Anda di halaman 1dari 2

Resensi Buku:

Mengembalikan Tradisi
Mendongeng
Judul: Terampil Mendongeng Penulis: Kusumo Priyono, Ars Penerbit: Grasindo
Tahun: 2001

Kelihatan sepele emang kegiatan mendongeng itu. Tapi kalau kita tanya siapa aja yang
bisa melakukan itu, jarang banget yang bisa. Berani taruhan, deh.
Sayangnya, dongeng sudah tersingkirkan oleh kemajuan teknologi saat ini. Adanya teve,
VCD, laserdisc, maupun internet mampu menyita perhatian kita untuk melupakan tradisi
mendongeng.
Karena keprihatinan itulah, sang penulis yang juga dikenal sebagai Raja Dongeng
Indonesia menulis buku ini. Setidaknya kemampuannya mendongeng bisa diturunkan
pada pembaca buku ini.
Kenapa, sih, mendongeng itu penting? Bisa kita dapatkan jawabannya di halaman 13
pada buku ini, dalam bab Tujuan Mendongeng. Di situ disebutkan, mendongeng itu
mengemban misi pengenalan alam lingkungan, budi pekerti, dan mendorong anak untuk
berperilaku positif.
Meski tipis --cuma 53 halaman-- buku ini dibagi menjadi 9 bab. Bab pertama, pengantar
tentang pentingnya dongeng dalam perkembangan jiwa adik-adik kita atau bahkan kita
sendiri, yang mengaku masih anak-anak.
Mengapa? Alasannya sederhana. Dongeng yang kita dengarkan langsung dari ibu atau
nenek kita dulu, yang disampaikan secara komunikatif, akan lebih berkesan karena
disampaikan dengan rasa kasih sayang.
Untuk memperjelas bahwa kita, anak Indonesia, mempunyai tradisi mendongeng
disebutkan pada bab selanjutnya. Di sini ada 2 tradisi pada tempat yang berbeda. Di
Minangkabau tradisi ini disebut randai, kalau di tanah Gayo disebut didong. Baru tau,
kan?
Didong agaknya yang lebih menarik. Di sini serupa dengan permainan berkelompok
(antara 30-35 orang) yang menggunakan syair, lagu, dan gerak. Dimainkan oleh 2
kelompok, permainan ini semacam pertandingan sindir-menyindir.
Selanjutnya, kita dikenalkan dengan macam-macam dongeng. Ada 4 jenis dongeng, yaitu
legenda, fabel, pelipur lara, dan cerita rakyat. Penjelasan ini semua bisa kita dapatkan
di halaman 9.
Cara mendongeng ada 2 bentuk, dengan alat peraga dan tanpa menggunakan alat
peraga. Cara yang terakhir, yang biasanya dilakukan oleh ibu kita, jarang sekali
didapatkan oleh seorang anak. Sedang cara yang pertama adalah alternatif jika audiens-
nya banyak.
Biar nggak keliatan asal-asalan, pendongeng perlu memperhatikan tata cara
mendongeng. Pertama, harus dipilih cerita yang sesuai dengan pendengar. Kemudian
baru kita menghayati agar saat kita mendongeng mimik wajah bisa mengubah suasana
seperti betulan.
Gimana caranya berlatih? Lumayan rumit urut-urutannya. Salah satunya bisa dilakukan
di depan cermin. Kita perlu berlatih mimik, gerakan kedua tangan, atau seluruh tubuh
jika diperlukan.
Tips untuk mendongeng langsung ada 3. Yang paling utama adalah posisi: tidak
membungkuk, duduk tegap en rileks. Memahami dongeng dan membuat suasana jadi
menyenangkan merupakan langkah selanjutnya.
Mendongeng dengan alat peraga ada 3 macam. Untuk itu tipsnya pun sangat banyak.
Kalau alat peraganya berupa boneka, jarak boneka dengan mulut sebaiknya agak
berjauhan. Diimbangi dengan kelenturan tangan pendongeng dalam memainkan boneka.
Sesekali perlu juga, tuh, kita menyanyi sesuai dengan tema cerita.
Kalau alat peraganya berupa buku, kita perlu memperhatikan cara memegang buku
tersebut. Seharusnya buku kita pegang di samping kiri bahu dengan pandangan lurus ke
pendengar.
Menunjuk dengan tangan kanan pun juga ada aturannya. Jangan sampai kita ceplas-
ceplos tanpa melihat gambar yang kita tunjuk. Bisa-bisa pendengar jadi bingung dengan
apa yang kita ceritakan kalau gambar dan cerita nggak nyambung.
Buku ini lumayan menarik. Tiap-tiap bab diselingi dengan gambar-gambar yang lucu.
Bonus yang lain, contoh cerita yang bisa menghibur pembaca dan sekaligus menambah
"kosakata" cerita.
Biar adik-adik kita nggak termasuk "buta moral" lantaran jarang mendengar dongeng,
kita sebaiknya mencoba mengambil ilmu sang penulis meski cuman sedikit. Yang sedikit
itu, kan, lebih baik dibanding tidak sama sekali. Tul, nggak?
(Maya Ch.)

Anda mungkin juga menyukai