Paper Neuro Bells Palsy
Paper Neuro Bells Palsy
BELL’S PALSY
Oleh:
TRI YULIHARTI
140100081
Pembimbing
dr. RA Dwi Pujiastuti, Mked(Neu), Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Bell’s
Palsy”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. RA
Dwi Pujiastuti, Mked(Neu), Sp.S selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................i
DAFTAR ISI ......................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Laporan kasus ini dibuat untuk membahas definisi, epidemiologi, faktor
resiko, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosa, diagnosa
banding, penatalaksanaan pencegahan dan prognosis kasus Bell’s Palsy.
1.3 Manfaat
Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan
pengatahuan dan memperjelas tentang definisi, epidemiologi, faktor resiko,
etiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosa, diagnosa banding,
penatalaksanaan, pencegahan dan prognosis kasus Bell’s Palsy agar kemudian
dapat diterapkan dan dilaksanakan pada praktiknya di lapangan ketika
menghadapi pasien sebagai seorang dokter.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bell’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi. Gangguan ini merupakan paralisis fasialis lower motor neuron
(LMN) unilateral idiopatik.3 Sir Charles Bell adalah orang pertama yang meneliti
tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang
distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu, nama Bell diambil untuk
diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui
penyebabnya.4
2.2 Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75%. Insiden bervariasi di berbagai Negara di seluruh
dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing
negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000
populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun).
Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Sebanyak 5-10% kasus
Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk,
2010).
Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada
perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis
bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2%.5 Resiko terjadinya rekurensi
dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada
sisi yang berlawanan.6 Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14%
kasus Bell’s palsy.7
4
Gambar 1. A. Innervasi sensoris wajah B. Innervasi motorik wajah (otot mimik) C. Arteri wajah
D. Vena wajah
2.4 Etiopatogenesis
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada
ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.
Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan
segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus.6 Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan
penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai
penyebab dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan
herediter.3
Etiologi Bell’s palsy terbanyak diduga adalah infeksi virus. Mekanisme
pasti yang terjadi akibat infeksi ini yang menyebabkan penyakit belum diketahui.
Inflamasi dan edema diduga muncul akibat infeksi. Nervus fasialis yang berjalan
melewati terowongan sempit menjadi terjepit karena edema ini dan menyebabkan
kerusakan saraf tersebut baik secara sementara maupun permanen. Virus yang
menyebabkan infeksi ini diduga adalah herpes simpleks. Beberapa kasus Bell’s
palsy disebabkan iskemia oleh karena diabetes dan aterosklerosis. Hal ini
mungkin menjelaskan insiden yang meningkat dari Bell’s palsy pada pasien tua.
Kelainan ini analog dengan mononeuropati iskemik pada saraf kranialis lain pada
pasien diabetes.9
7
2.5 Patofisiologi
Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan pada saraf fasialis di
meatus akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah (karena infeksi atau
operasi), di kanalis fasialis (perineuritis, Bell’s palsy) atau di kelenjar parotis
(karena tumor) akan menyebabkan distorsi wajah, dengan penurunan kelopak
mata bawah dan sudut mulut pada sisi wajah yang terkena. Ini terjadi pada lesi
lower motor neuron (LMN). Lesi upper motor neuron (UMN) akan menunjukkan
bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang menginnervasi bagian ini
menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral.9
Gambar 3. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi supranuklear
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit,
ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk
membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy
kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset
mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif,
dan mencapai paralisis maksimal dalam 310 minggu atau kurang. 10
9
2.8 Penatalaksanaan
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
Tiemstra mengatakan bahwa kortikosteroid sangat bermanfaat dalam
mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan
mempercepat penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis sedangkan Acyclovir
diberikan untuk menghambat replikasi DNA virus.6
Untuk Prednison, pemberian sebaiknya secepatnya terutama pada kasus BP
yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi odem
dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada
perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.2
Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atauobat jenis lainnya seperti
Valaciclovir, Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang
lebih baik dari Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400mg 5 kali sehari selama
10 hari atau Valaciclovir 500mg 2 kali sehari selama 5 hari. Jika penyebabnya
11
diduga virus herpes zoster, maka dosis Acyclovir dinaikan menjadi 800mg 5 kali
sehari atau Valaciclovir 1 gram 2 kali sehari. Kombinasi penggunaan
kortikosteroid dan Antiviral oral memberikan hasil yang lebih baik daripada
penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan lebih baik bila terapi diberikan
dalam 72 jam pertama. Studi lain juga mengatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat-obatan ini secara oral atau
intravena.4
3. Perawatan Mata
Perawatan mata tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan
pada kornea karena kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan
produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari dan salep
mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan kacamata bila keluar
rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau keratitis, maka dibutuhkan
penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea seperti partial tarsorrhaphy.6
4. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan
pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang
lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama
5 menit pagi dan sore.2
5. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak- anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intrakranial. Tindakan operatif dilakukan
apabila :
– Tidak terdapat penyembuhan spontan
– Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone
– Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.2
BAB III
KESIMPULAN
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah (nervus
fasialis) secara akut pada sisi sebelah wajah. Penyakit ini bersifat sembuh
sendiri (self-limited). Kontroversi dalam tatalaksana masih diperdebatkan, dan
penyebabnya pun masih tidak diketahui dengan pasti. Hipotesis penyebabnya
antara lain iskemik, vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Terapi yang
dilakukan selama ini adalah untuk meningkatkan fungsi saraf wajah dan proses
penyembuhan. Modalitas terapi Bell’s palsy yaitu dengan kortikosteroid dan
antiviral, latihan fasial, elektrostimulasi, fisioterapi dan operasi dekompresi.
Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan.
14
DAFTAR PUSTAKA