Anda di halaman 1dari 11

Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software

http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus Putih ( Rattus norvegicus )


Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari
dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau
pangamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya
terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia
lainnya (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Tikus merupakan hewan laboratorium
yang banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk
mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi maupun
dalam mempelajari tingkah laku (Malole dan Pramono, 1989).
Tikus putih (Rattus norvegicus) berasal dari Asia Tengah dan penggunaannya
telah menyebar luas di seluruh dunia (Malole dan Pramono, 1989). Menurut
Robinson (1979), taksonomi tikus laboratorium adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animal
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata (Craniata)
Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Infrakelas : Eutharia
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Superfamili : Muroidea
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus sp.
Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih cepat
dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat
berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat
mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

suara tikus lain dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan pengamatan
(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Gambar 1. Tikus Putih (Rattus norvegicus)


Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-
galur tersebut antara lain : Wistar, Sprague-Dawley, Long Evans, dan Holdzman
(Kohn dan Bartold, 1984). Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague-Dawley
dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada
badannya (Malole dan Pramono, 1989).
Siklus hidup tikus putih (Rattus norvegicus) jarang lebih dari tiga tahun, berat
badan pada umur empat minggu dapat mencapai 35-40 g dan setelah dewasa rata-rata
200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai
bobot badan 500 g, tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 g (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988).
Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih sebanyak 10%
dari bobot tubuhnya jika pakan tersebut berupa pakan kering dan dapat ditingkatkan
sampai 15% dari bobot tubuhnya jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah.
Kebutuhan minum seekor tikus setiap hari kira-kira 15-30 ml air. Jumlah ini dapat
berkurang jika pakan yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988). Rata-rata pemberian pakan harian untuk tikus Sprague-
Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15-20 g untuk jantan
dan 10-15 g untuk betina (National Research Council, 1978).
Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada kondisi dimana
pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas maka tikus dapat mengurangi
konsumsi energinya, tetapi jika nafsu makan berlebih, tikus dapat meningkatkan
penggantian energi. Adapun kriteria yang umum digunakan dalam memperkirakan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

kecukupan nutrisi makanan antara lain pertumbuhan, reproduksi, pola tingkah laku,
kesediaan nutrisi, aktivitas enzim, histologi jaringan dan kandungan asam amino
serta protein dalam jaringan (National Research Council, 1978).
Pakan yang diberikan pada tikus umumnya tersusun dari komposisi alami
dan mudah diperoleh dari sumber daya komersial. Namun demikian, pakan yang
diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi yang tepat.
Pakan ideal untuk tikus yang sedang tumbuh harus memenuhi kebutuhan zat
makanan antara lain protein 12%, lemak 5%, dan serat kasar kira-kira 5%, harus
cukup mengandung vitamin A, vitamin D, asam linoleat, tiamin, riboflavin,
pantotenat, vitamin B12, biotin, piridoksin dan kolin serta mineral-mineral tertentu
(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Menurut McDonald (1980), protein pakan yang
diberikan pada tikus harus mengandung asam amino essensial yaitu : Arginin,
Histidin, Isoleusin, Leusin, Methionin, Fenilalanin, Treonin, Tryptofan, dan Valine.
Selain nutrisi, hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan tikus putih
sebagai hewan percobaan adalah perkandangan yang baik. Kandang yang digunakan
untuk pemeliharaan tikus biasanya berupa kotak yang terbuat dari metal atau plastik.
Tutup untuk kandang berupa kawat dengan ukuran lubang 1,6 cm2. Alas kandang
terbuat dari guntingan kertas, serutan kayu, serbuk gergaji atau tongkol jagung yang
harus bersih, tidak beracun, tidak menyebabkab alergi dan kering. Temeperatur ideal
kandang yaitu 18-27oC atau rata-rata 22oC dan kelembaban realtif 40-70% (Malole
dan Pramono, 1989).

Limbah Cairan Rumen


Rumen merupakan tabung besar yang menyimpan dan mencampur ingesta
bagi fermentasi mikroba. Kondisi dalam rumen adalah anaerob dengan temperature
38-42 0C dan pH dipertahankan pada kisaran 6,8 (Arora, 1989). Lingkungan di dalam
rumen merupakan tempat hidup ideal untuk beberapa jenis mikroba. Mikroba dalam
rumen umumnya terdapat pada tiga lokasi yaitu : menempel pada dinding rumen,
menempel pada partikel pakan dan bergerak bebas dalam cairan rumen. Mikroba
yang terdapat dalam cairan rumen beranekaragam dan terdapat dalam jumlah besar
(Preston dan Leng, 1987).
Cairan rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH
tetap pada nilai 6,8 (Sutardi, 1980). Populasi mikroba terbesar dalam cairan rumen
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

adalah bakteri yaitu sebesar 1010- 1012 sel/ml cairan rumen, sedangkan populasi
protozoa sekitar 105- 106 sel/ml cairan rumen, namun karena ukuran tubuhnya lebih
besar daripada bakteri maka biomassanya mencapai kurang lebih 40% total nitrogen
mikroba rumen (Hungate, 1966). Protozoa rumen mengandung 55% protein kasar,
sedangkan bakteri kadar protein kasarnya 59%. Kurangnya kadar protein protozoa
dibandingkan dengan bakteri disebabkan protozoa banyak mengandung polisakarida
(Parakkasi, 1999).
Limbah isi rumen merupakan limbah utama dari unit usaha rumah potong
ternak ruminansia. Keberadaan dari limbah tersebut dapat menjadi masalah dan
menimbulkan polusi bagi lingkungan. Hal ini dikarenakan limbah ini tergolong
limbah organik berserat dan memakan tempat yang besar (voluminous) dan
merupakan media yang baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme baik yang
menimbulkan penyakit (patogen) maupun yang tidak menimbulkan penyakit
(apatogen). Bakteri yang terdapat di dalamnya akan cepat menimbulkan bau busuk
(Siagian dan Simanora, 1994). Lebih lanjut Nemerow dan Dasgupta (1991)
menyatakan bahwa kandungan bahan organik limbah RPH (slaughter house waste)
lebih tinggi dibandingkan sampah domestik. Abbas (1987) menyatakan bahwa isi
rumen merupakan pakan ternak ruminansia yang umumnya berupa hijauan, yaitu
rumput dan legum yang masih dalam proses pencernaan dan belum mengalami
absorbsi sehingga masih tinggi zat nutrisinya. Menurut Aboenawan (1993), isi rumen
adalah bahan berserat dan sudah sebagian dicerna dengan volume 10-12% dari berat
hidup hewan sebelum dipotong.
Pengolahan limbah isi rumen sangat diperlukan untuk menurunkan dampak
negatifnya terhadap lingkungan. Selain itu pengolahan limbah tersebut dapat
meningkatkan efisiensi dan nilai guna dari ternak. Berbagai teknologi telah
dikembangkan untuk mengolah limbah ternak yang bersifat mencemari lingkungan
menjadi barang ekonomis yang potensial. Pemanfaatan limbah dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu sebagai sumber energi, sebagai sumber pakan ternak dan sebagai
pupuk organik dalam budidaya pertanian (Sihombing, 2000). Pemanfaatan limbah
RPH dalam percobaan ini dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Kebutuhan Mineral Tikus


Mineral merupakan elemen-elemen atau unsur-unsur kimia selain dari
karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen, jumlahnya mencapai 95% berat badan
(Piliang, 2002). Mineral dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu mineral makro
dan mineral mikro (trace elements). Mineral makro adalah mineral yang
keberadaannya dalam tubuh lebih besar dari 0,01% berat badan, sedangkan mineral
mikro (trace elements) adalah mineral-mineral yang keberadannya kurang dari
0,01% berat badan. Kebutuhan mineral makro dan mikro tikus putih dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Mineral Tikus Putih


Mineral Jumlah
Ca (%) 0,5
Cl (%) 0,05
Mg (%) 0,04
P (%) 0,4
K (%) 0,36
Na(%) 0,05
S (%) 0,03
Cr (ppm) 0,3
Cu (ppm) 5
F (ppm) 1
I (ppm) 0,15
Fe (ppm) 35
Mn (ppm) 50
Se (ppm) 0,1
Zn (ppm) 12
Keterangan : National Research Council (1978)

Mineral, baik makro maupun mikro sangat diperlukan oleh tubuh sehubungan
dengan fungsinya untuk proses pertumbuhan, reproduksi, dan untuk memelihara
kesehatan. Menurut Winarno (1992), mineral makro berfungsi sebagai bagian
penting dalam struktur sel dan jaringan, keseimbangan cairan dan elektrolit, dan
berfungsi dalam cairan tubuh baik intraseluler dan ekstraseluler, Mineral mikro
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

berfungsi sebagai bagian dari struktur suatu hormon yang mengatur aktifitas enzim
agar dapat berfungsi secara maksimal atau sebagai kofaktor dalam aktifitas enzim-
enzim. Beberapa mineral mempunyai fungsi untuk proses pertumbuhan, reproduksi
dan untuk memelihara kesehatan. Jika terjadi ketidakseimbangan hubungan antar
mineral, maka dapat berpengaruh terhadap penampilan ternak, ketidakseimbangan
ini menurut Parakkasi (1999), dapar berkisar dari yang tidak terlihat gejalanya atau
subklinis sampai yang sangat jelas gejalanya atau akut.

Biomineral
Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen berbahan dasar mikroba
cairan rumen limbah rumah pemotongan hewan (RPH) dan mempunyai nilai biologis
yang cukup baik bila ditinjau dari segi nutrient mikroba rumen. Untuk menghasilkan
biomineral dari cairan rumen limbah RPH dapat dilakukan dengan proses pemanenan
produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen ke dalam protein mikrobialnya
melalui penggunaan pelarut asam, pengendapan , penambahan bahan carrier dan
pengeringan di bawah sinar matahari (Tjakradidjaja et al., 2007).
Biomineral memiliki kandungan P, Na, S, Fe, Al, Cu, Zn dan Se yang lebih
tinggi daripada mineral mix, tetapi lebih rendah pada kandungan K, Ca, Mg, Mn, Co,
Ni dan Cr. Perbandingan kandungan mineral antara biomineral dan mineral mix
dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Mineral Biomineral dan Mineral Mix


Mineral Biomineral Mineral mix
P (% BK) 0,29 0,00
K (% BK) 0,16 0,52
Ca (% BK) 0,31 43,37
Mg (% BK) 0,09 0,28
Na (% BK) 0,42 0,05
S (% BK) 0,25 0,01
Fe (ppm) 717 120
Al (ppm) 1343 411
Mn (ppm) 50 127
Cu (ppm) 7 3
Zn (ppm) 147 30
Co (ppm) 0,3 0,4
Ni (ppm) 1,3 2,3
Cr (ppm) 3 4,1
Se (ppm) 32,5 4,6
Keterangan : Laboratorium Balai Penelitian Tanah IPB (2008)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Kebutuhan Pakan
Dalam pemeliharaan ternak, ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor
yang menjadi kunci keberhasilan. Agar dapat menghasilkan pertumbuhan yang
optimal ternak perlu dicukupi kebutuhan pakannya. Menurut Cullison et al. (2003),
fungsi makanan bagi ternak adalah menyediakan energi untuk produksi panas dan
deposit lemak, memelihara sel-sel tubuh dan mengatur berbagai fungsi, proses dan
aktifitas dalam tubuh.
Kebutuhan pakan ternak dipilah berdasarkan kebutuhan untuk hidup pokok,
produksi dan reproduksi. Kebutuhan pakan ternak erat kaitannya dengan kebutuhan
energi ternak. Sutardi (1981) menyatakan bahwa energi merupakan hasil
metabolisme zat nutrisi organik yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein.
Orskov (1998) menyatakan bahwa ternak membutuhkan energi untuk digunakan
dalam pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh dan untuk
produksi. Kandungan energi total dalam pakan sebenarnya bukan menjadi tolok ukur
yang sangat penting, karena yang sangat penting adalah energi yang dapat
dimanfaatkan oleh ternak tersebut yang biasa disebut energi metabolis (ME). Orskov
(1998) menyatakan bahwa jika ternak diberi pakan yang mengandung energi di
bawah kebutuhan untuk hidup pokok, maka ternak akan menggunakan lemak
tubuhnya. Oleh karena itu penting sekali untuk memberikan kecukupan energi jika
ingin mendapatkan pertumbuhan yang normal (Bath et al., 1985). Tidak semua
energi yang dikonsumsi dapat dicerna dan diserap oleh tubuh , energi yang tidak
terpakai dikeluarkan melalui feses dan urin (Anggorodi, 1994).
Selain energi, zat nutrisi yang biasanya sangat diperhatikan kebutuhannya
dalam penyusunan pakan adalah protein. Protein adalah senyawa kimia yang
tersusun atas asam-asam amino. Menurut Anggorodi (1994), protein adalah zat
organik yang mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan fosfor.
Peranan protein dalam tubuh adalah untuk perbaikan jaringan tubuh, pertumbuhan
jaringan baru, metabolisme untuk menghasilkan energi serta sebagai enzim-enzim
esensial bagi tubuh yang normal.
Konsumsi Pakan
Tingkat konsumsi (voluntary feed intake) adalah jumlah pakan yang
dikonsumsi apabila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999).
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Konsumsi pakan merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan


kehidupan pokok dan produksi, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi maka
akan dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum guna memenuhi
kebutuhan hidup pokok dan produksi. Bobot badan individu, individu hewan, tipe
dan tingkat produksi, jenis pakan dan faktor lingkungan merupakan hal yang
mempengaruhi konsumsi pakan (Church, 1979). Selain itu palatabilitas pakan, cita
rasa, tekstur, ukuran dan konsistensi pakan juga turut mempengaruhi tingkat
konsumsi pakan (Wiseman dan Cole, 1990). Selanjutnya Sutardi (1980) menyatakan
bahwa hewan akan mencapai tingkat penampilan produksi tertinggi sesuai dengan
potensi genetiknya apabila memperoleh zat-zat makanan yang dibutuhkan. Sifat dan
komposisi pakan juga akan turut mempengaruhi tingkat konsumsi. Pakan yang
berkualitas baik akan memiliki tingkat konsumsi yang relatif tinggi bila
dibandingkan dengan pakan berkualitas rendah. Kualitas pakan dapat dilihat dari
kandungan zat makanan dan palatabilitasnya.

Kecernaan Pakan
Pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang dialami oleh bahan
pakan dalam alat pencernaan (Sutardi, 1980). Proses tersebut meliputi : pencernaan
mekanik yang terjadi di mulut oleh gigi sehingga bahan pakan menjadi berukuran
kecil, pencernaan hidrolitik di dalam perut dan usus dimana bahan makanan
diuraikan menjadi molekul sederhana oleh enzim-enzim pencernaan serta yang
terakhir adalah pencernaan fermentatif.
Kecernaan makanan didefinisikan sebagai jumlah pakan yang diserap oleh
tubuh hewan atau yang tidak disekresikan melalui feses (McDonald, 1980).
Kecernaan biasanya dinyatakan dalam bentuk persen (%). Pengukuran kecernaan
dilakukan dengan pemberian pakan yang diketahui jumlahnya, lalu berat feses yang
diekskresikan ditimbang.
Kecernaan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : jenis
hewan, komposisi makanan, cara pengolahan makanan dan jumlah pakan yang
dikonsumsi oleh hewan (McDonald, 1980). Peningkatan jumlah pakan yang
dikonsumsi oleh hewan akan menyebabkan peningkatan kecepatan laju alir ingesta.
Ingesta tersebut akan bereaksi dengan enzim pencernaan dalam waktu yang relatif
singkat sehingga terjadi penurunan kecernaan makanan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Ahlstrom dan Skrede (1998) melaporkan bahwa kecernaan nutrien dari tikus
yang diberi pakan ad libitum adalah sebagai berikut: kecernaan bahan kering
86,20%, lemak 94,95%, karbohidrat 90,58%, protein 81,66%, abu 58,89%, pati
99,53% dan pati + gula 99,46%.

Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah proses pertambahan fisik individu atau organ yang
mencakup pertambahan jumlah sel, volume, jenis maupun substansi sel yang
terkandung di dalamnya dan bersifat tidak kembali (Sugito, 2001). Pertumbuhan
menurut definisi Hafez dan Dyer (1969), adalah gejala dari perubahan ukuran ,
bentuk, komposisi dan struktur yang secara normal perubahan itu akan meningkatkan
ukuran dan bobot badan dari hewan.
Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran bobot badan dan
tinggi badan. Menurut Anggorodi (1994), pertumbuhan murni mencakup
pertumbuhan dalam bentuk bobot dan jaringan-jaringan tubuh lainnya (kecuali
jaringan lemak) dan organ tubuh. Dilihat dari sudut kimiawi pertumbuhan murni
adalah suatu penambahan jumlah protein dan zat-zat mineral yang ditimbun dalam
tubuh. Pertambahan bobot akibat penimbunan lemak atau penimbunan air bukan
merupakan pertumbuhan murni.
Pertumbuhan merupakan proses yang sangat kompleks, tidak sekadar
bertambahnya bobot hidup atau tubuh sehingga tidak dapat didefinisikan secara
sederhana (Maynard et al., 1979). Menurut Forrest et al. (1975), potensi
pertumbuhan seekor ternak sangat dipengaruhi oleh faktor bangsa, jenis kelamin,
pakan, lingkungan dan manajemen pemeliharaan.
Laju dan tingkat pertumbuhan dari tiap individu ternak dapat digambarkan
dengan kurva pertumbuhan. Fitzhugh (1976) mengatakan bahwa kurva pertumbuhan
merupakan pencerminan kemampuan suatu individu atau populasi untuk
mengaktualisasikan diri sekaligus sebagai ukuran akan berkembangnya bagian-
bagian tubuh sampai mencapai ukuran maksimal (dewasa) pada kondisi lingkungan
yang ada. Lingkungan tersebut dapat berupa level produksi individu, kuantitas dan
kualitas pakan, lokasi dan lingkungan secara umum.
Pertumbuhan tiap-tiap individu secara umum diperlihatkan sebagai bentuk
sigmoid atau “S”. Kurva “S” ini menggambarkan suatu bentuk percepatan dan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perlambatan. Lawrence dan Fowler (2002) menjelaskan bahwa pola pertumbuhan


sebagai bentuk yang sederhana dengan laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada
kehidupan awal, kemudian mengalami peningkatan secara perlahan sampai mencapai
konstan saat ternak tua. Ketika bobot badan selama hidup diplotkan sebagai fungsi
dari umur atau waktu, ternak memproduksi sebuah kurva karakteristik pertumbuhan
yang berbentuk kurva pertumbuhan sigmoid karena menyerupai huruf “S”. Fase
percepatan dimulai dari saat lahir hingga mencapai titik infleksi. Fase percepatan ini
ditandai dengan adanya perubahan bentuk, pertambahan bobot badan serta
pertumbuhan ukuran tubuh.

Pertambahan Bobot Badan


Anggorodi (1994) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah pertambahan
dalam bentuk dan berat jaringan - jaringan seperti otot, tulang, jantung dan semua
jaringan tubuh lainnya. Kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat
dalam ransum menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan.
Pertambahan bobot badan (PBB) merupakan salah satu kriteria yang digunakan
untuk mengukur pertumbuhan. Pertambahan bobot badan juga dapat digunakan
untuk menilai kualitas bahan makanan ternak. Pertambahan bobot badan yang
diperoleh dari percobaan pada ternak merupakan hasil dari zat-zat makanan yang
dikonsumsi. Dari data PBB akan diketahui nilai suatu zat makanan dari suatu ternak
(Church dan Pond, 1988).
Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), kecepatan tumbuh seekor tikus
sebesar 5 gram per hari. Maynard dan Loosli (1979) menyatakan bahwa kecepatan
pertumbuhan tergantung dari spesies, jenis kelamin, umur, dan keseimbangan zat-zat
nutrisi dalam ransum. Wahju (1997) juga menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah 45% faktor dalam dan 55% faktor
luar/lingkungan. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam
mempengaruhi pertambahan bobot badan, terutama keseimbangan energi dan protein
serta zat-zat pakan lainnya yang terkandung dalam pakan. Faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan tikus putih salah satunya adalah kualitas pakan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Efisiensi Penggunaan Pakan


Efisiensi penggunaan pakan dihitung berdasarkan perbandingan rata-rata
pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) dengan rata-rata konsumsi ransum
(g/ekor/hari). Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi
kecernaan bahan makanan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan ransum adalah
suhu, gerak laju makanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik ransum, komposisi
dan keseimbangan zat nutrisi ransum. Palatabilitas pakan juga merupakan faktor
penting yang menentukan efisiensi penggunaan pakan, sehingga perlu diperhatikan
untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Konversi pakan sangat baik digunakan
sebagai pegangan efisiensi produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi.
Keefisienan ransum dapat dilihat dari nilai konversi pakan, semakin rendah angka
konversi maka efisiensi penggunaan pakan semakin tinggi (Rasyaf, 1990). Wahju
(1997) menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin
keuntungan maksimal, tetapi pertumbuhan yang baik dan biaya ransum yang
minimum akan mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Konversi ransum ditentukan berdasarkan beberapa faktor yaitu suhu,
lingkungan, potensi genetik, nutrisi pakan, kandungan energi dan penyakit (Nesheim
et al., 1979). Konversi ransum juga dipengaruhi oleh jumlah ransum yang
dikonsumsi, bobot badan, gerak atau aktifitas tubuh, musim dan suhu dalam
kandang. Bila kualitas ransum yang dikonsumsi oleh ternak semakin baik maka akan
diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan semakin efisien
penggunaan pakannya.

Anda mungkin juga menyukai