisa mengelola naik turunnya hati kita dengan baik.
Terakhir: Berdoa kepada Allah ‫وتعالى سبحانه‬, semoga kita tetap teguh dalam agama-
Nya. Ya muqollibal qulub tsabbit qolbii ‘alaa diinik (Wahai Yang Membolak Balikkan hati,
tetapkanlah hatiku diatas agama-MU).
Penutup, wahai para pemuda, ingatlah falsafah pohon pisang. “Janganlah mati
sebelum berbuah.” [Abu Hilyatil Auliyah Hadziqoh/www.hidayatullah.com]

Anda mungkin juga menyukai