Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
I. PENDAHULUAN
Demam, yang berarti suhu tubuh di atas batas normal biasa, dapat disebabkan
oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang mempengaruhi pusat
pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor otak, atau dehidrasi. Banyak
protein, pemecahan protein, dan zat-zat tertentu lain, seperti toksin
lipopolisakarida yang disekresi oleh bakteri dapat menyebabkan titik setel
termostat hipotalamus meningkat. Zat-zat yang menyebabkan efek ini
dinamakan pirogen. Terdapat pirogen yang disekresikan oleh bakteri toksik atau
pirogen yang dikeluarkan dari degenerasi jaringan tubuh yng menyebabkan
demam selama sakit. Bila titik setel termostat hipotalamus meningkat lebih
tinggi dari normal, semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh bekerja,
termasuk konservasi panas dan peningkatan pem bentukan panas. Dalam
beberapa jam setelah termostat diubah ke tingkat yang lebih tinggi, suhu tubuh
juga mencapai tingkat tersebut (Ganong, 2003).
Pada umumnya demam adalah juga suatu gejala dan bukan merupakan penyakit
tersendiri. Kini, para ahli sependapat bahwa demam adalah suatu reaksi tangkis
yang berguna dari tubuh terhadap infeksi. Pada suhu diatas 37°C limfosit dam
makrofag menjadi lebih aktif. Bila suhu melampaui 40-41°C, barulah terjadi
situasi kritis yang bias menjadi fatal, karena tidak terkendalikan lagi oleh tubuh
(Tjay, T.H, 2002).
Demam mungkin adalah tanda utuma penyakit yang paling tua dan paling umum
diketahui. Demam terjadi tidak saja pada mamalia tetapi juga pad unggas, reptil,
amfibi dan ikan. Apabila demam terjadi pada hewan homeotermik, mekanisme-
mekasnisme pengaturan suhu bekerja seolah-olah mereka disesuaikan untuk
mempertahankan suhu tubuh pada tingkat yang lebih tinggi dari pada normal,
yaitu “seperti jika termostat yang disetel ulang” ke titik baru yang diatas 37 0C.
reseptor-reseptor suhu kemudian memberi sinyal bahwa suhu sebenarnya lebih
rendah daripada penyetelanan pada titik baru tersebut, dan mekanisme-
mekanisme untuk menaikkan suhu tubuh diaktifkan. Hal ini biasanya
menyebabkan timbulnya rasa kedinginan akibat vasokonstriksi kulit dan kadang-
kadang menyebabkan menggigil. Namun sifat respons bergantung pada suhu di
sekelilingnya. Peningkatan suhu pada hewan yang disuntikkan suatu pirogen
sebagian besar disebabkan oleh peningkatan pembentukan panas apabila hewan
tersebut berada di lingkungan yang dingin dan penurunan pengeluaran panas
apabila berada dalam lingkungan yang hangat. Manfaat demam bagi orgainisme
masih belum diketahui (Neal, M.J, 2006).
Manusia dikatakan sebagai mahluk "homeotermal". Artinya, suhu tubuh manusia
normal berkisar di sekitar 37 derajat C. Hal itu diatur oleh organ tubuh yang
terletak di dalam rongga kepala di dalam jaringan otak yang disebut
hypothalamus yang mempunyai dua sisi yaitu sisi belakang dan sisi depan.
Bagian belakang berfungsi menaikkan suhu tubuh dengan cara mengurangi
pengeluaran panas. Ini berguna ketika cuaca dingin, caranya dengan menggigil
dan mengurangi pengeluaran keringat (www.balipost.co.id).
Hipothalamus bagian depan berfungsi mengeluarkan panas lebih banyak ketika
cuaca panas. Caranya, dengan lebih banyak mengeluarkan keringat, yang
menyebabkan suhu tubuh kembali ke tingkat normal yaitu 37 derajat C. Proses
ini berjalan melalui suatu mekanisme umpan balik yang rumit, yang diperantarai
oleh saraf-saraf di kulit sebagai penerima sinyal suhu dan juga oleh aliran darah
di dalam tubuh (www.balipost.co.id).
Panas secara terus menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai hasil metabolisme,
dan panas tubuh juga secara terus menerus dibuang kelingkungan sekitar. Bila
kecepatan pembentukan panas tepat sama seperti kecepatan kehilangan, orang
dikatakan berada dalam keseimbangan panas. Tetapi bila keduanya berada di
luar keseimbangan, panas tubuh dan suhu tubuh jelas akan meningkat atau
menurun (Guyton, C. Arthur, 1995).
3. Konveksi
Pergerakan udara dikenal sebagai konveksi, dan pembuangan panas dari tubuh
dengan cara arus udara konveksi sering dinamakan “kehilangan panas dengan
cara konveksi”. Sebenarnya panas pertama kali harus dikonduksi ke udara dan
kemudian dibawa menjauhi tubuh oleh arus konveksi.
4. Evaporasi (Penguapan)
Bila air menguap dari permukaan tubuh, 0,58 kalori panas hilang untuk setiap
gram air yang menguap. Air menguap secara insensible dari kulit dan paru
dengan kecepatan sekitar 600 ml per hari. Hal ini menyebabkan kehilangan
panas secara kontinu dengan kecepatan 12 sampai 16 kalori per jam .
(Guyton, C. Arthur, 1995).
5. Mekanisme Kerja Antipiretik
OAINS tidak mengurangi suhu tubuh normal atau suhu tubuh yang meningkat
pada heat stroke yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus. Selama demam,
pirogen endogen (interleukin-1) dilepaskan dari leukosit dan bekerja langsung
pada pusat termoregulator dalam hipotalamus untuk menaikkan suhu tubuh.
Efek ini berhubungan dengan peningkatan prostaglandin otak (yang bersifat
pirogenik). Aspirin mencegah efek peningkatan suhu dari interleukin-1 dengan
mencegah peningkatan kadar prostaglandin otak (Neal, M. J, 2006).
Parasetamol, aspirin, dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) lainnya adalah
antipiretik yang efektif. Bekerja dengan cara menghambat produksi
prostaglandin E2 di hipotalamus anterior (yang meningkat sebagai respon adanya
pirogen endogen).
(Nurul Itqiyah H & Arifianto www.sehatgroup.web.id).
6. Pengobatan dengan antipiretik
Obat analgesic antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan
salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa
resep dokter. Obat-obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen,
secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki benyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini
adalah aspirin, kerena itu golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip
aspirin. Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya, karena AINS
dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada obat
AINS yang berbeda subgolongan tetapi memiliki sifat yang serupa. Kemajuan
penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok
heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata
sebagian besar efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek
terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis
prostaglandin (PG) (Gan Sulistia, 2007).
Derivat-asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak
digunakan sebagai analgetikum, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari
peredaran karena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya,
analgetik dan antipiretik, tetapi tidak antiradang. Resorbsinya dari usus cepat
dan praktis tuntas, secara rectal lebih lambat. PP nya ca 25%, plasma t1/2 nya 1-
4 jam. Antara kadar plasma dan efeknya tidak ada hubungan. Dalamhati zat ini
diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang diekskresi dengan kemih
sebagai konyugat-glukoronida dan sulfat. Efek analgesic parasetamol dan
fenasetin serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri
ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme
yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek antiinflamasinya
sangat lemah, oleh.Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tiddak terlihat pada kedua
obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam
basa.Parasetamolmemiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus
hidroksil dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para (1,4). Senyawa ini
dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam
sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-
aminofenol direaksikan dengan senyawa asetat anhidratMekanisme kerja yang
sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan. Parasetamol
menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun
parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan
bahwa parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim
siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk senyawa
penyebab inflamasi. Sebagaimana diketahui bahwa enzim siklooksigenase ini
berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu
molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-
inflamasi. Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa
parasetamol menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun
hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi
peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi,
sehingga menghambat aksi anti inflamasi.. Parasetamol merupakan obat
analgesik yang populer digunakan untuk melegakan sesak napas, demam, atau
sakit ringan. Sebelumnya menurut rekomendasi FDA dosis aman mengonsumsi
parasetamol tidak lebih dari 4000 mg dalam jangka 24 jam.
Sayangnya karena parasetamol termasuk obat yang mudah didapat, overdosis
obat baik sengaja atau tidak sering terjadi. Misalnya saja orang yang menderita
arthritis atau nyeri sendi yang dengan mudah mengalami overdosis bila ia
mengonsumsi obat arthrtitis tiap 4 atau 6 jam dan ditambah obat penghilang
nyeri lainnya yang mengandung parasetamol dan biasanya dijual bebas. Obat
nyeri sendi seperti tylenol mengandung 325 mg parasetamol dan 500 mg untuk
jenis ekstra kuat.
Selama bertahun-tahun konsumen merasa aman dalam memilih parasetamol
sebagai obat pereda sakit. Berbeda dengan painkiller jenis ibuprofen atau
asetosal (asam asetilsalisilat), parasetamol tidak menyebabkan peradangan.
Karena itulah obat ini sering dianggap aman. Tetapi faktanya, studi terbaru
menunjukkan parasetamol dalam dosis tinggi bisa menyebabkan kerusakan liver,
bahkan kematian.
Untuk menghidari efek samping tersebut, FDA menurunkan dosis aman
parasetamol, yakni 3.250 mg untuk orang dewasa (sebagian ahli merasa dosis ini
masih terlalu tinggi) (Anonim 3, 2009).
V. METODE PERCOBAAN
5.1. ALAT DAN BAHAN
5.1.1 Alat
1. Termometer rektal
2. Timbangan hewan
3. Stopwatch
4. Spuit
5. Selang oral
5.1.2 Bahan-bahan
1. Parasetamol 10 %
2. Obat X 10 %
3. Suspensi kosong 1 %
4. Parafin Liquidum
5. 2. 4 - Dinitrofenol (DNF)
Tikus II
- Berat = 120 gram
- Konsentrasi DNF 0,5% dosis 5 mg/kg BB
- Syringe = 80 skala
5 × 120 g = 0,6 mg/ 5 = 0,12 ml
1000
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 0,12 = 9,6 skala
0,0125
Tikus III
- Berat = 101,9 gram
- Konsentrasi DNF 0,5% , dosis 5 mg/kg BB
- Syringe = 80 skala
5 × 101,9 g = 0,6 mg/ 5 = 0,10 ml
1000
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 0,10 = 8 skala
0,0125
Pemberian CMC 0,5 %. Dosis 1 % BB
1 × 101,9 g = 1.02 mg
100
Skala dalam syringe 1ml = 80 skala
1 skala = 1 : 80 = 0,0125 ml
Jumlah obat yang diberikan = 1,02 = 81,6 skala
0,0125
Pembahasan
Pada percobaan Antipiretik hewan yang digunakan adalah tikus sebanyak tiga
ekor dengan masing-masing pemberian merpati 1 suspensi kosong, tikus 2
parasetamol dan tikus3 obat x. Suhu tubuh normal tikus berkisar antara 36-37°C.
Pada percobaan suhu tubuh tikus normal yang diperoleh rata-rata untuk tikus 1 :
36,9°C ; tikus 2 adalah 36°C; dan tikus 3 : 39,6°C. Setelah diberikan 2,4-
dinitrofenol, masing-masing merpati mengalami kenaikan suhu tubuh. Hal ini
disebabkan karena 2,4-dinitrofenol merupakan zat asing yang dapat
mempengaruhi proses metabolisme tubuh sehingga merangsang terbentuknya
pirogen endogen yang dapat meningkatkan nilai ambang suhu di hipotalamus
sehingga menimbulkan demam. Dalam hal ini demam menunjukkan bahwa tubuh
sedang melakukan pertahanan terhadap zat asing seperti 2.4-dinitrofenol.
Menurut Guyton (2001), demam, yang berarti suhu tubuh di atas batas normal
biasa, dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik
yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor
otak, atau dehidrasi. Banyak protein, pemecahan protein, dan zat-zat tertentu
lain, seperti toksin lipopolisakarida yang disekresi oleh bakteri dapat
menyebabkan titik setel termostat hipotalamus meningkat. Zat-zat yang
menyebabkan efek ini dinamakan pirogen. Terdapat pirogen yang disekresikan
oleh bakteri toksik atau pirogen yang dikeluarkan dari degenerasi jaringan tubuh
yng menyebabkan demam selama sakit.
Pemberian suspensi kosong pada tikus 1 tidak mengalami penurunan suhu malah
meningkat menjadi 38,9°C, pada menit ke 5 sampai ke 50 suhu tubuhnya semakin
turun tetapi suhu tubuhnya tetap berada di atas suhu tubuh normalnya. Hal ini
mungkin disebabkan karena, ketidaktelitian dalam mengukur suhu tubuh tikus, di
mana termometer rektal yang digunakan belum tepat ditempatkan pada
rektalnya sehingga suhu tubuh yang sebenarnya tidak dapat diukur dengan
akurat..
Pada percobaan tikus 2, dengan pemberian suspensi parasetamol, juga
memberikan efek penurunan suhu, sampai sesuai dengan suhu normal.
Pemberian suspensi obat X pada tikus 3, dapat menurunkan suhu tubuh tikus
tetapi suhu tubuhnya tetap berada di atas suhu tubuh normalnya. Secara umum
dapat disimpulkan bahwa obat X kurang dapat menurunkan suhu tubuh tikus,
yang berarti bahwa obat X masih kurang mempunyai khasiat antipiretik. Hal ini
mungkin disebabkan karena pada obat x terdapat zat-zat yang tertinggal pada
saat pengenceran dan pada saat pemberian secara oral zat obat x tidak dikocok
terlebih dahulu yang akhirnya kurang mempunyai efek antipiretik. Perubahan
suhu pada tikus ini selain dipengaruhi oleh pemberian obat juga dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya.
DAFTAR PUSAKA
Hoan, Tan Tjay. & Rahardja, Kirana., (2007).Obat –Obat Penting Khasiat,
Penggunaan, Dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi ke-5.Jakarta: Penerbit PT. Elex
Media Komputindo, Kelompok Gramedia. Hal 295.