Anda di halaman 1dari 18

Paper Neurologi

BELL’S PALSY

Oleh:
TRI YULIHARTI
140100081

Pembimbing
dr. RA Dwi Pujiastuti, Mked(Neu), Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Bell’s
Palsy”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. RA
Dwi Pujiastuti, Mked(Neu), Sp.S selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 15 Oktober 2018

Penulis
ii

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................i
DAFTAR ISI ......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1


1.1. Latar Belakang ...................................................................................1
1.2. Tujuan ................................................................................................2
1.3. Manfaat ..............................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1. Definisi ...............................................................................................3
2.2. Epidemiologi.......................................................................................3
2.3. Anatomi Nervus Fasialis ..................................................................4
2.4. Etiopatogenesis ...................................................................................6
2.5. Patofisiologi .......................................................................................7
2.6. Manifestasi Klinis ...............................................................................7
2.7. Diagnosis ............................................................................................8
2.8. Penatalaksanaan ..................................................................................10
2.9. Komplikasi..........................................................................................11
2.10. Prognosis ..........................................................................................12
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bell’s Palsy adalah gangguan neurologis yang disebabkan oleh kerusakan
saraf fasialis yang menyebabkan kelemahan pada satu sisi wajah. Paralisis ini
akan menyebabkan asimetri wajah serta mengganggu fungsi normal seperti makan
dan menutup mata. Pendapat lain mengemukakan bahwa Bell’s Palsy merupakan
kelemahan atau paralisis otot wajah yang disebabkan oleh cedera terhadap satu
dari dua nervus fasialis (tipe LMN).1
Gangguan ini berupa paresis atau paralisis saraf kranialis fasialis yang
terjadi secara tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa sebab yang jelas. Sir Charles Bell
(1774-1842) adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan
saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis.
Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf
fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.2
Di Indonesa insiden Bell’s Palsy sering terjadi namun masih penyebab pasti
belum diketahui. Frekuensi yang ditemukan sekitar 19,55% Bell’s Palsy di
Indonesia. Biasanya sering menyerang pada usia 20-50 tahun dari seluruh kasus
neuropati. Peningkatan angka kejadian biasanya bertambah setelah umur 60
tahun.1
Bell’s Palsy biasanya hanya menyerang sebagian sisi wajah. Kejadian ini
sangat jarang namun bisa terjadi serangan ulang. Penyakit ini dapat terjadi pada
semua umur dan setiap saat tidak didapatkan perbedaan insidensi antara iklim
panas maupun dingin. Meskipun begitu pada beberapa penderita didapatkan
riwayat terkena udara dingin, baik kendaraan dengan jendela terbuka, tidur di
lantai, atau bergadang sebelum menderita Bell’s Palsy.2
2

1.2 Tujuan
Laporan kasus ini dibuat untuk membahas definisi, epidemiologi, faktor
resiko, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosa, diagnosa
banding, penatalaksanaan pencegahan dan prognosis kasus Bell’s Palsy.

1.3 Manfaat
Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan
pengatahuan dan memperjelas tentang definisi, epidemiologi, faktor resiko,
etiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosa, diagnosa banding,
penatalaksanaan, pencegahan dan prognosis kasus Bell’s Palsy agar kemudian
dapat diterapkan dan dilaksanakan pada praktiknya di lapangan ketika
menghadapi pasien sebagai seorang dokter.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bell’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi. Gangguan ini merupakan paralisis fasialis lower motor neuron
(LMN) unilateral idiopatik.3 Sir Charles Bell adalah orang pertama yang meneliti
tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang
distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu, nama Bell diambil untuk
diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui
penyebabnya.4

2.2 Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75%. Insiden bervariasi di berbagai Negara di seluruh
dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing
negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000
populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun).
Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Sebanyak 5-10% kasus
Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk,
2010).
Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada
perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis
bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2%.5 Resiko terjadinya rekurensi
dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada
sisi yang berlawanan.6 Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14%
kasus Bell’s palsy.7
4

2.3 Anatomi Saraf Fasialis dan Perjalanannya

Gambar 1. A. Innervasi sensoris wajah B. Innervasi motorik wajah (otot mimik) C. Arteri wajah
D. Vena wajah

Saraf fasialis memiliki nukleus yang terletak di dalam medulla oblongata.


Saraf fasialis memiliki akar saraf motorik yang mempersarafi otot-otot mimik dan
akar sensorik khusus (nervus intermedius). Saraf ini muncul di permukaan
anterior antara pons dan medulla oblongata (angulus pontocerebelaris). Akar
sarafnya berjalan bersama nervus vestibulo-cochlearis dan masuk ke meatus
akustikus internus pada pars petrosa dari tulang temporal.8
Saraf fasialis terletak di antara alat keseimbangan dan pendengaran yaitu
cochlea dan vestibulum saat berjalan dari meakus akustikus internus menuju
ventrolateral. Saraf memasuki kanalis fasialis di dasar dari meatus dan berbelok
ke arah dorsolateral. Saraf menuju dinding medial dari kavum timpani dan
membentuk sudut di atas promontorium yang disebut ganglion genikulatum. Saraf
kemudian berjalan turun pada dinding dorsal kavum timpani dan ke luar dari os
temporal melalui foramen stylomastoideus. Saraf tetap berjalan menembus
glandula parotis untuk memberi persarafan pada otot-otot mimik.8
5

Gambar 2. Perjalanan saraf fasialis

Saraf fasialis memiliki lima percabangan penting sebagai berikut:8


a. Nervus petrosus superfisialis mayor, keluar dari ganglion geniculi. Serat-serat
saraf ini memberi percabangan sekromotorik pada kelenjar lakrimalis dan
kelenjar pada hidung dan palatum.
b. Saraf stapedius, mempersarafi muskulus stapedius di telinga tengah.
c. Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum timpani.
Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari bagian atas
membran timpani dan meninggalkan telinga tengah melalui fisura
petrotimpanikus dan memasuki fossa infratemporal dan bergabung dengan
nervus lingualis. Korda timpani memiliki serat preganglionik parasimpatetik
yang memberi persarafan pada kelenjar liur submandibular dan sublingual.
Korda timpani juga memiliki serat saraf taste bud dari 2/3 anterior lidah dan
dasar mulut.
d. Nervus aurikularis posterior memberi persarafan m.aurikel dan m.temporalis.
e. Lima cabang terminal untuk otot-otot mimik. Cabang-cabang itu adalah
cabang temporal, cabang zigomatik, cabang buccal, cabang mandibular dan
cabang cervical (Snell, 2012).
6

Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur parotis setelah meninggalkan


foramen stylomastoideus. Saraf memberikan cabang terminal di batas anterior
kelenjar parotis. Cabang-cabang ini menuju otot-otot mimik di wajah dan regio
scalp. Cabang buccal untuk muskulus buccinator. Cabang cervicalis untuk
muskulus platysma dan muskulus depressor anguli oris.8
Nervus fasialis dengan semua perjalanannya ini mengontrol mimik wajah
(facial expression), salivasi dan lakrimasi serta digunakan untuk sensasi rasa dari
anterior lidah, dasar mulut dan palatum.8

2.4 Etiopatogenesis
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada
ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.
Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan
segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus.6 Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan
penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai
penyebab dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan
herediter.3
Etiologi Bell’s palsy terbanyak diduga adalah infeksi virus. Mekanisme
pasti yang terjadi akibat infeksi ini yang menyebabkan penyakit belum diketahui.
Inflamasi dan edema diduga muncul akibat infeksi. Nervus fasialis yang berjalan
melewati terowongan sempit menjadi terjepit karena edema ini dan menyebabkan
kerusakan saraf tersebut baik secara sementara maupun permanen. Virus yang
menyebabkan infeksi ini diduga adalah herpes simpleks. Beberapa kasus Bell’s
palsy disebabkan iskemia oleh karena diabetes dan aterosklerosis. Hal ini
mungkin menjelaskan insiden yang meningkat dari Bell’s palsy pada pasien tua.
Kelainan ini analog dengan mononeuropati iskemik pada saraf kranialis lain pada
pasien diabetes.9
7

2.5 Patofisiologi
Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan pada saraf fasialis di
meatus akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah (karena infeksi atau
operasi), di kanalis fasialis (perineuritis, Bell’s palsy) atau di kelenjar parotis
(karena tumor) akan menyebabkan distorsi wajah, dengan penurunan kelopak
mata bawah dan sudut mulut pada sisi wajah yang terkena. Ini terjadi pada lesi
lower motor neuron (LMN). Lesi upper motor neuron (UMN) akan menunjukkan
bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang menginnervasi bagian ini
menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral.9

Gambar 3. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi supranuklear

2.6 Manifestasi Klinis2


a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
- Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat
- Makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang.
- Lipatan kulit dahi menghilang.
- Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air
mata akan keluar terus menerus.
8

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)


- Gejala dan tanda klinik seperti pada (a)
- ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian
depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,
sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
- Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b)
- ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
- Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c)
- disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti
ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
- Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c),(d)
- ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
- Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas
- disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus,
dan terkadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus
hipoglosus

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit,
ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk
membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy
kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset
mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif,
dan mencapai paralisis maksimal dalam 310 minggu atau kurang. 10
9

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf
fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear)
juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi
perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup
mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan defisit
neurologis lainnya, sekurang- kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang
kontralateral. 6
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan pengecapan)
selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat sebagai tes
diagnostik dan prognostik pada pasien dengan paralisis fasialis, sehingga jarang
digunakan dalam praktek klinis.
Hal ini dikarenakan:
• Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup bervariasi,
mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur alternatif bagi akson-
akson untuk mencapai terminalnya.
• Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak secara
tajam terletak pada level tertentu, karena suatu lesi dapat
mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf pada tingkat yang
beragam dan dengan derajat keparahan yang berbeda- beda.
• Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi dapat
terjadi pada waktu yang berbeda- beda.
• Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis tidak
sepenuhnya dapat dipercaya.

Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain


yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis
rnedia yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis
fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s
palsy.
10

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang.
Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat
dianjurkan, seperti:
1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance
lmaging (MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada
perbaikan paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan
perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda- tanda paralisis
anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan
pada wajah atau spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga
karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.
2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes
audiologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.
3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan
sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu.

2.8 Penatalaksanaan
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
Tiemstra mengatakan bahwa kortikosteroid sangat bermanfaat dalam
mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan
mempercepat penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis sedangkan Acyclovir
diberikan untuk menghambat replikasi DNA virus.6
Untuk Prednison, pemberian sebaiknya secepatnya terutama pada kasus BP
yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi odem
dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada
perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.2
Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atauobat jenis lainnya seperti
Valaciclovir, Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang
lebih baik dari Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400mg 5 kali sehari selama
10 hari atau Valaciclovir 500mg 2 kali sehari selama 5 hari. Jika penyebabnya
11

diduga virus herpes zoster, maka dosis Acyclovir dinaikan menjadi 800mg 5 kali
sehari atau Valaciclovir 1 gram 2 kali sehari. Kombinasi penggunaan
kortikosteroid dan Antiviral oral memberikan hasil yang lebih baik daripada
penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan lebih baik bila terapi diberikan
dalam 72 jam pertama. Studi lain juga mengatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat-obatan ini secara oral atau
intravena.4
3. Perawatan Mata
Perawatan mata tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan
pada kornea karena kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan
produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari dan salep
mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan kacamata bila keluar
rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau keratitis, maka dibutuhkan
penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea seperti partial tarsorrhaphy.6
4. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan
pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang
lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama
5 menit pagi dan sore.2
5. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak- anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intrakranial. Tindakan operatif dilakukan
apabila :
– Tidak terdapat penyembuhan spontan
– Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone
– Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.2

2.9 Komplikasi Bell’s Palsy


Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy sebagai berikut:9
12

1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi sub optimal yang


menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi
atau sensasiyang tidak sama dengan stimuli normal)
3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,
contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata.
4. Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis
akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien
keluar pada saat mengkonsumsi makanan.
5. Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-
tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada
stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi
bersamaan).

2.10 Prognosis Bell’s Palsy


Dalam sebuah penelitian pada 85% penderita Bell’s palsy memperlihatkan
tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15%
kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Pada literatur lain penderita BP
bisa sembuh sempurna dalam waktu 2 bulan dan sembuh sempurna antara 1-3
bulan 80%.2
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh tanpa gejala sisa. 1/3
lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan
baik. Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah2
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan berkurangnya air mata.
13

BAB III
KESIMPULAN

Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah (nervus
fasialis) secara akut pada sisi sebelah wajah. Penyakit ini bersifat sembuh
sendiri (self-limited). Kontroversi dalam tatalaksana masih diperdebatkan, dan
penyebabnya pun masih tidak diketahui dengan pasti. Hipotesis penyebabnya
antara lain iskemik, vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Terapi yang
dilakukan selama ini adalah untuk meningkatkan fungsi saraf wajah dan proses
penyembuhan. Modalitas terapi Bell’s palsy yaitu dengan kortikosteroid dan
antiviral, latihan fasial, elektrostimulasi, fisioterapi dan operasi dekompresi.
Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan.
14

DAFTAR PUSTAKA

1. Dewanto G., Suwono WJ., Riyanto B. Stroke/Gangguan Peredarahan Darah


dalam Otak. Panduan Praktik Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf.
Jakarta:EGC. 2009. h. 24-36.
2. Bahrudin, M. Bell’s Palsy. Universitas Muhammadiyah Malang. 2011: 7(15)
h. 20-25.
3. Ginsberg, L. Neurologi. Jakarta: Erlangga. 2008.
4. Munilson J, Edward Y, Triana W. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s
Palsy. Universitas Andalas.
5. Finsterer, J. Management of peripherial facial nerve palsy. Eur Arch
Otorhinolaringol. 2008:265. h.743-52
6. Tiemstra, DJ., Khatkhate, N. Bell’s Palsy: Diagnosis and management.
American Academy of Family Physicians. 2007:76. h.997-1002.
7. Kubik, M., Robles,L., Kung, A. Familial Bell’s Palsy: A case report and
Literature Review. Hindawi Publishing Corporation. 2012.
8. Snell, RS. Clinical Anatomy By Regions 9th Edition. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins. 2012.
9. Mujaddiah. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s Palsy.
Universitas Muhammadiyah Surabaya. 2017:1(2). h.1-11.
10. Ronthal M., Shefner JM., Dashe JF. Bell’s Palsy: Pathogenesis, Clinical
Features, and Diagnosis in Adults. 2012.
15

Anda mungkin juga menyukai